Latest Updates

Syarat Sah Wudhu dan Rukunnya

Syarat Sah Wudhu dan Rukunnya
Syarat-syarat Sah Wudhu’
1. Niat, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam :
(( إنما الأعمال بالنيات ))
“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya.” [Muttafaq ‘alaih].
Tidak disyari’atkan melafadzkan niat karena tidak adanya dalil yang tetap (shahih) dari Nabi Muhammad shallallahu 'alahi wasallam yang menunjukkan hal tersebut.
2. at-Tasmiyah (menyebut nama Allah), berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam :
(( لا صلاة لمن لا وضوء له، ولا وضوء لمن لم يذكر اسم الله عليه ))
“Tidak ada (tidak sah) shalat bagi orang yang tidak berwudhu’, dan tidak ada (tidak sah) wudhu’ bagi orang yang tidak menyebut nama Allah.” [Hadits hasan riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah].
3. al-Muwaalaah (berturut-turut/bersambung), berdasarkan hadits Khalid bin Ma’dan, bahwa Nabi shallallahu 'alahi wasallam melihat seseorang yang shalat, sedangkan di punggung kakinya ada bagian sebesar uang dirham yang tidak terbasuh air, maka Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam memerintahkannya untuk mengulang wudhu’ dan shalatnya. [Hadits shahih riwayat Abu Dawud]

Fardhu-fardhu Wudhu’
1. Membasuh muka, tercakup di dalamnya berkumur-kumur dan istinsyaaq (memasukkan air ke hidung).
2. Membasuh kedua tangan sampai kedua siku.
3. Mengusap kepala seluruhnya (termasuk kedua telinga), karena kedua telinga termasuk bagian dari kepala.
4. Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki.
Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wata'aala :
{ ياأيها الذين ءَامَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصلاة فاغسلوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى المرافق وامسحوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الكعبين }
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” [Surat al-Maaidah : 6]
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa berkumur-kumur dan istinsyaaq (memasukkan air ke hidung) termasuk bagian dari membasuh muka sehingga wajib dilakukan adalah perintah Allah subhanahu wata'aala di dalam kitab-Nya yang mulia untuk membasuh muka, dan telah tetap dari Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam bahwasannya beliau senantiasa berkumur-kumur dan istinsyaaq setiap kali berwudhu’, dan semua orang yang meriwayatkan hadits tentang tata cara wudhu’ Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam menyebutkan hal ini. Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa membasuh muka yang diperintahkan dalam al-Qur’an mencakup berkumur-kumur dan istinsyaaq. [Sailul Jarrar]
Bahkan Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam sendiri telah memerintahkan hal tersebut dalam sabdanya,
(( إذا توضأ أحدكم فليجعل في أنفه ماء، ثم ليستنثر ))
“Apabila salah seorang diantara kalian berwudhu’, maka hendaklah ia memasukkan air ke hidungnya kemudian mengeluarkannya.” [Hadits shahih riwayat Abu Dawud dan an-Nasa’i],
dan juga sabdanya,
(( وبالغ في الاستنشاق، إلا أن تكون صائما ))
“Bersungguh-sungguhlah dalam ber-istinsyaaq, kecuali apabila kamu sedang berpuasa.” [Hadits shahih riwayat Abu Dawud]
Dan juga sabdanya,
(( إذا توضأت فمضمض ))
“Apabila kamu berwudhu’ maka berkumur-kumurlah.” [Hadits shahih riwayat Abu Dawud].
Adapun kewajiban mengusap seluruh kepala, dalilnya adalah bahwa perintah dalam al-Qur’an untuk mengusap kepala bersifat global, maka perinciannya harus dikembalikan kepada sunnah Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam, dan telah tetap dari Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan lainnya bahwa Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam mengusap seluruh kepalanya, hal ini menunjukkan wajibnya mengusap kepala secara sempurna.
Apabila ada yang berkata : “Bukankah telah shahih dari hadits al-Mughirah bahwa Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam mengusap ubun-ubun dan sorbannya ?
Jawabannya : Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam mencukupkan dengan mengusap ubun-ubunnya, karena beliau menyempurnakan pengusapan bagian kepala yang lain dengan mengusap sorbannya, dan kami juga berpendapat bahwa hal tersebut boleh dilakukan, akan tetapi hadits al-Mughirah tidaklah menunjukkan kebolehan mencukupkan pengusapan ubun-ubun saja atau hanya sebagian kepala saja tanpa menyempurnakannya dengan mengusap sorban.
Kesimpulannya, mengusap seluruh kepala hukumnya wajib. Dan boleh bagi seseorang untuk mengusap kepalanya saja, atau mengusap sorbannya saja, atau mengusap keduanya, karena adanya dalil yang shahih yang menunjukkan hal tersebut.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa kedua telinga termasuk bagian dari kepala yang harus diusap adalah sabdanya :
(( الأذنان من الرأس ))
“Kedua telinga adalah bagian dari kepala.” [Hadits shahih riwayat Imam Ibnu Majah].
5. Menyela-nyela jenggot dengan air, berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam apabila berwudhu’ beliau mengambil air dengan telapak tangannya, kemudian menyela-nyelai jenggotnya dengan air tersebut dan berkata :
(( هكذا أمرني ربي عز وجل ))
"Beginilah Allah memerintahkanku.” [Hadits shahih riwayat Abu Dawud dan al-Baihaqi]
6. Menyela-nyela jari-jemari kedua tangan dan kaki dengan air, berdasarkan sabdanya :
(( أسبغ الوضوء، وخلل بين الأصابع، وبالغ في الاستنشاق، إلا أن تكون صائما ))
“Sempurnakanlah wudhu’, sela-selailah jari-jemari dan bersungguh-sungguhlah dalam ber-istinsyaaq kecuali apabila kamu sedang berpuasa.” [Hadits shahih riwayat Abu Dawud]
(Sumber : Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz) 
Bagikan

Istihadhah dan Hukum-Hukumnya

Istihadhah dan Hukum-Hukumnya
Makna Istihadhah

Istihadhah ialah keluarnya darah terus menerus pada seorang wanita tanpa henti sama sekali atau berhenti sebentar sehari atau dua hari dalam sebulan.

Kondisi wanita mustahadhah

1.
Sebelum mengalami istihadhah, dia mempunyai haid yang jelas waktunya. Dalam kodisi ini hendaklah dia berpedoman kepada jadwal haidnya yang telah diketahui sebelumnya. Maka pada masa itu dihitung sebagai haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Adapun selain masa tersebut merupakan istihadhah yang berlaku baginya hukum-hukum istihadhah.

Misalnya, seorang wanita biasanya haid selama enam hari pada setiap awal bulan, tiba-tiba mengalami istihadhah dan darahnya keluar terus menerus. Maka masa haidnya dihitung enam hari pada setiap awal bulan, sedang selainnya merupakan istihadhah. Berdasarkan hadits Aisyah bahwa Fatimah binti Abi Hubaisy bertanya kepada Nabi saw,

يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّي أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ الصَّلاَةَ ؟ قَالَ : لاَ إِنَّ ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَكِنْ دَعِي الصَّلاَةَ قَدْرَ الأَيَّامَ الَّتِي كُنْتِ تَحِيْضِيْنَ فِيْهَا ثُمَّ اغْتَسِلِي وَصَلِّي .

“Ya Rasulullah, sungguh aku mengalami istihadhah maka tidak pernah suci, apakah aku meninggalkan shalat?” Nabi saw menjawab, “Tidak, itu adalah darah penyakit. Namun tinggalkanlah shalat sebanyak hari yang biasanya kamu haid sebelum itu, kemudian mandilah dan lakukan shalat.” (HR. Al-Bukhari).

2. Tidak mempunyai haid yang jelas waktunya sebelum mengalami istihadhah, karena istihadhah tersebut terus menerus terjadi padanya mulai dari saat pertama kali dia mendapatkan darah. Dalam kondisi ini hendaknya dia melakukan tamyiz (pembedaan), seperti jika darahnya berwarna hitam, atau kental, atau berbau maka yang terjadi adalah haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Dan jika tidak demikian, yang terjadi adalah istihadhah dan berlaku baginya hukum-hukum istihadhah.

Misalnya, seorang wanita pada saat pertama kali mendapat darah dan darah itu keluar terus menerus, akan tetapi ia dapati selama sepuluh hari dalam sebulan darahnya berwarna hitam kemudian setelah itu berwarna merah, atau ia dapati selama sepuluh hari dalam sebulan darahnya kental kemudian setelah itu encer, atau ia dapati selama sepuluh hari dalam sebulan berbau darah haid tetapi setelah itu tidak berbau. Maka haidnya yaitu darah yang berwarna hitam (pada kasus pertama), darah kental (pada kasus kedua) dan darah yang berbau (pada kasus ketiga). Sedangkan selain hal tersebut, dianggap sebagai darah istihadhah.
Berdasarkan sabda Nabi saw kepada Fatimah binti Abu Hubaisy:

إِذَا كَانَ دَمُ الحَيْضَةِ فَإِنَّهُ أَسْوَدُ يُعْرَفُ فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِي عَنِ الصَّلاَةِ فَإِذَا كَانَ الآخَرَ فَتَوَضَّئِي وَصَلِّي فَإِنَّمَا هُوَ عِرْقٌ .

“Darah haid yaitu apabila berwarna hitam yang dapat diketahui. Jika demikian maka tinggalkan shalat. Tetapi jika selainnya maka berwudhulah dan lakukan shalat karena itu darah penyakit.” (HR. Abu Dawud, an-Nasa`Abu dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim).

3. Tidak mempunyai haid yang jelas waktunya dan tidak bisa dibedakan secara tepat darahnya. Seperti jika istihadhah yang dialaminya terjadi terus menerus mulai dari saat pertama kali melihat darah sementara darahnya memiliki satu sifat saja atau berubah-ubah dan tidak mungkin dianggap sebagai darah haid. Dalam kondisi ini, hendaklah ia mengambil kebiasaan kaum wanita pada umumnya. Maka masa haidnya adalah enam atau tujuh hari pada setiap bulan dihitung mulai dari saat pertama kali mendapati darah. Sedang selebihnya merupakan istihadhah.

Misalnya seorang wanita saat pertama kali melihat darah pada tanggal lima dan darah itu keluar terus menerus tanpa dapat dibedakan secara tepat mana yang darah haid baik melalui warna ataupun dengan cara lain. Maka haidnya pada setiap bulan dihitung selama enam hari atau tujuh hari dimulai dari tanggal lima tersebut.

Hal ini berdasarkan hadits Hamnah binti Jahsy bahwa ia berkata kepada Nabi saw, “Ya Rasulullah, sungguh aku sedang mengalami istihadhah yang deras sekali. Lalu bagaimana pendapatmu tentangnya karena ia telah menghalangiku shalat dan berpuasa?” Beliau bersabda, “Aku beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas dengan meletakkannya pada farji, karena hal itu dapat menyerap darah.” Hamnah berkata, “Darahnya lebih banyak dari itu.” Nabi saw pun bersabda, “Ini hanyalah salah satu usikan setan. Maka hitunglah haidmu enam atau tujuh hari menurut ilmu Allah Taala, lalu mandilah sampai kamu merasa telah bersih dan suci, kemudian shalatlah selama 24 atau 23 hari, dan puasalah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi. Menurut Ahmad dan at-Tirmidzi hadits ini shahih, sedang menurut al-Bukhari hasan).

Hukum-hukum istihadhah

Dari penjelasan terdahulu, dapat kita mengerti kapan darah itu sebagai darah haid dan kapan sebagai darah istihadhah. Jika yang terjadi adalah darah haid maka berlaku baginya hukum-hukum haid, sedangkan jika yang terjadi darah istihadhah maka yang berlaku pun hukum-hukum istihadhah.

Hukum-hukum haid yang penting telah dijelaskan di muka. Adapun hukum-hukum istihadhah seperti halnya hukum-hukum keadaan suci. Tidak ada perbedaan antara wanita mustahdhah dan wanita suci, kecuali dalam hal-hal berikut:

1. Wanita mustahdhah wajib berwudhu setiap kali hendak shalat. Berdasarkan sabda Nabi saw kepada Fatimah binti Abu Hubaisy.

ثُمَّ تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلاَةٍ .

“Kemudian berwudhulah kamu setiap kali hendak shalat.” (Hr. Al-Bukhari)

Hal itu memberikan pemahaman bahwa wanita mustahadhah tidak berwudhu untuk shalat yang telah tertentu waktunya kecuali jika telah masuk waktunya. Sedangkan shalat yang tidak tertentu waktunya, maka ia berwudhu pada saat hendak melakukannya.

2. Ketika hendak berwudhu, membersihkan sisa-sisa darah dan melekatkan kain dengan kapas (atau pembalut) pada farjinya untuk mencegah keluarnya darah. Berdasarkan sabda Nabi saw kepada Hamnah.
“Aku beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas, karena hal itu dapat menyerap darah.” Hamnah berkata, “Darahnya lebih banyak dari itu.” Nabi bersabda, “Gunakan kain.” Kata Hamnah, “Darahnya masih banyak pula.” Nabi pun bersabda, “Maka pakailah penahan.”

Kalaupun masih ada darah yang keluar setelah tindakan tersebut, maka tidak apa-apa hukumnya. Karena sabda Nabi saw kepada Fatimah binti Abu Hubaisy:

اِجْتَنِبِي الصَّلاَةَ أَيَّامَ تَحَيُّضِكِ ثُمَّ اغْتَسِلِي وَتَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلاَةٍ ثُمَّ صَلِّي وَإِنْ قَطَرَ الدَّمُ عَلَى الحَصِيْرِ .

“Tinggalkan shalat selama hari-hari haidmu, kemudian mandilah dan berwudhulah untuk setiap kali shalat, lalu shalatlah meskipun darah menetes di atas alas.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

3. Jima’ (senggama). Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya pada kondisi bila ditinggalkan tidak dikhawatirkan menyebabkan zina. Yang benar adalah boleh secara mutlak. Karena ada banyak wanita, mencapai sepuluh atau lebih, mengalami istihadhah pada zaman nabi, sementara Allah dan rasulNya tidak melarang jima’ dengan mereka. FirmanNya,

“Hendaknya kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid…” (Al-Baqarah: 222).

Ayat ini menunjukkan bahwa di luar keadaan haid, suami tidak wajib menjauhkan diri dari sitri. Kalaupun shalat saja boleh dilakukan wanita mustahadhah maka jima’ pun tentu lebih boleh. Dan tidak benar jima’ wanita mustahadhah dikiaskan dengan jima’ wanita haid, karena keduanya tidak sama, bahkan menurut pendapat para ulama yang menyatakan haram. Sebab, mengkiaskan sesuatu dengan hal yang berbeda adalah tidak sah.

(Rujukan: Darah kebiasaan wanita, Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin).
Bagikan

ADAB BUANG HAJAT 3

ADAB BUANG HAJAT 3
Doa pada saat keluar

الحَمْدُ للهِ الَّذِى أَذْهَبَ عَنِّى الأَذَى وَعَافَانِي .

“Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kotoran dariku dan memberiku keselamatan.”

Doa ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah tetapi dhaif. Di al-Majmu’ Imam an-Nawawi berkata, “Sanadnya dhaif.” Di az-Zawaid, “Rawinya Ismail bin Muslim disepakati ke dhaifannya, hadits dengan lafazh tersebut tidak shahih.”

Sebagian fuqaha menyatakan makruh menghadap rembulan dan matahari pada saat buang hajat dengan alasan keduanya termasuk diyat sebagai tanda kebesaran Allah yang jelas di samping itu pada keduanya terdapat cahaya Allah.

Ibnu Utsaimin menjawab, “Alasan tersebut bertentangan dengan sabda Nabi saw, ‘Jangan menghadap kiblat dan jangan membelakanginya, akan tetapi menghadaplah ke timur dan ke barat’, dan sudah dimaklumi bahwa barangsiapa menghadap ke timur ketika matahari terbit atau ke barat ketika matahari terbenam maka dia menghadap kepadanya sementara Rasulullah saw tidak bersabda, ‘Kecuali jika matahari atau rembulan di hadapan kalian maka jangan lakukan.’ Jadi yang shahih menghadap keduanya tidak makruh karena tidak ada dalil bahkan sebaliknya dalil membolehkan.”

Istinja’ dan istijmar

Jika seseorang selesai buang hajat maka dia boleh memilih satu dari tiga cara berikut untuk mensucikan diri dari najis:

A. Bersuci dengan air.

Dalilnya adalah hadits Anas berkata, “Nabi saw buang hajat maka aku bersama anak seusiaku membawakan untuknya seember air dan tombak pendek lalu beliau beristinja’ dengan air.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Di samping itu air adalah alat terbaik untuk mensucikan dari najis sebagaimana kamu mensucikan najis dari kakimu dengan air, kamu juga mensucikan najis setelah buang hajat.

B. Bersuci dengan batu

Dalilnya adalah sabda Nabi saw dan perbuatannya. Salman berkata, “Rasulullah saw melarang kami beristijmar dengan kurang dari tiga batu.” (HR. Muslim).
Ibnu Mas’ud berkata, “Nabi saw pergi buang hajat beliau memintaku mencari tiga batu, aku datang dengan dua batu dan kotoran hewan beliau menerima dua batu dan membuang kotoran seraya bersabda, ‘Ia kotor.” (HR. al-Bukhari).

C. Bersuci dengan batu kemudian air

Dari segi makna cara ini lebih membersihkan, walaupun tidak ada hadits dari Rasulullah saw. Ada hadits Ibnu Abbas bahwa Nabi saw bertanya kepada penduduk Quba, “Sesungguhnya Allah memuji kalian.” Mereka menjawab, “Kami menggunakan batu dan air.” Hadits ini dhaif, yang shahih tanpa menyebutkan batu.
Ibnu Hajar di Bulughul Maram berkata, “Diriwayatkan oleh al-Bazzar dengan sanad dhaif. Asalnya di Abu Dawud dishaihkan oleh Ibnu Khuzaemah dari hadits Abu Hurairah tanpa menyebut batu.”
Di Taudhih al-Ahkam Ibnu Bassam berkata, “Hadits tersebut shahih tanpa ‘batu’ dhaif dengan ‘batu’.” Kemudian Ibnu Bassam menukil beberapa ucapan ulama di antaranya: an-Nawawi di al-Majmu’ berkata, “Yang ma’ruf dari jalan periwayatan hadits bahwa mereka beristinja dengan air”. Al-Albani berkata, “Yang shahih bahwa ayatnya turun tentang penggunaan air saja sebagaimana dalam hadits Abu Dawud dari Abu Hurairah secara marfu’.

Beberapa hal terkait dengan bersuci dengan batu

A. Bersuci dengan batu tidak sebatas batu akan tetapi yang sama dengannya juga disamakan dengannya seperti kayu, tissu, daun, kertas, tanah yang mengeras dan lain-lain.

B.Syarat benda yang bisa digunakan bersuci

1) Suci, ini berarti yang najis tidak bisa dipakai sebab yang najis tidak mensucikan, dalilnya adalah hadits Ibnu Mas’ud di atas.
2) Membersihkan, ini berarti yang tidak membersihkan tidak bisa dipakai karena maksud dari bersuci adalah membersihkan, dari sini maka Nabi saw melarang istijmar dengan kurang dari tiga batu sebagaimana dalam hadits Salman di atas.
3) Bukan tulang, tidak boleh dipakai karena Nabi saw melarang bersuci dengan tulang. Dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi saw bersabda, “Jangan beristinja’ dengan kotoran dan tulang.” (HR. Muslim). Nabi saw menjelaskan alasannya, “Untuk kalian adalah semua tulang yang disebutkan nama Allah atasnya, kalian mendapatkannya sebagai daging yang melimpah.” (HR. Muslim).
4) Bukan sesuatu yang berharga seperti makanan, buku yang bermanfaat dan sebagainya, karena istijmar dengan tulang dilarang dengan alasan ia adalah makanan jin, dan itu merusak makanannya, maka merusak makanan manusia dengan menggunakannya beristijmar lebih pantas dilarang.
5) Tidak kurang dari tiga batu atau tiga usapan. Dalilnya adalah hadits Salman di atas.

