Latest Updates

Kisah Pencuci Piring

Kisah Pencuci Piring
Bismillah,
Saya lupa darimana artikel ini saya dapatkan. Yang jelas bukan tulisan saya. Semoga berguna.
Siapa yang paling berbahagia saat pesta pernikahan berlangsung? Bisa jadi kedua mempelai yang menunggu detik-detik memadu kasih. Meski lelah menderanya namun tetap mampu tersenyum hingga tamu terakhir pun. Berbulan bahkan hitungan tahun sudah mereka menunggu hari bahagia ini. Mungkin orang tua si gadis yang baru saja menuntaskan kewajiban terakhirnya dengan mendapatkan lelaki yang akan menggantikan perannya membimbing putrinya untuk langkah selanjutnya setelah hari pernikahan. Atau bahkan ibu pengantin pria yang terlihat terus menerus sumringah, ia membayangkan akan segera menimang cucu dari putranya. “Aih, pasti segagah kakeknya,” impinya.
Para tamu yang hadir dalam pesta tersebut tak luput terjangkiti aura kebahagiaan, itu nampak dari senyum, canda, dan keceriaan yang tak hentinya sepanjang mereka berada di pesta. Bagi sanak saudara dan kerabat orang tua kedua mempelai, bisa jadi momentum ini dijadikan ajang silaturahim, kalau perlu rapat keluarga besar pun bisa berlangsung di sela-sela pesta. Sementara teman dan sahabat kedua mempelai menyulap pesta pernikahan itu menjadi reuni yang tak direncanakan. Mungkin kalau sengaja diundang untuk acara reuni tidak ada yang hadir, jadilah reuni satu angkatan berlangsung. Dan satu lagi, bagi mereka yang jarang-jarang menikmati makanan bergizi plus, inilah saatnya perbaikan gizi walau bermodal uang sekadarnya di amplop yang tertutup rapat.
Nyaris tidak ada hadirin yang terlihat sedih atau menangis di pesta itu kecuali air mata kebahagiaan. Kalau pun ada, mungkin mereka yang sakit hati pria pujaannya tidak menikah dengannya. Atau para pria yang sakit hati lantaran primadona kampungnya dipersunting pria dari luar kampung. Namun tetap saja tak terlihat di pesta itu, mungkin mereka meratap di balik dinding kamarnya sambil memeluk erat gambar pria yang baru saja menikah itu. Dan pria-pria sakit hati itu hanya bisa menggerutu dan menyimpan kecewanya dalam hati ketika harus menyalami dan memberi selamat kepada wanita yang harus mereka relakan menjadi milik pria lain.
Apa benar-benar tidak ada yang bersedih di pesta itu? Semula saya mengira yang paling bersedih hanya tukang pembawa piring kotor yang pernah saya ketahui hanya mendapat upah sepuluh ribu rupiah plus sepiring makan gratis untuk ratusan piring yang ia angkat. Sepuluh ribu rupiah yang diterima setelah semua tamu pulang itu, sungguh tak cukup mengeringkan peluhnya. Sedih, pasti.
Tak lama kemudian saya benar-benar mendapati orang yang lebih bersedih di pesta itu. Mereka memang tak terlihat ada di pesta, juga tak mengenakan pakaian bagus lengkap dengan dandanan yang tak biasa dari keseharian di hari istimewa itu. Mereka hanya ada di bagian belakang dari gedung tempat pesta berlangsung, atau bagian tersembunyi dengan terpal yang menghalangi aktivitas mereka di rumah si empunya pesta. Mereka lah para pencuci piring bekas makan para tamu terhormat di ruang pesta.
Bukan, mereka bukan sedih lantaran mendapat bayaran yang tak jauh berbeda dengan pembawa piring kotor. Mereka juga tidak sedih hanya karena harus belakangan mendapat jatah makan, itu sudah mereka sadari sejak awal mengambil peran sebagai pencuci piring. Juga bukan karena tak sempat memberikan doa selamat dan keberkahan untuk pasangan pengantin yang berbahagia, meski apa yang mereka kerjakan mungkin lebih bernilai dari doa-doa para tamu yang hadir.
Air mata mereka keluar setiap kali memandangi nasi yang harus terbuang teramat banyak, juga potongan daging atau makanan lain yang tak habis disantap para tamu. Tak tertahankan sedih mereka saat membayangkan tumpukan makanan sisa itu dan memasukkannya dalam karung untuk kemudian singgah di tempat sampah, sementara anak-anak mereka di rumah sering harus menahan lapar hingga terlelap.
Andai para tamu itu tak mengambil makanan di luar batas kemampuannya menyantap, andai mereka yang berpakaian bagus di pesta itu tak taati nafsunya untuk mengambil semua yang tersedia padahal tak semua bisa masuk dalam perut mereka, mungkin akan ada sisa makanan untuk anak-anak di panti anak yatim tak jauh dari tempat pesta itu. Andai pula mereka mengerti buruknya berbuat mubazir, mungkin ratusan anak yatim dan kaum fakir bisa terundang untuk ikut menikmati hidangan dalam pesta itu.

Meretas Jalan Menjadi PENGUSAHA

Meretas Jalan Menjadi PENGUSAHA
Semakin anda mengeluarkan harta untuk zakat dan sedekah semakin bertambah harta anda




عَنْ جُمَيْعِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ خَالِهِ قَالَ: سُئِلَ النَّبِيُّ ص عَنْ اَفْضَلِ اْلكَسْبِ؟ فَقَالَ: بَيْعٌ مَبْرُوْرٌ وَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ.

Dari Jumai’ bin ‘Umair dari pamannya, ia berkata : Nabi SAW pernah ditanya tentang pekerjaan yang paling utama. Maka beliau menjawab, “Berdagang yang baik (menjaga kehalalannya) dan pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri”. [HR. Ahmad juz 5, hal. 368, no. 15836]



Seorang dosen di sebuah universitas negeri di Bandung dalam perkuliahannya telah mengobarkan semangat mahasiswanya untuk segera keluar dari kelas. Bukan untuk membolos melainkan membalas perkataan sang dosen dengan tindakan nyata. Memangnya apa yang yang dikatakan sang dosen? “Bapak lebih bangga mempunyai mahasiswa yang setelah lulus memilih jadi tukang cendol daripada bekerja pada perusahan bergengsi, karena dia telah jadi bos untuk dirinya sendiri sekaligus meretas jalan menjadi pengusaha!”.

Lewat kalimat berbeda hal ini pernah diutarakan oleh ahli marketing terkenal. Hermawan Kertajaya yang notabene bukan orang muslim dalam satu tayangan televisi pernah mengajak umat Islam untuk berwirausaha karena pada dasarnya pemimpin umat Islam yaitu Nabi Muhammad juga seorang pengusaha.

Pengusaha adalah profesi yang mulia. Bagaimana tidak, dalam otaknya dia memikirkan sedikitnya empat perut yang harus diberi makan dari seorang pegawai. Oleh sebab itu mata kuliah kewirausahaan (entrepreneurship) sekarang mulai berlaku di banyak universitas bahkan di sekolah teknik!.

Di tangan para pengusaha nantinya nasib Indonesia berada. Menjadi miskin atau makmur semuanya tergantung sebanyak apa pengusaha mau berkembang. Pengangguran yang menjadi pangkal kemiskinan dapat diatasi oleh para pengusaha.

Masih ingat krisis moneter yang terjadi saat 1998, banyak perusahaan asing atau lokal yang bergantung pada Dollar gulung tikar, perusahaan memberhentikan ribuan pegawainya. Namun anehnya Usaha Kecil dan Menengah meraup untung hampir menyamai franchise asing. Yang tidak dapat dimengerti kesuksesan usaha ini ikut menumbuhkan kreativitas, daya beli masyarakat bahkan menumbuhkan rasa nasionalisme.

Islam sangat mendorong umatnya menjadi pengusaha. Bahkan Islam menjanjikan dari sepuluh orang penghuni surga delapan diantaranya adalah pengusaha. Dan tak ada satupun perniagaan di dunia yang akan sukses kecuali perniagaan yang menyertakan Allah di dalamnya. Bagaimana agar Allah meridhoi usaha kita?

Jujur dan ‘Bersih’


عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: التَّاجِرُ اْلأَمِيْنُ الصَّدُوْقُ اْلمُسْلِمُ مَعَ الشُّهَدَاءِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ. ابن ماجه


Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Pedagang yang menjaga amanat, yang jujur lagi Islam bersama orang-orang yang mati syahid pada hari qiyamat”. [HR. Ibnu Majah juz 2, hal. 724, no. 2139, dla’if, karena dalam sanadnya ada perawi bernama Kultsum bin Jausyan Al-Qusyairiy]


Mengapa Rasulullah sukses menjadi pengusaha di waktu muda? Salah satunya adalah jujur itu sebabnya beliau diberi gelar Al-Amin. Bersih yang dimaksud bukan saja bersifat fisik usahanya namun juga mentalnya. Tidak menipu atau berkolusi dalam perniagaannya.

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” [Q.S 83:1-3]


Pilihlah Perniagaan Syariah

Ini berlaku untuk perniagaan yang menghindari riba. Dapat juga diartikan dengan mencari pendanaan lewat lembaga yang mengedepankan syariah. Selain mengamankan, perniagaan syariah senantiasa menentramkan.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” [ Q.S. 2:278]

Zakat dan Sedekah

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah” [QS.Al-Baqarah : 276]
Apabila telah mencapai nishab maka keuntungannya harus dizakatkan. Zakat ini dibayar setelah pendapatan dikurangi biaya operasional atau keuntungan bersihnya. Mungkin bagi yang tidak mengerti bayar zakat seperti beban layaknya pajak.

Namun dalam Islam zakat itu justru harta kotor yang bukan hak pemilik jadi harus dikeluarhan untuk para mustahik. Dan yakinlah disini berlaku rumus kebalikan, semakin anda mengeluarkan harta untuk zakat dan sedekah semakin bertambah harta anda.

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” [Q.S 2:245]

Pantang Menyerah

“Janganlah kamu merasa bahwa rizkimu datangnya terlambat. Karena sesunguhnya, tidaklah seorang hamba akan meninggal, hingga telah datang kepadanya rizki terakhir (yang telah ditentukan) untuknya. Maka, tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rizki, yaitu dengan mengambil yang halal dan meninggalkan yang haram” [HR Abdur-Razaq, Ibnu Hibbanm dan Al-Hakim]

Menjadi pengusaha itu tidak mudah, ada sejumlah trial and error yang harus dilewati. Ibaratnya ingin memetik buah dari pohon yang tinggi. Anda dapat memetiknya dengan melompat, namun seketika itu juga anda jatuh termasuk kelelahan. Atau anda dapat bersabar dulu membuat undakan yang tinggi, langkahnya lebih lama namun yakinlah dengan cara ini semua buahnya akan terpetik.


Semoga bermanfaat.

LIHATLAH, SIAPA TEMANMU…!

