Latest Updates

Kisah Perjalanan Hidup Imam Muslim

Nama lengkapnya ialah Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an-Naisaburi. Ia juga mengarang kitab As-Sahih (terkenal dengan Sahih Muslim). Ia salah seorang ulama terkemuka yang namanya tetap dikenal hingga kini. Ia dilahirkan di Naisabur pada tahun 206 H. menurut pendapat yang sahih sebagaimana dikemukakan oleh al-Hakim Abu Abdullah dalam kitabnya ‘Ulama’ul Amsar.*


Kehidupan untuk Mencari Ilmu
Ia belajar hadits sejak masih dalam usia dini, yaitu mulai tahun 218 H. Ia pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya.
Dalam perjalannanya Imam Muslim banyak mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadits kepada mereka. Di Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Di Irak ia belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz belajar kepada Sa’id bin Mansur dan Abu Mas’Abuzar; di Mesir berguru kepada ‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan kepada ulama ahli hadits yang lain.
Muslim berkali-kali mengunjungi Baghdad untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits, dan kunjungannya yang terakhir pada 259 H. di waktu Imam Bukhari datang ke Naisabur, Muslim sering datang kepadanya untuk berguru, sebab ia mengetahui jasa dan ilmunya. Dan ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az-Zihli, ia bergabung kepada Bukhari, sehingga hal ini menjadi sebab terputusnya hubungan dengan Az-Zihli. Muslim dalam Sahihnya maupun dalam kitab lainnya, tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari Az-Zihli padahal ia adalah gurunya. Hal serupa ia lakukan terhadap Bukhari. Ia tidak meriwayatkan hadits dalam Sahihnya, yang diterimanya dari Bukhari, padahal iapun sebagai gurunya. Nampaknya pada hemat Muslim, yang lebih baik adalah tidak memasukkan ke dalam Sahihnya hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu, dengan tetap mengakui mereka sebagai guru.
Guru-gurunya
Selain yang telah disebutkan di atas, Muslim masih mempunyai banyak ulama yang menjadi gurunya. Di antaranya : Utsman dan Abu Bakar, keduanya putra Abu Syaibah; Syaiban bin Farwakh, Abu Kamil al-Juri, Zuhair bin Harb, Amr an-Naqid, Muhammad bin al-Mutsanna, Muhammad bin Yassar, Harun bin Sa’id al-Ayli, Qutaibah bin Sa’id dan lain sebagainya.
Keahlian dalam Hadits
Apabila Imam Bukhari merupakan ulama terkemuka di bidang hadits sahih, berpengetahuan luas mengenai ilat-ilat dan seluk beluk hadits, serta tajam kritiknya, maka Imam Muslim adalah orang kedua setelah Imam Bukhari, baik dalam ilmu dan pengetahuannya maupun dalam keutamaan dan kedudukannya.
Imam Muslim banyak menerima pujian dan pengakuan dari para ulama ahli hadits maupun ulama lainnya. Al-Khatib al-Baghdadi berkata, “Muslim telah mengikuti jejak Bukhari, memperhatikan ilmunya dan menempuh jalan yang dilaluinya.” Pernyataan ini tidak berarti bahwa Muslim hanyalah seorang pengekor. Sebab, ia mempunyai ciri khas dan karakteristik tersendiri dalam menyusun kitab, serta metode baru yang belum pernah diperkenalkan orang sebelumnya.
Abu Quraisy al-Hafiz menyatakan bahwa di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Muslim (Tazkiratul Huffaz, jilid 2, hal. 150). Maksud perkataan tersebut adalah ahli-ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy, sebab ahli hadits itu cukup banyak jumlahnya.