(Rujukan: Al-Majmu’ Imam an-Nawawi, Kifayatul Akhyar Abu Bakar al-Khusaini, asy-Syarhul Mumti’ Ibnu Utsaimin, al-Uddah Abdur Rahman al-Maqdisi, Fatawa Lajnah Daimah, Taudhihul Ahkam Syarah Bulughul al-Maram Abdullah al-Bassam).
Bagikan

ADAB BUANG HAJAT

ADAB BUANG HAJAT
Tidak ada manusia kecuali dia memerlukan makan dan minum untuk kelangsungan hidupnya dan tidak semua yang dimakan dan diminum oleh seseorang dibutuhkah oleh tubuh, ada zat-zat di mana tubuh tidak membutuhkannya sehingga harus dibuang dari tubuh karena keberadaannya di dalam tubuh justru membahayakan. Pembuangan ini dikenal dengan buang hajat. Jadi selama manusia makan selama itu dia akan buang hajat, kebutuhan kepada buang hajat tidak kalah penting dari kebutuhan makan dan minum sebab orang pasti tidak berani makan dan minum kalau dia tahu dirinya tidak bisa buang hajat.

Islam agama yang sempurna, mengatur seluruh aktifitas manusia agar aktifitas tersebut bernilai ibadah yang merupakan tujuan dari keberadaan manusia di muka bumi termasuk buang hajat yang dilakukan dan dibutuhkan oleh setiap orang setiap harinya. Dari sini terlihat keluhuran Islam, bagaimana sebuah kegiatan membuang sesuatu yang kotor dan najis, oleh agama Islam ditata dengan adab-adab tertentu sehingga pelakunya meraih kebaikan dunia dan akhirat.

1. Mengucapkan basmalah sebelum masuk

Hikmahnya, basmalah menutupi aurat dari jin

عَنْ عَلِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّم : " سَتْرُ مَا بَيْنَ الجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ إِذَا دَخَلَ الكَنِيْفَ أَنْ يَقُوْلَ : بِسْمِ اللهِ ."

Dari Ali berkata, Rasulullah saw bersabda, “Penutup antara jin dengan aurat Bani Adam jika dia masuk WC adalah ucapan basmalah.” (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Syaikh Ahmad Syakir berkata, “Kami berpendapat ia hasan kalau tidak shahih.”).

2. Membaca doa yang shahih dari Nabi saw

Dari Anas bahwa apabila Nabi saw hendak masuk tempat buang hajat beliau mengucapkan

اَللهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الخُبُثِ وَالخَبَائِث .

“Ya Allah sesunguhnya aku berlindung kepadaMu dari setan laki-laki dan setan perempuan.” (Muttafaq alaihi).

3. Masuk dengan mendahulukan kaki kiri
Karena kiri untuk yang kotor sedangkan yang kanan untuk sebaliknya.

4. Meninggalkan sesuatu yang tercantum padanya nama Allah di luar, tidak membawanya masuk ke dalam tempat buang hajat demi mensucikan dan menghormati nama Allah.

Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta’ dalam fatwa no. 6915 berkata, “Tidak boleh masuk kamar mandi dengan mambawa mushaf, adapun kaset al-Qur`an begitu pula kitab-kitab ilmu yang padanya terdapat dzikir kepada Allah maka membawanya makruh kecuali jika ada hajat maka tidak makruh.”
Al-Lajnah ad-Daimah: Ketua Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. Wakil: Abdur Razzaq Afifi. Anggota: Abdullah bin Qaud.
Termasuk dalam hal ini adalah hendaknya menghentikan berdzikir begitu masuk.

Al-Lajnah ad-Daimah dalam fatwa no. 1607 berkata,
“Di antara adab Islam adalah hendaknya seseorang berdzikir kepada Allah pada saat hendak masuk WC atau kamar mandi dengan membaca sebelum masuk,

اَللهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الخُبُثِ وَالخَبَائِث .

Dan setelah masuk tidak berdzikir akan tetapi diam, meninggalkannya begitu dia masuk.
Al-Lajnah ad-Daimah. Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. Wakil: Abdur Razzaq Afifi. Anggota: Abdullah bin Qaud.

5. Jika buang hajat di tempat terbuka maka hendaknya memperhatikan

1) Memastikan bebas dari pandangan orang dengan pergi menjauh atau menutup diri dengan sesuatu.
Al-Mughirah berkata, “Aku bersama Nabi saw, lalu beliau hendak buang hajat, beliau pergi menjauh sehingga aku tidak melihatnya.” (HR. Muslim).

2) Menghindari buang hajat di lubang atau pecahan tanah, karena mungkin saja ia adalah tempat bersembunyi hewan berbisa, tidak menutup kemungkinan ia menyengatnya atau mematoknya, mungkin pula ia adalah tempat jin yang mungkin mengganggunya karena ia merasa terganggu oleh buang hajatnya.
Dari Abdullah bin Abbas bahwa Nabi saw melarang kencing di lubang. Qatadah ditanya, mengapa? Dia menjawab, katanya ia tempat tinggal jin. (HR. Abu Dawud dan an-Nasa`i).

3) Menghindari buang hajat di jalan dan tempat teduh yang berguna. Karena hal tersebut mengganggu orang yang lewat dan mengganggu orang yang berteduh.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّم : " اِتَّقُوا اللاَعِنَيْنِ . قَالُوا وَمَا اللاَعِنَانِ ؟ قَالَ : الَّذِي يَتَخَلىَّ فِي طَرِيْقِ النَّاسِ أَوْ فِي ظِلِّهِمْ ."

Dari Abu Hurairah berkata Rasulullah saw bersabda, “Hindarilah dua penyebab laknat.” Mereka bertanya, “Apa itu ya Rasulullah.” Rasulullah saw menjawab, “Orang yang buang hajat di jalan atau tempat berteduh.” (HR. Muslim).

4) Menghindari buang hajat dengan menghadap kiblat atau membelakanginya.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه : أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّم قال : " إِذّا جَلَسَ أَحَدُكُمْ إِلىَ حَاجَتِهِ فَلاَ يَسْتَقْبِلِ القِبْلَةَ وَلاَ يَسْتَدْبِرْهَا ."

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Jika salah seorang dari kalian duduk buang hajat maka janganlah dia menghadap dan membelakangi kiblat.” (HR. Muslim).

عَنْ أَبُو أَيُّوب الأَنْصَارِي قال : قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّم : " إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ الغَائِطَ فَلاَ يَسْتَقْبِلْ القِبْلَةَ وَلاَ يُوَلِّهَا ظَهْرَه لَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوْا ."

Dari Abu Ayyub al-Anshari berkata Rasulullah saw bersabda, “Jika salah seorang dari kalian buang hajat maka janganlah dia menghadap ke kiblat dan jangan pula menghadapkan punggungnya kepadanya, akan tetapi hendaknya dia menghadap ke timur atau ke barat.” (Muttafaq alaihi).
Bagikan

ADAB BUANG HAJAT 2

ADAB BUANG HAJAT 2
6. Berdiam di tempat secukupnya, tidak berlama-lama melebihi kebutuhan karena :

1. Hal itu membeber aurat tanpa kebutuhan dan seseorang lebih pantas malu kepada Allah.
2. Tempat buang hajat adalah tempat setan dan jin, maka tidak patut berlama-lama di tempat tersebut.

Memang dalam masalah ini tidak terdapat hadits dari Nabi saw akan tetapi dua alasan di atas tidak keliru.

7. Keluar dengan mendahulukan kaki kiri dan membaca ghufranaka

عَنْ عَائشة رَضِيَ اللهَ عَنْهَا كَانَ النَّبِيَ صلى الله عليه وسلم : إِذَا خَرَجَ مِنَ الغَائِطِ قَالَ غُفْرَانَكَ .

Dari Aisyah bahwa jika Nabi saw keluar dari buang hajat beliau emngucapkan ghufranaka. (HR. Ashab as-Sunan dan Ahmad).

Korelasi ucapan ghufranaka di sini:
Ketika seseorang terbebas dari kotoran jasmani yang jika tidak dikeluarkan akan membahayakan maka dia memohon keringanan dari kotoran dosa sebagaimana Allah telah meringankannya dari kotoran jasmani.

8. Seputar kencing

A. Kencing berdiri

Kencing berdiri boleh leibh-lebih jika ada alasan atau hajat dengan catatan pakaiannya aman dari percikan kencing dan jika dilakukan di tempat terbuka aman dari pandangan orang.

Diriwayatkan di Shahih al-Bukhari dari Hudzaefah bahwa Nabi saw mendatangi pembuangan sampah milik suatu kaum lalu beliau kencing berdiri.
Ini tidak bertentangan dengan hadits Aisyah yang berkata, “Barangsiapa berkata kepadamu bahwa Nabi saw kencing berdiri maka jangan dipercaya, beliau tidak kencing kecuali duduk.” (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Karena Aisyah berkata demikian sebatas pengetahuannya dan di luar pengetahuannya Nabi saw telah kencing berdiri.

B. Tidak memegang kelamin dengan tangan kanan pada saat kencing

Berdasarkan hadits Abu Qatadah, Nabi saw bersabda,

لاَ يَمَسَّنَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ بِيَمِيْنِهِ وَهَُوَ يَبُوْلُ .

“Janganlah salah seorang dari kalian memegang kelaminnya dengan tangan kanannya pada waktu dia kencing.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

C. Mengurut batang kelamin setelah kencing atau menarik-nariknya agar air kencing yang tersisa di saluran keluar

Hal ini dianjurkan oleh sebagian fuqaha berdasarkan hadits Nabi saw,

إِذَا بَالَ أَحَدُكُمْ فَلْيَنْتُرْ ذَكَرَهُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ .

“Apabila salah seorang dari kalian kencing maka hendaknya dia menatur kelaminnya tiga kali.” (HR. Ibnu Majah).

Hanya saja hadits ini dhaif. Ibnu Hajar di Bulughul Maram berkata, “Sanadnya dhaif.” An-Nawawi di al-Majmu’ berkata, “Mereka bersepakat ia dhaif.”
Ibnu Sa’di berkata, “Yang shahih tidak dianjurkan mengurut dan menarik karena haditsnya tidak shahih di samping ia memicu was-was.” Yang dikatakan Ibnu Sa’di inilah yang benar.

9. Berbicara pada saat buang hajat

وعن جابر رضي الله عنه قال : قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّم : " إِذَا تَغَوَّطَ الرَّجُلاَنِ فَلْيَتَوَارَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَنْ صَاحِبِهِ وَلاَ يَتَحَدَّثَا ، فَإِنَّ اللهَ يَمْقُتُ عَلَى ذَلِكَ ."

Dari Jabir berkata Rasulullah saw bersabda, “Jika dua orang sedang buang hajat maka hendaknya masing-masing menutup diri dari temannya dan jangan berbicara karena Allah memurkai hal itu.” (Diriwayatkan oleh Ahmad).

Hadits ini diperselisihkan keshahihannya, al-Hakim menshahihkannya dan disetujui oleh adz-Dzahabi, an-Nawawi di al-Majmu menghasankannya, Ibnu Hajar di Bulughul al-Maram menyatakannya ma’lul sementara al-Albani di ta’liq al-Misykah mendhaifkannya.
Terlepas dari keshahihan hadits dan seandainya kita cenderung kepada pihak yang mendhaifkannya, tetap saja kita katakan bahwa berbicara pada waktu buang hajat tidak patut. Ibnu Utsaimin di asy-Syarh al-Mumti’ berkata, “Yang rajih tidak patut berbicara pada saat buang hajat kecuali jika ada tuntutan sebagaimana yang dikatakan para fuqaha seperti dia mengarahkan seseorang atau ada yang berbicara kepadanya dan dia harus menjawabnya atau dia perlu dengan seseorang dan dia takut orang tersebut pergi atau mencari air, maka tidak mengapa.”

10. Duduk berpijak kepada kaki kiri dan menjulurkan kaki kanan

وعن سُراقة بْن مَالِك رضي الله عنه قال : " عَلّمَنَا صلى الله عليه وسلم فِي الخَلاَءِ أَنْ نَقْعُدَ عَلَى اليُسْرَى وَنَنْصِبَ اليُمْنَى ."

Dari Suraqah bin Malik berkata, “Rasulullah saw mengajarkan kepada kami pada saat buang hajat agar kami duduk bertumpu di atas kaki kiri dan menegakkan kaki kanan.” (HR. al-Baihaqi).

Masalahnya hadits ini dhaif. Ibnu Hajar di Bulughul Maram berkata, “Diriwayatkan al-Baihaqi dengan sanad dhaif.” An-Nawawi di al-Majmu’ berkata, “Hadits dhaif tidak dijadikan hujjah.”
Ibnu Utsaimin di asy-Syarh al-Mumti’ berkata, “Mereka berdalil kepada dua alasan. Pertama: Ia lebih memudahkan keliar. Ini dikembalikan kepada para dokter. Jika dari segi kedokteran ia memang demikian maka ia termasuk ke dalam masalah menjaga kesehatan. Kedua: berpijak kepada kaki kiri bukan kanan termasuk memuliakan kanan. Ini adalah illat (alasan) yang jelas akan tetapi ia mengandung kesulitan dalam batas tertentu lebih-lebih jika orangnya gemuk atau tua atau berbadan lemah, dia kelelahan ketika berpijak kepada kaki kiri dan menjulurkan kaki kanan. Oleh karena itu kalau ada yang berkata, dalam masalah ini tidak terdapat sunnah yang shahih dari Rasulullah saw maka seseorang buang hajat dengan tetap bertumpu kepada kedua kakinya adalah lebih baik dan lebih mudah. Apapun ia kembali kepada kedokteran.”
Bagikan

HAID 3

Masalah-masalah seputar haid

1. Bertambah dan berkurangnya masa haid


Secara umum wanita memiliki masa haid yang rutin, namun demikian terkadang kebiasaan tersebut melenceng, haid yang biasanya berlangsung selama –misalnya- enam hari ternyata dalam bulan ini kurang dari itu, misalnya menjadi lima hari atau bertambah dari itu misalnya menjadi tujuh hari atau delapan hari.




2. Maju mundurnya waktu hadirnya haid

Terkadang haid hadir mendahului jadwal kebiasaannya, terkadang pula ia hadir melebihi waktu yang diperkirakan. Di bulan lalu ia hadir di akhir bulan tetapi di bulan ini ia hadir di awal atau di pertengahan bulan.

Pendapat yang benar dalam dua masalah di atas adalah bahwa bertambah dan berkurangnya masa haid atau maju-mundurnya waktu haid tidak memberi pengaruh hukum apapun, artinya walaupun masa haid bertambah maka ia tetap dianggap haid atau berkurang dan sudah nampak tanda-tanda suci maka selesailah masa haid. Begitu pula dengan maju-mundurnya waktu hadirnya haid bila ia datang maka haid bila belum maka belum haid.

Argumentasinya:
Karena Allah mengaitkan hukum haid dengan darah, ada tidaknya. Ada darah berarti haid tidak ada berarti tidak ada haid.

3. Darah keruh atau kuning

Jika ia terjadi pada masa haid sebelum tanda suci terlihat maka ia haid, sebaliknya jika terjadi setelah tanda suci terlihat maka ia bukan apa-apa. Ummu Athiyah berkata, “Kami tidak menganggap apa-apa darah yang berwarna kuning atau keruh sesudah masa suci.” (HR. Abu Dawud dengan sanad shahih).

Al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah bahwa para wanita mengirimkan kepadanya sepotong kain berisi kapas dengan noda darah berwarna kuning. Aisyah berkata, “Jangan tergesa-gesa sebelum kamu melihat cairan putih.”

4. Terjadinya pengeringan darah

Dalam masa haid terkadang darah berhenti sama sekali, yang bersangkutan hanya merasakan lembab tanpa terlihat adanya darah atau kering sama sekali. Dalam kondisi ini, karena ia terjadi dalam masa haid dan yang bersangkutan belum melihat tanda suci maka dia dihukumi dalam keadaan haid.

5. Bolehkah menunda mandi haid?

Selesai haid dengan hadirnya tanda suci mewajibkan yang bersangkutan wajib mandi. Mandi ini hendaknya dilakukan dengan segera agar dia bisa melaksanakan kewajiban yang terhalang oleh haid.
Apabila wanita haid mengalami suci di tengah-tengah waktu shalat, dia harus segera mandi agar dapat melakukan shalat pada waktunya. Jika ia sedang dalam perjalanan dan tidak ada air, atau ada air tetapi takut membahayakan dirinya dengan menggunakan air, maka ia boleh bertayamum sebagia ganti dari mandi sampai hal yang menghalanginya itu tidak ada lagi, kemudian mandi.

Ada di antara kaum wanita yang suci di tengah-tengah waktu shalat tetapi emnunda mandi ke waktu lain, dalihnya:, “Tidak mungkin dapat mandi sempurna pada waktu sekarang ini.” Akan tetapi ini bukan alasan ataupun halangan, karena boleh baginya mandi sekedar untuk memenuhi yang wajib dan melaksanakan shalat pada waktunya. Apabila kemudian ada kesempatan lapang, barulah ia dapat mandi dengan sempurna.

6. Bolehkah wanita haid minum pil pencegah haid?
Boleh dengan syarat:
1) Dipastikan aman dan tidak dikhawatirkan membahayakan dirinya. jika membahayakan maka tidak boleh, karena hal itu berarti menjerumuskan diri ke dalam bahaya dan itu dilarang.
2) Izin suami yang berkaitan hukum dengannya, misalnya istri ditalak suami, dia beriddah dengan tiga kali haid selama iddah nafkah istri ditanggung suami, lalu istri minum pil pencegah haid agar iddahnya lebih panjang yang secara otomatis bertambah nafkahnya dari suaminya. Dalam kondisi ini maka harus ada izin dari suami karena suami dirugikan.

7. Bolehkah wanita minum perangsang haid?
Boleh dengan syarat:
1) Tidak bermaksud lari dari kewajiban, misalnya menjelang Ramadhan wanita minum perangsang haid dengan maksud supaya bisa tidak berpuasa, atau supaya bisa tidak shalat dan sebagainya.
2) Izin suami, karena hadirnya haid menghalangi hak suami.

8. Apakah wanita haid harus mengganti pakaiannya setelah suci/

Kalau pakaian tersebut tidak terkena darah haid maka hal itu tidak harus, sebab darah haid tidak menjadikan badan najis, ia hanya menajiskan bagian dari badan dan pakaian yang terkena najis saja, oleh karena itu Nabi saw hanya menyuruh mencuci pakaian yang terkena darah haid saja dan setelah itu ia bisa dipakai untukshalat.

9. Wanit ahaid membaca dzikir dan lain-lain

Adapun membaca dzikir, takbir, tasbih, tahmid dan bismilah ketika hendak makan atau pekerjaan lainnya, membaca hadits, fikih, doa dan aminnya, serta mendengarkan al-Qur`an, maka tidak diharamkan bagi wanita haid. Hal ini berdasarkan hadits dalam Shahih al-Bukhari, Muslim dan kitab lainnya bahwa Nabi saw pernah bersandar di kamar Aisyah yang ketika itu sedang haid, lalu beliau membaca al-Qur`an.

Diriwayatkan pula dalam Shahih al-Bukhari, Muslim dari Ummu Athiyah bahwa dia mendengar Nabi saw bersabda,

يَخْرِجُ العَوَاتِقُ وَذَوَاتُ الخُدُوْرِ وَالخُيَّضُ – يَعْنِي إِلَى صَلاَةِ العِيْدَيْنِ – وَاليَشْهَدْنَ الخَيْرَ وَدَعْوَةَ المُسْلِمِيْنَ وَيَعْتَزِلُ الحُيَّضُ المُصَلَّى .

“Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid – yakni ke shalat Idul Fitri dan Adha- supaya mereka ikut menyaksikan kebaikan doa orang-orang yang beriman. Tetapi wanita haid menjauhi tempat shalat.”

Sedangkan membaca al-Qur`an bagi wanita haid itu sendiri, jika dengan mata atau dalam hati tanpa diucapkan dengan lisan maka tidak apa-apa hukumnya, misalnya mushaf diletakkan di depannya, lalu dia membaca dengan hatinya, menurut Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ hal tersebut boleh tanpa ada perbedaan pendapat.

