Apakah boleh SHALAWAT DIIRINGI REBANA?
Pertanyaan.
Ana ingin menanyakan masalah amaliyah yang membingungkan, yaitu masalah
shalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
1. Apakah shalawat ini banyak macamnya?
2. Bagaimana cara mengamalkan shalawat yang benar berdasarkan sunnah
Rasulullah? Apakah dilakukan sendiri atau berjama'ah, dengan suara keras
atau sirr (pelan)?
3. Bolehkah sambil diiringi rebana (alat musik)?
[Abdullah S.Aga. Kota Kembang, Jawa Barat]
Jawaban.
Alhamdulillah, sebelum menjawab pertanyaan saudara Abdullah S.Aga, kami
ingin menyampaikan, bahwa amal ibadah akan diterima oleh Allah jika
memenuhi syarat-syarat diterimanya ibadah. Yaitu ibadah itu dilakukan
oleh orang yang beriman, dengan ikhlas dan sesuai Sunnah (ajaran) Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Akan tetapi pada zaman ini, alangkah banyaknya orang yang tidak
memperdulikan syarat-syarat di atas. Maka pertanyaan yang saudara ajukan
ini merupakan suatu langkah kepedulian terhadap Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu
memberi taufiq kepada kita di atas jalan yang lurus.
Perlu kami sampaikan, bahwasannya shalawat kepada Nabi merupakan salah
satu bentuk ibadah yang agung. Tetapi banyak sekali penyimpangan dan
bid'ah yang dilakukan banyak orang seputar shalawat Nabi. Berikut ini
jawaban kami terhadap pertanyaan saudara.
1. Shalawat Nabi memang banyak macamnya. Namun secara global dapat dibagi menjadi dua.
a. Shalawat Yang Disyari'atkan.
Yaitu shalawat yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada para sahabatnya. Bentuk shalawat ini ada beberapa macam.
Syaikh Al Albani rahimahullah dalam kitab Shifat Shalat Nabi menyebutkan
ada tujuh bentuk shalawat dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ustadz Abdul Hakim bin Amir bin Abdat hafizhahullah
di dalam kitab beliau, Sifat Shalawat & Salam, membawakan delapan
riwayat tentang sifat shalawat Nabi.
Di antara bentuk shalawat yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah :
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ
عَلَى (إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى) آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
اللَّهُمَّ بَارِكْ (فِي رِوَايَةٍ: وَ بَارِكْ) عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى
آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى (إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى) آلِ
إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
(Allahumma shalli 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad, kamaa shallaita
'ala Ibrahim wa 'ala aali Ibrahim, innaKa Hamidum Majid. Allahumma barik
(dalam satu riwayat, wa barik, tanpa Allahumma) 'ala Muhammad wa 'ala
ali Muhammad, kama barakta 'ala Ibrahim wa 'ala ali Ibrahim, innaKa
Hamiidum Majid).
Ya, Allah. Berilah (yakni, tambahkanlah) shalawat (sanjungan) kepada
Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi
shalawat kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau
Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia. Ya, Allah. Berilah berkah (tambahan
kebaikan) kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana
Engkau telah memberi berkah kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim,
sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia. [HR Bukhari, Muslim,
dan lainnya. Lihat Shifat Shalat Nabi, hlm. 165-166, karya Al Albani,
Maktabah Al Ma'arif].
Dan termasuk shalawat yang disyari'atkan, yaitu shalawat yang biasa diucapkan dan ditulis oleh Salafush Shalih.
Syaikh Abdul Muhshin bin Hamd Al 'Abbad hafizhahullah berkata, ”Salafush
Shalih, termasuk para ahli hadits, telah biasa menyebut shalawat dan
salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebut (nama)
beliau, dengan dua bentuk yang ringkas, yaitu:
صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ (shalallahu 'alaihi wa sallam) dan
عَلَيْهِ الصّلاَةُ وَالسَّلاَمُ ('alaihish shalaatu was salaam).
Alhamdulillah, kedua bentuk ini memenuhi kitab-kitab hadits. Bahkan
mereka menulis wasiat-wasiat di dalam karya-karya mereka untuk menjaga
hal tersebut dengan bentuk yang sempurna. Yaitu menggabungkan antara
shalawat dan permohonan salam atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
[Fadh-lush Shalah 'Alan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hlm. 15,
karya Syaikh Abdul Muhshin bin Hamd Al 'Abbad]
b. Shalawat Yang Tidak Disyari'atkan.