Karya-karya Imam Muslim
Imam Muslim meninggalkan karya tulis yang tidak sedikit jumlahnya, di antaranya :
1. Al-Jami’ as-Sahih (Sahih Muslim).
2. Al-Musnadul Kabir (kitab yang menerangkan nama-nama para perawi hadits).
3. Kitabul-Asma’ wal-Kuna.
4. Kitab al-’Ilal.
5. Kitabul-Aqran.
6. Kitabu Su’alatihi Ahmad bin Hanbal.
7. Kitabul-Intifa’ bi Uhubis-Siba’.
8. Kitabul-Muhadramin.
9. Kitabu man Laisa lahu illa Rawin Wahid.
10. Kitab Auladis-Sahabah.
11. Kitab Awhamil-Muhadditsin.
Kitab Sahih Muslim
Di antara kitab-kitab di atas yang paling agung dan sangat bermanfat luas, serta masih tetap beredar hingga kini ialah Al Jami’ as-Sahih, terkenal dengan Sahih Muslim. Kitab ini merupakan salah satu dari dua kitab yang paling sahih dan murni sesudah Kitabullah. Kedua kitab Sahih ini diterima baik oleh segenap umat Islam.
Imam Muslim telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meneliti dan mempelajari keadaan para perawi, menyaring hadits-hadits yang diriwayatkan, membandingkan riwayat-riwayat itu satu sama lain. Muslim sangat teliti dan hati-hati dalam menggunakan lafaz-lafaz, dan selalu memberikan isyarat akan adanya perbedaan antara lafaz-lafaz itu. Dengan usaha yang sedemikian rupa, maka lahirlah kitab Sahihnya.
Bukti kongkrit mengenai keagungan kitab itu ialah suatu kenyataan, di mana Muslim menyaring isi kitabnya dari ribuan riwayat yang pernah didengarnya. Diceritakan, bahwa ia pernah berkata: “Aku susun kitab Sahih ini yang disaring dari 300.000 hadits.”
Diriwayatkan dari Ahmad bin Salamah, yang berkata : “Aku menulis bersama Muslim untuk menyusun kitab Sahihnya itu selama 15 tahun. Kitab itu berisi 12.000 buah hadits.”
Dalam pada itu, Ibn Shalah menyebutkan dari Abi Quraisy al-Hafiz, bahwa jumlah hadits Sahih Muslim itu sebanyak 4.000 buah hadits. Kedua pendapat tersebut dapat kita kompromikan, yaitu bahwa perhitungan pertama memasukkan hadits-hadits yang berulang-ulang penyebutannya, sedangkan perhitungan kedua hanya menghitung hadits-hadits yang tidak disebutkan berulang.
Imam Muslim berkata di dalam Sahihnya: “Tidak setiap hadits yang sahih menurutku, aku cantumkan di sini, yakni dalam Sahihnya. Aku hanya mencantumkan hadits-hadits yang telah disepakati oleh para ulama hadits.” .
Imam Muslim pernah berkata, sebagai ungkapan gembira atas karunia Tuhan yang diterimanya: “Apabila penduduk bumi ini menulis hadits selama 200 tahun, maka usaha mereka hanya akan berputar-putar di sekitar kitab musnad ini.”
Ketelitian dan kehati-hatian Muslim terhadap hadits yang diriwayatkan dalam Sahihnya dapat dilihat dari perkataannya sebagai berikut : “Tidaklah aku mencantumkan sesuatu hadits dalam kitabku ini, melainkan dengan alasan; juga tiada aku menggugurkan sesuatu hadits daripadanya melainkan dengan alasan pula.”
Imam Muslim di dalam penulisan Sahihnya tidak membuat judul setiap bab secara terperinci. Adapun judul-judul kitab dan bab yang kita dapati pada sebagian naskah Sahih Muslim yang sudah dicetak, sebenarnya dibuat oleh para pengulas yang datang kemudian. Di antara pengulas yang paling baik membuatkan judul-judul bab dan sistematika babnya adalah Imam Nawawi dalam Syarahnya.
Imam Muslim wafat pada ahad sore, dan dikebumikan di kampung Nasr Abad, salah satu daerah di luar Naisabur, pada hari Senin, 25 Rajab 261 H. dalam usia 55 tahun.
Rahimahullahu Ta’ala.