(Rujukan: Darah kebiasaan wanita, 52 Persoalan sekitar hukum haid Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin).

HAID

Pengantar

Allah menciptakan manusia dengan dua jenis laki-laki dan perempuan, walaupun secara prinsip kedua jenis ini sederajat dalam hal beban taklif akan tetapi dari sisi penciptaan keduanya memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh yang lain, terdapat sisi perbedaan di antara keduanya yang tidak bisa dipungkiri salah satunya adalah haid pada wanita. Nabi saw bersabda,

إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهُ اللهُ عَلىَ بَتَاتِ آدَمَ .

“Sesungguhnya ini adalah sesuatu yang Allah tulis atas anak perempuan Adam.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah).

Karena haid adalah sesuatu yang Allah tulis atas anak perempuan Adam maka mereka tidak bisa menghindar darinya, pada saat yang sama agama Islam mengaitkan haid dengan beberapa hukum ibadah seperti shalat, puasa, haji dan lain-lain, di sinilah pentingnya wanita muslimah secara khusus mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan haid karena dia pasti membutuhkannya setiap bulan, juga seorang muslim secara umum, walaupun dia tidak mengalaminya akan tetapi ilmu tentang haid tetap bermanfaat karena bisa disampaikan kepada wanita-wanita yang ada di sekelilingnya: istri, anak, saudara, bibi dan lain-lain.

Definisi

Haid dari segi bahasa adalah sesuatu yang mengalir, dan dari segi istilah syar’i adalah darah alami yang terjadi pada wanita dengan siklus tertentu.
Darah alami, berarti bukan darah yang terjadi karena sebab tertentu seperti sakit, luka, keguguran dan lain-lain. Di samping itu karena ia alami maka ia berbeda sesuai dengan perbedaan para wanita.

Usia haid

Ibnu Utsaimin dalam Darah kebiasaan wanita berkata, “Usia haid biasanya antara 12 sampai 50 tahun. Dan kemungkinan seorang wanita mendapatkan haid sebelum usia 12 tahun atau sesudah usia 50 tahun, tergantung pada kondisi, lingkungan dan iklim yang mempengaruhi.”

Kemudian Ibnu Utsaimin menukil ucapan ad-Darimi yang disebutkan oleh an-Nawawi al-Majmu’, dia berkata, “Hal ini semua menurut saya keliru, sebab yang menjadi acuannya adalah keberadaan darah, seberapa pun, dalam kodisi bagaimanapun dan usia berapa pun darah tersebut wajib dihukumi sebagai darah haid. Wallahu a'lam.”

Kemudian Ibnu Utsamin menyatakan bahwa pendapat tersebut merupakan pendapat yang shahih, ia dipilih oleh Ibnu Taimiyah. Ibnu Utsamin berkata, “Jadi kapanpun seorang wanita mendapatkan darah haid berarti ia haid, meski belum usia 9 tahun atau di atas 50 tahun, sebab Allah dan rasulNya mengaitkan hukum-hukum haid kepada keberadaan darah, dan tidak meletakkan batasan usia tertentu. Maka dalam masalah ini wajib mengacu kepada keberadaan darah yang telah dijadikan sandaran hukum. Adapun pembatasan maka tidak ada satupun dalil yang menunjukkan hal tersebut.”

Masa haid

Para ulama berbeda pendapt tentang masa haid minimal dan maksimalnya, ada beberapa pendapat dalam hal ini, salah satunya adalah pendapat yang tidak membatasi minimal dan maksimalnya, ia dikembalikan kepada kebiasaan masing-masing wanita.

Ibnu Utsamin menyatakan bahwa pendapat inilah yang shahih, ia merupakan pendapat ad-Darimi dan pilihan Ibnu Taimiyah, lalu Ibnu Utsaimin memaparkan dalil-dalil yang menguatkan pendapat ini, di antaranya:

A. Firman Allah, “Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci.”(Al-Baqarah: 222).

Dalam ayat ini Allah melatakkan batas akhir dibolehkannya mendekati adalah kesucian bukan sekian hari atau sekian malam. Ini berarti titik pijakan hukumnya adalah haid, ada tidaknya.

B. Sabda Nabi saw kepada Aisyah.

اَفْعَلِي مَايَفْعَلُ الحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَتَطُوفِي بِالبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي .

“Lakukanlah apa yang dilakukan jamaah haji, hanya saja jangan melakukan tawaf di Ka’bah sebelum suci.”.

Dalam hadits ini Nabi saw meletakkan batas akhir larangan thawaf adalah kesucian dan kesucian antara satu wanita dengan yang lain bisa jadi tidak sama.

C. Tidak terdapat dalil dalam al-Qur`an dan sunnah yang membatasi minimal dan maksimalnya masa haid, padahal masalah ini termasuk masalah yang mendesak untuk dijelaskan karena ia terjadi pada separuh lebih kaum muslimin di dunia. Tidak adanya pembatasan membuktikan bahwa sebenarnya yang harus dipegang adalah haid itu sendiri, ada dan tidaknya.

Ibnu Utsaimin berkata, “Pendapat ini sebagaimana merupakan pendapat yang kuat berdasarkan dalil juga merupakan pendapat yang paling dapat dipahami dan dimengerti serta lebih mudah diamalkan dan diterapkan daripada pendapat mereka yang memberi batasan. Dengan demikian pendapat inilah yang lebih patut diterima karena sesuai dengan semangat dan kaidah agama Islam yaitu mudah dan gampang. Firman Allah Taala, ‘Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.’ (Al-Hajjj: 78).”

Hukum-hukum haid

1. Shalat

Diharamkan bagi wanita haid mengerjakan shalat, baik fardhu maupun sunnat, dan jika dia mengerjakannya maka shalatnya tidak sah. Tidak wajib pula atasnya mengqadha shalat yang ditiggalkan selama masa haid. Nabi saw bersabda,

إِذَا أَقْبَلَتْ الحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلاَةَ .

“Jika haid tiba maka tinggalkanlah shalat.” (Muttafaq alaihi dari Aisyah).

Aisyah berkata, “Kami haid pada masa Rasulullah maka kami diperintahkan mengqadha puasa dan tidak diperintahkan mengqadha shalat.” (Muttafaq alaihi)

Bersambung

HAID 2

Hukum-hukum haid

1. Shalat

Diharamkan bagi wanita haid mengerjakan shalat, baik fardhu maupun sunnat, dan jika dia mengerjakannya maka shalatnya tidak sah. Tidak wajib pula atasnya mengqadha shalat yang ditiggalkan selama masa haid. Nabi saw bersabda,

إِذَا أَقْبَلَتْ الحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلاَةَ .

“Jika haid tiba maka tinggalkanlah shalat.” (Muttafaq alaihi dari Aisyah).

Aisyah berkata, “Kami haid pada masa Rasulullah maka kami diperintahkan mengqadha puasa dan tidak diperintahkan mengqadha shalat.” (Muttafaq alaihi)

Apabila seorang wanita mendapatkan sebagian waktu shalat yang cukup untuk melakukan satu rakaat sempurna, misalnya seorang wanita haid setelah matahari terbenam, berarti waktu Maghrib telah masuk, ada waktu yang cukup untuk melakukan satu rakaat dan yang bersangkutan belum melaksanakan shalat tersebut lalu dia haid maka shalat tersebut terhutang wajib diqadha setelah suci. Sama halnya apabila seorang wanita suci dari haid sesaat sebelum matahari terbit, berarti waktu Subuh masih tersisa dan itu cukup untuk melakukan satu rakaat, maka dia tetap wajib melaksanakan shalat Subuh tersebut setelah bersuci.

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَة .

“Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat itu.” (Muttafaq alaihi).

Ini berarti siapa yang mendapatkan kurang dari satu rakaat berarti tidak mendapatkan shalat tersebut.

2. Puasa

Haram wanita haid berpuasa, baik puasa wajib maupun puasa sunnah, puasanya –jika dia melakukannya- tidak sah, hanya saja puasa berbeda dengan shalat, puasa wajib diqadha sementara shalat tidak. Dalil adalah hadits Aisyah di atas.

Hadirnya haid merusak puasa walaupun hanya sesaat sebelum terbenam matahari dan puasa tersebut terhutang wajib diganti di lain hari. Akan tetapi jika yang dirasakan hanya tanda-tanda haid dan darah belum keluar maka ia tidak merusak puasa sehingga darah benar-benar keluar, karena hukum haid terkait dengan darah ada tidaknya bukan dengan tanda-tandanya.

Jika seorang wanita telah suci dalam arti telah melihat tanda suci sesaat sebelum terbit fajar maka dia wajib berpuasa di hari itu walaupun dia mandi setelah fajar, karena mendapatkan fajar dalam keadaan belum bersuci dari haid dan junub bukan penghalang untuk berpuasa. Dasarnya hadits Aisyah berkata,

“Pernah suatu pagi pada bulan Ramadhan Nabi saw berada dalam keadaan junub karena jima’ bukan karena mimpi lalu beliau berpuasa.” (Muttafaq alaihi).

3. Thawaf

Haid menghalangi thawaf, baik yang wajib maupun yang sunnah berdasarkan sabda Nabi saw kepada Aisyah.

“Lakukanlah apa yang dilakukan jamaah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di Ka’bah sebelum kamu suci.”

Haid tidak menghalangi manasik haji lainnya seperti sa’i, wukuf, bermalam di Mina di Muzdalifah, melempar jumrah dan lain-lain, khusus untuk thawaf wada’, jika seorang wanita telah mengerjakan seluruh manasik haji dan umrah, lalu dia mendapatkan haid sebelum meninggalkan tanah suci untuk pulang ke negaranya dan haidnya tersebut terus berlangsung sampai tiba saatnya dia pulang maka dia boleh tidak melakukan thawaf wada’. Ibnu Abbas berkata,

“Diperintahkan kepada jamaah haji agar saat-saat terakhir bagi mereka berada di baitullah (melakukan thawaf wada’), hanya saja hal itu tidak dibebankan kepada wanita haid.” (Muttafaq alaihi).

4. Masjid

Haid menghalangi seorang wanita berdiam diri di masjid termasuk tempat-tempat shalat Id pada saat ia dipakai shalat Id.
Nabi saw bersabda,

لاَ أُحِلُّ المَسْجِدَ لِحَائِضٍ .

“Aku tidak menghalalkan masjid untuk wanita haid.” (HR. Abu Dawud dari Aisyah. Dihasankan oleh Muhaqiq al-Uddah).

Ummu Athiyah mendengar Nabi saw bersabda,

يَخْرُجُ العَوَاتِقُ وَذَوَاتُ الخُدُوْرِ. وفيه : يَعْتَزِلُ الحُيَّضُ المُصَلَّى .

“Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid… tetapi wanita haid menjauhi tempat shalat.” (Muttafaq alaihi).

5. Hubungan suami istri

Haid menghalangi hubungan suami istri.

Firman Allah, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah suatu kotoran.’ Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.” (Al-Baqarah: 222).

Yang dihalangi oleh haid adalah hubungannya, adapun selain hubungan: mencium, memeluk dan sebagainya maka ia tidak dihalangi oleh haid. Nabi saw bersabda,

اِصْنَعُوا كُلَّ شَيْئٍ إِلاَّ النِّكَاحَ .

“Lakukan apa saja, kecuali nikah (yakni bersenggama).” (HR. Muslim).

Nabi saw mencontohkan apa yang dilakukan suami istri kepada saat haid. Aisyah berkata, “Pernah Nabi saw menyuruhku berkain, lalu beliau menggauliku sedang aku dalam keadaan haid.” (HR. Muttafaq alaihi).

6. Talak

Haid menghalangi talak artinya suami dilarang menjatuhkan talak pada waktu istri haid.

Firman Allah, “Hai nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).” (Ath-Thalaq: 1).

Talak dalam keadaan haid membuat istri tidak menghadapi iddah dengan wajar. Jadi ia bertentangan dengan ayat ini. Ayat ini sejalan dengan hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, di mana dia mentalak istrinya dalam keadaan haid, Umar menyampaikannya kepada Nabi saw dan beliau marah, Nabi saw bersabda,

مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لْيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ، ثَمَّ تَحِيْضَ، ثُمَّ تَطْهُرَ، ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ، وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ، فَتِلْكَ العِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ.

“Suruh ia merujuk istrinya, kemudian ia mempertahankannya sampai ia suci, lalu haid, lalu suci lagi. Setelah itu, jika ia mau, dapat mempetahankannya atau mentalaknya sebelumdigauli. Karena itulah iddah yang diperintahkan Allah dalam mentalak istri.”

Dalam hal diharamkannya mentalak istri yang haid ada tiga masalah yang dikecualikan:
1. Jika talak terjadi sebelum terjadinya hubungan suami istri, sebab dalam kasus ini istri tidak terkena wajib iddah, maka talak boleh dijatuhkan walaupun istri dalam keadaan haid.
2. Jika haid terjadi dalam keadaan hamil.
3. Jika talak terjadi atas permintaan istri (khuluk).

7. Iddah dengan bulan

Haid menghalangi iddah dengan hitungan bulan artinya jika wanita telah digauli maka yang bersangkutan tidak beriddah dengan hitungan bulan akan tetapi dengan hitungan haid, jika dia masih aktif haid dan iddahnya adalah tiga kali haid.

Firman Allah, “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.” (Al-Baqarah: 228).

Whudu

Whudu
Hukum-hukum Wudhu: Yang disepakati dan yang Diperselisihkan
Allah Ta’ala berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (Al-Maidah: 6).

Hukum-hukum wudhu yang disepakati

1- Bahwa anggota wudhu adalah empat: wajah, kedua tangan, kepala dan kedua kaki sebagaimana yang tercantum dalam ayat.

2- Bahwa anggota wudhu yang dibasuh adalah tiga selain kepala, yang terakhir ini disapu atau diusap, anggota yang dibasuh tidak cukup dengan disapu sementara jika anggota yang diusap itu dibasuh, maka hal itu termasuk sikap berlebih-lebihan.

3- Bahwa kewajiban membasuh atau mengusap masing-masing anggota adalah sekali dengan syarat sempurna.

4- Bahwa sunnah membasuh adalah tiga kali tidak lebih, sementara mengusap diperselisihkan.

5- Bahwa sebelum berwudhu disyariatkan membasuh kedua telapak tangan tiga kali dan mengucapkan basmalah.

6- Bahwa batasan wajah adalah tempat tumbuhnya rambut yang umum sampai bagian bawah dagu, dan apa yang ada di antara kedua telinga.

7- Bahwa berkumur dan istinsyaq termasuk perkara yang disyariatkan sebelum membasuh wajah.

8- Bahwa membasuh kedua tangan dilakukan sampai siku, dan ‘sampai’ di sini berarti ‘dengan’ atau ‘bersama’, artinya siku termasuk yang harus dibasuh.

9- Bahwa mengusap seluruh kepala termasuk perkara yang disyariatkan, perselisihannya terjadi pada cukup tidaknya mengusap sebagian kepala.

10- Bahwa membasuh kedua kaki adalah sampai kedua mata kaki, mata kaki yaitu dua tulang menonjol di sebelah dalam dan luar kaki pada sambungan antara telapak kaki dengan betis.

11- Bahwa anggota yang berpasangan disyariatkan membasuh anggota kanan sebelum anggota kiri.

Hukum-hukum wudhu yang diperselisihkan

Basmalah sebelum wudhu


Tidak ada perbedaan di kalangan para ulama tentang dianjurkannya basmalah sebelum berwudhu, berdasarkan anjuran Rasulullah saw untuk mengucapkannya sebelum melakukan perkara-perkara penting, dan salah satunya adalah wudhu.

Menurut Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi'i dan Ahmad dalam salah satu riwayat darinya, basmalah adalah sunnah tidak wajib.

Sementara menurut Ahmad dalam riwayat yang lain, basmalah adalah wajib.

Pendapat yang berkata sunnah berdalil kepada ayat wudhu, di sana tidak disinggung basmalah, padahal ayat tersebut menyebutkan fardhu-fardhu wudhu, jika basmalah wajib lalu mengapa tidak disinggung oleh ayat? Di samping itu pendapat ini juga berdalil kepada hadits-hadits tentang wudhu Nabi saw yang tidak menyinggung basmalah.

Pendapat yang berkata wajib berdalil kepada hadits,

لاَ وُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ

“Tidak ada wudhu bagi yang tidak menyebut nama Allah atasnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Titik persoalan masalah ini terletak pada shahih tidaknya hadits di atas, pendapat pertama tidak berdalil kepada hadits ini karena menurut mereka ia dhaif (lemah), sampai Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku tidak mengetahui hadits yang shahih dalam perkara basmalah dalam wudhu.” Atau kalau ia shahih maka maksudnya adalah tidak ada wudhu yang sempurna bagi… dan seterusnya, seperti yang dikatakan oleh Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’.

Sementara pendapat kedua berdalil kepada hadits ini karena mereka memandangnya shahih, di antara yang menguatkannya adalah Ibnu Hajar, Ibnu Qayyim, Ibnu Katsir, Syaikh Ahmad Syakir dan Syaikh al-Albani. (Takhrij lengkap terhadap hadits ini silakan pembaca merujuk buku Ensiklopedia Dzikir dan Doa, Imam an-Nawawi, penerbit Pustaka Shahifa Jakarta).

Menurut pendapat yang berkata wajib, basmalah wajib dalam keadaan ingat bukan lupa.

Berkumur dan beristinsyaq

Imam Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi'i dan Ahmad dalam salah satu riwayat darinya berkata, sunnah.

Imam Ahmad dalam riwayatnya yang lain berkata, wajib.

Imam Ahmad dalam riwayatnya yang lain berkata, berkumur sunnah dan beristinsyaq wajib.

Pendapat pertama berdalil kepada ayat wudhu di mana yang wajib hanya membasuh wajah, dan wajah menurut bahasa adalah anggota yang dengannya seseorang berartimuwajahah (bertemu dan berhadap-hadapan).

Di samping itu Nabi saw bersabda kepada seorang Arab pedalaman, “Berwudhulah sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadamu.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan lainnya dari Abu Hurairah), dan yang diperintahkan Allah adalah yang tercantum dalam ayat.

Pendapat yang berkata wajib berdalil kepada wudhu Nabi saw yang disebutkan dalam hadits-hadits, di mana beliau selalu berkumur dan beristinsyaq, perbuatan beliau ini merupakan penjelasan terhadap maksud ayat wudhu. Di samping itu hidung dan mulut termasuk wajah karena tempat keduanya adalah wajah dan keduanya termasuk anggota luar, jadi keduanya wajib dibasuh dan membasuh keduanya adalah dengan berkumur dan beristinsyaq.

Pendapat yang berkata berkumur sunnah dan beristinsyaq wajib berdalil kepada hadits-hadits yang secara khusus memerintahkan beristinsyaq, di antaranya adalah sabda Nabi saw,

مَنْ تَوَضَّأَ فَلْيَسْتَنْثِرْ “Barangsiapa siapa berwudhu maka hendaknya dia beristintsar.” (Muttafaq alaihi dari Abu Hurairah).

Dalam riwayat Muslim,

مَنْ تَوَضَّأَ فَلْيَسْتَنْشِقْ “Barangsiapa berwudhu maka hendaknya dia beristinsyaq.”

Terlepas dari sunnah atau wajibnya dua perkara ini, Nabi saw selalu melakukannya dan beliau adalah teladan bagi kita. Wallahu a'lam.
(Izzudin Karimi)
Bagikan

TATA CARA TAYAMUM

TATA CARA TAYAMUM
Termasuk perkara yang diperselisihkan di kalangan para fuqaha`, apakah tayamum dilakukan dengan memukulkan kedua telapak tangan satu atau dua kali, apakah mengusap kedua tangan cukup sampai pergelangan atau harus sampai siku? Setelah sebelumnya mereka bersepakat bahwa anggota tayamum hanya dua yaitu wajah dan tangan.

Imam Ahmad berpendapat bahwa tayamum hanya dengan memukul tanah satu kali, lalu mengusap wajah dan telapak tangan sampai pergelangan, tidak sampai siku. Imam Ahmad berkata, “Barangsiapa berkata bahwa tayamum dengan (mengusap kedua tangan) sampai siku maka ia adalah sesuatu yang dia tambahkan dari dirinya.”