LIHATLAH, SIAPA TEMANMU…!
“Ketahuilah, bahwasannya tidak dibenarkan seseorang mengambil setiap orang jadi sahabatnya, tetapi dia harus mampu memilih kriteria-kriteria orang yang dijadikannya teman, baik dari segi sifat-sifatnya, perangai-perangainya atau lainnya yang bisa menimbulkan gairah berteman sesuai pula dengan manfaat yang bisa diperoleh dari persahabatan tersebut itu. Ada manusia yang berteman karena tendensi dunia, seperti karena harta, kedudukan atau sekedar senang melihat- lihat dan bisa ngobrol saja, tetapi itu bukan tujuan kita.



“Apabila engkau berada di tengah-tengah suatu kaum maka pililhlah orang-orang yang balk sebagai sahabat, dan janganlah engkau bersahabat dengan orang-orang jahat sehingga engkau akan binasa bersamanya”
Wanita adalah bagian dari kehidupan manusia, sehingga dia tak akan pernah lepas dari pola interaksi dengan sesama. Terlebih dominasi perasaan yang melekat pada dirinya, membuat dia butuh teman tempat mengadu, tempat bertukar pikiran dan bermusyawarah. Berbagai problem hidup yang dialami menjadikan dia berfikir bahwa, meminta pendapat, saran dan nasehat teman adalah suatu hal yang perlu. Maka teman sangat vital bagi kehidupannya, siapa sih yang tidak butuh teman dalam hidup ini..?.

Namun wanita muslimah adalah wanita yang dipupuk dengan keimanan dan dididik dengan pola interaksi Islami. Maka pandangan Islam dalam memilih teman adalah barometernya, karena dirinya sadar, teman yang baik (shalihah) memiliki pengaruh besar dalam menjaga keistiqomahan agamanya. Selain itu teman shalihah adalah sebenar-benar teman yang akan membawa mashlahat dan manfaat. Maka dalam pergaulannya dia akan memilih teman yang baik dan shalihah, yang benar-benar memberikan kecintaan yang tulus, selalu memberi nasihat, tidak curang dan menunjukan kebaikan. Karena bergaul dengan wanita-wanita shalihah dan menjadikannya sebagai teman selalu mendatangkan manfaat dan pahala yang besar, juga akan membuka hati untuk menerima kebenaran. maka kebanyakan teman akan jadi teladan bagi temannya yang lain dalam akhlak dan tingkah lake. Seperti ungkapan “Janganlah kau tanyakan seseorang pada orangnya, tapi tanyakan pada temannya. karena setiap orang mengikuti temannya”.

Bertolak dari sinilah maka wanita muslimah senantiasa dituntut untuk dapat memilih teman, juga lingkungan pergaulan yang tak akan menambah dirinya melainkan ketakwaan dan keluhuran jiwa. Sesungguhnya Rasulullah juga telah menganjurkan untuk memilih teman yang baik (shalihah) dan berhati-hati dari teman yang jelek.

Hal ini telah dimisalkan oleh Rasulullah melalui ungkapannya:
“Sesungguhnya perumpamaan teman yang baik (shalihah) dan teman yang jahat adalah seperti pembawa minyak wangi dan peniup api pandai besi. Pembawa minyak wangi mungkin akan mencipratkan minyak wanginya itu atau engkau menibeli darinya atau engkau hanya akan mencium aroma harmznya itu. Sedangkan peniup api tukang besi mungkin akan membakar bajumu atau engkau akan mencium darinya bau yang tidak sedap”.
(Riwayat Bukhari, kitab Buyuu’, Fathul Bari 4/323 dan Muslim kitab Albir 4/2026)1

Dari petunjuk agamanya, wanita muslimah akan mengetahui bahwa teman itu ada dua macam. Pertama, teman yang shalihah, dia laksana pembawa minyak wangi yang menyebarkan aroma harum dan wewangian. Kedua teman yang jelek laksana peniup api pandai besi, orang yang disisinya akan terkena asap, percikan api atau sesak nafas, karena bau yang tak enak.

Maka alangkah bagusnya nasehat Bakr bin Abdullah Abu Zaid, ketika baliau berkata,” Hati- ¬hatilah dari teman yang jelek …!, karena sesungguhnya tabiat itu suka meniru, dan manusia seperti serombongan burung yang mereka diberi naluri untuk meniru dengan yang lainnya. Maka hati-hatilah bergaul dengan orang yang seperti itu, karena dia akan celaka, hati- hatilah karena usaha preventif lebih mudah dari pada mengobati “.

Maka pandai-pandailah dalam memilih teman, carilah orang yang bisa membantumu untuk mencapai apa yang engkau cari . Dan bisa mendekatkan diri pada Rabbmu, bisa memberikan saran dan petunjuk untuk mencapai tujuan muliamu.
Maka perhatikanlah dengan detail teman-¬temanmu itu, karena teman ada bermacam-macam
• ada teman yang bisa memberikan manfaat
• ada teman yang bisa memberikan kesenangan (kelezatan)
• dan ada yang bisa memberikan keutamaan.

Adapun dua jenis yang pertama itu rapuh dan mudah terputus karena terputus sebab-sebabnya. Adapun jenis ketiga, maka itulah yang dimaksud persahabatan sejati. Adanya interaksi timbal balik karena kokohnya keutamaan masing-masing keduanya. Namun jenis ini pula yang sulit dicari. (Hilyah Tholabul ‘ilmi, Bakr Abdullah Abu Zaid halarnan 47-48)

Memang tidak akan pernah lepas dari benak hati wanita muslimah yang benar-benar sadar pada saat memilih teman, bahwa manusia itu seperti barang tambang, ada kualitasnya bagus dan ada yang jelek. Demikian halnya manusia, seperti dijelaskan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam :

” Manusia itu adalah barang tambang seperti emas dan perak, yang paling baik diantara mereka pada zaman jahiliyyah adalah yang paling baik pada zaman Islam jika mereka mengerti. Dan ruh- ruh itu seperti pasukan tentara yang dikerahkan, yang saling kenal akan akrab dan yang tidak dikenal akan dijauhi ” (Riwayat Muslim)

Wanita muslimah yang jujur hanya akan sejalan dengan wanita-wanita shalihah, bertakwa dan berakhlak mulia, sehingga tidak dengan setiap orang dan sembarang orang dia berteman, tetapi dia memilih dan melihat siapa temannya. Walaupun memang, jika kita mencari atau memilih teman yang benar-benar bersih sama sekali dari aib, tentu kita tidak akan mendapatkannya. Namun, seandainya kebaikannya itu lebih banyak daripada sifat jeleknya, itu sudah mencukupi.

Maka Syaikh Ahmad bin ‘Abdurrahman bin Qudamah al-Maqdisi atau terkenal dengan nama Ibnu Qudamah AlMaqdisi memberikan nasehatnya juga dalam memilih teman: “Ketahuilah, bahwasannya tidak dibenarkan seseorang mengambil setiap orang jadi sahabatnya, tetapi dia harus mampu memilih kriteria¬-kriteria orang yang dijadikannya teman, baik dari segi sifat- sifatnya, perangai-perangainya atau lainnya yang bisa menimbulkan gairah berteman sesuai pula dengan manfaat yang bisa diperoleh dari persahabatan tersebut itu. Ada manusia yang berteman karena tendensi dunia, seperti karena harta, kedudukan atau sekedar senang melihat-lihat dan bisa ngobrol saja, tetapi itu bukan tujuan kita.

Ada pula orang yang berteman karena kepentingan Dien (agama), dalarn hal inipun ada yang karena ingin mengambil faidah dari ilmu dan amalnya, karena kemuliaannya atau karena mengharap pertolongan dalam berbagai kepentingannya. Tapi, kesimpulan dari semua itu orang yang diharapkan jadi teman hendaklah memenuhi lima kriteria berikut; Dia cerdas (berakal), berakhlak baik, tidak fasiq, bukan ahli bid’ah dan tidak rakus dunia. Mengapa harus demikian ?, karena kecerdasan adalah sebagai modal utama, tak ada kabaikan jika berteman dengan orang dungu, karena terkadang ia ingin menolongmu tapi malah mencelakakanmu. Adapun orang yang berakhlak baik, itu harus. Karena terkadang orang yang cerdaspun kalau sedang marah atau dikuasai emosi, dia akan menuruti hawa nafsunya. Maka tak baik pula berteman dengan orang cerdas tetapi tidak berahlak. Sedangkan orang fasiq, dia tidak punya rasa takut kepada Allah. Dan barang siapa tidak takut pada Allah, maka kamu tidak akan aman dari tipu daya dan kedengkiannya, Dia juga tidak dapat dipercaya. Kalau ahli bid’ah jika kita bergaul dengannya dikhawatirkan kita akan terpengaruh dengan jeleknya kebid’ahannya itu. (Mukhtasor Minhajul Qasidin, Ibnu Qudamah hal 99).

Maka wanita muslimah yang benar-benar sadar dan mendapat pancaran sinar agama, tidak akan merasa terhina akibat bergaul dengan wanita-wanita shalihah meskipun secara lahiriyah, status sosial clan tingkat materinya tidak setingkat. Yang menjadi patokan adalah substansi kepribadiannya dan bukan penampilan dan kekayaan atau lainnya. “Pergaulan anda dengan orang mulia menjadikan anda termasuk golongan mereka, karenanya janganlah engkau mau bersahabat dengan selain mereka”.

Oleh karena itu datang petunjuk Al Qur’an yang menyerukan hal itu :
“Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang¬-orang yang menyeru Rabbnya dipagi dan disenja hari dengan mengharap keridhoan-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”
(Al-Kahfi:28)

Footnote:
1.Al Bid’ah, Dr. Ali bin M. Nashir

Maraji :
• Hilyah tolabul ‘ilmi, Bakr Abdullah Abu Zaed
• Mukhtasor Minhajul Qasidin, Ibnu Qudamah
• Bid’ah dhowabituha wa atsaruhas Sayyisil Ummah,
Dr. Ali Muhammad Nashir AlFaqih
• Sahsiyah Mar’ah, Dr M.Ali Al Hasyimi

Dikutip dari Buletin Dakwah Al-Atsari, Cileungsi Edisi X Sha’ban 1419


YA UKHTI…, JAUHILAH TABARRUJ…!