source: http://hikayahhati.blogspot.com/


Artikel : hikayahhati.blogspot.com "jika ingin berkomentar via FACEBOOK, silahkan klik tombol "LIKE" di bawah Jazaakumullahu khaeran kathiran

Kehancuran keKaisaran Persia

http://hikayahhati.blogspot.com/2013/12/runtuhnya-kekaisaran-persia.html
TABLIGH (mendakwahkan) risalah adalah wajib bagi Nabi. Karena itu Nabi mengirim surat keapda raja-raja mengajak mereka masuk Islam. Salah satu suratnya dikirim kepada Ebrewez, kaisar Persia. Pimpinan negara adikuasa dan cucu mendiang kaisar Khosru I, yang dinobatkan jadi Kaisar baru pada tahun 590 M. Itupun gara-gara ayahnya kaisar Murmuza IV terbunuh.
Dalam bukunya Tarikh al-Muluk wa al-Umam, al-Tabari menceritakan bahwa Ebrewez tergolong raja Persia yang paling kuat. Jajahan dan kekuasaannya paling luas. Prestasinya tak tertandingi oleh kaisar sebelumnya. Karena itulah ia digelari Ebrewez yang berarti si Perkasa.
Dalam bahasa Arab disebut al-Mudhaffar. Karena itu wajar jika ia dikenal suka menunjukkan kemewahan dan kebesarannya, menimbun harta kekayaan dan perhiasan. Ketika ia memindahkan singgasananya dari bangunan lama ke bangunan baru tahun 607-608 M harta yang dipindahkan terhitung sebanyak 468 juta gantang emas. Pada tahun ke 13 dari kekuasaannya kekayaannya mencapai 880 juta gantang emas.
Surat Nabi yang singkat itu diantaranya berbunyi “Masuklah Islam agar anda selamat dan jika anda menolak maka bagi anda dosa seluruh kaum Majusi”.
Namun, ternyata Ebrewez bukan penguasa yang bijak bestari. Bukan pula pemimpin yang adil dan beradab. Ia begitu pongah bagai Fir’aun dan angkuh tak tersentuh. Yang pasti ia tidak dapat hidayah. Dan benar, ketika cucu Anusyirwan itu menerima surat Nabi ia sangat murka. Ia tidak seperti Heraclitus raja Romawi Timur yang menolak halus ajakan serupa. Ebrewez merobek-robek surat Nabi itu. Dengan pongahnya ia berkata,”Pantaskah orang itu menulis surat kepadaku sedangkan ia adalah budakku?”
Namun, ulah Ebrewez itu tidak sedikitpun memancing amarah Nabi. Dengan tauhid dan tafwidh-nya yang kuat Nabi yakin dan pasrah. Hanya Allah yang dapat memberi dan mencabut kekuasaan. Nabi membalas dengan doa sederhana. Tanpa emosi dan rasa perkasa “Semoga Allah merobek-robek kerajaannya”(Mazzaqa Allah mulukahu). Bagaimana caranya, digambarkan Nabi begini, nanti :“Allah memberi kekuasaan pada putera kaisar Persia yang bernama Syiraweh untuk mengalahkan dan membunuh ayahnya.”
Nabi bukan futurologi, tapi itulah Nabi. Doa dan gambaran Nabi benar terjadi. Pada tahun 628 M putera Ebrewez yang bernama Qabaz yang digelari Syirawaih itu merebut kekuasaan dan membunuh Kaisar Ebrewez, ayahnya sendiri. Qabaz pun kemudian berkuasa, tapi tidak lebih dari empat bulan saja ia diturunkan.
Selanjutnya kekaisaran Persia itu berganti-ganti hingga sepuluh kali dalam masa empat tahun. Itulah kenyataan dari mazzaqa Allah mulukahu.
Allah benar-benar telah merobek-robek kekaisaran itu. Selama itu kerajaan mengalami kekacauan dan huru-hara Akhirnya rakyat berhasil mengangkat kaisar Yazdajir sebagai kaisar Persia terakhir dari keluarga Sasaniah. Bagi yang berfikir sekuler, itu semua terjadi karena proses politik. Tidak ada campur tangan Tuhan. Kaisar jatuh oleh rakyat, bukan dijatuhkan oleh Tuhan. Tapi bagi Mu’min, itulah jawaban doa Nabi. Begitulah cara Allah memberi dan mencabut kekuasaan.
Di masa kekuasaan kaisar Yazdajir (sekitar tahun 637) inilah tentara Islam datang ke Persia. Namun, kerajaan Persia yang telah berusia empat abad sudah seperti kakek gaek yang ompong, lemah dan sakit-sakitan. Ketika kaum Muslimin datang, dapat dikatakan tanpa perlawanan dan penduduknya masuk Islam dengan sukarela. Kekaisaran itu benar-benar runtuh. Bahkan putera-puteri kaisar sangat berminat menikah dengan bala tentara Islam, dan idolanya adalah Ali bin Abi Talib. Keruntuhan kerajaan Persia persis seperti yang diramalkan Nabi delapan tahun sebelum itu:”Jika kaisar Persia hancur tidak akan ada kaisar lagi sesudahnya”(Hadith Ibn Kathir jld. 3)
Namun, Muslim tidak datang untuk melakukan invasi apalagi kolonialisasi. Kolonialisasi atau eksploitasi bukan karakter Muslim dan peradaban Islam. Muslim tidak memboyong kekayaan Persia ke jazirah Arab. Konsepnya adalah hijrah. Berpindah, hidup, berkarya dan memakmurkan kawasan yang dituju lahir batin. Istilah yang digunakan al-Qur’an bukan penaklukan tapi pembukaan atau kemenangan (al-Fath), seperti fathu Makkah, fathu Andalus, fathu Misra dsb. Membuka, membebaskan, menyelamatkan atau mengislamkan.
Para ulama dan bala tentara Muslim mengajari bangsa Persia al-Qur’an, Hadith, bahasa Arab dan pandangan hidup Islam. Yang dahulu jahil menjadi alim, yang dulu tersesat mendapat petunjuk, yang dulu miskin menjadi kaya dan makmur. Itulah rahmatan lil alamin.
Kepercayaan Persia kuno yang mitologis dan animistis perlahan berganti dengan aqidah Islam yang rasional. Adat istiadat berganti syariat. Tradisi kekuasaan, kemegahan, dan kemewahan berganti tradisi ilmu. Mungkin bala tentara Islam, ulama dan relawan Arab itu tahu sabda Nabi bahwa “Andaikakata ilmu itu berada di bintang Suraya pasti akan dicapai oleh orang-orang Persia”. (Lihat Musnad Ahmad, jld 2).
Ternyata, benar setelah ilmu-ilmu Islam yang tinggi itu dicapai dari kawasan ini lahir ulama-ulama besar dalam sejarah Islam. Tradisi ilmu Islam telah melahirkan ulama seperti al-Khawarizmi, Imam Bukhari, al-Isfahani, Fakhr al-Din al-Razi, Ibn Sina, al-Ghazzali, Ibn Taymiyyah dsb. Dari sini pulalah lahir kekhalifahan besar Islam, Abbasiyah yang bertahan selama 5 abad (750-1250), lebih lama dari kekaisaran Persia.
Begitulah, Islam datang membawa pandangan hidup yang mencerahkan, aqidah yang mencerdaskan, syariah yang membebaskan dan ritual keagamaan yang memudahkan.