Imam yang tiga selain Ahmad berpendapat bahwa tayamum dengan memukul tanah dua kali, yang pertama untuk wajah dan yang kedua untuk kedua tangan sampai siku.

Dalil-dalil Imam Ahmad

Firman Allah, “Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (Al-Maidah: 6).

Ayat ini tidak menjelaskan berapa kali orang yang bertayamum menepukkan tangannya ke tanah atau debu, zhahirnya cukup dengan satu kali. Di samping itu ayat ini berkata, “Dan tanganmu.” Kata “tangan” secara mutlak hanya berlaku untuk telapak, sampai pergelangan saja.

Sabda Nabi saw kepada Ammar bin Yasir,

إِنََمَا كَانَ يَكـْفِيْكَ أَنْ تَضْرِبَ بِيَدَيْكَ الأَرْضَ ضَرْبَةً وَاحِدَةً ثُمَّ تَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَكَ وَكَفَّيْكَ .
“Semestinya cukup bagimu memukul tanah dengan kedua tanganmu satu kali kemudian kamu mengusap dengan keduanya wajah dan kedua telapak tanganmu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Hadits ini secara jelas bahwa tayamum yang diajarkan oleh Nabi saw kepada Ammar adalah dengan memukul tanah satu kali dan tangan yang diusap adalah kedua telapak tangan, sampai pergelangan bukan sampai siku.

Dalil-dalil Imam yang tiga

Firman Allah “Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (Al-Maidah: 6).

Pengambilan dalil darinya, Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ berkata, asy-Syafi'i berkata, “Allah Ta’ala mewajibkan menyucikan empat anggota dalam wudhu di awal ayat, lalu Allah menggugurkan darinya dua anggota dalam ayat di akhir ayat, maka yang tersisa adalah dua anggota dalam tayamum sebagaimana ia dalam wudhu, karena jika keduanya berbeda niscaya Allah akan menjelaskannya, dan kaum muslimin telah bersepakat bahwa wajah diusap seluruhnya dalam tayamum, begitu pula kedua tangan.”

Imam an-Nawawi berkata, al-Baihaqi berkata dalam kitabnya Ma’rifah as-Sunan wa al-Atsar, asy-Syafi'i berkata, “Yang menghalangi kami mengambil riwayat Ammar tentang wajah dan dua telapak tangan adalah shahihnya hadits dari Rasulullah saw bahwa beliau mengusap wajah dan kedua sikunya, bahwa hal ini lebih mirip kepada al-Qur`an dan kias, dan bahwa pengganti adalah seperti apa yang digantikannya.”

Yang dimaksud hadits shahih yang disinggung dalam ucapan asy-Syafi'i disebutkan oleh al-Baihaqi dari hadits Jabir, al-Baihaqi menyatakannya hasan dengan syahid-syahidnnya, dari Nabi saw, “Tayamum satu kali pukulan untuk wajah dan satu kali pukulan untuk kedua tangan sampai siku.”

Pendapat ini juga berdalil kepada sabda Nabi saw,

التَيَمُّمُ ضَرْبَتَان ، ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ ، وَضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إِلىَ المِرْفَقَيْنِ .
“Tayamum dua kali pukulan, satu untuk wajah dan satu untuk kedua tangan sampai kedua siku.” (HR. ad-Daruquthni dari Ibnu Umar).

Tarjih

Pendapat Imam Ahmad adalah pendapat yang rajih dalam perkara ini, karena

Pertama: Lebih dekat kepada pemahaman ayat, karena kata Yad dan jamaknya adalah Aidy yang berarti tangan hanya mencakup telapak tangan saja tidak sampai siku.

Kedua: Tangan dalam tayamum tidak bisa dikiaskan dengan tangan dalam wudhu karena perbedaan kewajiban di antara keduanya, dalam wudhu ia dibasuh sementara dalam tayamum ia diusap.

Ketiga: Hadits Ammar adalah hadits Muttafaq alaihi, tingkat keshahihannya tertinggi, ia patut dikedepankan dalam perkara tarjih, ini dengan asumsi bahwa hadits dua kali pukulan sampai siku shahih, tetap ia harus minggir di depan hadits Ammar.

Keempat: Hadits dua kali pukulan sampai siku tidak luput dari sisi dha’f (lemah), Ibnu Abdul Bar berkata, “Atsar-atsar yang marfu’ adalah satu kali pukulan dan apa yang diriwayatkan bahwa ia dua kali pukulan maka semuanya mudhtharib (goncang).” Ibnul Qayyim berkata, “Tidak ada yang shahih dalam dua kali pukulan.” Al-Albani berkata, “Dalam dua pukulan terdapat hadits-hadits yang sangat lemah dan berillat.”

Faidah: Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ berkata, “Imam Abu Tsaur –salah satu orang dekat Imam asy-Syafi'i- menukil qaul qadim (pendapat lama) dari asy-Syafi'i sesuai dengan pendapat Imam Ahmad, walaupun menurut kawan-kawan kami ia marjuh (lemah), akan tetapi ia kuat dari segi dalil dan lebih dekat kepada zhahir sunnah yang shahih.”

Hafizh Ibnu Hajar yang bermadzhab Syafi’i berkata dalam Bulughul Maram, “Para imam hadits menshahihkan hadits Ibnu Umar sebagai hadits mauquf.” (Izzudin Karimi).
Bagikan

Shalat Jumat

Shalat Jumat
HUKUM SHALAT JUM’AT
Senin, 26 April 10

Shalat Jum’at adalah fardhu ‘ain atas setiap mukallaf kecuali yang berhalangan berdasarkan firman Allah Ta'ala, “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Al-Jumu’ah: 9).

Dari Abu Hurairah dan Ibnu Umar bahwa keduanya mendengar Rasulullah saw bersabda di atas pijakan mimbarnya,

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدَعِهِمُ الجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللهُ علىَ قُلُوْبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُوْنُنَّ مِنَ الغَافِلِينَ

Hendaknya suatu kaum menghentikan meninggalkan Jum’at atau Allah akan mengunci hati mereka rapat-rapat kemudian mereka akan menjadi orang-orang yang lalai.” Diriwayatkan oleh Muslim dan Ibnu Majah.

Atas siapa?

Jum’at fardhu ‘ain atas setiap muslim, berakal, dewasa, merdeka, laki-laki, muqim dan sehat. Dari Thariq bin Syihab bahwa Nabi saw bersabda,

الجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلىَ كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إلا أَرْبَعَة عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ وَامْرَأةٌ وَصَبِيٌّ وَمَرِيْضٌ

Shalat Jum’at adalah hak wajib atas setiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat: hamba sahaya, wanita, anak-anak dan orang sakit.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud. Imam an-Nawawi berkata, “Sanadnya shahih di atas syarat al-Bukhari dan Muslim.”

Ancaman Meninggalkan Shalat Jum’at

Dari Abu al-Ja’ad adh-Dhamri dari Nabi saw bersabda,

مَنْ تَرَكَ الجُمُعَةَ ثَلاثًا مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ فَهُوَ مُنَافِقٌ

Barangsiapa meninggalkan Jum’at tiga kali tanpa udzur maka dia adalah orang munafik.” Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaemah dan Ibnu Hibban. Syaikh al-Albani berkata, “Hasan shahih.”

Safar di hari Jum’at

Tidak boleh safar di hari Jum’at bagi siapa yang wajib shalat Jum’at setelah masuk waktu.
Adapun sebelum masuk waktu maka Imam Abu Hanifah membolehkan secara mutlak.
Imam Malik berpendapat tidak mengapa safar sebelum zawal sekalipun yang terpilih adalah tidak safar jika fajar hari Jum’at telah terbit sehingga dia shalat Jum’at.
Imam asy-Syafi'i mempunyai dua qaul: qadim, boleh dan jadid, tidak boleh.
Imam Ahmad mempunyai tiga riwayat, tidak boleh, boleh dan boleh jika untuk keperluan jihad secara khusus.

Semua ini jika seorang musafir tidak takut tertinggal oleh rekan-rekannya, jika dia khawatir tertinggal oleh teman-temannya sehingga tidak bisa menyusul mereka maka boleh safar secara mutlak, dan dalam masalah ini tidak ada hadits shahih. Wallahu a’lam.

Mandi Jum’at

Jumhur ulama berpendapat bahwa mandi Jum’at mustahab bukan wajib, mereka berdalil kepada hadits Samurah bahwa Nabi saw bersabda,

مَنْ تَوَضَّأ يَوْمَ الجَمَعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتَ وَمَنْ اغْتَسَلَ فالغُسْلُ أَفْضَلُ

Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at maka ia bagus dan barangsiapa mandi maka ia lebih bagus.” Diriwayatkan oleh Ashab Sunan dan Ahmad.

Sebagian ulama berkata wajib berdasarkan hadits Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah saw bersabda,

مَنْ جَاءَ مِنْكُم الجُمُعَةَ فَاليَغْتَسِلْ

Barangsiapa di antara kalian menghadiri Jum’at maka hendaknya dia mandi.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

Pendapat ini juga berdalil kepada hadits,

غُسْلُ يَوْمِ الجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلىَ كُلِّ مُحْتَلِمٍ

“Mandi di hari Jum’at wajib atas setiap orang dewasa.” Muttafaq alaihi.

Imam asy-Syafi'i berkata, “Aku tidak pernah meninggalkan mandi Jum’at sekalipun, baik di waktu panas maupun di waktu dingin.”

Ibnul Qayyim berkata, “Kewajibannya lebih kuat daripada witir, membaca basmalah dalam shalat, berwudhu karena menyentuh wanita dan kelamin dan bershalawat kepada Nabi saw di tasyahud akhir.” Wallahu a’lam.
(Izzudin Karimi)

Shalat Jum’at dua raka’at ba’da khutbah, imam disunnahkan membaca surat al-A’la di raka’at pertama dan surat al-Ghasyiyah di raka’at kedua, atau surat al-Jumu’ ah dengan surat al-Munafiqun.

Jumhur Ulama termasuk tiga imam, Malik, asy-Syafi'i dan Ahmad berpendapat bahwa makmum masbuq mendapatkan shalat Jum’at manakala dia mendapatkan satu raka’at, jika tidak maka dia shalat Zhuhur.

Misalnya, makmum masuk ketika imam sedang membaca surat al-Ghasyiyah, maka setelah imam salam, dia bangkit untuk shalat satu raka’at karena dia mendapatkan Jum’at, seandainya dia masuk pada saat imam ‘Sami’allahu liman hamidah’ di raka’at kedua, maka setelah imam salam dia bangkit shalat Zhuhur empat raka’at.

Dalil pendapat ini adalah sabda Nabi saw,

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَة .

Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat itu.” Muttafaq alaihi dari Abu Hurairah.

Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa makmum masbuq mendapatkan Jum’at jika dia mendapatkan tasyahud imam, maka dia cukup shalat dua rakaat setelah salam imam dan shalatnya sempurna.

Waktu Shalat Jum’at

Jumhur ulama berpendapat bahwa waktu shalat Jum’at adalah waktu shalat Zhuhur berdasarkan hadits Anas bahwa Nabi saw shalat Jum’at manakala matahari telah condong ke barat. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ahmad.

Salamah bin al-Akwa’ berkata, “Kami shalat Jum’at bersama Rasulullah saw apabila matahari tergelincir, kemudian kami pulang menelusuri bayangan.” Diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad.

Imam Ahmad berpendapat, boleh shalat Jum’at sebelum waktu Zhuhur karena waktunya mulai dari waktu shalat Id sampai akhir waktu Zhuhur, pendapat ini berdalil kepada hadits Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah saw shalat Jum’at, kemudian kami menengok unta-unta kami dan kami mengistirahatkannya manakala matahari tergelincir.” Diriwayatkan oleh Muslim, an-Nasa`i dan Ahmad.

Jumhur menjawab hadits Jabir bahwa ia menunjukkan kesegeraan dalam pelaksanaannya ba’da zawal tanda menunggu turunnya panas matahari. Wallahu a’lam.

Jumlah Hadirin dalam Shalat Jum’at

Shalat Jum’at dilaksanakan di suatu tempat di mana penduduknya adalah orang-orang yang tinggal permanen, bukan orang-orang yang nomaden yang hidup berpindah-pindah dan tidak menetap di suatu tempat.

Adapun tentang jumlah minimal hadirin dalam shalat Jum’at, maka banyak pendapat, Imam Abu Hanifah berpendapat empat orang termasuk imam, Imam Malik berpendapat tidak ada ketentuan jumlah, yang penting berjamaah, Imam asy-Syafi'i berpendapat empat puluh termasuk imam.

Pihak yang tidak menetapkan syarat jumlah tertentu berdalil kepada hadits Thariq bin Syihab bahwa Nabi saw bersabda,

الجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلىَ كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إلا أَرْبَعَة عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ وَامْرَأةٌ وَصَبِيٌّ وَمَرِيْضٌ

Shalat Jum’at adalah hak wajib atas setiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat: hamba sahaya, wanita, anak-anak dan orang sakit.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud. Imam an-Nawawi berkata, “Sanadnya shahih di atas syarat al-Bukhari dan Muslim.”

Sedangkan pihak yang mensyaratkan empat puluh, maka mereka berdalil kepada hadits Abdurrahman bin Ka’ab dari bapaknya berkata, “Orang pertama yang mendirikan shalat Jum’at untuk kami di Madinah sebelum Rasulullah saw tiba adalah As’ad bin Zurarah di Naqi’ al-Khadhamat.” Aku bertanya, “Berapa jumlah kalian saat itu?” Dia menjawab, “Empat puluh.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Baihaqi. An-Nawawi berkata, “Hadits hasan.” Wallahu a’lam.

Hari Raya di hari Jum’at

Jika hari Raya bertepatan dengan hari Jum’at maka gugur kewajiban shalat Jum’at bagi siapa yang hadir di shalat Id, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Iyas bin Abu Ramlah asy-Syami berkata, aku melihat Mu'awiyah bertanya kepada Zaid bin Arqam, “Apakah kamu pernah menyaksikan dua hari Raya dalam satu hari bersama Rasulullah saw?” Zaid menjawab, “Ya.” Mu'awiyah bertanya, “Lalu apa yang beliau lakukan?” Zaid menjawab, “Beliau shalat Id kemudian memberikan keringanan untuk Jum’at, beliau bersabda, ‘Barangsiapa berkenan untuk shalat maka hendaknya dia shalat.’ Diriwayatkan oleh Abu Dawud. Wallahu a’lam.

Bagikan

SHOLAT BERJAMAAH

SHOLAT BERJAMAAH
a. Hukum Shalat Berjama'ah
Shalat berjama'ah itu adalah wajib bagi tiap-tiap mukmin laki-laki, tidak ada keringanan untuk meninggalkannya terkecuali ada udzur (yang dibenarkan dalam agama). Hadits-hadits yang merupakan dalil tentang hukum ini sangat banyak, di antaranya:
Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu, ia berkata, Telah datang kepada Nabi shallallaahu alaihi wasallam seorang lelaki buta, kemudian ia berkata, 'Wahai Rasulullah, aku tidak punya orang yang bisa menuntunku ke masjid, lalu dia mohon kepada Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam agar diberi keringanan dan cukup shalat di rumahnya.' Maka Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam memberikan keringanan kepadanya. Ketika dia berpaling untuk pulang, beliau memanggilnya, seraya berkata, 'Apakah engkau mendengar suara adzan (panggilan) shalat?', ia menjawab, 'Ya.' Beliau bersabda, 'Maka hendaklah kau penuhi (panggilah itu)'.
(HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu ia berkata: 'Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda, 'Shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya' dan shalat Subuh. Seandainya mereka itu mengetahui pahala kedua shalat tersebut, pasti mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak. Aku pernah berniat memerintahkan shalat agar didirikan kemudian akan kuperintahkan salah seorang untuk mengimami shalat, lalu aku bersama beberapa orang sambil membawa beberapa ikat kayu bakar mendatangi orang-orang yang tidak hadir dalam shalat berjama'ah, dan aku akan bakar rumah-rumah mereka itu'.
(Muttafaq 'alaih)
Dari Abu Darda' radhiallaahu anhu, ia berkata, 'Aku mendengar Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda, 'Tidaklah berkumpul tiga orang, baik di suatu desa maupun di dusun, kemudian di sana tidak dilaksanakan shalat berjama'ah, terkecuali syaitan telah menguasai mereka. Maka hendaklah kamu senan-tiasa bersama jama'ah (golongan yang banyak), karena sesungguhnya serigala hanya akan memangsa domba yang jauh terpisah (dari rombongannya)'.
(HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasai dan lainnya, hadits hasan )
Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Nabi shallallaahu alaihi wasallam bersabda, 'Barangsiapa mendengar panggilan adzan namun tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya, ter-kecuali karena udzur (yang dibenarkan dalam agama)'.
(HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan lainnya, hadits shahih)
Dari Ibnu Mas'ud radhiallaahu anhu, ia berkata, 'Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam mengajari kami sunnah-sunnah (jalan-jalan petunjuk dan kebenaran) dan di antara sunnah-sunnah tersebut adalah shalat di masjid yang dikuman-dangkan adzan di dalamnya.
(HR. Muslim)
b. Keutamaan Shalat Berjama'ah
Shalat berjama'ah mempunyai keutamaan dan pahala yang sangat besar, banyak sekali hadits-hadits yang menerangkan hal tersebut di antaranya adalah:
Dari Ibnu Umar radhiallaahu anhuma, bahwasanya Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda, 'Shalat berjama'ah dua puluh tujuh kali lebih utama daripada shalat sendirian.
(Muttafaq 'alaih)
Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu, ia berkata, 'Bersabda Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam, 'Shalat seseorang dengan berjama'ah lebih besar pahalanya sebanyak 25 atau 27 derajat daripada shalat di rumahnya atau di pasar (maksudnya shalat sendirian). Hal itu dikarenakan apabila salah seorang di antara kamu telah berwudhu dengan baik kemudian pergi ke masjid, tidak ada yang menggerakkan untuk itu kecuali karena dia ingin shalat, maka tidak satu langkah pun yang dilangkahkannya kecuali dengannya dinaikkan satu derajat baginya dan dihapuskan satu kesalahan darinya sampai dia memasuki masjid. Dan apabila dia masuk masjid, maka ia terhitung shalat selama shalat menjadi penyebab baginya untuk tetap berada di dalam masjid itu, dan malaikat pun mengu-capkan shalawat kepada salah seorang dari kamu selama dia duduk di tempat shalatnya. Para malaikat berkata, 'Ya Allah, berilah rahmat kepadanya, ampunilah dia dan terimalah taubatnya.' Selama ia tidak berbuat hal yang mengganggu dan tetap berada dalam keadaan suci'.
(Muttafaq 'alaih)
c. Berjama'ah dapat dilaksanakan sekalipun dengan seorang makmum dan seorang imam Shalat berjama'ah bisa dilaksanakan dengan seorang makmum dan seorang imam, sekalipun salah seorang di antaranya adalah anak kecil atau perempuan. Dan semakin banyak jumlah jama'ah dalam shalat semakin disukai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Dari Ibnu Abbas radhiallaahu anhuma, ia berkata, 'Aku pernah bermalam di rumah bibiku, Maimunah (salah satu istri Nabi shallallaahu alaihi wasallam), kemudian Nabi shallallaahu alaihi wasallam bangun untuk shalat malam, maka aku pun ikut bangun untuk shalat bersamanya, aku berdiri di samping kiri beliau, lalu beliau menarik kepalaku dan menempatkanku di samping kanannya'.
(Muttafaq 'alaih)
Dari Abu Sa'id Al-Khudri dan Abu Hurairah radhiallaahu anhuma, keduanya berkata, 'Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda, 'Barangsiapa ba-ngun di waktu malam hari kemudian dia membangunkan isterinya, kemudian mereka berdua shalat berjama'ah, maka mereka berdua akan dicatat sebagai orang yang selalu berdzikir kepada Allah'.
(HR. Abu Daud dan Al-Hakim, hadits shahih)
Dari Abu Sa'id Al-Khudri radhiallaahu anhu, 'Bahwasanya seorang laki-laki masuk masjid sedangkan Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam sudah shalat bersama para sahabatnya, maka beliau pun bersabda, 'Siapa yang mau bersedekah untuk orang ini, dan menemaninya shalat.' Lalu berdirilah salah seorang dari mereka kemudian dia shalat bersamanya'.
(HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, hadits shahih)
Dari Ubay bin Ka'ab radhiallaahu anhu, ia berkata, 'Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda, Shalat seseorang bersama orang lain (berdua) lebih besar pahalanya dan lebih mensucikan daripada shalat sendirian, dan shalat seseorang ditemani oleh dua orang lain (bertiga) lebih besar pahalanya dan lebih menyucikan daripada shalat dengan ditemani satu orang (berdua), dan semakin banyak (jumlah jama'ah) semakin disukai oleh Allah Ta'ala'.
(HR. Ahmad, Abu Daud dan An-Nasai, hadits hasan)
d. Hadirnya Wanita Di Masjid dan Keutamaan Shalat Wanita Di Rumahnya
Para wanita boleh pergi ke masjid dan ikut melaksanakan shalat berjama'ah dengan syarat menghindarkan diri dari hal-hal yang membangkitkan syahwat dan menim-bulkan fitnah, seperti mengenakan perhiasan, bersolek dan menggunakan wangi-wangian. Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda:
Janganlah kalian melarang para wanita (pergi) ke masjid dan hendaklah mereka keluar dengan tidak me-makai wangi-wangian.
(HR. Ahmad dan Abu Daud, hadits shahih)
Dan beliau juga bersabda:
Perempuan yang mana saja yang memakai wangi-wangian, maka janganlah dia ikut shalat Isya' berjama'ah bersama kami.
(HR. Muslim)
Pada kesempatan lain, beliau juga bersabda:
Perempuan yang mana saja yang memakai wangi-wangian, kemudian dia pergi ke masjid, maka shalatnya tidak diterima sehingga dia mandi.
(HR. Ibnu Majah, hadits shahih)
Jika salah seorang dari kalian (wanita) menghadiri mesjid maka janganlah menyentuh wangi-wangian.
(HR. Muslim)
Beliau juga bersabda:
Jangan kamu melarang istri-istrimu (shalat) di masjid, namun rumah mereka sebenarnya lebih baik untuk mereka.
(HR. Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim, hadits shahih)
Dalam sabdanya yang lain:
Shalat seorang wanita di salah satu ruangan rumahnya lebih utama daripada di bagian tengah rumahnya dan shalatnya di kamar (pribadi)-nya lebih utama daripada (ruangan lain) di rumahnya.
(HR. Abu Daud dan Al-Hakim)
Beliau bersabda pula:
Sebaik-baik tempat shalat bagi kaum wanita adalah bagian paling dalam (tersembunyi) dari rumahnya.
(HR. Ahmad dan Al-Baihaqi, hadits shahih)