YA UKHTI…, JAUHILAH TABARRUJ…!
Apa itu Tabarruj…?
Tabarruj yakni bila “seorang wanita menampakkan perhiasannya dan kecantikannya serta terlihat bagian-bagian yang seharusnya wajib ditutupi, dimana bagian-bagian itu akan memancing syahwat pria.” [ Fathul Bayan 7 / 274 ]
Allah Azza wajalla tentang permasalahan ini bersabda dalam Surah Al-Ahzab:

(٣٣) ~ وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا ¯
artinya:
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kalian bertabarruj seperti bertabarruj-nya wanita jahiliyyah dahulu, dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan ta`atilah Allah dan Rasul- Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul-bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. [QS Al-Ahzab : 33 ]
————————————————————————

Imam Adz~Dzahabi berkata dalam “Al~Kaba`ir” yakni “Di antara perbuatan yang menyebabkan para wanita mendapat laknat adalah menampakkan perhiasan emas dan permata yang ada di balik pakaiannya, memakai misk, anbar (nama sejenis minyak wangi) dan parfum jika keluar dari rumah, memakai pakaian-pakaian yang dicelup, sarung-sarung sutera dan penutup kepala yang pendek, bersamaan dengan itu dia memajangkan pakaian, meluaskan dan memanjangkan ujung lengan pakaian. Semua itu termasuk tabarruj yang Allah murkai. Allah murka kepada pelakunya di dunia dan akhirat. Karena perbuatan-perbuatan ini yang banyak dilakukan wanita, Rasulullah Shalallohu`alaihi wasallam bersabda:
“……. Aku memandang ke neraka, maka aku melihat kebanyakan penghuninya adalah wanita.”
Hadits ini diriwayatkan oleh :
1. – Bukhari dalam kitab Bad’ul Khalq bab Maa Ja’a fi Shifatil Jannah (kitab 59 bab 8).
2. – Tirmidzi dalam kitab Shifatil Jahannam bab Maa Ja’a Anna Aktsara Ahli Nar An Nisa’ (kitab 40 bab 11 hadits ke-2602), dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi 2098 dari Ibnu Abbas.
3. – Ahmad 2/297 dari Abu Hurairah. Dan hadits ini dishahihkan Al Albani dalam Shahihul Jami’ 1030.

Dari Imran bin Hushain berkata : “Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Sesungguhnya penghuni Surga yang paling sedikit adalah para wanita….’ “
(HR. Muslim 95, 2738. An Nasa’i 385)

Saya (Syaikh Al~Albani, pent.) berkata: “Islam telah bersikap keras dalam memperingatkan ummatnya dari perbuatan tabarruj ini hingga menyandingkannya dengan kesyirikan, zina, mencuri dan perbuatan haram lainnya. Itu terjadi ketika Nabi Shalallohu`alaihi wasallam membai`at para wanita agar mereka tidak melakukan hal-hal itu. Abdullah bin `Amr radhiyallahu`anhu berkata: Umaimah binti Ruqaiqah datang kepada Rasulullah Shalallohu`alaihi wasallam untuk berbai`at kepada beliau, maka beliau berkata:
“Saya akan membai’atmu untuk engkau tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, jangan engkau mencuri, berzina, membunuh anakmu, melakukan kebohongan yang engkau buat antara hadapanmu dan antara dua kakimu, jangan meratap dan jangan bertabarrujnya jahiliyyah dahulu.”

Ketahuilah, bukan termasuk perkara terlarang sedikitpun jika pakaian wanita yang dia pakai berwarna putih atau hitam, sebagaimana yang dianggap oleh sebagian wanita yang komit terhadap Sunnah.
Itu dengan alasan :
® Pertama : Sabda Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam yang berbunyi: “ Parfum wanita adalah yang jelas warnanya dan lembut harumnya … “

® Kedua : Pengalaman para wanita sahabat, dengan kisah sebagai berikut :
1 : Dari Ibrohim An Nakha’i bahwa dia masuk bersama Alqamah serta Al Aswad kepada isteri – isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia melihat mereka menyelimuti diri mereka dengan pakaian berwarna merah.
2 : Dari Ibnu Abi Mulaikah, ia berkata; Aku melihat Ummu Salamah mengenakan jilbab dan berselimut dengan pakaian yang dicelup ddengan warna mu`ashfar (campuran antara kuning dan merah).
3 : Dari Al qosim, yaitu Ibnu Muhammad bin Abi Bakr Ash Shiddiq dia berkata bahwa ‘Aisyah memakai pakaian yang dicelup dengan mu’ashfar, padahal dia waktu itu sedang ihram.”
( Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah 120-123 dengan sedikit ringkasan).


Berkhidmat Pada Suami

Berkhidmat Pada Suami
Pulang dari bekerja, semestinya adalah waktu untuk beristrirahat bagi suami selaku kepala rumah tangga. Namun banyak kita jumpai fenomena di mana mereka justru masih disibukkan dengan segala macam pekerjaan rumah tangga sementara sang istri malah ngerumpi di rumah tetangga. Bagaimana istri shalihah menyikapi hal ini?
Salah satu sifat istri shalihah yang menandakan bagusnya interaksi kepada suaminya adalah berkhidmat kepada sang suami dan membantu pekerjaannya sebatas yang ia mampu. Ia tidak akan membiarkan sang suami melayani dirinya sendiri sementara ia duduk berpangku tangan menyaksikan apa yang dilakukan suaminya. Ia merasa enggan bila suaminya sampai tersibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan rumah, memasak, mencuci, merapikan tempat tidur, dan semisalnya, sementara ia masih mampu untuk menanganinya. Sehingga tidak mengherankan bila kita mendapati seorang istri shalihah menyibukkan harinya dengan memberikan pelayanan kepada suaminya, mulai dari menyiapkan tempat tidurnya, makan dan minumnya, pakaiannya, dan kebutuhan suami lainnya. Semua dilakukan dengan penuh kerelaan dan kelapangan hati disertai niat ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan sungguh ini merupakan bentuk perbuatan ihsannya kepada suami, yang diharapkan darinya ia akan beroleh kebaikan.
Berkhidmat kepada suami ini telah dilakukan oleh wanita-wanita utama lagi mulia dari kalangan shahabiyyah, seperti yang dilakukan Asma’ bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhuma yang berkhidmat kepada Az-Zubair ibnul Awwam radhiallahu ‘anhu, suaminya. Ia mengurusi hewan tunggangan suaminya, memberi makan dan minum kudanya, menjahit dan menambal embernya, serta mengadon tepung untuk membuat kue. Ia yang memikul biji-bijian dari tanah milik suaminya sementara jarak tempat tinggalnya dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh1.” (HR. Bukhari no. 5224 dan Muslim no. 2182)
Demikian pula khidmatnya Fathimah bintu Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah suaminya, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, sampai-sampai kedua tangannya lecet karena menggiling gandum. Ketika Fathimah datang ke tempat ayahnya untuk meminta seorang pembantu, sang ayah yang mulia memberikan bimbingan kepada yang lebih baik:

أَلاَ أَدُلُّكُماَ عَلَى ماَ هُوَ خَيْرٌ لَكُماَ مِنْ خاَدِمٍ؟ إِذَا أَوَيْتُماَ إِلَى فِرَاشِكُماَ أَوْ أَخَذْتُماَ مَضاَجِعَكُماَ فَكَبَّرَا أًَرْبَعاً وَثَلاَثِيْنَ وَسَبَّحاَ ثَلاَثاً وَثَلاَثِيْنَ وَحَمِّدَا ثَلاَثاً وَثَلاثِيْنَ، فَهَذَا خَيْرٌ لَكُماَ مِنْ خاَدِمٍ

“Maukah aku tunjukkan kepada kalian berdua apa yang lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu? Apabila kalian mendatangi tempat tidur kalian atau ingin berbaring, bacalah Allahu Akbar 34 kali, Subhanallah 33 kali, dan Alhamdulillah 33 kali. Ini lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu.” (HR. Al-Bukhari no. 6318 dan Muslim no. 2727)
Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, menikahi seorang janda untuk berkhidmat padanya dengan mengurusi saudara-saudara perempuannya yang masih kecil. Jabir berkisah: “Ayahku meninggal dan ia meninggalkan 7 atau 9 anak perempuan. Maka aku pun menikahi seorang janda. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya padaku:

تَزَوَّجْتَ ياَ جاَبِر؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ. فَقاَلَ: بِكْرًا أَمْ ثَيِّباً؟ قُلْتُ: بَلْ ثَيِّباً. قاَلَ: فَهَلاَّ جاَرِيَةً تُلاَعِبُهاَ وَتُلاَعِبُكَ، وَتُضاَحِكُهاَ وَتُضاَحِكُكَ؟ قاَلَ فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّ عَبْدَ اللهِ هَلَكَ وَ تَرَكَ بَناَتٍ، وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَجِيْئَهُنَّ بِمِثْلِهِنَّ، فَتَزَوَّجْتُ امْرَأَةً تَقُوْمُ عَلَيْهِنَّ وَتُصْلِحُهُنَّ. فَقاَلَ: باَرَكَ اللهُ لَكَ، أَوْ قاَلَ: خَيْرًا

“Apakah engkau sudah menikah, wahai Jabir?”
“Sudah,” jawabku.
“Dengan gadis atau janda?” tanya beliau.
“Dengan janda,” jawabku.
“Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis, sehingga engkau bisa bermain-main dengannya dan ia bermain-main denganmu. Dan engkau bisa tertawa bersamanya dan ia bisa tertawa bersamamu?” tanya beliau.
“Ayahku, Abdullah, meninggal dan ia meninggalkan anak-anak perempuan dan aku tidak suka mendatangkan di tengah-tengah mereka wanita yang sama dengan mereka. Maka aku pun menikahi seorang wanita yang bisa mengurusi dan merawat mereka,” jawabku.
Beliau berkata: “Semoga Allah memberkahimu”, atau beliau berkata: “Semoga kebaikan bagimu.” (HR. Al-Bukhari no. 5367 dan Muslim no. 1466)
Hushain bin Mihshan berkata: “Bibiku berkisah padaku, ia berkata: “Aku pernah mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena suatu kebutuhan, beliaupun bertanya:

أَيْ هذِهِ! أَذَاتُ بَعْلٍ؟ قُلْتُ: نَعَم. قاَلَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قُلْتُ: ماَ آلُوْهُ إِلاَّ ماَ عَجَزْتُ عَنْهُ. قاَلَ: فَانْظُرِيْ أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإِنَّماَ هُوَ جَنَّتُكَ وَناَرُكَ

“Wahai wanita, apakah engkau telah bersuami?”
“Iya,” jawabku.
“Bagaimana engkau terhadap suamimu?” tanya beliau.
“Aku tidak mengurang-ngurangi dalam mentaatinya dan berkhidmat padanya, kecuali apa yang aku tidak mampu menunaikannya,” jawabku.
“Lihatlah di mana keberadaanmu terhadap suamimu, karena dia adalah surga dan nerakamu,” sabda beliau. (HR. Ibnu Abi Syaibah dan selainnya, dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al- Albani rahimahullah dalam Adabuz Zifaf, hal. 179)
Namun di sisi lain, suami yang baik tentunya tidak membebani istrinya dengan pekerjaan yang tidak mampu dipikulnya. Bahkan ia melihat dan memperhatikan keberadaan istrinya kapan sekiranya ia butuh bantuan.
Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam gambaran suami yang terbaik. Di tengah kesibukan mengurusi umat dan dakwah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau menyempatkan membantu keluarganya dan mengerjakan apa yang bisa beliau kerjakan untuk dirinya sendiri tanpa membebankan kepada istrinya, sebagaimana diberitakan istri beliau, Aisyah radhiallahu ‘anha ketika Al-Aswad bin Yazid bertanya kepadanya:

ماَ كاَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ فِي الْبَيْتِ؟ قاَلَتْ: كاَنَ يَكُوْنُ فِيْ مِهْنَةِ أَهْلِهِ –تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ- فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ

“Apa yang biasa dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam rumah?”
Aisyah radhiallahu ‘anha menjawab: “Beliau biasa membantu pekerjaan istrinya. Bila tiba waktu shalat, beliau pun keluar untuk mengerjakan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 676, 5363)
Dalam riwayat lain, Aisyah radhiallahu ‘anha menyebutkan pekerjaan yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan di rumahnya:

ماَ يَصْنَعُ أَحَدُكُمْ فِيْ بَيْتِهِ، يَخْصِفُ النَّعْلَ وَيَرْقَعُ الثَّوْبَ وَيُخِيْطُ

“Beliau mengerjakan apa yang biasa dikerjakan salah seorang kalian di rumahnya. Beliau menambal sandalnya, menambal bajunya, dan menjahitnya.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 540, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 419 dan Al-Misykat no. 5822)

كاَنَ بَشَرًا مِنَ الْبَشَرِ، يَفْلِي ثَوْبَهُ وَيَحْلُبُ شاَتَهُ

“Beliau manusia biasa. Beliau menambal pakaiannya dan memeras susu kambingnya”. (HR. Al- Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 541, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 420 dan Ash-Shahihah 671)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


Kenali Penyakit Paru-Paru

Kenali Penyakit Paru-Paru
Organ penting ini merupakan salah satu organ vital bagi kehidupan manusia. Khususnya berfungsi pada sistem pernapasan manusia. Bertugas sebagai tempat pertukaran oksigen yang dibutuhkan manusia dan mengeluarkan karbondioksida yang merupakan hasil sisa proses pernapasan yang harus dikeluarkan dari tubuh, sehingga kebutuhan tubuh akan oksigen tetap terpenuhi. Udara sangat penting bagi manusia, tidak menhirup oksigen selama beberapa menit dapat menyebabkan kematian. Itulah peranan penting paru-paru. Organ yang terletak di bawah tulang rusuk ini memang mempunyai tugas yang berat, belum lagi semakin tercemarnya udara yang kita hirup serta berbagai bibit penyakit yang berkeliaran di udara. Ini semua dapat menimbulkan berbagai penyakit paru-paru.

Loyalitas dalam Islam

http://hikayahhati.blogspot.com/2010/02/loyalitas-dalam-islam.html

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Para pengunjung setia muslim.or.id, berikut adalah penjelasan yang cukup mendetail mengenai al wala’ wal baro’, tulisan dari al Ustadz Abdullah Taslim, MA (sedang menempuh S3 di Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia), pengisi setia beberapa rubrik di web muslim.or.id. Pembahasan ini dibagi oleh redaksi menjadi dua bagian. Jadi, kami mohon pembaca dapat menyimak dua tulisan ini secara tuntas sehingga mendapatkan penggambaran yang lebih sempurna. Tulisan pertama ini berjudul “Loyalitas dalam Islam“. Tulisan kedua berjudul “Contoh Loyalitas pada Orang Kafir“. Semoga Allah senantiasa memberikan pada kita ilmu yang bermanfaat.

***
Masalah al-wala’ (loyalitas/kecintaan) dan al-bara’(berlepas diri/kebencian) adalah masalah yang sangat penting dan ditekankan kewajibannya dalam Islam, bahkan merupakan salah satu landasan keimanan yang agung, yang dengan melalaikannya akan menyebabkan rusaknya keimanan seseorang[1].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Al-baraa’ah (sikap berlepas diri/kebencian) adalah kebalikan dari al-wilaayah (loyalitas/kecintaan), asal dari al-baraa’ah adalah kebencian dan asal dari al-wilaayahadalah kecintaan. Yang demikian itu karena hakikat tauhid adalah (dengan) tidak mencintai selain Allah dan mencintai apa dicintai Allah karena-Nya. Maka kita tidak (boleh) mencintai sesuatu kecuali karena Allah dan (juga) tidak membencinya kecuali karena-Nya”[2].
Imam Muhammad bin Abdul Wahhab berkata, “Sesungguhnya barangsiapa yang mentaati Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mentauhidkan Allah maka dia tidak boleh berloyalitas (mencintai) orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun orang tersebut adalah kerabat terdekatnya”[3].
Syaikh Shaleh bin Fauzan al-Fauzan ketika menjelaskan masalah ini, beliau berkata, ”Setelah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, wajib (bagi setiap muslim untuk) mencintai para kekasih Allah (orang-orang yang beriman) dan membenci musuh-musuh-Nya. Karena termasuk prinsip-prinsip dasar akidah Islam adalah kewajiban setiap muslim yang mengimani akidah ini untuk mencintai orang-orang yang mengimani akidah Islam dan membenci orang-orang yang berpaling darinya. Maka seorang muslim (wajib) mencintai dan bersikap loyal kepada orang-orang yang berpegang teguh kepada tauhid dan memurnikan (ibadah kepada Allah Ta’ala semata), sebagaimana (dia wajib) membenci dan memusuhi orang-orang yang berbuat syirik (menyekutukan Allah Ta’ala).
Dan ini merupakan bagian dari agama (yang dianut) nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan orang-orang yang mengikuti (petunjuk)nya, yang kita diperintahkan untuk meneladani mereka, dalam firman Allah,
{قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ}
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada (diri nabi) Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:”Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah semata” (QS. al-Mumtahanah:4).
Juga merupakan bagian dari agama (yang dianut) nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Ta’ala berfirman,
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ}
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang yahudi dan Nasrani sebagai kekasih/teman dekat(mu); sebagian mereka adalah kekasih bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu menjadikan mereka sebagai kekasih/teman dekat, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka” (QS. al-Maa-idah:51)[4].
Kedudukan al-wala’ dan al-bara’ dalam Islam
Ketika menjelaskan agungnya kedudukan masalah ini dalam keimanan dan tauhid, Imam Muhammad bin Abdul Wahhab berkata, “Tidak akan lurus (benar) keislaman seseorang, meskipun dia telah mentauhidkan Allah dan menjauhi (perbuatan) syirik, kecuali dengan memusuhi orang-orang yang berbuat syirik dan menyatakan kepada mereka kebencian dan permusuhan tersebut”[5].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Jika keimanan dan kecintaan di dalam hati seorang (muslim) kuat, maka hal itu menuntut dia untuk membenci musuh-musuh Allah”[6].
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin lebih lanjut menjelaskan, “Sikap loyal dan cinta terhadap orang-orang yang menentang Allah menunjukkan lemahnya keimanan dalam hati seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya, karena tidaklah masuk akal jika seseorang mencintai sesuatu yang dimusuhi kekasihnya (Allah Ta’ala). Bersikap loyal terhadap orang-orang kafir adalah dengan menolong dan membantu mereka dalam kekafiran dan kesesatan yang mereka lakukan, sedangkan mencintai mereka adalah dengan melakukan sebab-sebab yang menimbulkan kecintaan mereka, yaitu berusaha mencari kecintaan (simpati) mereka dengan berbagai cara. Tidak diragukan lagi perbuatan ini akan menghilangkan kesempurnaan iman atau keseluruhannya. Maka wajib bagi seorang mukmin untuk membenci dan memusuhi orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, meskipun orang tersebut adalah kerabat terdekatnya, akan tetapi ini tidak menghalangi kita untuk menasehati dan mendakwahi orang tersebut kepada kebenaran”[7].
Dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya al-wala’ dan al-bara’
Dalil-dalil yang menunjukkan hal ini – selain dua ayat di atas – banyak sekali, diantaranya firman Allah Ta’ala,
{لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الإيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ}
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya, dan Dia menempatkan mereka di dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung” (QS al-Mujaadilah:22).
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menafsirkan ayat ini berkata, “…Seorang hamba tidak akan menjadi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat dengan (keimanan) yang sebenarnya kecuali setelah dia mengamalkan kandungan dan konsekwensi imannya, yaitu mencintai dan berloyalitas kepada orang-orang yang beriman (kepada Allah), serta membenci dan memusuhi orang-orang yang tidak beriman, meskipun mereka orang yang terdekat hubungannya dengannya.
Inilah keimanan yang hakiki yang menumbuhkan buah dan hasil (yang benar), …
Adapun orang yang mengaku dirinya beriman kepada Allah dan hari akhirat, tapi bersamaan dengan itu dia mencintai musuh-musuh Allah dan menyayangi orang-orang yang mencampakkan iman dibelakangnya, maka ini adalah iman yang (cuma) pengakuan (tapi) tidak ada (bukti) nyatanya. Karena segala sesuatu harus disertai bukti (nyata) yang membenarkannya, adapun sekedar pengakuan (tanpa bukti) maka tidak ada artinya dan tidak membenarkan pelakunya”[8].
Juga dalam firman-Nya,
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ}
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu sebagai kekasihmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa yang di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai kekasih, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS at-Taubah:23).
Demikian pula sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“من أحب لله وأبغض لله وأعطى لله ومنع لله فقد استكمل الإيمان”
Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi karena-Nya, maka sungguh telah sempurna keimanannya“[9].
Pembagian sikap al-wala’ dan al-bara’ kepada orang-orang kafir dan musyrik[10]
Sikap al-wala’ dan al-bara’ kepada orang-orang kafir dan musyrik ada dua macam dan keduanya memiliki hukum yang berbeda, yaitu:
1- at-Tawalli, yang berarti mencintai perbuatan syirik dan pelakunya, atau menolong, membantu dan mendukung mereka untuk (melawan) orang-orang mukmin, atau senang dengan semua itu, maka ini (hukumnya) adalah kekafiran yang besar (yang menyebabkan seseorang keluar/murtad dari agama Islam). Allah Ta’ala berfirman,
{وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ}
Barangsiapa di antara kamu menjadikan mereka sebagai kekasih/teman dekat, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka” (QS al-Maa-idah:51).
Imam al-Bhagawi berkata, “Keimanan seorang mukmin akan rusak dengan dia mencintai orang-orang kafir”[11].
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah menyebutkan hal ini termasuk hal-hal yang membatalkan keislaman seseorang dan beliau berargumentasi dengan ayat di atas[12].
2- al-Muwaalaah, yang berarti saling berkasih sayang dan bersahabat, lawannya saling bermusuhan dan membenci. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah – semoga Allah merahmatinya – berkata, “Sesungguhnya al-wilaayah (loyalitas/kecintaan) adalah lawan dari al-’adaawah (permusuhan), dan al-wilaayah mengandung (konsekwensi) kecintaan dan kecocokan, sedangkan al-’adaawah mengandung (konsekwensi) kebencian dan ketidakcocokan”[13].
Patokan (dalam menilai) al-Muwaalaahadalah mencintai orang-orang yang berbuat syirik karena (urusan) dunia (semata), dan tidak ada padanya (unsur) menolong (keyakinannya). Ini hukumnya termasuk perbuatan dosa besar (tapi tidak sampai tingkat kekafiran). Allah Ta’ala berfirman,
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ}
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman dekat yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)  karena rasa kasih sayang” (QS al-Mumtahanah:1).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah – semoga Allah merahmatinya – berkata, “Terkadang seorang (muslim) mencintai orang kafir karena (ada hubungan) keluarga atau keperluan (dunia), maka kecintaan ini adalah perbuatan dosa yang mengurangi (kesempurnaan) imannya, akan tetapi tidak menjadikannya kafir (keluar dari Islam), sebagaimana yang terjadi pada Hathib bin Abi Balta’ah[14] “[15].
Maka perbedaan antara at-tawalli dan al-muwaalaah adalah bahwa at-tawalli termasuk kekafiran besar yang menyebabkan pelakunya keluar (murtad) dari agama Islam, sedangkan al-muwaalaah adalah dosa besar (yang tidak sampai tingkat kekafiran).
Syaikh Abdullah bin Abdul Lathif – semoga Allah merahmatinya – pernah ditanya tentang perbedaan antara al-muwaalaah dan at-tawalli ? Maka beliau menjawab, “ at-tawalliadalah kekafiran yang menyebabkan pelakunya keluar (murtad) dari agama, seperti membela dan menolong orang-orang kafir dengan harta, raga dan pikiran. Sedangkan al-muwaalaah adalah termasuk dosa besar, seperti (membantu) mengisi tinta (pulpen), atau meraut pensil, menampakkan (wajah yang) berseri-seri (di hadapan) mereka, atau mengangkatkan cambuk bagi mereka”[16].
Bagaimana menempatkan sikap al-wala’ dan al-bara’ pada manusia sesuai dengan kadar ketaatan dan kemaksiatan mereka?[17]
Dalam hal ini manusia dibagi menjadi tiga golongan:
1- Orang-orang yang wajib dicintai dengan kecintaan yang murni dan tanpa kebencian (sama sekali).
Mereka ini adalah orang-orang yang memiliki keimanan yang murni (sempurna), dari kalangan para nabi, para shiddik[18], orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shaleh.
Yang paling utama adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau wajib untuk dicintai melebihi kecintaan kepada diri sendiri, orang tua, anak dan semua manusia.
Kemudian istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan anggota keluarga beliau, serta para sahabat radhiyallahu ‘anhum, terutama al-Khulafa’ur raasyidin(khalifah yang empat), sepuluh orang sahabat yang dijanjikan masuk surga, para sahabat muhajirin dan anshar, para sahabat yang ikut perang Badr, para sahabat yang ikut dalam baiat ridwan, dan para sahabat lain secara keseluruhan radhiyallahu ‘anhum.
Kemudian para tabi’in, para ulama dari tiga generasi utama, para ulama salaf dan imam mereka, seperti imam mazhab yang empat.
Allah Ta’ala berfirman,
{وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَااغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ}
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah lebih dahulu beriman dari kami, dan janganlah Engkau menjadikan dalam hati kami (ada) rasa dengki terhadap orang-orang yang beriman, ya tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha penyantun lagi Maha Penyayang” (QS al-Hasyr:10).
Orang yang memiliki iman dalam hatinya tidak mungkin membenci para sahabat y dan para ulama salaf. Yang membenci mereka hanyalah orang-orang yang menyimpang (agamanya), orang-orang munafik dan musuh-musuh Islam, seperti orang-orang Rafidhah (Syi’ah) dan Khawarij, semoga Allah menyelamatkan kita (dari penyimpangan mereka).
2- Orang-orang yang wajib dibenci dan dimusuhi dengan kebencian dan permusuhan yang murni tanpa ada rasa cinta dan sikap loyal (sama sekali).
Mereka ini adalah orang-orang kafir yang murni (kekafirannya), dari kalangan orang-orang kafir, musyrik, munafik, murtad (keluar dari agama Islam), dan orang-orang yang mulhid (menyeleweng/menyimpang jauh dari agama Islam, seperti orang-orang zindik), dengan berbagai macam dan golongan mereka.
3- Orang-orang yang (wajib) dicintai dari satu sisi (karena keimanan dan ketaatannya), dan dibenci dari sisi yang lain (karena perbuatan maksiatnya). Maka terkumpul pada diri mereka ini kecintaan dan kebencian sekaligus.
Mereka ini adalah orang-orang mukmin yang berbuat maksiat. Mereka wajib dicintai karena mereka memiliki iman, dan dibenci karena mereka melakukan perbuatan maksiat yang tidak sampai pada tingkat kekafiran dan kesyirikan.
Kecintaan kepada mereka ini mengandung konsekwensi menasehati dan mengingkari (perbuatan maksiat) mereka. Kita wajib memerintahkan mereka untuk berbuat baik dan melarang mereka dari kemungkaran, serta menegakkan batasan dan hukum Allah kepada mereka, sampai mereka meninggalkan perbuatan maksiat dan bertobat dari kesalahan mereka.