Yaitu shalawat yang datang dari hadits-hadits dha'if (lemah), sangat
dha'if, maudhu' (palsu), atau tidak ada asalnya. Demikian juga shalawat
yang dibuat-buat (umumnya oleh Ahli Bid'ah), kemudian mereka tetapkan
dengan nama shalawat ini atau shalawat itu. Shalawat seperti ini banyak
sekali jumlahnya, bahkan sampai ratusan. Contohnya, berbagai shalawat
yang ada dalam kitab Dalailul Khairat Wa Syawariqul Anwar Fi Dzikrish
Shalah 'Ala Nabiyil Mukhtar, karya Al Jazuli (wafat th. 854H). Di antara
shalawat bid'ah ini ialah shalawat Basyisyiyah, shalawat Nariyah,
shalawat Fatih, dan lain-lain. Termasuk musibah, bahwa sebagian shalawat
bid'ah itu mengandung kesyirikan. [1]
2. Cara mengamalkan shalawat yang benar berdasarkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai berikut:
a. Shalawat yang dibaca adalah shalawat yang disyari'atkan, karena
shalawat termasuk dzikir, dan dzikir termasuk ibadah. Bukan shalawat
bid'ah, karena seluruh bid'ah adalah kesesatan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Dzikir-dzikir dan
do’a-do’a termasuk ibadah-ibadah yang paling utama. Sedangkan ibadah
dibangun di atas ittiba' (mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam ). Tidak seorangpun berhak men-sunnah-kan dari
dzikir-dzikir dan do’a-do’a yang tidak disunnahkan (oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam), lalu menjadikannya sebagai kebiasaan
yang rutin, dan orang-orang selalu melaksanakannya. Semacam itu termasuk
membuat-buat perkara baru dalam agama yang tidak diizinkan Allah.
Berbeda dengan do’a, yang kadang-kadang seseorang berdo’a dengannya dan
tidak menjadikannya sebagai sunnah (kebiasaan).” [Dinukil dari Fiqhul
Ad'iyah Wal Adzkar, 2/49, karya Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhshin Al
Badr].
b. Memperbanyak membaca shalawat di setiap waktu dan tempat,
terlebih-lebih pada hari jum'ah, atau pada saat disebut nama Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan lain-lain tempat yang
disebutkan di dalam hadits-hadits yang shahih.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا
Barangsiapa memohonkan shalawat atasku sekali, Allah bershalawat atasnya sepuluh kali. [HR Muslim, no. 408, dari Abu Hurairah].
c. Tidak menentukan jumlah, waktu, tempat, atau cara, yang tidak ditentukan oleh syari'at.
Seperti menentukan waktu sebelum beradzan, saat khathib Jum'at duduk antara dua khutbah, dan lain-lain.
d. Dilakukan sendiri-sendiri, tidak secara berjama'ah.
Karena membaca shalawat termasuk dzikir dan termasuk ibadah, sehingga
harus mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan sepanjang
pengetahuan kami, tidak ada dalil yang membenarkan bershalawat dengan
berjama'ah. Karena, jika dilakukan berjama'ah, tentu dibaca dengan
keras, dan ini bertentangan dengan adab dzikir yang diperintahkan Allah,
yaitu dengan pelan.
e. Dengan suara sirr (pelan), tidak keras.
Karena membaca shalawat termasuk dzikir. Sedangkan di antara adab
berdzikir, yaitu dengan suara pelan, kecuali ada dalil yang menunjukkan
(harus) diucapkan dengan keras. Allah berfirman,
وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِفْيَةً وَدُونَ الْجَهْرِ
مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَاْلأَصَالِ وَلاَتَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ
Dan dzikirlah (ingatlah, sebutlah nama) Rabb-mu dalam hatimu dengan
merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di
waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang
lalai. [Al A’raf : 205].
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,”Oleh karena itulah Allah berfirman:
وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ (dan dengan tidak mengeraskan suara),
demikianlah, dzikir itu disukai tidak dengan seruan yang keras
berlebihan.” [Tafsir Ibnu Katsir].
Al Qurthubi rahimahullah berkata,”Ini menunjukkan, bahwa meninggikan
suara dalam berdzikir (adalah) terlarang.” [Tafsir Al Qurthubi, 7/355].