Bagikan

BACAAN SETELAH SHALAT

BACAAN SETELAH SHALAT
Dzikir Setelah Sholat
Dari Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz kepada seluruh orang melihat tulisan ini dari kalangan kaum muslimin
“Merupakan dari perbuatan sunnah, seorang muslim mengucapkan setelah setiap shalat fardu membaca ASTAGHFIRULLAH tiga kali, kemudian dilanjutkan dengan:
ALLAHUMMA ANTAS SALAAM WA MINKAS SALAAM TABAARAKTA YAA DZAL JALAALI WAL IKRAAM
LAA ILAAHA ILLALLAHU WAHDAHU LAA SYARIIKALAHU, LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU WAHUWA 'ALAA KULLI SYAI-IN QADIIR, LAA HAULA WA LAA QUWWATA ILLA BILLAH
LAA ILAAHA ILLALLAHU, LAA NA'BUDU ILLA IYYAHU, LAHUN NI'MATU WALAHUL FADHLU WALAHUTS TSANAA-UL HASAN, LAA ILAAHA ILLALLAHU, MUKHLISHIINA LAHUDDINA WALAU KARIHAL KAAFIRUUN, ALLAHUMMA LAA MAA NI'A LIMAA A'THOITA, WA LAA MU'TIYA LIMAA MANA'TA, WALAA YANFA'  DZAL JADDI MINKAL JADDU.
Khusus setelah shalat subuh dan maghrib, bacalah zikir yang dibawah ini sepuluh kali setelah mengucapkan zikir yang di atas:
LAA ILAAHA ILLALLAHU WAHDAHU LAA SYARIIKALAHU, LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU YUHYII WAYUMIIT WAHUWA 'ALAA KULLI SYAI-IN QADIIR
Kemudian membaca:  SUBHAANALLAH tigapuluh tiga kali,  ALHAMDULILLAH tigapuluh tiga kali;  ALLAHU AKBAR tigapuluh tiga kali; untuk melengkapi bilangan menjadi seratus bacalah:
LAA ILAAHA ILLALLAHU WAHDAHU LAA SYARIIKALAHU, LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU WAHUWA 'ALAA KULLI SYAI-IN QADIIR
Kemudian membaca ayat kursi, kemudian surat Al Ikhlas, Al Falaq dan An Nas, kalau seandainya setelah shalat subuh dan maghrib dibaca tiga kali.
Inilah yang lebih baik (afdhal) dan semoga Allah menganugerahkan shalawat dan salam kepada nabi kita Muhammad dan atas keluarga beliau dan sahabat-sahabatnya serta yang mengikutinya dengan baik sampai hari pembalasan.

Bagikan

TATA CARA SHALAT

TATA CARA SHALAT
MENGHADAP KA'BAH
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bila berdiri untuk sholat fardhu atau sholat sunnah, beliau menghadap Ka'bah. Beliau memerintahkan berbuat demikian sebagaimana sabdanya kepada orang yang sholatnya salah:
"Bila engkau berdiri untuk sholat, sempurnakanlah wudhu'mu, kemudian menghadaplah ke kiblat, lalu bertakbirlah."
(HR. Bukhari, Muslim dan Siraj).
Tentang hal ini telah turun pula firman Allah dalam Surah Al Baqarah : 115:
"Kemana saja kamu menghadapkan muka, disana ada wajah Allah."
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah sholat menghadap Baitul Maqdis, hal ini terjadi sebelum turunnya firman Allah:
"Kami telah melihat kamu menengadahkan kepalamu ke langit. Kami palingkan kamu ke kiblat yang kamu inginkan. Oleh karena itu, hadapkanlah wajahmu ke sebagian arah Masjidil Haram." (QS. Al Baqarah : 144).
Setelah ayat ini turun beliau sholat menghadap Ka'bah.
Pada waktu sholat subuh kaum muslim yang tinggal di Quba' kedatangan seorang utusan Rasulullah untuk menyampaikan berita, ujarnya, "Sesungguhnya semalam Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah mendapat wahyu, beliau disuruh menghadap Ka'bah. Oleh karena itu, (hendaklah) kalian menghadap ke sana." Pada saat itu mereka tengah menghadap ke Syam (Baitul Maqdis). Mereka lalu berputar (imam mereka memutar haluan sehingga ia mengimami mereka menghadap kiblat). (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Siraj, Thabrani, dan Ibnu Sa'ad. Baca Kitab Al Irwa', hadits No. 290).




BERDIRI
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengerjakan sholat fardhu atau sunnah berdiri karena memenuhi perintah Allah dalam QS. Al Baqarah : 238. Apabila bepergian, beliau melakukan sholat sunnah di atas kendaraannya. Beliau mengajarkan kepada umatnya agar melakukan sholat khauf dengan berjalan kaki atau berkendaraan.
"Peliharalah semua sholat dan sholat wustha dan berdirilah dengan tenang karena Allah. Jika kamu dalam ketakutan, sholatlah dengan berjalan kaki atau berkendaraan. Jika kamu dalam keadaa aman, ingatlah kepada Allah dengan cara yang telah diajarkan kepada kamu yang mana sebelumnya kamu tidak mengetahui (cara tersebut)." (QS. Al Baqarah : 238).

BERDIRI
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengerjakan sholat fardhu atau sunnah berdiri karena memenuhi perintah Allah dalam QS. Al Baqarah : 238. Apabila bepergian, beliau melakukan sholat sunnah di atas kendaraannya. Beliau mengajarkan kepada umatnya agar melakukan sholat khauf dengan berjalan kaki atau berkendaraan.
"Peliharalah semua sholat dan sholat wustha dan berdirilah dengan tenang karena Allah. Jika kamu dalam ketakutan, sholatlah dengan berjalan kaki atau berkendaraan. Jika kamu dalam keadaa aman, ingatlah kepada Allah dengan cara yang telah diajarkan kepada kamu yang mana sebelumnya kamu tidak mengetahui (cara tersebut)." (QS. Al Baqarah : 238).







KEWAJIBAN MENGHADAP SUTRAH
Sutrah (pembatas yang berada di depan orang sholat) dalam sholat menjadi keharusan imam dan orang yang sholat sendirian, sekalipun di masjid besar, demikian pendapat Ibnu Hani' dalam Kitab Masa'il, dari Imam Ahmad.
Beliau mengatakan, "Pada suatu hari saya sholat tanpa memasang sutrah di depan saya, padahal saya melakukan sholat di dalam masjid kami, Imam Ahmad melihat kejadian ini, lalu berkata kepada saya, 'Pasanglah sesuatu sebagai sutrahmu!' Kemudian aku memasang orang untuk menjadi sutrah."
Syaikh Al Albani mengatakan, "Kejadian ini merupakan isyarat dari Imam Ahmad bahwa orang yang sholat di masjid besar atau masjid kecil tetap berkewajiban memasang sutrah di depannya."
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Janganlah kamu sholat tanpa menghadap sutrah dan janganlah engkau membiarkan seseorang lewat di hadapan kamu (tanpa engkau cegah). Jika dia terus memaksa lewat di depanmu, bunuhlah dia karena dia ditemani oleh setan."
(HR. Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang jayyid (baik)).
Beliau juga bersabda:
"Bila seseorang di antara kamu sholat menghadap sutrah, hendaklah dia mendekati sutrahnya sehingga setan tidak dapat memutus sholatnya."
(HR. Abu Dawud, Al Bazzar dan Hakim. Disahkan oleh Hakim, disetujui olah Dzahabi dan Nawawi).
Dan hendaklah sutrah itu diletakkan tidak terlalu jauh dari tempat kita berdiri sholat sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berdiri shalat dekat sutrah (pembatas) yang jarak antara beliau dengan pembatas di depannya 3 hasta."
(HR. Bukhari dan Ahmad).
Adapun yang dapat dijadikan sutrah antara lain: tiang masjid, tombak yang ditancapkan ke tanah, hewan tunggangan, pelana, tiang setinggi pelana, pohon, tempat tidur, dinding dan lain-lain yang semisalnya, sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

NIAT
Niat berarti menyengaja untuk sholat, menghambakan diri kepada Allah Ta'ala semata, serta menguatkannya dalam hati.
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Semua amal tergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapat (balasan) sesuai dengan niatnya."
(HR. Bukhari, Muslim dan lain-lain. Baca Al Irwa', hadits no. 22).
Niat tidak dilafadzkan
Dan tidaklah disebutkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan tidak pula dari salah seorang sahabatnya bahwa niat itu dilafadzkan.
Abu Dawud bertanya kepada Imam Ahmad. Dia berkata, "Apakah orang sholat mengatakan sesuatu sebelum dia takbir?" Imam Ahmad menjawab, "Tidak." (Masaail al Imam Ahmad hal 31 dan Majmuu' al Fataawaa XXII/28).
AsSuyuthi berkata, "Yang termasuk perbuatan bid'ah adalah was-was (selalu ragu) sewaktu berniat sholat. Hal itu tidak pernah diperbuat oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam maupun para shahabat beliau. Mereka dulu tidak pernah melafadzkan niat sholat sedikitpun selain hanya lafadz takbir."
Asy Syafi'i berkata, "Was-was dalam niat sholat dan dalam thaharah termasuk kebodohan terhadap syariat atau membingungkan akal." (Lihat al Amr bi al Itbaa' wa al Nahy 'an al Ibtidaa').

Gerakan dan Bacaan sholat
TAKBIRATUL IHROM
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam selalu memulai sholatnya (dilakukan hanya sekali ketika hendak memulai suatu sholat) dengan takbiratul ihrom yakni mengucapkan Allahu Akbar () di awal sholat dan beliau pun pernah memerintahkan seperti itu kepada orang yang sholatnya salah. Beliau bersabda kepada orang itu:
"Sesungguhnya sholat seseorang tidak sempurna sebelum dia berwudhu' dan melakukan wudhu' sesuai ketentuannya, kemudian ia mengucapkan Allahu Akbar."
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Thabrani dengan sanad shahih).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Apabila engkau hendak mengerjakan sholat, maka sempurnakanlah wudhu'mu terlebih dahulu kemudian menghadaplah ke arah kiblat, lalu ucapkanlah takbiratul ihrom."
(Muttafaqun 'alaihi).
Takbirotul ihrom diucapkan dengan lisan
Takbirotul ihrom tersebut harus diucapkan dengan lisan (bukan diucapkan di dalam hati).
Muhammad Ibnu Rusyd berkata, "Adapun seseorang yang membaca dalam hati, tanpa menggerakkan lidahnya, maka hal itu tidak disebut dengan membaca. Karena yang disebut dengan membaca adalah dengan melafadzkannya di mulut."
An Nawawi berkata, "…adapun selain imam, maka disunnahkan baginya untuk tidak mengeraskan suara ketika membaca lafadz tabir, baik apakah dia sedang menjadi makmum atau ketika sholat sendiri. Tidak mengeraskan suara ini jika dia tidak menjumpai rintangan, seperti suara yang sangat gaduh. Batas minimal suara yang pelan adalah bisa didengar oleh dirinya sendiri jika pendengarannya normal. Ini berlaku secara umum baik ketika membaca ayat-ayat al Qur-an, takbir, membaca tasbih ketika ruku', tasyahud, salam dan doa-doa dalam sholat baik yang hukumnya wajib maupun sunnah…" beliau melanjutkan, "Demikianlah nash yang dikemukakan Syafi'i dan disepakati oleh para pengikutnya. Asy Syafi'i berkata dalam al Umm, 'Hendaklah suaranya bisa didengar sendiri dan orang yang berada disampingnya. Tidak patut dia menambah volume suara lebih dari ukuran itu.'." (al Majmuu' III/295).

MENGANGKAT KEDUA TANGAN
Disunnahkan mengangkat kedua tangannya setentang bahu (lihat gambar) ketika bertakbir dengan merapatkan jari-jemari tangannya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radiyallahu anhuma, ia berkata:
"Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa mengangkat kedua tangannya setentang bahu jika hendak memulai sholat, setiap kali bertakbir untuk ruku' dan setiap kali bangkit dari ruku'nya."
(Muttafaqun 'alaihi).
Atau mengangkat kedua tangannya setentang telinga (lihat gambar), berdasarkan hadits riwayat Malik bin Al-Huwairits radhiyyallahu anhu, ia berkata:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam biasa mengangkat kedua tangannya setentang telinga setiap kali bertakbir (didalam sholat)."
(HR. Muslim).
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Tamam dan Hakim disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya dengan membuka jari-jarinya lurus ke atas (tidak merenggangkannya dan tidak pula menggengamnya). (Shifat Sholat Nabi).

BERSEDEKAP
Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya (bersedekap). Beliau bersabda:
"Kami, para nabi diperintahkan untuk segera berbuka dan mengakhirkan sahur serta meletakkan tangan kanan pada tangan kiri (bersedekap) ketika melakukan sholat."
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Hibban dan Adh Dhiya' dengan sanad shahih).
Dalam sebuah riwayat pernah beliau melewati seorang yang sedang sholat, tetapi orang ini meletakkan tangan kirinya pada tangan kanannya, lalu beliau melepaskannya, kemudian orang itu meletakkan tangan kanannya pada tangan kirinya. (Hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad yang shahih).

Meletakkan atau menggenggam
Beliau shallallahu 'alaihi wasallam meletakkan lengan kanan pada punggung telapak kirinya, pergelangan dan lengan kirinya (lihat gambar) berdasar hadits dari Wail bin Hujur:
"Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertakbir kemudian meletakkan tangan kanannya di atas telapak tangan kiri, pergelangan tangan kiri atau lengan kirinya."
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Khuzaimah, dengan sanad yang shahih dan dishahihkan pula oleh Ibnu Hibban, hadits no. 485).
Beliau terkadang juga menggenggam pergelangan tangan kirinya dengan tangan kanannya (lihat gambar) , berdasarkan hadits Nasa'i dan Daraquthni:
"Tetapi beliau terkadang menggenggamkan jari-jari tangan kanannya pada lengan kirinya."
(sanad shahih).
Bersedekap di dada
Menyedekapkan tangan di dada adalah perbuatan yang benar menurut sunnah berdasarkan hadits:
"Beliau meletakkan kedua tangannya di atas dadanya."
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Ahmad dari Wail bin Hujur).
Cara-cara yang sesuai sunnah ini dilakukan oleh Imam Ishaq bin Rahawaih. Imam Mawarzi dalam Kitab Masa'il, halaman 222 berkata: "Imam Ishaq meriwayatkan hadits secara mutawatir kepada kami…. Beliau mengangkat kedua tangannya ketika berdo'a qunut dan melakukan qunut sebeluim ruku'. Beliau menyedekapkan tangannya berdekatan dengan teteknya." Pendapat yang semacam ini juga dikemukakan oleh Qadhi 'Iyadh al Maliki dalam bab Mustahabatu ash Sholat pada Kitab Al I'lam, beliau berkata: "Dia meletakkan tangan kanan pada punggung tangan kiri di dada."

MEMANDANG TEMPAT SUJUD
Pada saat mengerjakan sholat, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menundukkan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke tempat sujud. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin 'Aisyah radhiyallahu 'anha:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak mengalihkan pandangannya dari tempat sujud (di dalam sholat)."
(HR. Baihaqi dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).
Larangan menengadah ke langit
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang keras menengadah ke langit (ketika sholat). Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Hendaklah sekelompok orang benar-benar menghentikan pandangan matanya yang terangkat ke langit ketika berdoa dalam sholat atau hendaklah mereka benar-benar menjaga pandangan mata mereka."
(HR. Muslim, Nasa'i dan Ahmad).
Rasulullah juga melarang seseorang menoleh ke kanan atau ke kiri ketika sholat, beliau bersabda:
"Jika kalian sholat, janganlah menoleh ke kanan atau ke kiri karena Allah akan senantiasa menghadapkan wajah-Nya kepada hamba yang sedang sholat selama ia tidak menoleh ke kanan atau ke kiri."
(HR. Tirmidzi dan Hakim).
Dalam Zaadul Ma'aad (I/248) disebutkan bahwa makruh hukumnya orang yang sedang sholat menolehkan kepalanya tanpa ada keperluan. Ibnu Abdil Bar berkata, "Jumhur ulama mengatakan bawa menoleh yang ringan tidak menyebabkan shalat menjadi rusak."
Juga dimakruhkan shalat dihadapan sesuatu yang bisa merusak konsentrasi atau di tempat yang ada gambar-gambarnya, diatas sajadah yang ada lukisan atau ukiran, dihadapan dinding yang bergambar dan sebagainya.