[1] Lihat kitab “Taisiirul wushul” (hal. 36) tulisan syaikh Abdul Muhsin al-Qaasim. 
[2] Kitab “majmu’ul fataawa” (10/465).
[3] Kitab “al-Ushuluts tsalaatsah” (hal. 8).
[4] Kitab “al-Wala’ wal bara’ fil Islam” (hal. 2).
[5] Kitab “ad-Durarus saniyyah” (8/331).
[6] Kitab “majmu’ul fataawa” (7/522).
[7] Syarhu tsalaatsatil ushul (hal. 36).
[8] Taisiirul Kariimir Rahman (hal. 623).
[9] HR Abu Dawud (no. 4681) dan al-Hakim (no. 2694), dinyatakan shahih oleh al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Albani.
[10] Pembahasan ini kami ringkas dari kitab “Taisiirul wushul” (hal. 40-41) dengan sedikit penyesuaian.
[11] Tafsiirul Baghawi (4/312).
[12] Lihat “Risalatu nawaaqidhil islaam”, poin ke delapan.
[13] Kitab “Majmu’ul fataawa” (5/510).
[14] Kisah beliau t dalam HSR al-Bukhari (no. 2845) dan Muslim (no. 2494).
[15] Kitab “Majmu’ul fataawa” (7/523).
[16] Ad-Durarus saniyyah (8/422).
[17]Pembahasan ini kami ringkas dari kitab “al-wala’ wal bara’ fil Islam” tulisan syaikh Shaleh al-Fauzan (hal. 15-17) dengan sedikit penyesuaian.
[18] Mereka adalah orang-orang yang sangat teguh keimanannya terhadap kebenaran seruan para nabi.

Rayuan Setan Dalam Pacaran

Rayuan Setan Dalam Pacaran
Para pembaca yang budiman, ketika seseorang beranjak dewasa, muncullah benih di dalam jiwa untuk mencintai lawan jenisnya. Ini merupakan fitrah (insting) yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan terhadap perkara yang dinginkannya berupa wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenagan hidup di dunia. Dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.” (QS. Ali Imran: 14)
Adab Bergaul Antara Lawan Jenis
Islam adalah agama yang sempurna, di dalamnya diatur seluk-beluk kehidupan manusia, bagaimana pergaulan antara lawan jenis. Di antara adab bergaul antara lawan jenis sebagaimana yang telah diajarkan oleh agama kita adalah:
1. Menundukkan pandangan terhadap lawan jenis
Allah berfirman yang artinya, “Katakanlah kepada laki-laki beriman: Hendahlah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. an-Nur: 30). Allah juga berfirman yang artinya,”Dan katakalah kepada wanita beriman: Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. an-Nur: 31)
2. Tidak berdua-duaan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan (kholwat) dengan wanita kecuali bersama mahromnya.” (HR. Bukhari & Muslim)
3. Tidak menyentuh lawan jenis
Di dalam sebuah hadits, Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Demi Allah, tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan wanita sama sekali meskipun saat membaiat (janji setia kepada pemimpin).” (HR. Bukhari). Hal ini karena menyentuh lawan jenis yang bukan mahromnya merupakan salah satu perkara yang diharamkan di dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, (itu) masih lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Thabrani dengan sanad hasan)
Jika memandang saja terlarang, tentu bersentuhan lebih terlarang karena godaannya tentu jauh lebih besar.
Salah Kaprah Dalam Bercinta
Tatkala adab-adab bergaul antara lawan jenis mulai pudar, luapan cinta yang bergolak dalam hati manusia pun menjadi tidak terkontrol lagi. Akhirnya, setan berhasil menjerat para remaja dalam ikatan maut yang dikenal dengan “pacaran“. Allah telah mengharamkan berbagai aktifitas yang dapat mengantarkan ke dalam perzinaan. Sebagaimana Allah berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesugguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. al-Isra’: 32). Lalu pintu apakah yang paling lebar dan paling dekat dengan ruang perzinaan melebihi pintu pacaran?!!
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah menetapkan untuk anak adam bagiannya dari zina, yang pasti akan mengenainya. Zina mata adalah dengan memandang, zina lisan adalah dengan berbicara, sedangkan jiwa berkeinginan dan berangan-angan, lalu farji (kemaluan) yang akan membenarkan atau mendustakannya.” (HR. Bukhari & Muslim). Kalaulah kita ibaratkan zina adalah sebuah ruangan yang memiliki banyak pintu yang berlapis-lapis, maka orang yang berpacaran adalah orang yang telah memiliki semua kuncinya. Kapan saja ia bisa masuk. Bukankah saat berpacaran ia tidak lepas dari zina mata dengan bebas memandang? Bukankah dengan pacaran ia sering melembut-lembutkan suara di hadapan pacarnya? Bukankah orang yang berpacaran senantiasa memikirkan dan membayangkan keadaan pacarnya? Maka farjinya pun akan segera mengikutinya. Akhirnya penyesalan tinggallah penyesalan. Waktu tidaklah bisa dirayu untuk bisa kembali sehingga dirinya menjadi sosok yang masih suci dan belum ternodai. Setan pun bergembira atas keberhasilan usahanya….
Iblis, Sang Penyesat Ulung
Tentunya akan sulit bagi Iblis dan bala tentaranya untuk menggelincirkan sebagian orang sampai terjatuh ke dalam jurang pacaran gaya cipika-cipiki atau yang semodel dengan itu. Akan tetapi yang perlu kita ingat, bahwasanya Iblis telah bersumpah di hadapan Allah untuk menyesatkan semua manusia. Iblis berkata, “Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS. Shaad: 82). Termasuk di antara alat yang digunakan Iblis untuk menyesatkan manusia adalah wanita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah (ujian) yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada wanita.” (HR. Bukhari & Muslim). Kalaulah Iblis tidak berhasil merusak agama seseorang dengan menjerumuskan mereka ke dalam gaya pacaran cipika-cipiki, mungkin cukuplah bagi Iblis untuk bisa tertawa dengan membuat mereka berpacaran lewat telepon, SMS atau yang lainnya. Yang cukup menyedihkan, terkadang gaya pacaran seperti ini dibungkus dengan agama seperti dengan pura-pura bertanya tentang masalah agama kepada lawan jenisnya, miss called atau SMS pacarnya untuk bangun shalat tahajud dan lain-lain.
Ringkasnya sms-an dengan lawan jenis, bukan saudara dan bukan karena kebutuhan mendesak adalah haramdengan beberapa alasan: (a) ini adalah semi berdua-duaan, (b) buang-buang pulsa, dan (c) ini adalah jalan menuju perkara yang haram. Mudah-mudahan Allah memudahkan kita semua untuk menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya.

Memadu Kasih di Hari Valentine?