source:http://darisrajih.wordpress.com



Cara Shalawat Yang Benar Sesuai Sunnah, Dan Shalawat Diiringi Rebana?

http://hikayahhati.blogspot.com/2013/12/bagaimana-cara-shalawat-yang-sesuai.html 
Apakah boleh SHALAWAT DIIRINGI REBANA?


Pertanyaan.
Ana ingin menanyakan masalah amaliyah yang membingungkan, yaitu masalah shalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

1. Apakah shalawat ini banyak macamnya?
2. Bagaimana cara mengamalkan shalawat yang benar berdasarkan sunnah Rasulullah? Apakah dilakukan sendiri atau berjama'ah, dengan suara keras atau sirr (pelan)?
3. Bolehkah sambil diiringi rebana (alat musik)?

[Abdullah S.Aga. Kota Kembang, Jawa Barat]

Jawaban.
Alhamdulillah, sebelum menjawab pertanyaan saudara Abdullah S.Aga, kami ingin menyampaikan, bahwa amal ibadah akan diterima oleh Allah jika memenuhi syarat-syarat diterimanya ibadah. Yaitu ibadah itu dilakukan oleh orang yang beriman, dengan ikhlas dan sesuai Sunnah (ajaran) Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Akan tetapi pada zaman ini, alangkah banyaknya orang yang tidak memperdulikan syarat-syarat di atas. Maka pertanyaan yang saudara ajukan ini merupakan suatu langkah kepedulian terhadap Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu memberi taufiq kepada kita di atas jalan yang lurus.

Perlu kami sampaikan, bahwasannya shalawat kepada Nabi merupakan salah satu bentuk ibadah yang agung. Tetapi banyak sekali penyimpangan dan bid'ah yang dilakukan banyak orang seputar shalawat Nabi. Berikut ini jawaban kami terhadap pertanyaan saudara.

1. Shalawat Nabi memang banyak macamnya. Namun secara global dapat dibagi menjadi dua.

a. Shalawat Yang Disyari'atkan.
Yaitu shalawat yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya. Bentuk shalawat ini ada beberapa macam. Syaikh Al Albani rahimahullah dalam kitab Shifat Shalat Nabi menyebutkan ada tujuh bentuk shalawat dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ustadz Abdul Hakim bin Amir bin Abdat hafizhahullah di dalam kitab beliau, Sifat Shalawat & Salam, membawakan delapan riwayat tentang sifat shalawat Nabi.

Di antara bentuk shalawat yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah :

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى (إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى) آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ (فِي رِوَايَةٍ: وَ بَارِكْ) عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى (إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى) آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

(Allahumma shalli 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad, kamaa shallaita 'ala Ibrahim wa 'ala aali Ibrahim, innaKa Hamidum Majid. Allahumma barik (dalam satu riwayat, wa barik, tanpa Allahumma) 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad, kama barakta 'ala Ibrahim wa 'ala ali Ibrahim, innaKa Hamiidum Majid).