MEMBACA DO'A ISTIFTAH
Doa istiftah yang dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bermacam-macam. Dalam doa istiftah tersebut beliau shallallahu 'alaihi wasallam mengucapkan pujian, sanjungan dan kalimat keagungan untuk Allah.
Beliau pernah memerintahkan hal ini kepada orang yang salah melakukan sholatnya dengan sabdanya:
"Tidak sempurna sholat seseorang sebelum ia bertakbir, mengucapkan pujian, mengucapkan kalimat keagungan (doa istiftah), dan membaca ayat-ayat al Qur-an yang dihafalnya…" (HR. Abu Dawud dan Hakim, disahkan oleh Hakim, disetujui oleh Dzahabi).
Adapun bacaan doa istiftah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam diantaranya adalah:
"ALLAHUUMMA BA'ID BAINII WA BAINA KHATHAAYAAYA KAMAA BAA'ADTA BAINAL MASYRIQI WAL MAGHRIBI, ALLAAHUMMA NAQQINII MIN KHATHAAYAAYA KAMAA YUNAQQATS TSAUBUL ABYADHU MINAD DANAS. ALLAAHUMMAGHSILNII BIL MAA'I WATS TSALJI WAL BARADI"
artinya:
"Ya, Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya, Allah, bersihkanlah kau dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana baju putih dibersihkan dari kotoran. Ya, Allah cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan embun." (HR. Bukhari, Muslim dan Ibnu Abi Syaibah).
Atau kadang-kadang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga membaca dalam sholat fardhu:
"WAJJAHTU WAJHIYA LILLADZII FATARAS SAMAAWAATI WAL ARDHA HANIIFAN [MUSLIMAN] WA MAA ANA MINAL MUSYRIKIIN.  INNA SHOLATII WANUSUKII WAMAHYAAYA WAMAMAATII LILLAHI RABBIL 'ALAMIIN.  LAA SYARIIKALAHU WABIDZALIKA UMIRTU WA ANA AWWALUL MUSLIMIIN.  ALLAHUMMA ANTAL MALIKU,  LAA ILAAHA ILLA ANTA [SUBHAANAKA WA BIHAMDIKA] ANTA RABBII WA ANA 'ABDUKA, DHALAMTU NAFSII, WA'TARAFTU BIDZAMBI, FAGHFIRLII DZAMBI JAMII'AN, INNAHU LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLA ANTA.  WAHDINII LI AHSANIL AKHLAAQI LAA YAHDII LI AHSANIHAA ILLA ANTA, WASHRIF 'ANNII SAYYI-AHAA LAA YASHRIFU 'ANNII SAYYI-AHAA ILLA ANTA LABBAIKA WA SA'DAIKA, WAL KHAIRU KULLUHU FII YADAIKA. WASY SYARRULAISA ILAIKA. [WAL MAHDIYYU MAN HADAITA].  ANA BIKA WA ILAIKA [LAA MANJAA WALAA MALJA-A MINKA ILLA ILAIKA. TABAARAKTA WA TA'AALAITA ASTAGHFIRUKA WAATUUBU ILAIKA"
yang artinya:
"Aku hadapkan wajahku kepada Pencipta seluruh langit dan bumu dengan penuh kepasrahan dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik. Sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku semata-mata untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sesuatu pun yang menyekutui-Nya. Demikianlah aku diperintah dan aku termasuk orang yang pertama-tama menjadi muslim. Ya Allah, Engkaulah Penguasa, tiada Ilah selain Engkau semata-mata. [Engkau Mahasuci dan Mahaterpuji], Engkaulah Rabbku dan aku hamba-Mu, aku telah menganiaya diriku dan aku mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah semua dosaku. Sesungguhnya hanya Engkaulah yang berhak mengampuni semua dosa. Berilah aku petunjuk kepada akhlaq yang paling baik, karena hanya Engkaulah yang dapat memberi petunjuk kepada akhlaq yang terbaik dan jauhkanlah diriku dari akhlaq buruk. Aku jawab seruan-Mu, sedang segala keburukan tidak datang dari-Mu. [Orang yang terpimpin adalah orang yang Engkau beri petunjuk]. Aku berada dalam kekuasaan-Mu dan akan kembali kepada-Mu, [tiada tempat memohon keselamatan dan perlindungan dari siksa-Mu kecuali hanya Engkau semata]. Engkau Mahamulia dan Mahatinggi, aku mohon ampun kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu."
(Hadits diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari, Muslim dan Ibnu Abi Syaibah)

MEMBACA TA'AWWUDZ
Membaca doa ta'awwudz adalah disunnahkan dalam setiap raka'at, sebagaimana firman Allah ta'ala:
"Apabila kamu membaca al Qur-an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk." (An Nahl : 98).
Dan pendapat ini adalah yang paling shahih dalam madzhab Syafi'i dan diperkuat oleh Ibnu Hazm (Lihat al Majmuu' III/323 dan Tamaam al Minnah 172-177).

Nabi biasa membaca ta'awwudz yang berbunyi:
"A'UUDZUBILLAHI MINASY SYAITHAANIR RAJIIM MIN HAMAZIHI WA NAFKHIHI WANAFTSIHI"
artinya:
"Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk, dari semburannya (yang menyebabkn gila), dari kesombongannya, dan dari hembusannya (yang menyebabkan kerusakan akhlaq)."
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Ibnu Majah, Daraquthni, Hakim dan dishahkan olehnya serta oleh Ibnu Hibban dan Dzahabi).
Atau mengucapkan:
"A'UUZUBILLAHIS SAMII'IL ALIIM MINASY SYAITHAANIR RAJIIM..."
artinya:
"Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk..."
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud dan Tirmidzi dengan sanad hasan).

MEMBACA AL FATIHAH
Hukum Membaca Al-Fatihah
Membaca Al-Fatihah merupakan salah satu dari sekian banyak rukun sholat, jadi kalau dalam sholat tidak membaca Al-Fatihah maka tidak sah sholatnya berdasarkan perkataan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya):
"Tidak dianggap sholat (tidak sah sholatnya) bagi yang tidak membaca Al-Fatihah"
(Hadits Shahih dikeluarkan oleh Al-Jama'ah: yakni Al-Imam Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa-i dan Ibnu Majah).
"Barangsiapa yang sholat tanpa membaca Al-Fatihah maka sholatnya buntung, sholatnya buntung, sholatnya buntung…tidak sempurna"
(Hadits Shahih dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim dan Abu 'Awwanah).
Kapan Kita Wajib Membaca Surat Al-Fatihah
Jelas bagi kita kalau sedang sholat sendirian (munfarid) maka wajib untuk membaca Al-Fatihah, begitu pun pada sholat jama'ah ketika imam membacanya secara sirr (tidak diperdengarkan) yakni pada sholat Dhuhur, 'Ashr, satu roka'at terakhir sholat Mahgrib dan dua roka'at terakhir sholat 'Isyak, maka para makmum wajib membaca surat Al-Fatihah tersebut secara sendiri-sendiri secara sirr (tidak dikeraskan).
Lantas bagaimana kalau imam membaca secara keras…?
Tentang ini Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa pernah Rasulullah melarang makmum membaca surat dibelakang imam kecuali surat Al-Fatihah:
"Betulkah kalian tadi membaca (surat) dibelakang imam kalian?" Kami menjawab: "Ya, tapi dengan cepat wahai Rasulallah." Berkata Rasul: "Kalian tidak boleh melakukannya lagi kecuali membaca Al-Fatihah, karena tidak ada sholat bagi yang tidak membacanya."
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhori, Abu Dawud, dan Ahmad, dihasankan oleh At-Tirmidzi dan Ad-Daraquthni)
Selanjutnya beliau shallallahu 'alaihi wa sallam melarang makmum membaca surat apapun ketika imam membacanya dengan jahr (diperdengarkan) baik itu Al-Fatihah maupun surat lainnya. Hal ini selaras dengan keterangan dari Al-Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal tentang wajibnya makmum diam bila imam membaca dengan jahr/keras. Berdasar arahan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Telah berkata Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :"Dijadikan imam itu hanya untuk diikuti. Oleh karena itu apabila imam takbir, maka bertakbirlah kalian, dan apabila imam membaca, maka hendaklah kalian diam (sambil memperhatikan bacaan imam itu)…"
(Hadits Shahih dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud no. 603 & 604. Ibnu Majah no. 846, An-Nasa-i. Imam Muslim berkata: Hadits ini menurut pandanganku Shahih).
"Barangsiapa sholat mengikuti imam (bermakmum), maka bacaan imam telah menjadi bacaannya juga."
(Hadits dikeluarkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah, Ad-Daraquthni, Ibnu Majah, Thahawi dan Ahmad lihat kitab Irwa-ul Ghalil oleh Syaikh Al-Albani).
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sesudah mendirikan sholat yang beliau keraskan bacaanya dalam sholat itu, beliau bertanya: "Apakah ada seseorang diantara kamu yang membaca bersamaku tadi?" Maka seorang laki-laki menjawab, "Ya ada, wahai Rasulullah." Kemudian beliau berkata, "Sungguh aku katakan: Mengapakah (bacaan)ku ditentang dengan Al-Qur-an (juga)." Berkata Abu Hurairah, kemudian berhentilah orang-orang dari membaca bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada sholat-sholat yang Rasulullah keraskan bacaannya, ketika mereka sudah mendengar (larangan) yang demikian itu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
(Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa-i dan Malik. Abu Hatim Ar Razi menshahihkannya, Imam Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan).
Hadits-hadits tersebut merupakan dalil yang tegas dan kuat tentang wajib diamnya makmum apabila mendengar bacaan imam, baik Al-Fatihahnya maupun surat yang lain. Selain itu juga berdasarkan firman Allah Ta'ala (yang artinya):
"Dan apabila dibacakan Al-Qur-an hendaklah kamu dengarkan ia dan diamlah sambil memperhatikan (bacaannya), agar kamu diberi rahmat." (Al-A'raaf : 204).
Ayat ini asalnya berbentuk umum yakni dimana saja kita mendengar bacaan Al-Qur-an, baik di dalam sholat maupun di luar sholat wajib diam mendengarkannya walaupun sebab turunnya berkenaan tentang sholat. Tetapi keumuman ayat ini telah menjadi khusus dan tertentu (wajibnya) hanya untuk sholat, sebagaimana telah diterangkan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id bin Jubair, Adh Dhohak, Qotadah, Ibarahim An Nakha-i, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan lain-lain. Lihat Tafsir Ibnu Katsir II/280-281.


Cara Membaca Al Fatihah
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membaca surat Al-Fatihah pada setiap roka'at. Membacanya dengan berhenti pada setiap akhir ayat (waqof), tidak menyambung satu ayat dengan ayat berikutnya (washol) berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud, Sahmi dan 'Amr Ad Dani, dishahihkan oleh Hakim, disetujui Adz-Dzahabi.
Jadi bunyinya:
kemudian berhenti,
kemudian berhenti,

Begitulah seterusnya sampai selesai ayat yang terakhir.
Terkadang beliau membaca: ( MAALIKI YAUMIDDIIN )
Atau dengan memendekkan bacaan 'maa' menjadi: ( MALIKI YAUMIDDIIN ), Berdasarkan riwayat yang mutawatir dikeluarkan oleh Tamam Ar Razi, Ibnu Abi Dawud, Abu Nu'aim, dan Al Hakim. Hakim menshahihkannya, dan disetujui oleh Adz-Dzahabi.

Seandainya Seseorang Belum Hafal Al-Fatihah
Bagi seseorang yang belum hafal Al Fatihah terutama bagi yang baru masuk Islam, tentu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan solusinya. Nasehatnya untuk orang yang belum hafal Al-Fatihah (tentunya dia tak berhak jadi Imam):
Ucapkanlah:

SUBHANALLAHI, WALHAMDULILLAHI, WA LAA ILAHA ILLALLAHU, WALLAHU AKBAR, WALAA HAULA WALAA QUWWATA ILLA BILLAHI
artinya:
"Maha Suci Allah, Segala puji milik Allah, tiada Ilah (yang haq) kecuali Allah, Allah Maha Besar, Tiada daya dan kekuatan kecuali karena pertolongan Allah."
(Hadits Shahih dikeluarkan oleh Al-Imam Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Hakim, Thabrani dan Ibnu Hibban disahihkan oleh Hakim dan disetujui oleh Ad-Dzahabi).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda:
"Jika kamu hafal suatu ayat Al-Qur-an maka bacalah ayat tersebut, jika tidak maka bacalah Tahmid, Takbir dan Tahlil."
(Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi dihasankan oleh At-Tirmidzi, tetapi sanadnya shahih, baca Shahih Abi Dawud hadits no. 807).

MEMBACA AMIN
Hukum Bagi Imam:
Membaca amin disunnahkan bagi imam sholat.
Dari Abu hurairah, dia berkata: "Dulu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, jika selesai membaca surat Ummul Kitab (Al-Fatihah) mengeraskan suaranya dan membaca amin."
(Hadits dikeluarkan oleh Imam Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ad-Daraquthni dan Ibnu Majah, oleh Al-Albani dalam Al-Silsilah Al-Shahihah dikatakan sebagai hadits yang berkualitas shahih)
"Bila Nabi selesai membaca Al-Fatihah (dalam sholat), beliau mengucapkan amiin dengan suara keras dan panjang."
(Hadits shahih dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Abu Dawud)
Hadits tersebut mensyari'atkan para imam untuk mengeraskan bacaan amin, demikian yang menjadi pendapat Al-Imam Al-Bukhari, As-Syafi'i, Ahmad, Ishaq dan para imam fikih lainnya. Dalam shahihnya Al-Bukhari membuat suatu bab dengan judul 'baab jahr al-imaan bi al-ta-miin' (artinya: bab tentang imam mengeraskan suara ketika membaca amin). Didalamnya dinukil perkataan (atsar) bahwa Ibnu Al-Zubair membaca amin bersama para makmum sampai seakan-akan ada gaung dalam masjidnya.
Juga perkataan Nafi' (maula Ibnu Umar): Dulu Ibnu Umar selalu membaca aamiin dengan suara yang keras. Bahkan dia menganjurkan hal itu kepada semua orang. Aku pernah mendengar sebuah kabar tentang anjuran dia akan hal itu."

Hukum Bagi Makmum:
Dalam hal ini ada beberapa petunjuk dari Nabi (Hadits), atsar para shahabat dan perkataan para ulama.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Jika imam membaca amiin maka hendaklah kalian juga membaca amiin."
Hal ini mengisyaratkan bahwa membaca amiin itu hukumnya wajib bagi makmum. Pendapat ini dipertegas oleh Asy-Syaukani. Namun hukum wajib itu tidak mutlak harus dilakukan oleh makmum. Mereka baru diwajibkan membaca amiin ketika imam juga membacanya. Adapun bagi imam dan orang yang sholat sendiri, maka hukumnya hanya sunnah. (lihat Nailul Authaar, II/262).
"Bila imam selesai membaca ghoiril maghdhuubi 'alaihim waladhdhooolliin, ucapkanlah amiin [karena malaikat juga mengucapkan amiin dan imam pun mengucapkan amiin]. Dalam riwayat lain: "(apabila imam mengucapkan amiin, hendaklah kalian mengucapkan amiin) barangsiapa ucapan aminnya bersamaan dengan malaikat, (dalam riwayat lain disebutkan: "bila seseorang diantara kamu mengucapkan amin dalam sholat bersamaan dengan malaikat dilangit mengucapkannya), dosa-dosanya masa lalu diampuni."
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa-i dan Ad-Darimi)
Syaikh Al-Albani mengomentari masalah ini sebagai berikut:
"Aku berkata: Masalah ini harus diperhatikan dengan serius dan tidak boleh diremehkan dengan cara meninggalkannya. Termasuk kesempurnaan dalam mengerjakan masalah ini adalah dengan membarengi bacaan amin sang imam, dan tidak mendahuluinya. (Tamaamul Minnah hal. 178)







BACAAN SURAT SETELAH AL FATIHAH
Membaca surat Al Qur-an setelah membaca Al Fatihah dalan sholat hukumnya sunnah karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membolehkan tidak membacanya. Membaca surat Al-Qur-an ini dilakukan pada dua roka'at pertama. Banyak hadits yang menceritakan perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang itu.

Panjang pendeknya surat yang dibaca
Pada sholat munfarid Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membaca surat-surat yang panjang kecuali dalam kondisi sakit atau sibuk, sedangkan kalau sebagai imam disesuaikan dengan kondisi makmumnya (misalnya ada bayi yang menangis maka bacaan diperpendek).
Rasulullah berkata:
"Aku melakukan sholat dan aku ingin memperpanjang bacaannya akan tetapi, tiba-tiba aku mendengar suara tangis bayi sehingga aku memperpendek sholatku karena aku tahu betapa gelisah ibunya karena tangis bayi itu."
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim)
Cara membaca surat
Dalam satu sholat terkadang beliau membagi satu surat dalam dua roka'at, kadang pula surat yang sama dibaca pada roka'at pertama dan kedua. (berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad dan Abu Ya'la, juga hadits shahih yang dikeluarkan oleh Al-Imam Abu Dawud dan Al-Baihaqi atau riwayat dari Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim, disahkan oleh Al-Hakim disetujui oleh Ad-Dzahabi)
Terkadang beliau membolehkan membaca dua surat atau lebih dalam satu roka'at.(Berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan At-Tirmidzi, dinyatakan oleh At-Tirmidzi sebagai hadits shahih)

Tata cara bacaan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasanya membaca surat dengan jumlah ayat yang berimbang antara roka'at pertama dengan roka'at kedua. (berdasar hadits shahih dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam sholat yang bacaannya di-jahr-kan Nabi membaca dengan keras dan jelas. Tetapi pada sholat dzuhur dan ashar juga pada sholat maghrib pada roka'at ketiga ataupun dua roka'at terakhir sholat isya' Nabi membacanya dengan lirih yang hanya bisa diketahui kalau Nabi sedang membaca dari gerakan jenggotnya, tetapi terkadang beliau memperdengarkan bacaannya kepada mereka tapi tidak sekeras seperti ketika di-jahr-kan. (Berdasarkan hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sering membaca suatu surat dari awal sampai selesai selesai. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
"Berikanlah setiap surat haknya, yaitu dalam setiap (roka'at) ruku' dan sujud."
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ibnu Abi Syaibah, Ahmad dan 'Abdul Ghani Al-Maqdisi)
Dalam riwayat lain disebutkan:
"Untuk setiap satu surat (dibaca) dalam satu roka'at."
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ibnu Nashr dan At-Thohawi)
Dijelaskan oleh Syaikh Al-Albani: "Seyogyanya kalian membaca satu surat utuh dalam setiap satu roka'at sehingga roka'at tersebut memperoleh haknya dengan sempurna." Perintah dalam hadits tersebut bersifat sunnah bukan wajib.
Dalam membaca surat Al-Qur-an Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melakukannya dengan tartil, tidak lambat juga tidak cepat -sebagaimana diperintahkan oleh Allah- dan beliau membaca satu per satu kalimat, sehingga satu surat memerlukan waktu yang lebih panjang dibanding kalau dibaca biasa (tanpa dilagukan). Rasulullah berkata bahwa orang yang membaca Al-Qur-an kelak akan diseru:
"Bacalah, telitilah dan tartilkan sebagaimana kamu dulu mentartilkan di dunia, karena kedudukanmu berada di akhir ayat yang engkau baca."
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dishahihkan oleh At-Tirmidzi)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membaca surat Al-Qur-an dengan suara yang bagus, maka beliau juga memerintahkan yang demikian itu:
"Perindahlah/hiasilah Al-Qur-an dengan suara kalian [karena suara yang bagus menambah keindahan Al-Qur-an]."
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari , Abu Dawud, Ad-Darimi, Al-Hakim dan Tamam Ar-Razi)
"Bukanlah dari golongan kami orang yang tidak melagukan Al-Qur-an."
(Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Al-Hakim, dishahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi)











RUKU'

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam setelah selesai membaca surat dari Al-Qur-an kemudian berhenti sejenak, terus mengangkat kedua tangannya sambil bertakbir seperti ketika takbiratul ihrom (setentang bahu atau daun telinga) kemudian rukuk (merundukkan badan kedepan dipatahkan pada pinggang, dengan punggung dan kepala lurus sejajar lantai). Berdasarkan beberapa hadits, salah satunya adalah:
Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: "Aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila berdiri dalam sholat mengangkat kedua tangannya sampai setentang kedua bahunya, hal itu dilakukan ketika bertakbir hendak rukuk dan ketika mengangkat kepalanya (bangkit) dari ruku' …."
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari, Muslim dan Malik)
Cara Ruku'
> Bila Rasulullah ruku' maka beliau meletakkan telapak tangannya pada lututnya, demikian beliau juga memerintahkan kepada para shahabatnya.
"Bahwasanya shallallahu 'alaihi wa sallam (ketika ruku') meletakkan kedua tangannya pada kedua lututnya."
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Abu Dawud)
> Menekankan tangannya pada lututnya.
"Jika kamu ruku' maka letakkan kedua tanganmu pada kedua lututmu dan bentangkanlah (luruskan) punggungmu serta tekankan tangan untuk ruku'."
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dan Abu Dawud)
> Merenggangkan jari-jemarinya (lihat gambar).
"Beliau merenggangkan jari-jarinya."
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Hakim dan dia menshahihkannya, Adz-Dzahabi dan At-Thayalisi menyetujuinya)
> Merenggangkan kedua sikunya dari lambungnya.
"Beliau bila ruku', meluruskan dan membentangkan punggungnya sehingga bila air dituangkan di atas punggung beliau, air tersebut tidak akan bergerak."
(Hadits di keluarkan oleh Al Imam Thabrani, 'Abdullah bin Ahmad dan ibnu Majah)
> Antara kepala dan punggung lurus, kepala tidak mendongak tidak pula menunduk tetapi tengah-tengah antara kedua keadaan tersebut (lihat gambar).
"Beliau tidak mendongakkan kepalanya dan tidak pula menundukkannya."
(Hadits ini diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud dan Bukhari)
"Sholat seseorang sempurna sebelum dia melakukan ruku' dan sujud dengan meluruskan punggungnya."
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu 'Awwanah, Abu Dawud dan Sahmi dishahihkan oleh Ad-Daraquthni)
> Thuma-ninah/Bersikap Tenang
Beliau pernah melihat orang yang ruku' dengan tidak sempurna dan sujud seperti burung mematuk, lalu berkata: "Kalau orang ini mati dalam keadaan seperti itu, ia mati diluar agama Muhammad [sholatnya seperti gagak mematuk makanan] sebagaimana orang ruku' tidak sempurna dan sujudnya cepat seperti burung lapar yang memakan satu, dua biji kurma yang tidak mengenyangkan."
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Ya'la, Al-Ajiri, Al-Baihaqi, Adh-Dhiya' dan Ibnu Asakir dengan sanad shahih, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)
> Memperlama Ruku'
"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan ruku', berdiri setelah ruku' dan sujudnya juga duduk antara dua sujud hampir sama lamanya."
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Muslim)
Yang Dibaca Ketika Ruku'
Do'a yang dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ada beberapa macam, semuanya pernah dibaca oleh beliau jadi kadang membaca ini kadang yang lain.
1. SUBHAANA RABBIYAL 'ADHZIM 3 kali atau lebih (Berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain).
Yang artinya:
"Maha Suci Rabbku, lagi Maha Agung."
2. SUBHAANA RABBIYAL 'ADHZIMI WA BIHAMDIH 3 kali (Berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad, Abu Dawud, Ad-Daroquthni dan Al-Baihaqi).