Memadu Kasih di Hari Valentine?
Hari Valentine (bahasa Inggris: Valentine’s Day), pada tanggal 14 Februari adalah sebuah hari di mana para kekasih dan mereka yang sedang jatuh cinta menyatakan cintanya di Dunia Barat. Pada masa kini, hari raya ini berkembang bukan hanya para orang yang memadu kasih, tapi pada sahabat dan teman dekat. Namun mayoritas yang merayakannya adalah orang yang sedang jatuh cinta. Ini pun dianut saat ini dan semakin meluas di kalangan muda-mudi di negeri ini. Ketika hari tersebut ada yang memberikan coklat kepada kekasihnya atau kado spesial lainnya.
Selaku umat Islam, tentu saja kita mesti menilik ulang perayaan tersebut. Ada beberapa tinjauan dalam perayaan tersebut yang bisa dikritisi. Di antaranya adalah tentang memadu kasih lewat pacaran dan hukum merayakan valentine serta memberikan hadiah ketika itu. Semoga Allah memberikan kemudahan bagi kami untuk membahasnya.
Meninjau Fenomena Memadu Kasih Lewat Pacaran
Sebagian orang menyangka bahwa jika seseorang ingin mengenal pasangannya mestilah lewat pacaran. Kami pun merasa aneh kenapa sampai dikatakan bahwa cara seperti ini adalah satu-satunya cara untuk mengenal pasangan. Saudaraku, jika kita telaah, bentuk pacaran pasti tidak lepas dari perkara-perkara berikut ini.
Pertama: Pacaran adalah jalan menuju zina
Yang namanya pacaran adalah jalan menuju zina dan itu nyata. Awalnya mungkin hanya melakukan pembicaraan lewat telepon, sms, atau chating. Namun lambat laut akan janjian kencan. Lalu lama kelamaan pun bisa terjerumus dalam hubungan yang melampaui batas layaknya suami istri. Begitu banyak anak-anak yang duduk di bangku sekolah yang mengalami semacam ini sebagaimana berbagai info yang mungkin pernah kita dengar di berbagai media. Maka benarlah, Allah Ta’ala mewanti-wanti kita agar jangan mendekati zina. Mendekati dengan berbagai jalan saja tidak dibolehkan, apalagi jika sampai berzina. Semoga kita bisa merenungkan ayat yang mulia,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isro’: 32). Asy Syaukani rahimahullah menjelaskan, “Allah melarang mendekati zina. Oleh karenanya, sekedar mencium lawan jenis saja otomatis terlarang. Karena segala jalan menuju sesuatu yang haram, maka jalan tersebut juga menjadi haram. Itulah yang dimaksud dengan ayat ini.”[1] Selanjutnya, kami akan tunjukkan beberapa jalan menuju zina yang tidak mungkin lepas dari aktivitas pacaran.
Kedua:  Pacaran melanggar perintah Allah untuk menundukkan pandangan
Padahall Allah Ta’ala perintahkan dalam firman-Nya,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.” (QS. An Nur: 30). Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada para pria yang beriman untuk menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan yaitu wanita yang bukan mahrom. Namun jika ia tidak sengaja memandang wanita yang bukan mahrom, maka hendaklah ia segera memalingkan pandangannya. Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.
Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.”[2]
Ketiga: Pacaran seringnya berdua-duaan (berkholwat)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ ، إِلاَّ مَحْرَمٍ
Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya.”[3]Berdua-duaan (kholwat) yang terlarang di sini tidak mesti dengan berdua-duan di kesepian di satu tempat, namun bisa pula bentuknya lewat pesan singkat (sms), lewat kata-kata mesra via chating dan lainnya. Seperti ini termasuk semi kholwat yang juga terlarang karena bisa pula sebagai jalan menuju sesuatu yang terlarang (yaitu zina).
Keempat: Dalam pacaran, tangan pun ikut berzina
Zina tangan adalah dengan menyentuh lawan jenis yang bukan mahrom sehingga ini menunjukkan haramnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.[4]
Inilah beberapa pelanggaran ketika dua pasangan memadu kasih lewat pacaran. Adakah bentuk pacaran yang selamat dari hal-hal di atas? Lantas dari sini, bagaimanakah mungkin pacaran dikatakan halal? Dan bagaimana mungkin dikatakan ada pacaran islami padahal pelanggaran-pelanggaran di atas pun ditemukan? Jika kita berani mengatakan ada pacaran Islami, maka seharusnya kita berani pula mengatakan ada zina islami, judi islami, arak islami, dan seterusnya.
Menikah, Solusi Terbaik untuk Memadu Kasih
Solusi terbaik bagi yang ingin memadu kasih adalah dengan menikah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
« لَمْ نَرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ »
Kami tidak pernah mengetahui solusi untuk dua orang yang saling mencintai semisal pernikahan.[5]
Inilah jalan yang terbaik bagi orang yang mampu menikah. Namun ingat, syaratnya adalah mampu yaitu telah mampu menafkahi keluarga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Wahai para pemuda[6], barangsiapa yang memiliki baa-ah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.”[7] Yang dimaksud baa-ah dalam hadits ini boleh jadi jima’ yaitu mampu berhubungan badan. Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud baa-ah adalah telah mampu memberi nafkah. Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullahh mengatakan bahwa kedua makna tadi kembali pada makna kemampuan memberi nafkah.[8] Itulah yang lebih tepat.
Inilah solusi terbaik untuk orang yang akan memadu kasih. Bukan malah lewat jalan yang haram dan salah. Ingatlah, bahwa kerinduan pada si dia yang diidam-idamkan adalah penyakit. Obatnya tentu saja bukanlah ditambah dengan penyakit lagi. Obatnya adalah dengan menikah jika mampu. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya obat bagi orang yang saling mencintai adalah dengan menyatunya dua insan tersebut dalam jenjang pernikahan.”[9]
Obat Bagi Yang Dimabuk Cinta
Berikut adalah beberapa obat bagi orang yang dimabuk cinta namun belum sanggup untuk menikah.
Pertama: Berusaha ikhlas dalam beribadah.
Jika seseorang benar-benar ikhlas menghadapkan diri pada Allah, maka Allah akan menolongnya dari penyakit rindu dengan cara yang tak pernah terbetik di hati sebelumnya. Cinta pada Allah dan nikmat dalam beribadah akan mengalahkan cinta-cinta lainnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sungguh, jika hati telah merasakan manisnya ibadah kepada Allah dan ikhlas kepada-Nya, niscaya ia tidak akan menjumpai hal-hal lain yang lebih manis, lebih indah, lebih nikmat dan lebih baik daripada Allah. Manusia tidak akan meninggalkan sesuatu yang dicintainya, melainkan setelah memperoleh kekasih lain yang lebih dicintainya. Atau karena adanya sesuatu yang ditakutinya. Cinta yang buruk akan bisa dihilangkan dengan cinta yang baik. Atau takut terhadap sesuatu yang membahayakannya.”[10]
Kedua: Banyak memohon pada Allah
Ketika seseorang berada dalam kesempitan dan dia bersungguh-sungguh dalam berdo’a, merasakan kebutuhannya pada Allah, niscaya Allah akan mengabulkan do’anya. Termasuk di antaranya apabila seseorang memohon pada Allah agar dilepaskan dari penyakit rindu dan kasmaran yang terasa mengoyak-ngoyak hatinya. Penyakit yang menyebabkan dirinya gundah gulana, sedih dan sengsara. Ingatlah, Allah Ta’ala berfirman,
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (QS. Al Mu’min: 60)
Ketiga: Rajin memenej pandangan
Pandangan yang berulang-ulang adalah pemantik terbesar yang menyalakan api hingga terbakarlah api dengan kerinduan. Orang yang memandang dengan sepintas saja jarang yang mendapatkan rasa kasmaran. Namun pandangan yang berulang-ulanglah yang merupakan biang kehancuran. Oleh karena itu, kita diperintahkan untuk menundukkan pandangan agar hati ini tetap terjaga. Lihatlah surat An Nur ayat 30 yang telah kami sebutkan sebelumnya. Mujahid mengatakan, “Menundukkan pandangan dari berbagai hal yang diharamkan oleh Allah akan menumbuhkan rasa cinta pada Allah.”[11]
Keempat: Lebih giat menyibukkan diri
Dalam situasi kosong kegiatan biasanya seseorang lebih mudah untuk berangan memikirkan orang yang ia cintai. Dalam keadaan sibuk luar biasa berbagai pikiran tersebut mudah untuk lenyap begitu saja. Ibnul Qayyim pernah menyebutkan nasehat seorang sufi yang ditujukan pada Imam Asy Syafi’i. Ia berkata, “Jika dirimu tidak tersibukkan dengan hal-hal yang baik (haq), pasti akan tersibukkan dengan hal-hal yang sia-sia (batil).”[12]
Kelima: Menjauhi musik dan film percintaan
Nyanyian dan film-film percintaan memiliki andil besar untuk mengobarkan kerinduan pada orang yang dicintai. Apalagi jika nyanyian tersebut dikemas dengan mengharu biru, mendayu-dayu tentu akan menggetarkan hati orang yang sedang ditimpa kerinduan. Akibatnya rasa rindu kepadanya semakin memuncak, berbagai angan-angan yang menyimpang pun terbetik dalam hati dan pikiran. Bila demikian, sudah layak jika nyanyian dan tontonan seperti ini dan secara umum ditinggalkan. Demi keselamatan dan kejernihan hati. Sehingga sempat diungkapkan oleh beberapa ulama nyanyian adalah mantera-mantera zina.
Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian dapat menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air dapat menumbuhkan sayuran.”  Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.” Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.[13]
Kasih Sayang di Hari Valentine
Saling memberi kado, saling memberi coklat dan hadiah, fenomena semacam inilah yang akan kita saksikan pada hari Valentine (14 Februari) dan hari ini pun disebut dengan hari kasih sayang. Jika ini didasari pada memadu kasih dengan pacaran, sudah kami jabarkan kekeliruannya di atas. Jika ini adalah kasih sayang secara umum, maka di antara kerusakan yang dilakukan adalah tasyabuh atau mengikuti budaya orang barat (orang kafir).
Mungkin sebagian kaum muslimin tidak mengetahui bahwa sebenarnya perayaan ini berasal dari budaya barat untuk mengenang pendeta (santo) Valentinus. Paus Gelasius I menetapkan tanggal 14 Februari sebagai hari peringatan santo Valentinus. Kenapa tanggal 14 Februari bisa dihubungkan dengan santo Valentinus? Ada yang menceritakan bahwa sore hari sebelum santo Valentinus akan gugur sebagai martir (mati karena memperjuangkan cinta), ia menulis sebuah pernyataan cinta kecil yang diberikannya kepada sipir penjaranya yang tertulis “Dari Valentinusmu“. Pada kebanyakan versi menyatakan bahwa 14 Februari dihubungkan dengan kegugurannya sebagai martir.[14]
Dari sini menunjukkan bahwa perayaan Valentine bukan perayaan kaum muslimin, namun termasuk perayaan barat. Perayaan ini pun dimaksudkan untuk mengenang tokoh orang kafir yaitu santo Valentinus. Sehingga kerusakannya yang terlihat jelas adalah tasyabuh (meniru-niru) orang kafir.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh). Beliau bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka[15]Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal  perayaan, penampilan dan kebiasaan yang menjadi ciri khas mereka. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).[16]
Perayaan ini adalah acara ritual agama lain. Hadiah yang diberikan sebagai ungkapan cinta, asalnya adalah sesuatu yang baik, namun bila dikaitkan dengan pesta-pesta ritual agama lain dan tradisi-tradisi Barat, akan mengakibatkan seseorang terobsesi oleh budaya dan gaya hidup mereka. Sehingga dari sisi inilah pemberian hadiah valentine menjadi terlarang.
Peringatan dari Komisi Fatwa di Saudi Arabia
Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Riset Ilmiyyah dan Fatwa, Saudi Arabia) telah menanggapi pertanyaan seputar ‘Idul Hubb (perayaan Hari Valentine). Para ulama yang duduk di sana menjawab, “Perayaan hari Valentine termasuk perayaan yang dikategorikan tasyabuh (meniru-niru) orang kafir dan termasuk salah satu hari besar dari kaum paganis Kristen. Karenanya, diharamkan bagi siapapun dari kaum muslimin, yang dia mengaku beriman kepada Allah dan Hari Akhir, untuk mengambil bagian di dalamnya, termasuk memberi ucapan selamat (kepada seseorang pada saat itu). Sebaliknya, wajib baginya untuk menjauhi perayaan tersebut sebagai bentuk ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya, dan menjaga jarak dirinya dari kemarahan Allah dan hukuman-Nya.
Begitu pula seorang muslim diharamkan untuk membantu dalam perayaan ini, atau perayaan lainya yang terlarang, baik membantu dengan makanan, minuman, jual, beli, produksi, ucapan terima kasih, surat-menyurat, pengumuman, dan lain lain. Semua ini termasuk bentuk tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran, serta termasuk maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al Maidah: 2).”[17] Demikian cuplikan dari fatwa Al Lajnah Ad Daimah.
Oleh karenanya, tidaklah pantas jika kaum muslimin ikut serta dalam perayaan ini baik dengan mengucapkan selamat Valentine lewat surat maupun lainnya, memberi hadiah dan coklat, serta mendukung dengan menjual berbagai hadiah untuk perayaan tersebut.
Semoga Allah memberi taufik dan memperbaiki keadaan kaum muslimin.
Diselesaikan berkat nikmat Allah di Panggang-Gunung Kidul, 24 Shofar 1431 H
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