Ya, Allah. Berilah (yakni, tambahkanlah) shalawat (sanjungan) kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi shalawat kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia. Ya, Allah. Berilah berkah (tambahan kebaikan) kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi berkah kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia. [HR Bukhari, Muslim, dan lainnya. Lihat Shifat Shalat Nabi, hlm. 165-166, karya Al Albani, Maktabah Al Ma'arif].

Dan termasuk shalawat yang disyari'atkan, yaitu shalawat yang biasa diucapkan dan ditulis oleh Salafush Shalih.

Syaikh Abdul Muhshin bin Hamd Al 'Abbad hafizhahullah berkata, ”Salafush Shalih, termasuk para ahli hadits, telah biasa menyebut shalawat dan salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebut (nama) beliau, dengan dua bentuk yang ringkas, yaitu:

صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ (shalallahu 'alaihi wa sallam) dan

عَلَيْهِ الصّلاَةُ وَالسَّلاَمُ ('alaihish shalaatu was salaam).

Alhamdulillah, kedua bentuk ini memenuhi kitab-kitab hadits. Bahkan mereka menulis wasiat-wasiat di dalam karya-karya mereka untuk menjaga hal tersebut dengan bentuk yang sempurna. Yaitu menggabungkan antara shalawat dan permohonan salam atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Fadh-lush Shalah 'Alan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hlm. 15, karya Syaikh Abdul Muhshin bin Hamd Al 'Abbad]

b. Shalawat Yang Tidak Disyari'atkan.
Yaitu shalawat yang datang dari hadits-hadits dha'if (lemah), sangat dha'if, maudhu' (palsu), atau tidak ada asalnya. Demikian juga shalawat yang dibuat-buat (umumnya oleh Ahli Bid'ah), kemudian mereka tetapkan dengan nama shalawat ini atau shalawat itu. Shalawat seperti ini banyak sekali jumlahnya, bahkan sampai ratusan. Contohnya, berbagai shalawat yang ada dalam kitab Dalailul Khairat Wa Syawariqul Anwar Fi Dzikrish Shalah 'Ala Nabiyil Mukhtar, karya Al Jazuli (wafat th. 854H). Di antara shalawat bid'ah ini ialah shalawat Basyisyiyah, shalawat Nariyah, shalawat Fatih, dan lain-lain. Termasuk musibah, bahwa sebagian shalawat bid'ah itu mengandung kesyirikan. [1]

2. Cara mengamalkan shalawat yang benar berdasarkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai berikut:

a. Shalawat yang dibaca adalah shalawat yang disyari'atkan, karena shalawat termasuk dzikir, dan dzikir termasuk ibadah. Bukan shalawat bid'ah, karena seluruh bid'ah adalah kesesatan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Dzikir-dzikir dan do’a-do’a termasuk ibadah-ibadah yang paling utama. Sedangkan ibadah dibangun di atas ittiba' (mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ). Tidak seorangpun berhak men-sunnah-kan dari dzikir-dzikir dan do’a-do’a yang tidak disunnahkan (oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), lalu menjadikannya sebagai kebiasaan yang rutin, dan orang-orang selalu melaksanakannya. Semacam itu termasuk membuat-buat perkara baru dalam agama yang tidak diizinkan Allah. Berbeda dengan do’a, yang kadang-kadang seseorang berdo’a dengannya dan tidak menjadikannya sebagai sunnah (kebiasaan).” [Dinukil dari Fiqhul Ad'iyah Wal Adzkar, 2/49, karya Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhshin Al Badr].

b. Memperbanyak membaca shalawat di setiap waktu dan tempat, terlebih-lebih pada hari jum'ah, atau pada saat disebut nama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan lain-lain tempat yang disebutkan di dalam hadits-hadits yang shahih.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا

Barangsiapa memohonkan shalawat atasku sekali, Allah bershalawat atasnya sepuluh kali. [HR Muslim, no. 408, dari Abu Hurairah].

c. Tidak menentukan jumlah, waktu, tempat, atau cara, yang tidak ditentukan oleh syari'at.
Seperti menentukan waktu sebelum beradzan, saat khathib Jum'at duduk antara dua khutbah, dan lain-lain.

d. Dilakukan sendiri-sendiri, tidak secara berjama'ah.
Karena membaca shalawat termasuk dzikir dan termasuk ibadah, sehingga harus mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan sepanjang pengetahuan kami, tidak ada dalil yang membenarkan bershalawat dengan berjama'ah. Karena, jika dilakukan berjama'ah, tentu dibaca dengan keras, dan ini bertentangan dengan adab dzikir yang diperintahkan Allah, yaitu dengan pelan.

e. Dengan suara sirr (pelan), tidak keras.
Karena membaca shalawat termasuk dzikir. Sedangkan di antara adab berdzikir, yaitu dengan suara pelan, kecuali ada dalil yang menunjukkan (harus) diucapkan dengan keras. Allah berfirman,

وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِفْيَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَاْلأَصَالِ وَلاَتَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ

Dan dzikirlah (ingatlah, sebutlah nama) Rabb-mu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. [Al A’raf : 205].