Yang artinya:
"Maha Suci Rabbku lagi Maha Agung dan segenap pujian bagi-Nya."
3. SUBBUUHUN QUDDUUSUN RABBUL MALA-IKATI WAR RUUH (Berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan Abu 'Awwanah).

Yang artinya:
"Maha Suci, Maha Suci Rabb para malaikat dan ruh."
4. SUBHAANAKALLAHUMMA WA BIHAMDIKA ALLAHUMMAGHFIRLII

Yang artinya:
"Maha Suci Engkau ya, Allah, dan dengan memuji-Mu Ya, Allah ampunilah aku."
Berdasarkan hadits dari 'A-isyah, bahwasanya dia berkata:
"Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memperbanyak membaca Subhanakallahumma Wa Bihamdika Allahummaghfirlii dalam ruku'nya dan sujudnya, beliau mentakwilkan Al-Qur-an."
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Muslim).
Do'a ini yang paling sering dibaca. Dikatakan bahwa ada riwayat dari 'A-isyah yang menunjukkan bahwa Rasulullah sejak turunnya surat An-Nashr -yang artinya: "Hendaklah engkau mengucapkan tasbih dengan memuji Rabbmu dan memohon ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat." (TQS. An-Nashr 110:3)-, waktu ruku' dan sujud beliau shallallahu 'alaihi wa sallam selalu membaca do'a ini hingga wafatnya.

5. Dan lain-lain sesuai dengan hadits-hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.


Yang Dilarang Ketika Ruku'
Larangan disini adalah larangan dari Rasulullah bahwa sewaktu ruku' kita tidak boleh membaca Al-Qur-an. Berdasarkan hadits:
"Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang membaca Al-Qur-an dalam ruku' dan sujud."
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan Abu 'Awwanah)
"Ketahuilah bahwa aku dilarang membaca Al-Qur-an sewaktu ruku' dan sujud…"
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan Abu 'Awwanah).


I'TIDAL DARI RUKU'
Cara i'tidal dari ruku'

Setelah ruku' dengan sempurna dan selesai membaca do'a, maka kemudian bangkit dari ruku' (i'tidal). Waktu bangkit tersebut membaca (SAMI'ALLAAHU LIMAN HAMIDAH) disertai dengan mengangkat kedua tangan sebagaimana waktu takbiratul ihrom. Hal ini berdasarkan keterangan beberapa hadits, diantaranya:
Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: "Aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila berdiri dalam sholat mengangkat kedua tangannya sampai setentag kedua pundaknya, hal itu dilakukan ketika bertakbir mau rukuk dan ketika mengangkat kepalanya (bangkit ) dari ruku' sambil mengucapkan SAMI'ALLAAHU LIMAN HAMIDAH…"
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Bukhari, Muslim dan Malik).
Yang Dibaca Ketika I'tidal dari Ruku'
Seperti ditunjuk hadits di atas ketika bangkit (mengangkat kepala) dari ruku' itu membaca: (SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH)
Kemudian ketika sudah tegak dan selesai bacaan tersebut disahut dengan bacaan:

RABBANAA LAKAL HAMD (Rabbku, segala puji kepada-Mu)
atau
RABBANAA WA LAKAL HAMD (Rabbku dan segala puji kepada-Mu)
atau
ALLAAHUMMA RABBANAA LAKAL HAMD (Ya, Allah, Rabbku, segala puji kepada-Mu)
atau
ALLAAHUMMA RABBANAA WA LAKAL HAMD (Ya, Allah, Rabbku dan segala puji kepada-Mu)
Dalilnya adalah hadits dari Abu Hurairah:
"Apabila imam mengucapkan SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH, maka ucapkanlah oleh kalian ALLAHUMMA RABBANA WA LAKALHAMD, barangsiapa yang ucapannya tadi bertepatan dengan ucapan para malaikat diampunkan dosa-dosanya yang telah lewat."
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Ztirmidzi, An-Nasa-i, Ibnu Majah dan Malik)
Kadang ditambah dengan bacaan:

MIL-ASSAMAAWAATI, WA MIL-ALARDHL, WA MIL-A MAA SYI-TA MIN SYAI-IN BA'D
(Mencakup seluruh langit dan seluruh bumi dan segenap yang Engkau kehendaki selain dari itu)
berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah.
Dan Do'a lain-lain

Cara I'tidal
Adapun dalam tata cara i'tidal ulama berbeda pendapat menjadi dua pendapat, pertama mengatakan sedekap dan yang kedua mengatakan tidak bersedekap tapi melepaskannya. Tapi yang rajih menurut kami adalah pendapat pertama. Bagi yang hendak mengerjakan pendapat yang pertama tidak apa-apa dan bagi siapa yang mengerjakan sesuai dengan pendapat kedua tidak mengapa.
Keterangan untuk pendapat pertama: Kembali meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri atau menggenggamnya dan menaruhnya di dada, ketika telah berdiri (lihat gambar). Hal ini berdasarkan nash dibawah ini:
Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam An-Nasa-i yang artinya: "Ia (Wa-il bin Hujr) berkata: "Saya melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila beliau berdiri dalam sholat, beliau memgang tangan kirinya dengan tangan kanannya."
Berkata Al-Imam Al-Bukhari dalam shahihnya: "Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah, ia berkata dari Malik, ia berkata dari Abu Hazm, ia berkata dari Sahl bin Sa'd ia berkata: "Adalah orang-orang (para shahabat) diperintah (oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ) agar seseorang meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya dalam sholat." Komentar Abu Hazm: "Saya tidak mengetahui perintah tersebut kecuali disandarkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ."
Komentar dari Syaikh Abdul 'Aziz bin Abdillah bin Baaz (termaktub dalam fatwanya yang dimuat dalam majalah Rabithah 'Alam Islamy, edisi Dzulhijjah 1393 H/Januari 1974 M, tahun XI): "Dari hadits shahih ini ada petunjuk diisyaratkan meletakkan tangan kanan atas tangan kiri ketika seorang Mushalli (orang yang sholat) tengah berdiri baik sebelum ruku' maupun sesudahnya. Karena Sahl menginformasikan bahwa para shahabat diperintahkan untuk meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya dalam sholat. Dan sudah dimengerti bahwa Sunnah (Nabi) menjelaskan orang sholat dalam ruku' meletakkan kedua telapak tangangnya pada kedua lututnya, dan dalam sujud ia meletakkan kedua telapak tangannya pada bumi (tempat sujud) sejajar dengan keddua bahunya atau telinganya, dan dalam keadaan duduk antara dua sujud begitu pun dalam tasyahud ia meletakkannya di atas kedua pahanya dan lututnya dengan dalil masing-masing secara rinci. Dalam rincian Sunnah tersebut tidak tersisa kecuali dalam keadaan berdiri. Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwasanya maksud dari hadits Sahl diatas adalah disyari'atkan bagi Mushalli ketika berdiri dalam sholat agar meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya. Sama saja baik berdiri sebelum ruku' maupun sesudahnya. Karena tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membedakan antara keduanya, oleh karena itu barangsiapa membedakan keduanya haruslah menunjukkan dalilnya. (Kembali pada kaidah ushul fiqh: "asal dari ibadah adalah haram kecuali ada penunjukannya" -per.)
Disamping itu ada pula ketetapan dari hadits Wa-il bin Hujr pada riwayat An-Nasa-i dengan sanad yang shahih: Bahwasanya apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri dalam sholat beliau memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya."
Wallaahu a'lamu bishshawab.


Thuma-ninah dan Memperlama Dalam I'tidal
"Kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau berdiri dengan tegak [sehingga tiap-tiap ruas tulang belakangmu kembali pata tempatnya]." (dalam riwayat lain disebutkan: "Jika kamu berdiri i'tidal, luruskanlah punggungmu dan tegakkanlah kepalamu sampai ruas tulang punggungmu mapan ke tempatnya)."
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim, dan riwayat lain oleh Ad-Darimi, Al-Hakim, As-Syafi'i dan Ahmad)
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri terkadang dikomentari oleh shahabat: "Dia telah lupa" [karena saking lamanya berdiri].
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad)


SUJUD
Sujud dilakukan setelah i'tidal thuma-ninah dan jawab tasmi' (Rabbana Lakal Hamd...dst).

Caranya
Dengan tanpa atau kadang-kadang dengan mengangkat kedua tangan (setentang pundak atau daun telinga) seraya bertakbir, badan turun condong kedepan menuju ke tempat sujud, dengan meletakkan kedua lutut terlebih dahulu (lihat gambar) baru kemudian meletakkan kedua tangan (lihat gambar) pada tempat kepala diletakkan dan kemudian meletakkan kepala kepala dengan menyentuhkan/menekankan hidung dan jidat/kening/dahi ke lantai (tangan sejajar dengan pundak atau daun telinga).
Dari Wail bin Hujr, berkat, "Aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika hendak sujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan apabila bangkit mengangkat dua tangan sebelum kedua lututnya."
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud, Tirmidzi An-Nasa'i, Ibnu Majah dan Ad-Daarimy)
"Terkadang beliau mengangkat kedua tangannya ketika hendak sujud."
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam  An-Nasa'i dan Daraquthni)
"Terkadang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam meletakkan tangannya [dan membentangkan] serta merapatkan jari-jarinya dan menghadapkannya ke arah kiblat."
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud, Al-Hakim, Al-Baihaqi)
"Beliau meletakkan tangannya sejajar dengan bahunya"
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Tirmidzi)
"Terkadang beliau meletakkan tangannya sejajar dengan daun telinganya."
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam An-Nasa'i)
Cara Sujud
> Bersujud pada 7 anggota badan (lihat gambar), yakni jidat/kening/dahi dan hidung (1), dua telapak tangan (3), dua lutut (5) dan dua ujung kaki (7). Hal ini berdasar hadits:
Dari Ibnu 'Abbas berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Aku diperintah untuk bersujud (dalam riwayat lain; Kami diperintah untuk bersujud) dengan tujuh (7) anggota badan; yakni kening sekaligus hidung, dua tangan (dalam lafadhz lain; dua telapak tangan), dua lutut, jari-jari kedua kaki dan kami tidak boleh menyibak lengan baju dan rambut kepala."
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Jama'ah)
> Dilakukan dengan menekan
"Apabila kamu sujud, sujudlah dengan menekan."
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad)
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menekankan kedua lututnya dan bagian depan telapak kaki ke tanah."
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Baihaqi)
> Kedua lengan/siku tidak ditempelkan pada lantai, tapi diangkat dan dijauhkan dari sisi rusuk/lambung.
Dari Abu Humaid As-Sa'diy, bahwasanya Nabi shalallau 'alaihi wasallam bila sujud maka menekankan hidung dan dahinya di tanah serta menjauhkan kedua tangannya dari dua sisi perutnya, tangannya ditaruh sebanding dua bahu beliau."
(Diriwayatkan oleh Al Imam At-Tirmidzi)
Dari Anas bin Malik, dari Nabi shalallau 'alaihi wasallam bersabda:
"Luruskanlah kalian dalam sujud dan jangan kamu menghamparkan kedua lengannya seperti anjing menghamparkan kakinya."
(Diriwayatkan oleh Al-Jama'ah kecuali Al Imam An-Nasa-i, lafadhz ini bagi Al Imam Al-Bukhari)
"Beliau mengangkat kedua lengannya dari lantai dan menjauhkannya dari lambungnya sehingga warna putih ketiaknya terlihat dari belakang"
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Muslim)
> Menjauhkan perut/lambung dari kedua paha
Dari Abi Humaid tentang sifat sholat Rasulillah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Apabila dia sujud, beliau merenggangkan antara dua pahanya (dengan) tidak menopang perutnya."
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud)
> Merapatkan jari-jemari
Dari Wa-il, bahwasanya Nabi shalallau 'alaihi wasallam jika sujud maka merapatkan jari-jemarinya.
(Diriwayatkan oleh Al Imam Al-Hakim)
> Menegakkan telapak kaki dan saling merapatkan/menempelkan antara dua tumit
Berkata 'A-isyah isteri Nabi shalallau 'alaihi wasallam: "Aku kehilangan Rasulullah shalallau 'alaihi wasallam padahal beliau tadi tidur bersamaku, kemudian aku dapati beliau tengah sujud dengan merapatkan kedua tumitnya (dan) menghadapkan ujung-ujung jarinya ke kiblat, aku dengar…"
(Diriwayatkan oleh Al Imam Al-Hakim dan Ibnu Huzaimah)
> Thuma-ninah dan sujud dengan lama
Sebagaimana rukun sholat yang lain mesti dikerjakan dengan thuma-ninah. Juga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kalau bersujud baiasanya lama.
"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan ruku', berdiri setelah ruku' dan sujudnya juga duduk antara dua sujud hampir sama lamanya."
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Muslim)
Sujud Langsung Pada Tanah atau Boleh Di Atas Alas
"Para shahabat sholat berjama'ah bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada cuaca yang panas. Bila ada yang tidak sanggup menekankan dahinya di atas tanah maka membentangkan kainnya kemudian sujud di atasnya"
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim)
Bacaan Sujud
Rasulullah membaca
SUBHAANA RABBIYAL A'LAA 3 kali
(berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dll)
atau kadang-kadang membaca
SUBHAANA RABBIYAL A'LAA WA BIHAMDIH, 3 kali
(berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud dll)
atau
SUBHAANAKALLAAHUMMA RABBANAA WA BIHAMDIKA ALLAAHUMMAGHFIRLII
(berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Muslim)
Bacaan Yang Dilarang Selama Sujud
"Ketahuilah bahwa aku dilarang membaca Al-Qur-an sewaktu ruku' dan sujud…"
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan Abu 'Awwanah).

BANGUN DARI SUJUD PERTAMA
Setelah sujud pertama -dimana dalam setiap roka'at ada dua sujud- maka kemudian bangun untuk melakukan duduk diantara dua sujud. Dalam bangun dari sujud ini disertai dengan takbir dan kadang mengangkat tangan (Berdasar hadits dari Ahmad dan Al-Hakim).
"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bangkit dari sujudnya seraya bertakbir"
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim)







DUDUK ANTARA DUA SUJUD

Duduk ini dilakukan antara sujud yang pertama dan sujud yang kedua, pada roka'at pertama sampai terakhir. Ada dua macam tipe duduk antara dua sujud, duduk iftirasy (duduk dengan meletakkan pantat pada telapak kaki kiri dan kaki kanan ditegakkan) (lihat gambar) dan duduk iq'ak (duduk dengan menegakkan kedua telapak kaki dan duduk diatas tumit). Hal ini berdasar hadits:
Dari 'A-isyah berkata: "Dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menghamparkan kaki beliau yang kiri dan menegakkan kaki yang kanan, baliau melarang dari duduknya syaithan."
(Diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim)
*Komentar Syaikh Al-Albani: duduknya syaithan adalah dua telapak kaki ditegakkan kemudian duduk dilantai antara dua kaki tersebut dengan dua tangan menekan dilantai.
Dari Rifa'ah bin Rafi' -dalam haditsnya- dan berkata Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam : "Apabila engkau sujud maka tekankanlah dalam sujudmu lalu kalau bangun duduklah di atas pahamu yang kiri."
(Hadits dikeluarkan oleh Ahmad dan Abu Dawud dengan lafadhz Abu Dawud)
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terkadang duduk iq'ak, yakni [duduk dengan menegakkan telapak dan tumit kedua kakinya].
(Hadits dikeluarkan oleh Muslim)
Waktu duduk antara dua sujud ini telapak kaki kanan ditegakkan dan jarinya diarahkan ke kiblat:
Beliau menegakkan kaki kanannya (Al-Bukhari)
Menghadapkan jari-jemarinya ke kiblat (An-Nasa-i)

Bacaannya
RABBIGHFIRLII, RABBIGHFIRLII
Dari Hudzaifah, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan dalam sujudnya (dengan do'a): Rabighfirlii, Rabbighfirlii.
(Hadits dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan lafadhz Ibnu Majah)

ALLAAHUMMAGHFIRLII WARHAMNII WA 'AAFINII WAHDINII WARZUQNII
(Abu Dawud)

ALLAAHUMMAGHFIRLII WARHAMNII WAJBURNII WARZUQNII WARFA'NII
(Ibnu Majah)

ALLAAHUMMAGHFIRLII WARHAMNII WAJBURNII WAHDINII WARZUQNII
(At-Tirmidzi)
Thuma-ninah dan Lama

Lihat tata cara ruku' Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sholat.



MENUJU ROKA'AT BERIKUTNYA
Pada masalah ini ada dua tempat/kondisi, yaitu bangkit menuju roka'at berikut dari posisi sujud kedua -pada akhir roka'at pertama dan ketiga- dan bangkit dari posisi duduk tasyahhud awal -pada roka'at kedua.

