Latest Updates

Perempuan Muslimah Menikah Dengan Lelaki Kafir (Non Muslim)

Perempuan Muslimah Menikah Dengan Lelaki Kafir (Non Muslim)
Sering sekali muncul pertanyaan seputar: “Kenapa Islam memperbolehkan lelaki muslim menikah dengan perempuan non muslimah, namun tidak memperbolehkan perempuan muslimah dinikahi oleh lelaki non muslim?”
Untuk menjawab pertanyaan di atas butuh sedikit penjelasan yang lebih detail. Hal pertama yang perlu kita ketahui di dalam masalah ini adalah bahwa Islam telah mengharamkan seorang lelaki muslim menikah dengan seorang perempuan yang tidak beriman kepada Allah atau dengan seorang perempuan yang menganut faham paganis (penyembah berhala).
Demikian pula, Islam mengharamkan perempuan muslimah menikah dengan seorang lelaki yang tidak beriman kepada Allah atau dengan lelaki penyembah berhala. Yang demikian itu karena akidah seorang muslim itu tidak menghormati kepercayaan dan keyakinan orang-orang kafir ataupun hal-hal yang dipandng suci oleh orang-orang musyrik.
Sedangkan Islam mengupayakan agar kehidupan suami-istri itu dibangun di atas dasar rasa cinta, saling mengormati dan keharmonisan. Dasar kehidupan seperti ini tidak akan terwujud dengan adanya perbedaan yang cukup besar di dalam kepercayaan-kepercayaan ideologis dan tidak akan tercapai dengan adanya kemustahilan adanya titik temu tentang ideologi dalam rangka merealisasikan kebahagiaan berumah-tangga.
Hal lain lagi, adalah bahwasanya ketika seorang muslim terikat dengan seorang perempuan penyembah berhala (paganis) atau kafir, atau seorang perempuan muslimah terikat dengan seorang suami kafir atau penyembah berhala bisa terpengaruh dengan aqidah batilnya karena rasa kasih-sayang di antara keduanya sebagai pasangan suami-istri, maka akibatnya adalah penyimpangan dari agama yang shahih (benar) menjadi penganut aqidah palsu (batil) atau kepercayaan yang sesat. Maka dari itu Islam mengharamkan pernikahan seorang muslim atau muslimah dengan orang yang berbeda agama (kafir atau musyrik).
Setelah kita ketahui pandangan Islam dalam pengharaman pernikahan seperti itu, kita temukan pula bahwa Islam mengharamkan perempuan muslimah menikah dengan dengan lelaki yahudi atau nasrani. Sebabnya adalah bahwa masing-masing si yahudi maupun si nasrani itu tidak beriman kepada Islam, tidak beriman kepada Al-Qur’an dan tidak pula mengakui bahwa Muhammad adalah utusan Allah; dan dari sinilah muncul perselisihan dan pertikaian, maka terputuslah ikatan pernikahan, di samping sang suami mempunyai pengaruh terhadap keyakinan (aqidah) istrinya karena posisinya sebagai kepala rumah tangga dan karena perasaan lemah sang istri di hadapan suami adalah merupakan sesuatu yang dapat menyebabkan istri berpindah agama, dari agama yang shahih ke agama yang telah dinodai penyimpangan dan perubahan. Hal lain lagi adalah bahawasanya Allah Subhaanahu Wata'ala telah menghargai dan memuliakan perempuan muslimah dengan Islam, maka sangat tidak pantas kalau ia berada di bawah kekuasaan seorang lelaki kafir yang melecehkan aqidah dan menoreh kehormatannya.
Sekalipun Islam telah mengharamkan pernikahan seperti itu, namun ia membolehkan kepada lelaki muslim menikahi perempuan yahudi atau nasrani. Sebabnya adalah bahwa seorang lelaki muslim itu menghormati Nabi Musa dan Nabi Isa ‘alaihis salam, serta beriman bahwa keduanya adalah utusan Allah (Rasul-Nya), maka dari sisi ini sang istri tidak merasakan adanya sesuatu yang membuatnya tidak suka terhadap suaminya, sekalipun berbeda agama, apabila ia masih ingin tetap bersamanya dengan tetap pada agamanya. Islam juga memberikan kesempatan luas kepada si istri untuk mengenal Islam lebih jauh, yang barang kali dengan cara itu ia dapat terbimbing untuk masuk Islam secara suka rela, sehingga pernikahan seperti itu dapat menjadi penyelamat baginya daripada tetap menganut agama yang telah ternodai oleh tahrif (perubahan dan manipulasi manusia).
Bagikan

Dengan Apa Zina Dapat Dipastikan?