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,”Oleh karena itulah Allah berfirman:
وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ (dan dengan tidak mengeraskan suara), demikianlah, dzikir itu disukai tidak dengan seruan yang keras berlebihan.” [Tafsir Ibnu Katsir].

Al Qurthubi rahimahullah berkata,”Ini menunjukkan, bahwa meninggikan suara dalam berdzikir (adalah) terlarang.” [Tafsir Al Qurthubi, 7/355].

Muhammad Ahmad Lauh berkata,”Di antara sifat-sifat dzikir dan shalawat yang disyari'atkan, yaitu tidak dengan keras, tidak mengganggu orang lain, atau mengesankan bahwa (Dzat) yang dituju oleh orang yang berdzikir dengan dzikirnya (berada di tempat) jauh, sehingga untuk sampainya membutuhkan dengan mengeraskan suara.” [Taqdisul Asy-khas Fi Fikrish Shufi, 1/276, karya Muhammad Ahmad Lauh].

Abu Musa Al Asy'ari berkata.

لَمَّا غَزَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَرَ أَوْ قَالَ لَمَّا تَوَجَّهَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشْرَفَ النَّاسُ عَلَى وَادٍ فَرَفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ بِالتَّكْبِيرِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا وَهُوَ مَعَكُمْ وَأَنَا خَلْفَ دَابَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعَنِي وَأَنَا أَقُولُ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ فَقَالَ لِي يَا عَبْدَاللَّهِ بْنَ قَيْسٍ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى كَلِمَةٍ مِنْ كَنْزٍ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَدَاكَ أَبِي وَأُمِّي قَالَ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi atau menuju Khaibar, orang-orang menaiki lembah, lalu mereka meninggikan suara dengan takbir: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaaha illa Allah. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Pelanlah, sesungguhnya kamu tidaklah menyeru kepada yang tuli dan yang tidak ada. Sesungguhnya kamu menyeru (Allah) Yang Maha Mendengar dan Maha Dekat, dan Dia bersama kamu (dengan ilmuNya, pendengaranNya, penglihatanNya, dan pengawasanNya, Pen.).” Dan saya (Abu Musa) di belakang hewan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau mendengar aku mengatakan: Laa haula wa laa quwwata illa billah. Kemudian beliau bersabda kepadaku,”Wahai, Abdullah bin Qais (Abu Musa).” Aku berkata,”Aku sambut panggilanmu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda,”Maukah aku tunjukkan kepadamu terhadap satu kalimat, yang merupakan simpanan di antara simpanan-simpanan surga?" Aku menjawab,”Tentu, wahai Rasulullah. Bapakku dan ibuku sebagai tebusanmu.” Beliau bersabda,”Laa haula wa laa quwwata illa billah.” [HR Bukhari, no. 4205; Muslim, no. 2704].

3. Membaca shalawat tidak boleh sambil diiringi rebana (alat musik), karena hal ini termasuk bid'ah. Perbuatan ini mirip dengan kebiasaan yang sering dilakukan oleh orang-orang Shufi. Mereka membaca qasidah-qasidah atau sya'ir-sya'ir yang dinyanyikan dan diringi dengan pukulan stik, rebana, atau semacamnya. Mereka menyebutnya dengan istilah sama' atau taghbiir.

Berikut ini di antara perkataan ulama Ahlus Sunnah yang mengingkari hal tersebut.

Imam Asy Syafi'i berkata,”Di Iraq, aku meninggalkan sesuatu yang dinamakan taghbiir. [2] (Yaitu) perkara baru yang diada-adakan oleh Zanadiqah (orang-orang zindiq ; menyimpang), mereka menghalangi manusia dari Al Qur'an.” [3]

Imam Ahmad ditanya tentang taghbiir, beliau menjawab,”Bid'ah.” [Riwayat Al Khallal. Dinukil dari kitab Tahrim Alat Ath-Tharb, hlm. 163].