[1] Fathul Qodir, Asy Syaukani, 4/300, Mawqi’ At Tafaasir. [2] HR. Muslim no. 5770
[3] HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shohih ligoirihi (shahih dilihat dari jalur lainnya).
[4] HR. Muslim no. 6925.
[5] HR. Ibnu Majah no. 1847. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Ash Shahihah no. 624.
[6]Yang dimaksud dengan syabab (pemuda) di sini adalah siapa saja yang belum mencapai usia 30 tahun. Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah. (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 9/173, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392 H)
[7] HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400.
[8] Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 9/173.
[9] Rodhotul Muhibbin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 212, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah Beirut, tahun 1412 H.
[10] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 10/187, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
[11] Majmu’ Al Fatawa, 15/394.
[12] Al Jawabul Kafi, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 109, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah
[13] Lihat Talbis Iblis, Ibnul Jauzi, hal. 289, Darul Kutub Al ‘Arobi, cetakan pertama, tahun 1405 H.
[14] Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Valentine
[15]HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269.
[16] Lihat penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, 1/363, Wazarotu Asy Syu-un Al Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1417 H.
[17] Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wa Ifta’, no. 21203, 2/263-264, Mawqi’ Al Ifta’. Yang menandatangani fatwa tersebut: Syaikh ‘Abdul Aziz bin ‘Abdillah Alusy Syaikh selaku ketua; Syaikh ‘Abdullah bin Ghodyan, Syaikh Sholih Al Fauzan dan Syaikh Bark Abu Zaid selaku anggota. Silakan lihat pada link berikut: http://alifta.net/Fatawa/FatawaChapters.aspx?View=Page&PageID=186&PageNo=1&BookID=12

Jawaban Kepada Astora Jabat Berkenaan Hukum Mengucapkan Merry Christmas

Jawaban Kepada Astora Jabat Berkenaan Hukum Mengucapkan Merry Christmas
Sebenarnya tiada nas yang jelas daripada al-Quran dan hadis yang mengharamkan orang Muslim mengucap tahniah dan menghadiri perayaan bukan Muslim. Tetapi orang Muslim yang berfikiran tertutup termasuk yang menjadi ulama mempunyai banyak sebab membolehkan mereka mengharamkan perkara itu.

Salah satu sebabnya seperti disebut forumner di atas, iaitu kerana orang Kristian didakwa syirik, maka kita mengucap tahniah kepada orang Kristian dan menghadiri majlis Krismas mereka dianggap menjadi syirik yang dosa lebih besar dari menyuruh orang berzina, minum arak, membuka aurat, main judi, membunuh dan sebagainya.

Dia lupa bahawa Nabi Muhammad s.a.w. memberi penghormatan kepada mayat bukan Muslim, Allah membenarkan orang Muslim makan dan kahwin dengan wanita Ahli Kitab dan sebagainya.

Di atas adalah nukilan daripada kata-kata Astora Jabat dalam ruangan Bicara Agama, Mingguan Malaysia pada 26 Disember 2004. Ringkasnya dalam artikel beliau yang berjudul Ucapan selamat Hari Krismas syirik?¸Astora Jabat berpendapat dibolehkan mengucapkan Merry Christmas kepada orang-orang beragama Kristian. Dalilnya adalah, seperti biasa, tidak ada nas yang jelas daripada al-Qur’an dan as-Sunnah yang melarang orang Islam mengucapkan Merry Christmas kepada orang Kristian.

Sememangnya sudah tidak asing lagi bagi kita semua bahawa antara bentuk dalil yang masyhur di sisi Astora Jabat dan lain-lain tokoh Islam Liberal dalam menegakkan sesuatu fahaman mereka ialah “tidak ada nas yang jelas”. Kemudian mereka mencari apa sahaja penguat yang lain untuk mendukung fahaman tersebut. Semua ini seolah-olah Islam adalah satu agama vakum yang boleh dipenuhi oleh apa sahaja yang dikehendaki oleh seseorang.

Sampai-sampai kita boleh umpamakan, berlaku satu kes ragut beg tangan di hadapan orang ramai. Salah seorang daripada orang yang menyaksikan kes tersebut berkata:
“Selamat meragut beg tangan, tahniah!”.
Lalu orang ramai menegur: “Kenapa anda mengucapkan tahniah kepada peragut itu?”
Orang itu menjawab: “Tidak ada nas yang jelas daripada al-Qur’an dan as-Sunnah yang melarang kita daripada mengucapkan tahniah kepada seorang peragut. Adakah kalian lupa bahawa mungkin dia kelaparan dan inginkan wang untuk membeli makanan? Adakah kalian lupa bahawa dia mungkin rindu kepada kawan-kawannya dan ingin menggunakan talifon bimbit dalam beg tangan untuk menalifon mereka?”

Penulis yakin ramai pembaca yang akan menolak perumpamaan di atas. Ini kerana meragut beg tangan adalah perbuatan mencuri yang dilarang dalam Islam. Lebih dari itu kita tidak boleh membenarkan satu perbuatan yang salah dengan memberikan alasan-alasan “tujuan yang baik” di sebaliknya. Akan tetapi inilah yang dilakukan oleh Astora Jabat. Jika benar tidak ada nas jelas yang melarang mengucap Merry Christmas, maka demikian juga, tidak ada nas jelas yang melarang mengucapkan tahniah kepada peragut beg tangan. Jika ucapan Merry Christmas boleh diperkuatkan dengan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang berbuat baik kepada sebahagian kaum Ahli Kitab, maka demikian juga, amalan mengucapkan tahniah kepada peragut boleh diperkuatkan dengan tujuan baik yang mendorong dia melakukan tindakan sedemikian.

Demikianlah agama Islam menurut Astora Jabat dan lain-lain tokoh Islam Liberal, ia adalah ruang vakum yang boleh dipenuhi dengan apa sahaja yang dikehendaki oleh seseorang.

Sebenarnya perbincangan sama ada boleh atau tidak mengucapkan Merry Christmas adalah sesuatu yang telah lama dibicarakan kepada para ilmuan Islam. Insya-Allah dalam risalah ini penulis akan cuba mengupasnya secara adil berdasarkan petunjuk al-Qur’an, as-Sunnah dan pemikiran yang sihat. Sebelum dimulakan, adalah penting untuk kita terlebih dahulu memahami apa dan kenapa masyarakat Kristian menyambut Hari Natal (Christmas Day).

Christmas Day menurut orang Kristian adalah sambutan hari ulangtahun kelahiran anak Allah di mukabumi, iaitu Jesus. Tumpuan tidaklah diberatkan kepada tarikh 25 Disember tetapi pada diri Jesus itu sendiri yang telah dikorbankan oleh Allah demi menghapuskan dosa-dosa manusia. Pengorbanan sebesar ini tidak patut dilupakan begitu sahaja, maka ia diingati dengan sambutan Christmas Day.

Apabila penulis menaip “Why do we celebrate Christmas” di enjin carian internet www.google.com, hasil penemuan pertama yang dikemukakan menyebut:
Why do we celebrate Christmas? It is Jesus' birthday! His mommy was Mary and His earthy Father was Joseph. His real Father is God and Jesus was God's gift to all of us!
Christmas is the celebration of the birth of Jesus. Christians decided to celebrate this day many years after He was born. December 25 was picked as this day, even though it probably is not the exact day He was born. That is not as important as the reason we celebrate Christmas. Jesus is the reason for the season. The season is not just to receive gifts, get time off from school or eat a lot of good stuff. Remember that Jesus was born for us...to take away our sins...so that we can be forgiven of the bad things we do forever. This is the greatest gift of all![1]

Jelas Christmas Day adalah sambutan bersempena dua perkara, pertama: Jesus sebagai anak Allah dan kedua: pengorbanan Jesus oleh Allah sendiri demi menghapuskan dosa-dosa manusia. Adalah memadai dalam artikel ini kita memberi tumpuan kepada yang pertama sahaja, iaitu Jesus sebagai anak Allah.