Dengan Apa Zina Dapat Dipastikan?
Sesungguhnya agama Islam tidak memerintahkan hukuman perbuatan zina itu dijatuhkan sebelum terpenuhinya salah satu dari dua hal:

  • Pengakuan pelaku secara sukarela dan tidak ada pemaksaan dalam melakukan perbuatan nista itu, (pengakuan itu) didorong oleh keinginan besar untuk mensucikan diri dari dosa. Pengakuan secara sukarela seperti itu hampir dipastikan mustahil akan terjadi pada zaman sekarang, karena iman yang mampu membangkitkan seseorang untuk sanggup menahan perihnya deraan atau rajaman dalam rangka mensucikan diri dari dosa yang ia lakukan, (iman seperti) itu hampir tidak ada.

  • Peristiwa terjadinya perzinaan disaksikan oleh empat orang muslim yang adil, mereka semua menyaksikan secara pasti dan benar-benar melihat langsung paraktek hubungan seks yang dilakukan oleh dua lawan jenis (laki-laki dan perempuan). Hal ini juga merupakan perkara yang tidak mudah direalisasikan. Maka dari itulah, tindakan gegabah dengan memvonis dalam masalah tersebut tidak dikehendaki (tidak dibenarkan), dan bisa jadi secara sepihak ada yang mengatakan “hukuman (sanksi) pidana zina itu sangat sadis.” Untuk menanggapi tuduhan seperti itu kita katakan, sesungguhnya Allah Subhaanahu Wata'ala yang telah menciptakan manusia dan menentukan hukuman-hukuman seperti itu lebih mengetahui kemaslahatan mereka daripada manusia, (lebih mengetahui) kebaikan dan manfa’at di balik hukuman itu yang akan kembali kepada mereka sendiri. Kalaulah hukuman itu dipandang keras atau sadis, maka sesungguhnya hal tersebut demi keamanan dan keselamatan masyarakat dari meluasnya suatu kriminalitas (tindak kejahatan zina) yang mengancam eksistensi kehormatan dan kesucian moral.
Sesungguhnya semua hukuman, apakah yang berasal dari perintah Allah ataupun berasal dari ide manusia pasti mengandung unsur menyakiti fisik atau jiwa, dan jika tidak begitu maka tidak dapat disebut hukuman. Sanksi atau hukuman setiap tindak kejahatan itu berbeda, tergantung kepada besar dan bahayanya tindak kejahatan itu. Allah Subhaanahu Wata'ala Yang Maha Kuasa yang menetapkan hukuman perbutan zina, bahwa hukuman zina ghair muhshan (pelakunya masih berstatus bujangan) lebih ringan daripada hukuman zina muhshan (pelakunya sudah menikah), yaitu bagi pelaku zina ghair muhshan hukuman dera 100 cambukan. Hukuman seperti itu adalah hukuman setimpal dengan perbuatan, karena Allah telah menjatuhkan kepada sekujur tubuh yang telah menikmati suatu kelezatan haram hukuman perih untuknya, supaya orang itu berfikir kembali di saat nafsunya berbisik kepadanya untuk melakukan kembali kenikmatan haram itu, berfikir akan kepedihan yang akan ia terima sesudah kelezatan haram tersebut. Maka dengan cara itu ia tidak jadi melakukan kembali tindak kejahatan nista itu lagi.
Kesaksian sekelompok kaum beriman dalam pelaksanaan hukuman zina terhadap pelaku itu menambah si terpidana makin lebih jera untuk mengulangi perbuatannya, dan sekaligus sebagai pelajaran bagi yang lain untuk tidak terjerumus ke dalam perbuatan keji yang diharamkan Allah Subhaanahu Wata'ala itu.
Allah Yang Maha Agung lagi Maha Kuasa, tatkala meringankan hukuman bagi pelaku zina ghair muhshan yang mungkin ia terlanjur melakukannya karena pengaruh dahsyat yang mendorongnya untuk mengetahui sesuatu yang belum pernah ia ketahui, maka Allah memperberat hukuman terhadap pezina muhshan yang telah biasa dan sudah melakukannya (secara sah).
Rahasia di balik hukuman keras terhadap pezina muhshan itu, sebagaimana penulis ketahui, ialah bahwa si muhshan telah mempunyai pengalaman berhubungan seks (secara sah), tentu ia tidak akan melakukan perbuatan keji yang telah ia ketahui bahwa Allah telah mengharamkannya kecuali memang dirinya telah mempunyai kesiapan (tabiat) untuk terus melakukannya. Ini sudah barang tentu, akan makin mendorong tumbuh-kembangnya kekejian (perzinaan) itu. Maka, demi bersihnya masyarakat dari salah seorang anggotanya yang rusak, yang sulit untuk diperbaiki, maka hukumannnya adalah hukuman mati dengan cara rajam, melemparinya dengan batu hingga mati. Dan hukuman ini sudah terbukti efektifitasnya semenjak ditetapkan oleh Islam.
Sudah tidak diragukan lagi bahwa menjatuhkan hukuman seperti itu terhadap sejumlah tertentu dari para pelaku kriminal untuk kebaikan masyarakat adalah merupakan keputusan yang sangat bijak.
Bagikan