Imam Ath Thurthusi, tokoh ulama Malikiyah dari kota Qurthubah (wafat 520 H); beliau ditanya tentang sekelompok orang (yaitu orang-orang Shufi) di suatu tempat yang membaca Al Qur'an, lalu seseorang di antara mereka menyanyikan sya'ir, kemudian mereka menari dan bergoyang. Mereka memukul rebana dan memainkan seruling. Apakah menghadiri mereka itu halal atau tidak? (Ditanya seperti itu) beliau menjawab,”Jalan orang-orang Shufi adalah batil dan sesat. Islam itu hanyalah kitab Allah dan Sunnah RasulNya. Adapun menari dan pura-pura menampakkan cinta (kepada Allah), maka yang pertama kali mengada-adakan adalah kawan-kawan Samiri (pada zaman Nabi Musa). Yaitu ketika Samiri membuatkan patung anak sapi yang bisa bersuara untuk mereka, lalu mereka datang menari di sekitarnya dan berpura-pura menampakkan cinta (kepada Allah). Tarian itu adalah agama orang-orang kafir dan para penyembah anak sapi. Adapun majelis Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya penuh ketenangan, seolah-olah di atas kepala mereka dihinggapi burung. Maka seharusnya penguasa dan wakil-wakilnya melarang mereka menghadiri masjid-masjid dan lainnya (untuk menyanyi dan menari, Pen). Dan bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tidaklah halal menghadiri mereka. Tidak halal membantu mereka melakukan kebatilan. Demikian ini jalan yang ditempuh (Imam) Malik, Asy Syafi'i, Abu Hanifah, Ahmad dan lainnya dari kalangan imam-imam kaum muslimin.” [Dinukil dari kitab Tahrim Alat Ath-Tharb, hlm. 168-169]

Imam Al Hafizh Ibnu Ash Shalaah, imam terkenal penulis kitab Muqaddimah 'Ulumil Hadits (wafat th. 643 H); beliau ditanya tentang orang-orang yang menghalalkan nyanyian dengan rebana dan seruling, dengan tarian dan tepuk-tangan. Dan mereka menganggapnya sebagai perkara halal dan qurbah (perkara yang mendekatkan diri kepada Allah), bahkan (katanya sebagai) ibadah yang paling utama. Maka beliau menjawab: Mereka telah berdusta atas nama Allah Ta'ala. Dengan pendapat tersebut, mereka telah mengiringi orang-orang kebatinan yang menyimpang. Mereka juga menyelisihi ijma'. Barangsiapa yang menyelisihi ijma', (ia) terkena ancaman firman Allah:

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَاتَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. [An Nisa:115] [4]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Dan telah diketahui secara pasti dari agama Islam, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensyari'atkan kepada orang-orang shalih dan para ahli ibadah dari umat beliau, agar mereka berkumpul dan mendengarkan bait-bait yang dilagukan dengan tepuk tapak-tangan, atau pukulan dengan kayu (stik), atau rebana. Sebagaimana beliau tidak membolehkan bagi seorangpun untuk tidak mengikuti beliau, atau tidak mengikuti apa yang ada pada Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Beliau tidak membolehkan, baik dalam perkara batin, perkara lahir, untuk orang awam, atau untuk orang tertentu.” [5]

Demikianlah penjelasan kami, semoga menghilangkan kebingungan saudara. Alhamdulillah Rabbil 'alamin, washalatu wassalaamu 'ala Muhammad wa 'ala ahlihi wa shahbihi ajma'in.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun VII/1420H/1999M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Lihat Mu'jamul Bida', hlm. 345-346, karya Syaikh Raid bin Shabri bin Abi ‘Ulfah; Fadh-lush Shalah 'Alan Nabi n , hlm. 20-24, karya Syaikh Abdul Muhshin bin Hamd Al 'Abbad; Minhaj Al Firqah An Najiyah, hlm. 116-122, karya Syaikh Muhammad Jamil Zainu; Sifat Shalawat & Salam Kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hlm. 72-73, karya Ustadz Abdul Hakim bin Amir bin Abdat
[2]. Sejenis sya'ir berisi anjuran untuk zuhud di dunia yang dinyanyikan oleh orang-orang Shufi, dan sebagian hadirin memukul-mukulkan kayu pada bantal atau kulit sesuai dengan irama lagunya
[3]. Riwayat Ibnul Jauzi, dalam Talbis Iblis; Al Khallal dalam Amar Ma'ruf, hlm. 36; dan Abu Nu'aim dalam Al Hilyah, 9/146. Dinukil dari kitab Tahrim Alat Ath-Tharb, hlm. 163.
[4]. Fatawa Ibnu Ash Shalah, 300-301. Dinukil dari kitab Tahrim Alat Ath-Tharb, hlm. 169
[5]. Majmu' Fatawa, 11/565. Dinukil dari kitab Tahrim Alat Ath-Tharb, hlm. 165