> Bangkit/bangun dari sujud untuk berdiri (dari akhir roka'at pertama dan ketiga) didahului dengan duduk istirahat atau tanpa duduk istirahat, bangkit berdiri seraya bertakbir tanpa mengangkat kedua tangan. Ketika bangkit bisa dengan tangan bertumpu pada lantai atau bisa juga bertumpu pada pahanya.
Tangan bertumpu pada satu pahanya
Dari Wail bin Hujr dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ,berkata (Wa-il); "Maka tatkala Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersujud dia meletakkan kedua lututnya ke lantai sebelum meletakkan kedua tangannya; Berkata (Wa-il): Bila sujud maka …..dan apabila bangkit dia bangkit atas kedua lututnya dengan bertumpu pada satu paha."
(Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud)
Tangan bertumpu pada lantai (tempat sujud)
Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertumpu pada lantai ketika bangkit ke roka'at kedua.
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Bukhari)
Diselai duduk istirahat
Dari Malik bin Huwairits bahwasanya di malihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sholat, maka bila pada roka'at yang ganjil tidaklah beliau bangkit sampai duduk terlebih dulu dengan lurus."
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Bukhari, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
> Bangkit dari duduk tasyahhud awwal (dari roka'at kedua) dengan mengangkat kedua tangan seraya bertakbir seperti pada takbiratul ihram.
Mengangkat tangan ketika takbir
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika bangkit dari duduknya mengucapkan takbir, kemudian berdiri
(Hadits dikeluarkan oleh Abu Ya'la)


DUDUK TASYAHHUD AWWAL DAN TASYAHHUD AKHIR
Tasyahhud awwal dan duduknya merupakan kewajiban dalam sholat

Tempat dilakukannya
Duduk tasyahhud awwal terdapat hanya pada sholat yang jumlah roka'atnya lebih dari dua (2), pada sholat wajib dilakukan pada roka'at yang ke-2. Sedang duduk tasyahhud akhir dilakukan pada roka'at yang terakhir. Masing-masing dilakukan setelah sujud yang kedua.

Cara duduk tasyahhud awwal dan tasyahhud akhir
Waktu tasyahhud awwal duduknya iftirasy (duduk diatas telapak kaki kiri) (lihat gambar) sedang pada tasyahhud akhir duduknya tawaruk (duduk dengan kaki kiri dihamparkan kesamping kanan dan duduk diatas lantai) (lihat gambar), pada masing-masing posisi kaki kanan ditegakkan.
Dari Abi Humaid As-Sa'idiy tentang sifat sholat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dia berkat, "Maka apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam duduk dalam dua roka'at (-tasyahhud awwal) beliau duduk diatas kaki kirinya dan bila duduk dalam roka'at yang akhir (-tasyahhud akhir) beliau majukan kaki kirinya dan duduk di tempat kedudukannya (lantai dll)."
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud)
Letak tangan ketika duduk
Untuk kedua cara duduk tersebut tangan kanan ditaruh di paha kanan sambil berisyarat dan/atau menggerak-gerakkan jari telunjuk dan penglihatan ditujukan kepadanya, sedang tangan kirinya ditaruh/terhampar di paha kiri (lihat gambar).
Dari Ibnu 'Umar berkata Rasulullahi shallallahu 'alaihi wa sallam bila duduk didalam shalat meletakkan dua tangannya pada dua lututnya dan mengangkat telunjuk yang kanan lalu berdoa dengannya sedang tangannya yang kiri diatas lututnya yang kiri, beliau hamparkan padanya."
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan Nasa-i).
Berisyarat dengan telunjuk, bisa digerakkan bisa tidak
Selama melakukan duduk tasyahhud awwal maupun tasyahhud akhir, berisyarat dengan telunjuk kanan, disunnahkan menggerak-gerakkannya. Kadang pada suatu sholat digerakkan pada sholat lain boleh juga tidak digerak-gerakkan.
"Kemudian beliau duduk, maka beliau hamparkan kakinya yang kiri dan menaruh tangannya yang kiri atas pahanya dan lututnya yang kiri dan ujung sikunya diatas paha kanannya, kemudian beliau menggenggam jari-jarinya dan membuat satu lingkaran kemudian mengangkat jari beliau maka aku lihat beliau menggerak-gerakkannya berdo'a dengannya."
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasa-i).

"Dari Abdullah Bin Zubair bahwasanya ia menyebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berisyarat dengan jarinya ketika berdoa dan tidak menggerakannya."
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud).

Membaca do'a At-Tahiyyaat dan As-Sholawaat
Do'a tahiyyat ini ada beberapa versi, untuk hendaklah dipilih yang kuat dan lafadhznya belum ditambah-tambah. Salah satu contoh riwayat yang baik adalah sebagai berikut:
Berkata Abdullah : "Kami apabila shalat di belakang nabi shallallahu 'alaihi wa sallam keselamatan atas jibril dan mikail keselamatan atas si fulan dan si fulan maka rasulullah berpaling kepada kami. Lalu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : sesungguhnya Allah itu As-salam maka apabila shalat hendaklah kalian itu mengucapkan:
"AT-TAHIYYAATU LILLAHI WAS SHOLAWATU WAT THAYYIBAAT, AS-SALAMU'ALAIKA AYYUHAN NABIY WA RAHMATULLAHI WA BARAKATUHU, AS-SALAAMU 'ALAINA WA 'ALAA 'IBAADILLAHIS SHALIHIN. ASYHADU ALLAA ILAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN 'ABDUHU WA RASULUHU"
artinya: segala kehormaatan, shalawat dann kebaikan kepunyaan Allah, semoga keselamatan terlimpah atasmu wahai Nabi dan juga rahmat Allah dan barakah-Nya. Kiranya keselamatan tetap atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang shalih; -karena sesungguhnya apabila kalian mengucapkan sudah mengenai semua hamba Allah yang shalih di langit dan di bumi- Aku bersaksi bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq selain Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammmad itu hamba daan utusan-Nya.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari).

Dari Ka'ab bin Ujrah berkata : "Maukah aku hadiahkan kepadamu sesuatu ? Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam datang kepada kami, maka kami berkata : 'Ya Rasulullah kami sudah tahu bagaimana cara mengucapkan salam kepadamu, lantas bagaimana kami harus bershalawat kepadamu? Beliau berkata : ucapkanlah:

"ALLAAHUMMA SHALLI 'ALA MUHAMMAD WA 'ALAA AALI MUHAMMAD KAMAA SHALLAITA 'ALAA AALI IBRAHIIM, INNAKA HAMIIDUM MAJIID. ALLAAHUMMA BAARIK 'ALAA MUHAMMAD WA 'ALAA AALI MUHAMMAD KAMAA BARAKTA 'ALAA AALI IBRAHIIM, INNAKA HAMIIDUM MAJIID."
artinya: "Ya Allah berikanlah Shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberikan shalawat kepada keluarga Ibarahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung. Ya Allah berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkati keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung."
Berdo'a berlindung dari empat (4) hal.
Hal ini dilakukan pada duduk tasyahhud akhir saja.
…..Apabila kamu telah selesai bertasyahhud akhir maka…
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Agar tidak menyalahi riwayat -hadits Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam- ini maka dalam tasyahhud awwal bacaannya berhenti sampai membaca sholawat pada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, sedang ta'awudz (berlindung dari 4 hal) ini dibaca hanya ketika tasyahhud akhir.
Dari Abu Hurairah berkata; berkata Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam : "Apabila kamu telah selesai bertasyahhud maka hendaklah berlindung kepada Allah dari empat (4) hal, dia berkata:

"ALLAAHUMMA INNII A'UUDZUBIKA MIN 'ADZAABI JAHANNAMA WA MIN 'ADZAABIL QABRI WA MIN FITNATIL MAHYAA WAL MAMAAT WA MIN FITNATIL MASIIHID DAJJAAL."
artinya: "Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari siksa jahannam, siksa kubur, fitnahnya hidup dan mati serta fitnahnya Al-Masiihid Dajjaal."
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Muslim dengan lafadhz Muslim)
Berdo'a dengan do'a/permohonan lainnya
…kemudian (supaya) dia memilih do'a yang dia kagumi/senangi…
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dan Al-Bukhari)

SALAM
Salam sebagai tanda berakhirnya gerakan sholat, dilakukan dalam posisi duduk tasyahhud akhir setelah membaca do'a minta perlindungan dari 4 fitnah atau tambahan do'a lainnya.
"Kunci sholat adalah bersuci, pembukanya takbir dan penutupnya (yaitu sholat) adalah mengucapkan salam."
(Hadits dikeluarkan dan disahkan oleh Al Imam Al-Hakim dan Adz-Dzahabi)

Caranya
Dengan menolehkan wajah ke kanan seraya mengucapkan do'a salam kemudian ke kiri.
Dari 'Amir bin Sa'ad, dari bapaknya berkata: Saya melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberi salam ke sebelah kanan dan sebelah kirinya hingga terlihat putih pipinya.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad, Muslim dan An-Nasa-i serta ibnu Majah)

Dari 'Alqomah bin Wa-il, dari bapaknya, ia berkata: Aku sholat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam maka beliau membaca salam ke sebelah kanan (menoleh ke kanan): "As Salamu'alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh." Dan kesebelah kiri: "As Salamu'alaikum Wa Rahmatullahi."
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud)
Macam-macam Bacaan Salam
Kadang-kadang beliau membaca:
As Salamu'alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh--- As Salamu'alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh
atau
As Salamu'alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh--- As Salamu'alaikum Wa Rahmatullahi
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)
atau
As Salamu'alaikum Wa Rahmatullahi--- As Salamu'alaikum Wa Rahmatullahi
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim)
atau
As Salamu'alaikum Wa Rahmatullahi--- As Salamu'alaikum
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dan An-Nasa-i)
atau
As Salamu'alaikum dengan sedikit menoleh ke kanan tanpa menoleh ke kiri
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Baihaqi dan Ath-Thabrani)

Gerak yang dilarang

Sering terlihat orang yang mengucapkan salam ketika menoleh ke-kanan dibarengai dengan gerakan telapak tangan dibuka kemudian ketika menoleh ke kiri tangan kirinya di buka. Gerakan tangan ini dilarang oleh shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Mengapa kamu menggerakkan tangan kamu seperti gerakan ekor kuda yang lari terbirit-birit dikejar binatang buas? Bila seseorang diantara kamu mengucapkan salam, hendaklah ia berpaling kepada temannya dan tidak perlu menggerakkan tangannya." [Ketika mereka sholat lagi bersama Rasullullah, mereka tidak melakukannya lagi]. (Pada riwayat lain disebutkan: "Seseorang diantara kamu cukup meletakkan tangannya di atas pahanya, kemudian ia mengucapkan salam dengan berpaling kepada saudaranya yang di sebelah kanan dan saudaranya di sebelah kiri).
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim, Abu 'Awanah, Ibnu Khuzaimah dan At-Thabrani).
Diantara gerakkan bid’ah yang dilakukan saat salam adalah gerakkan yang dilakukan oleh orang syi’ah dengan menepukkan kedua tangannya di atas paha tiga kali, sebagai pengganti salam dengan menoleh ke kanan dan ke kiri. Hal seperti ini dilakukan oleh syi’ah Iran dan sekitarnya. Maksud dari gerakan itu adalah melaknat malaikat Jibril karena mereka mengatakan Jibril telah salah menyampaikan wahyu.

MELURUSKAN DAN MERAPATKAN SHAF DALAM SHOLAT BERJAMAAH
Di antara syari'at yang diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada umatnya adalah meluruskan dan merapatkan shaf dalam shalat berjamaah. Barangsiapa yang melaksanakan syari'at, petunjuk dan ajaran-ajarannya dalam meluruskan dan merapatkan shaf, sungguh dia telah menunjukkan ittiba' nya [mengikuti] dan kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Adapun hadits-hadits yang memerintahkan untuk meluruskan dan merapatkan shaf diantaranya sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
Artinya: "Apakah kalian tidak berbaris sebagaimana berbarisnya para malaikat di sisi Rabb mereka ?" Maka kami berkata: "Wahai Rasulullah , bagaimana berbarisnya malaikat di sisi Rabb mereka ?" Beliau menjawab : "Mereka menyempurnakan barisan-barisan [shaf-shaf], yang pertama kemudian [shaf] yang berikutnya, dan mereka merapatkan barisan"
[HR. Muslim, An Nasa'i dan Ibnu Khuzaimah].
Dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari An Nu'man bin Basyir, Beliau shallallahu 'alaihi wasallam berkata:
Artinya: Dahulu Rasullullah meluruskan shaf kami sampai seperti meluruskan anak panah hingga beliau memandang kami telah paham apa yang beliau perintahkan kepada kami (sampai shof kami telah rapi-pent), kemudian suatu hari beliau keluar (untuk shalat) kemudian beliau berdiri, hingga ketika beliau akan bertakbir, beliau melihat seseorang yang membusungkan dadanya, maka beliau bersabda: "Wahai para hamba Allah, sungguh kalian benar-benar meluruskan shaf atau Allah akan memperselisihkan wajah-wajah kalian".
[HR. Muslim]
Sedangkan hadits yang diriwayatkan dari Anas ra., Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
Artinya: "Tegakkan [luruskan dan rapatkan, pent-] shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya aku melihat kalian dari balik punggungku"
[HR. Al Bukhari dan Muslim],
dan pada riwayat Al Bukhari, Anas r.a. berkata:
"Dan salah satu dari kami menempelkan bahunya pada bahu temannya dan kakinya pada kaki temannya"
sedangkan pada riwayat Abu Ya'la, berkata Anas:
"Dan jika engkau melakukan yang demikian itu pada hari ini, sungguh engkau akan melihat salah satu dari mereka seolah-olah seperti keledai liar yaitu dia akan lari darimu."
Dari hadits-hadits di atas menunjukkan betapa pentingnya meluruskan dan merapatkan shaf pada waktu shalat berjamaah karena hal tersebut termasuk kesempurnaan shalat sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
"Luruskan shaf-shaf kalian, karena lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat".
Bahkan sampai ada sebagian ulama yang mewajibkan hal itu, sebagaimana perkataan Syeikh Al-Albani rahimahullah dalam mengomentari sabda nabi shallallahu 'alaihi wasallam : '... atau Allah akan memperselisihkan wajah-wajah kalian': "Sesungguhnya ancaman semacam ini tidak dikatakan didalam perkara yang tidak diwajibkan, sebagaimana tidak samar lagi [pengertian seperti itu dikalangan ahli ilmu, pent-]". Akan tetapi sungguh amat sangat disayangkan, sunnah meluruskan dan merapatkan shaf ini telah diremehkan bahkan dilupakan kecuali oleh segelintir kaum muslimin.
Berkata Syeikh Masyhur Hasan Salman: "Apabila jamaah shalat tidak melaksanakan sebagaimana yang dilakukan oleh Anas dan An Nu'man maka akan selalu ada celah dan ketidaksempurnaan dalam shaf. Dan pada kenyataannya -kebanyakan- para jamaah shalat apabila mereka merapatkan shaf maka akan luaslah shaf [menampung banyak jamaah, pent-] khususnya shaf pertama kemudian yang kedua dan yang ketiga. Apabila mereka tidak melakukannya, maka:
Pertama: Mereka terjerumus dalam larangan syar'i, yaitu tidak meluruskan dan merapatkan shaf.
Kedua: Mereka meninggalkan celah untuk syaithan dan Allah akan memutuskan mereka, sebagaimana hadits dari Umar bin Al Khaththab bahwasanya Nabi bersabda:
"Tegakkan shaf-shaf kalian dan rapatkan bahu-bahu kalian dan tutuplah celah-celah dan jangan kalian tinggalkan celah untuk syaithan, barangsiapa yang menyambung shaf niscaya Allah akan menyambungnya dan barangsiapa memutus shaf niscaya Allah akan memutuskannya".
[HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim ]
Ketiga: Terjadi perselisihan dalam hati-hati mereka dan timbul banyak pertentangan di antara mereka, sebagaimana dalam hadits An Nu'man terdapat faedah yang menjadi terkenal dalam ilmu jiwa, yaitu: sesungguhnya rusaknya dhahir mempengaruhi rusaknya batin dan kebalikannya. Disamping itu bahwa sunnah meluruskan dan merapatkan shaf menunjukkan rasa persaudaraan dan saling tolong-menolong, sehingga bahu si miskin menempel dengan bahu si kaya dan kaki orang lemah merapat dengan kaki orang kuat, semuanya dalam satu barisan seperti bangunan yang kuat, saling menopang satu sama lainnya.
Keempat: Mereka kehilangan pahala yang besar yang dikhabarkan dalam hadits-hadits yang shahih, di antaranya sabda Nabi:
Artinya: "Sesungguhnya Allah dan para malaikatnya bershalawat kepada orang yang menyambung shaf".
[HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Hiban dan Ibnu Khuzaimah].
Dan sabda Nabi yang shahih:
"Barangsiapa menyambung shaf niscaya Allah akan menyambungnya".
[HR.Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah]
Dan sabda Nabi yang lain:
Artinya: "Sebaik-baik kalian adalah yang paling lembut bahunya (mau untuk ditempeli bahu saudaranya -pent) ketika shalat, dan tidak ada langkah yang lebih besar pahalanya daripada langkah yang dilakukan seseorang menuju celah pada shaf dan menutupinya".
[HR. Ath Thabrani, Al Bazzar dan Ibnu Hiban].
Keutamaan shaf pertama bagi laki-laki.
Diantara haditsnya adalah :
Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling depan, dan sejelek-jelek shaf laki-laki adalah yang laing belakang, sebaik-baik shaf perempuan adalah yang paling belakang, dan sejelek-jelek shaf perempuan adlaah yang paling depan.
(H.R. Muslim).
Kalaulah manusia mengetahui apa yang terdapat di azan dan shaf pertama (dari besarnya pahala-pent) kemudian mereka tidak mendapatkan kecuali dengan diundi, maka pastilah mereka telah mengadakan undian, dan kalaulah mereka mengetahui apa yang terdapat di sikap selalu didepan, pastilah mereka telah mendahuluinya, dan kalaulah mereka mereka mengetahui apa yang terdapat di shalat isya dan shalat subuh (dari keuntungan) maka pastilah mereka mendatangi keduanya walaupun dengan merayab.
(Bukhari dan Muslim.)

Keutamaan mendapat takbiratul ihram bersama imam
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
Barangsiapa talah melakukan shalat karena Allah selama 40 hari berjama’ah, ia mendapatkan takbir pertama (takbiratul ihram dengan imam –pent), maka dicatatlah baginya dua kebebasan ; kebebasan dari api neraka dan kebebasan dari kemunafikan. (H.R. Tirmidzi dari Anas, dihasankan oleh Syeikh Al Albani di kitab shahih Al Jami’ II/1089).


BUKU-BUKU RUJUKAN

1.
Sifat Sholat Nabi Edisi Revisi, karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Penerbit : Media Hidayah, Yogyakarta, Cetakan Pertama
Terjemahan dari Kitab Shifatu Shalaati an Nabiyyi Shallallahi 'Alaihi wa Sallam min at-Takbiiri ilaa at Tasliimi Ka-annaka Taraahaa
2.
Sifat Shalat Nabi, karya Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin
Penerbit : At Tibyan, Solo
Terjemahan dari Kitab Shifatus Shalah
3.
Sifat Sholat Nabi SAW dan Dzikir-dzikir Pilihan, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin dan Syaikh Abdulaziz bin Baz
Penerbit : Pustaka Al Kautsar, Jakarta, Cetakan ke-10
Terjemahan dari Kitab Fatawa Hammah wa Risalah fii Shifati Sholatin Nabii Saw
4.
Fikih Sunnah Jilid 1 dan 2, karya Sayyid Sabiq
Penerbit : PT. Al Ma'arif, Bandung, Cetakan ke-14
Terjemahan dari Kitab Fiqhus Sunnah
5.
Al Fiqhu lilmustawar raabi'il ibtida-i, silsilatul manahijid diraasah
Penerbit : Jum'iyatu Ihyaut Turots Al-Islamii -Lajnah Junuubi Syarqi Asiya
6.
Koreksi Total Ritual Sholat, karya Abu Ubaid Masyhur bin Hasan Mahmud bin Salman
Penerbit : Pustaka Azzam, Jakarta, Cetakan ke-3
Terjemahan dari Kitab al Qaulul mubin fii akhta-il Mushallin
7.
Kumpulan Tulisan tentang Sholat, penyusun : Ustadz Abdul Hakim Abdat
8.
Diktat Sholat, anonim
Penerbit: Pondok Pesantren Islam Al-Mukmin, Ngruki, Cemani, Sukoharjo.
9.
Sifat Wudhu Nabi, karya Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin
Sumber: www.alsofwah.or.id/html/tc_wudhu.html
10.
Shalat karya Syeikh Abdullah bin Sholeh Al Ubailan
11. Tuntunan Shalat menurut Al-Quran dan As-Sunnah, karya Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Jibrin
Penerbit At-Tibyan, Solo

Bagikan