Muhammad Ahmad Lauh berkata,”Di antara sifat-sifat dzikir dan shalawat
yang disyari'atkan, yaitu tidak dengan keras, tidak mengganggu orang
lain, atau mengesankan bahwa (Dzat) yang dituju oleh orang yang
berdzikir dengan dzikirnya (berada di tempat) jauh, sehingga untuk
sampainya membutuhkan dengan mengeraskan suara.” [Taqdisul Asy-khas Fi
Fikrish Shufi, 1/276, karya Muhammad Ahmad Lauh].
Abu Musa Al Asy'ari berkata.
لَمَّا غَزَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَرَ
أَوْ قَالَ لَمَّا تَوَجَّهَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَشْرَفَ النَّاسُ عَلَى وَادٍ فَرَفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ
بِالتَّكْبِيرِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا
غَائِبًا إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا وَهُوَ مَعَكُمْ وَأَنَا
خَلْفَ دَابَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَسَمِعَنِي وَأَنَا أَقُولُ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
فَقَالَ لِي يَا عَبْدَاللَّهِ بْنَ قَيْسٍ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ قَالَ أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى كَلِمَةٍ مِنْ كَنْزٍ مِنْ كُنُوزِ
الْجَنَّةِ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَدَاكَ أَبِي وَأُمِّي قَالَ
لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi atau menuju
Khaibar, orang-orang menaiki lembah, lalu mereka meninggikan suara
dengan takbir: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaaha illa Allah. Maka
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Pelanlah,
sesungguhnya kamu tidaklah menyeru kepada yang tuli dan yang tidak ada.
Sesungguhnya kamu menyeru (Allah) Yang Maha Mendengar dan Maha Dekat,
dan Dia bersama kamu (dengan ilmuNya, pendengaranNya, penglihatanNya,
dan pengawasanNya, Pen.).” Dan saya (Abu Musa) di belakang hewan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau mendengar aku
mengatakan: Laa haula wa laa quwwata illa billah. Kemudian beliau
bersabda kepadaku,”Wahai, Abdullah bin Qais (Abu Musa).” Aku
berkata,”Aku sambut panggilanmu, wahai Rasulullah.” Beliau
bersabda,”Maukah aku tunjukkan kepadamu terhadap satu kalimat, yang
merupakan simpanan di antara simpanan-simpanan surga?" Aku
menjawab,”Tentu, wahai Rasulullah. Bapakku dan ibuku sebagai tebusanmu.”
Beliau bersabda,”Laa haula wa laa quwwata illa billah.” [HR Bukhari,
no. 4205; Muslim, no. 2704].
3. Membaca shalawat tidak boleh sambil diiringi rebana (alat musik),
karena hal ini termasuk bid'ah. Perbuatan ini mirip dengan kebiasaan
yang sering dilakukan oleh orang-orang Shufi. Mereka membaca
qasidah-qasidah atau sya'ir-sya'ir yang dinyanyikan dan diringi dengan
pukulan stik, rebana, atau semacamnya. Mereka menyebutnya dengan istilah
sama' atau taghbiir.
Berikut ini di antara perkataan ulama Ahlus Sunnah yang mengingkari hal tersebut.
Imam Asy Syafi'i berkata,”Di Iraq, aku meninggalkan sesuatu yang
dinamakan taghbiir. [2] (Yaitu) perkara baru yang diada-adakan oleh
Zanadiqah (orang-orang zindiq ; menyimpang), mereka menghalangi manusia
dari Al Qur'an.” [3]
Imam Ahmad ditanya tentang taghbiir, beliau menjawab,”Bid'ah.” [Riwayat
Al Khallal. Dinukil dari kitab Tahrim Alat Ath-Tharb, hlm. 163].