source: almanhaj.or.id

JIMAT Jaman Sekarang

http://hikayahhati.blogspot.com/2013/12/jimat-gaya-baru.html
Orang yang mempercayai sebab dan pengaruh-pengaruhnya namun mereka tidak menetapkan sebagian dari sebab kecuali yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, baik itu merupakan sebab syar’iyah maupun kauniyah. merupakan orang yang memiliki iman yang hakiki, yang beriman kepada Allah, karena mereka mengaitkan sebab dengan akibat, mengaitkan alasan dengan pengaruhnya. Yang demikian ini termasuk kesempurnaan hikmah.
Contoh, Membaca Al-Fatihah merupakan sebab syar’i bagi penyembuhan, menelan obat merupakan sebab inderawi untuk menghilangkan sakit perut, yang berarti qadariyah, karena yang demikian itu sudah diketahui berdasarkan pengalaman.
Imran bin Hushain RA meriwayatkan bahwa Nabi Shallalahu alaihi wasallam melihat seseorang di tangannya terdapat  gelang dari kuningan 
beliau bertanya “(gelang) apakah ini?
Ia menjawab, “al-waahinah (gelang pencegah sakit).” Beliau bersabda “lepaskan gelang itu, karena ia tidak menambahmu kecuali kelemahan, Sekiranya kamu mati sementara gelang itu masih ada padamu, maka kamu tidak akan beruntung selamanya” (HR.Ibnu Majah dan Ahmad)
Dalam konteks kekinian, al-wahinah (gelang pencegah sakit), gelang kesehatan, gelang terapi penyakit, gelang keseimbangan dll. JIMAT yang dimiliki khasiat yang sama juga terkadang berupa kalung di leher. Begitupun bahan yang digunakan, bisa berupa akar bahar, logam hingga batu-batuan.
sejak berabad-abad berbagai batuan diharapkan memiliki kemampuan penyembuhan dan kekuatan mistik yang memiliki modus bermacam-macam hingga saat ini agar dipercaya keampuhannya.
KASUS I, Didunia perdukunan, sugesti itu dibangun dengan dongeng reakaan, bahwa gelang itu berisi bermacam-macam jin.
KASUS II, Manusia moderen tidak tertarik dengan hal dunia perjinan sehingga mereka beralih dengan istilah gelombang elektromagnetik, energi titik nol, efek placebo, BERFIKIR BERHARAP (wishful thinking) dan label ‘ilmiah” lainnya.
Gelang kesembuhan dari dukun, sudah jelas dimengerti kesyirikannya bagaimana dengan kasus yang kedua?
Jawab : Memang ada syariat untuk berobat kepada sesuatu yang bisa dibuktikan secara ilmiah, sebagaimana pengobatan secara medis, bekam, herbal dan semisalnya. dikasus kedua sulit untuk dimengerti oleh orang-orang yang tidak bergerak dibidang tersebut, walaupun mereka sudah membuktikannya secara ilmiah tapi tetap saja abstrak untuk dikomentari, dan bukan karena penjelasan itu mudah dipahami. CELAKAnya, celah ini ditangkap sebagai peluang bagi para produsen, dan orang-orangpun pasrah dengan klaim ilmiah itu.
Kasus yag masih Hangat, gelang Power Balance yang selama ini diklaim secara ilmiah memiliki khasiat ekstra tenaga, keseimbangan, dan fleksibilitas bagi penggunanya dinyatakan palsu oleh Badan Pengawas Konsumen Australia (ACCC) mereka juga sempat memerintahkan menarik semua produk itu karena para pemakai merasa jika memakai gelang penyakitnya sembuh tetapi jika gelang tersebut dilepas maka penyakitnya kembali sehingga timbul ketergantungan terhadap gelang tersebut.
Ringkasnya, ini memang wilayah abu-abu, Ada baiknya kita WASPADA, bukan karena takut tertipu dengan harga mahal, tapi takut jika keyakinan ternoda. Bukankah Nabi menyuruh menanggalkan gelang itu diklaim bisa mencegah penyakit ? woullohu allam
Jika orang yang mengenakan kalung jimat dan sejenisnya percaya bahwa kalung itu sendiri menimbulkan suatu pengaruh, berarti ia seorang yang musyrik dengan kemusyrikan yang besar dalam TAUHID RUBUBIYAH
-  Syarah Kitab Tauhid – Syaikh Muhammad Al-Utsaimin
-  Majalah Islam ar-Risalah (Edisi 116)


source: jihadsabili.wordpress.com