Apakah pandangan Islam tentang dakwaan Allah memiliki anak? Jawapannya boleh diperolehi secara jelas daripada al-Qur’an.
Pertama, Allah adalah Tuhan yang bebas daripada diperanakkan atau memiliki anak. Allah Subhanahu wa Ta‘ala berfirman:
Katakanlah: “(Tuhanku) ialah Allah Yang Satu, Allah Yang menjadi tumpuan sekalian makhluk untuk memohon sebarang hajat, Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan, Dan tidak ada sesiapapun yang serupa dengan-Nya". [al-Ikhlas 112:1-4]

Kedua, mengatakan Allah memiliki anak adalah satu kesalahan yang amat berat:
Dan mereka berkata: “(Allah) Ar-Rahman, mempunyai anak.”
Demi sesungguhnya, kamu telah melakukan satu perkara yang besar salahnya! Langit nyaris-nyaris pecah disebabkan (anggapan mereka) yang demikian dan bumi pula nyaris-nyaris terbelah serta gunung-ganang pun nyaris-nyaris runtuh ranap kerana mereka mendakwa mengatakan: (Allah) Ar-Rahman mempunyai anak. Padahal tiadalah layak bagi (Allah) Ar-Rahman, bahawa Dia mempunyai anak. [Maryam 19:88-92]

Ketiga, dakwaan Allah memiliki anak adalah sebahagian daripada kepercayaan Trinity yang dipegang oleh orang-orang Kristian.  Kepercayaan Trinity bermaksud Allah adalah tiga sekalipun satu, iaitu (1) The Father, (2) The Son and (3) The Holy Spirit. Ini adalah satu kesalahan yang telah dinyatakan oleh al-Qur’an sejak lebih 1400 tahun yang lalu:
Wahai Ahli kitab (Yahudi dan Nasrani)! Janganlah kamu melampaui batas dalam perkara agama kamu dan janganlah kamu mengatakan sesuatu terhadap Allah melainkan yang benar.

Sesungguhnya al-Masih Isa ibni Maryam (Jesus) hanya seorang pesuruh Allah dan Kalimah Allah yang telah disampaikan-Nya kepada Maryam dan (merupakan tiupan) roh daripada-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga (Trinity)".

Berhentilah (daripada mengatakan yang demikian) supaya menjadi kebaikan bagi kamu. Hanyasanya Allah ialah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah daripada mempunyai anak. Bagi Allah jualah segala yang ada di langit dan yang ada di bumi. Dan cukuplah menjadi Pengawal (Yang Mentadbirkan sekalian makhlukNya). [an-Nisa’ 4:171]

Keempat, apabila orang-orang Kristian enggan berhenti daripada kepercayaan Trinity mereka sebagaimana yang dilarang oleh ayat 171 surah an-Nisa’ di atas, Allah Subhanahu wa Ta‘ala menghukum mereka kafir:
Demi sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Bahawasanya Allah ialah salah satu dari tiga tuhan.” Padahal tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Tuhan yang Maha Esa. Dan jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, sudah tentu orang-orang yang kafir dari antara mereka akan dikenakan azab seksa yang tidak terperi sakitnya. [al-Maidah 5:73]

Ayat-ayat al-Qur’an di atas tidaklah bersifat samar-samar dalam menyatakan kesalahan mendakwa Allah memiliki anak. Pengkhususan diberikan kepada kepercayaan agama Kristian yang mendakwa Jesus adalah anak Allah. Jesus sebagai anak Allah adalah salah satu unsur Trinity. Berpegang kepada kepercayaan sebegini adalah satu kekafiran yang tidak diragukan lagi.

Alhamdulillah umat Islam bebas daripada kepercayaan Allah memiliki anak dan Trinity. Akan tetapi umat Islam tidak sahaja dituntut untuk menjauhi kepercayaan sedemikian tetapi juga dilarang daripada membantu atau menyokongnya. Ini kerana di dalam Islam, apabila sesuatu perkara itu adalah salah maka kita bukan sahaja dituntut untuk menjauhi kesalahan tersebut tetapi juga dilarang daripada membantu dan menyokong kesalahan itu. Allah 'Azza wa Jalla berfirman:
Dan hendaklah kamu bertolong-tolongan untuk membuat kebajikan dan bertaqwa, dan janganlah kamu bertolong-tolongan pada melakukan dosa (maksiat) dan pencerobohan. [al-Maidah 5:02]

Termasuk dalam keumuman perintah …bertolong-tolongan untuk membuat kebajikan… ialah membetulkan kepercayaan orang-orang Kristian. Hal ini kita lakukan bukan dengan menzalimi mereka tetapi dengan dakwah dan dialog dengan cara yang terbaik, yakni dengan ilmu dan hikmah. Allah Subhanahu wa Ta‘ala berfirman:
Dan janganlah kamu berbahas dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang lebih baik, melainkan kepada orang-orang yang berlaku zalim di antara mereka. Dan katakanlah (kepada mereka yang zalim): “Kami beriman kepada (Al-Quran) yang diturunkan kepada kami dan kepada (Taurat dan Injil) yang diturunkan kepada kamu; dan Tuhan kami, juga Tuhan kamu, adalah Satu. Dan kepada-Nyalah kami patuh dengan berserah diri." [al-Ankabut 29:46]

Termasuk dalam keumuman perintah …janganlah kamu bertolong-tolongan pada melakukan dosa… ialah jangan kita membantu dan menyokong kepercayaan orang-orang Kristian. Di antaranya ialah jangan diucapkan: “Merry Christmas” kerana dengan ucapan ini atau apa-apa yang seumpama, kita mengiktiraf kepercayaan mereka dan memberi ucapan tahniah untuk mereka meneruskan kepercayaan tersebut. Ini dilarang dan amat bertentangan dengan apa yang sebenarnya dituntut ke atas kita.

Adapun tindakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang menghormati dan berbuat baik kepada sebahagian kaum Ahli Kitab, yakni orang-orang Yahudi dan Nasrani, ia adalah tindakan yang menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:
Allah tidak melarang kamu daripada berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangi kamu kerana agama (kamu) dan tidak mengeluarkan kamu dari kampung halaman kamu. Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang berlaku adil. [al-Mumtahanah 60:08]

Akan tetapi menghormati dan berbuat baik kepada orang bukan Islam, dalam kes ini orang-orang Kristian, tidaklah sampai ke tahap membenarkan dan membantu kepercayaan mereka yang syirik kepada Allah. Sebagai contoh, apabila memerintahkan anak-anak berbuat baik kepada ibubapa, Allah Subhanahu wa Ta‘ala berfirman:
Dan jika mereka berdua (ibubapa) mendesak kamu supaya mempersekutukan dengan-Ku sesuatu yang engkau tidak mengetahui sungguh adanya, maka janganlah engkau taat kepada mereka. Dan bergaullah dengan mereka di dunia dengan cara yang baik. [Luqman 31:15]

Jelas bahawa berbuat baik tersebut adalah dengan syarat ia tidak melibatkan apa-apa yang bersifat syirik kepada Allah. Jika melibatkan syirik maka tidak ada ketaatan. Namun sekalipun dalam suasana syirik tersebut, anak-anak tetap dituntut bergaul dengan ibubapa mereka dengan cara yang baik.

Justeru kita memang dituntut berbuat baik kepada orang-orang bukan Islam. Akan tetapi tuntutan ini tidaklah ke tahap kita melakukan syirik kepada Allah atau kita mengiktiraf dan membantu orang bukan Islam melakukan syirik kepada Allah. Hal ini perlu dibezakan dengan baik. Perhatikan bahawa sekalipun Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menghormati dan berbuat baik kepada sebahagian kaum Ahli Kitab, baginda tidak sekali-kali memberi ucapan tahniah dan menyertai perayaan keagamaan mereka.

Ada yang berpendapat, boleh mengucapkan Merry Christmas berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
Dan apabila kamu diberikan penghormatan dengan sesuatu ucapan hormat, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik daripadanya, atau balaslah dia (dengan cara yang sama). Sesungguhnya Allah sentiasa menghitung tiap-tiap sesuatu. [al-Nisa’ 4:86]

Berdasarkan ayat di atas, ada yang mengatakan apabila orang-orang Kristian mengucapkan “Selamat Hari Raya” kepada kita umat Islam, maka kita dibolehkan, malah disuruh, untuk membalas dengan sesuatu yang lebih baik atau semisal. Maka dengan itu, hendaklah kita balas kepada mereka pada hari Natal dengan ucapan “Merry Christmas”.
Ini adalah pendapat yang amat lemah lagi tertolak, paling kurang kerana tiga sebab:
  1. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, para sahabat dan generasi al-Salaf al-Shalih tidak pernah memahami atau menggunakan ayat di atas sebagai dalil bagi mengucapkan Merry Christmas kepada orang-orang Kristian pada zaman mereka.
  2. Jika orang-orang Kristian mengucapkan “Selamat Hari Raya” kepada kita, maka ucapan balas yang lebih baik atau semisal ialah menjemput mereka untuk mengucapkan “Tiada Tuhan Melainkan Allah dan Muhammad adalah Pesurah Allah”, kemudian sama-sama meraikan hari perayaan yang disyari‘atkan oleh Allah, Tuhan yang satu tidak tiga, tuhan yang tidak memiliki anak.
  3. Bagaimana mungkin suruhan untuk …balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik daripadanya, atau balaslah dia (dengan cara yang sama)… ditafsirkan sebagai kebolehan mengucapkan kalimah syirik dan menganjurkan orang-orang Kristian meneruskan perayaan syirik mereka? Mustahil Allah Subhanahu wa Ta'ala menyuruh kita untuk melakukan sedemikian.

Timbul persoalan seterusnya, bagaimana seharusnya sikap kita kepada majikan, guru, rakan-rakan, jiran-jiran dan ahli keluarga kita yang menyambut Christmas Day? Untuk menjawab persoalan ini, penulis ingin mengajak para pembaca sekalian melakukan satu anjakan paradigma. Sedar atau tidak, kita umat Islam apabila menghadapi sesuatu persoalan seringkali akan cuba mengubahsuai agama Islam supaya selari dengan persoalan tersebut. Kenapa tidak dilakukan yang sebaliknya, iaitu mengubahsuai persoalan supaya selari dengan agama Islam? Sudah sampai masanya Islam dan umatnya menjadi pemimpin, bukan asyik dipimpin.

Dalam kes ini, sikap kita terhadap orang-orang Kristian yang berkaitan ialah menerangkan kepada mereka bahawa kita menghormati kepercayaan yang mereka pilih. Akan tetapi tidaklah bererti kita mengiktiraf dan menyertai perayaan keagamaan mereka kerana ia bertentangan dengan prinsip agama kita sendiri. Melalui penerangan yang berhikmah dan ilmiah, pasti mudah untuk orang-orang Kristian menerimanya. Malah mungkin ia dapat membuka ruang dakwah untuk kita membetulkan kepercayaan Trinity yang mereka pegangi.

Sudah tentu bahawa penjelasan dalam dua perenggan terakhir di atas adalah berdasarkan kemampuan setiap individu. Jika seseorang tersepit dalam suasana yang menekan, maka dibolehkan baginya mengucapkan Merry Christmas sebagai pilihan yang terakhir. Allah sebagai tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Pengampun mengetahui apabila seseorang hambanya terpaksa melakukan satu perkara yang tidak diingininya.

Perkara lain yang perlu digariskan adalah, tidak mengucapkan Merry Christmas tidak bererti akan menyebabkan perpecahan di kalangan rakyat Malaysia. Ini kerana perpaduan rakyat bukan bererti persatuan agama tetapi saling menghormati ajaran agama masing-masing. Menghormati ajaran agama masing-masing bukanlah bermaksud kita umat Islam perlu mengalah kepada orang Kristian dengan mengucapkan Merry Christmas kepada mereka, tetapi dengan orang Kristian sendiri yang mengalah kepada umat Islam dengan menghormati kenapa ajaran Islam melarang umatnya daripada mengucapkan Merry Christmas.