Imam Ath Thurthusi, tokoh ulama Malikiyah dari kota Qurthubah (wafat 520
H); beliau ditanya tentang sekelompok orang (yaitu orang-orang Shufi)
di suatu tempat yang membaca Al Qur'an, lalu seseorang di antara mereka
menyanyikan sya'ir, kemudian mereka menari dan bergoyang. Mereka memukul
rebana dan memainkan seruling. Apakah menghadiri mereka itu halal atau
tidak? (Ditanya seperti itu) beliau menjawab,”Jalan orang-orang Shufi
adalah batil dan sesat. Islam itu hanyalah kitab Allah dan Sunnah
RasulNya. Adapun menari dan pura-pura menampakkan cinta (kepada Allah),
maka yang pertama kali mengada-adakan adalah kawan-kawan Samiri (pada
zaman Nabi Musa). Yaitu ketika Samiri membuatkan patung anak sapi yang
bisa bersuara untuk mereka, lalu mereka datang menari di sekitarnya dan
berpura-pura menampakkan cinta (kepada Allah). Tarian itu adalah agama
orang-orang kafir dan para penyembah anak sapi. Adapun majelis
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya penuh
ketenangan, seolah-olah di atas kepala mereka dihinggapi burung. Maka
seharusnya penguasa dan wakil-wakilnya melarang mereka menghadiri
masjid-masjid dan lainnya (untuk menyanyi dan menari, Pen). Dan bagi
seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tidaklah halal
menghadiri mereka. Tidak halal membantu mereka melakukan kebatilan.
Demikian ini jalan yang ditempuh (Imam) Malik, Asy Syafi'i, Abu Hanifah,
Ahmad dan lainnya dari kalangan imam-imam kaum muslimin.” [Dinukil dari
kitab Tahrim Alat Ath-Tharb, hlm. 168-169]
Imam Al Hafizh Ibnu Ash Shalaah, imam terkenal penulis kitab Muqaddimah
'Ulumil Hadits (wafat th. 643 H); beliau ditanya tentang orang-orang
yang menghalalkan nyanyian dengan rebana dan seruling, dengan tarian dan
tepuk-tangan. Dan mereka menganggapnya sebagai perkara halal dan qurbah
(perkara yang mendekatkan diri kepada Allah), bahkan (katanya sebagai)
ibadah yang paling utama. Maka beliau menjawab: Mereka telah berdusta
atas nama Allah Ta'ala. Dengan pendapat tersebut, mereka telah
mengiringi orang-orang kebatinan yang menyimpang. Mereka juga
menyelisihi ijma'. Barangsiapa yang menyelisihi ijma', (ia) terkena
ancaman firman Allah:
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَاتَوَلَّى
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya.
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan
ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali.
[An Nisa:115] [4]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Dan telah diketahui
secara pasti dari agama Islam, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak mensyari'atkan kepada orang-orang shalih dan para ahli ibadah dari
umat beliau, agar mereka berkumpul dan mendengarkan bait-bait yang
dilagukan dengan tepuk tapak-tangan, atau pukulan dengan kayu (stik),
atau rebana. Sebagaimana beliau tidak membolehkan bagi seorangpun untuk
tidak mengikuti beliau, atau tidak mengikuti apa yang ada pada Al Kitab
dan Al Hikmah (As Sunnah). Beliau tidak membolehkan, baik dalam perkara
batin, perkara lahir, untuk orang awam, atau untuk orang tertentu.” [5]
Demikianlah penjelasan kami, semoga menghilangkan kebingungan saudara.
Alhamdulillah Rabbil 'alamin, washalatu wassalaamu 'ala Muhammad wa 'ala
ahlihi wa shahbihi ajma'in.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun VII/1420H/1999M
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.
8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Lihat Mu'jamul Bida', hlm. 345-346, karya Syaikh Raid bin Shabri
bin Abi ‘Ulfah; Fadh-lush Shalah 'Alan Nabi n , hlm. 20-24, karya Syaikh
Abdul Muhshin bin Hamd Al 'Abbad; Minhaj Al Firqah An Najiyah, hlm.
116-122, karya Syaikh Muhammad Jamil Zainu; Sifat Shalawat & Salam
Kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hlm. 72-73, karya Ustadz
Abdul Hakim bin Amir bin Abdat
[2]. Sejenis sya'ir berisi anjuran untuk zuhud di dunia yang dinyanyikan
oleh orang-orang Shufi, dan sebagian hadirin memukul-mukulkan kayu pada
bantal atau kulit sesuai dengan irama lagunya
[3]. Riwayat Ibnul Jauzi, dalam Talbis Iblis; Al Khallal dalam Amar
Ma'ruf, hlm. 36; dan Abu Nu'aim dalam Al Hilyah, 9/146. Dinukil dari
kitab Tahrim Alat Ath-Tharb, hlm. 163.
[4]. Fatawa Ibnu Ash Shalah, 300-301. Dinukil dari kitab Tahrim Alat Ath-Tharb, hlm. 169
[5]. Majmu' Fatawa, 11/565. Dinukil dari kitab Tahrim Alat Ath-Tharb, hlm. 165
source: almanhaj.or.id