Kebebasan Memilih dan Menentukan Calon Pendamping Hidup

Kebebasan Memilih dan Menentukan Calon Pendamping Hidup
Ibnu Majah, Ahmad dan Nasa’i telah meriwayatkan dari riwayat Abdullah bin Buraidah yang bersumber dari ayahnya. Ayahnya menuturkan: “Pernah ada seorang putri remaja datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Sesungguhnya ayahku telah menikahkan aku dengan putra saudaranya dengan maksud ingin menghilangkan rasa hinanya.” Ia menuturkan: Maka Rasulullah memberikan kebebasan untuk memilih kepada perempuan itu, lalu perempuan itu berkata, “Sesungguhnya aku rela menerima apa yang telah diperbuat oleh ayahku, akan tetapi aku ingin mengajarkan kepada sekalian kaum perempuan, bahwa ayah tidak mempunyai hak sedikit pun (untuk memaksa putrinya).”
Jika seorang ayah saja tidak diperbolehkan menikahkan putrinya dengan lelaki yang tidak ia sukai, maka apa lagi orang lain selain ayahnya!
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu juga meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
اَلثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا، وَاْلبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا.
“Perempuan janda itu lebih berhak (menentukan pilihannya) daripada walinya, sedangkan perempuan gadis dimintai persetujuan, dan tanda persetujuannya adalah diam.”
Di dalam dua hadits di atas terdapat dalil yang sangat jelas sekali bahwa seorang gadis tidak boleh dipaksa menikah dengan orang yang tidak ia suka. Adapun perempuan janda, maka sudah jelas sekali, bahwa ia benar-benar mempunyai hak penuh untuk menolak atau menerima. Tak ada seorang pun, termasuk ayahnya sendiri, yang boleh memaksanya menikah dengan orang yang tidak ia suka. Seorang gadis pun mempunyai hak penuh untuk menyatakan pendapatnya, menerima atau menolak. Orang tua, termasuk sang ayah tidak mempunyai hak kecuali bermusyawarah dan memberikan masukan pendapat kepada putrinya pada fase pertama dari fase-fase kehidupannya, barangkali karena keawaman putrinya terhadap beberapa aspek penting tentang kehidupan ini yang belum ia ketahui, dan ia juga belum pernah memasuki fase percobaan di dalam hubungan bersuami-istri. Maka fungsi wali berperan sebagai pembimbing dan pemberi nasihat yang ia pandang dapat menjadi kebaikan putrinya. Ketika Islam memberikan kebebasan kepada perempuan untuk memilih calon pendamping hidupnya, sebenarnya mempunyai beberapa sasaran, yaitu:
Pertama, mengakui harga dan martabat perempuan; dia bukan barang dagangan yang bisa diperlakukan sekehendak sang wali.
Kedua, agar terjadi keharmonisan yang merupakan fundamen penting untuk mencapai kebagian berumah-tangga apabila pernikahan itu dilaksanakan berdasarkan pilihan dan kesepakatan dari pihak perempuan.
Ketiga, Sesungguhnya tindakan pemaksaan terhadap sesuatu yang bertentangan dengan kemauan seseorang, secara pasti dapat menyebabkan timbulnya berbagai problem. Ketika seorang perempuan dipaksa untuk hidup bersama seorang suami yang tidak mendapat rasa cinta di dalam hatinya, maka itu berarti kegagalan untuk memperoleh kehidupan yang dikehendaki oleh Islam di mana ia telah menetapkan batasan-batasan dan aturan-aturan agar bisa dibangun di atas fundamen-fundamen kokoh, seperti rasa cinta, ketenangan dan ketentraman. Dan yang demikian itu tidak bisa diwujudkan dengan pemaksaan.
Bagikan