Latest Updates

TATA CARA SHALAT TARAWIH

TATA CARA SHALAT TARAWIH
Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Setelah kita menetapkan, disyariatkannya berjama'ah dalam shalat tarawih berdasarkan ketetapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, perbuatan beliau dan juga anjurannya ; Maka sudah seharusnya kami jelaskan juga beberapa jumlah raka'at yang dilaksanakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada malam-malam yang beliau hidupkan bersama para sahabat. Dan perlu diketahui, bahwa dalam hal ini kami memiliki dua dalil.

Yang Pertama :
Dari Abi Salamah bin Abdir-Rahman, bahwasanya ia pernah bertanya kepada 'Aisyah Radhiallahu 'anha tentang bagaimana shalat Rasulullah Shallallahu 'alihi wa sallam di bulan Ramadhan ? Beliau menjawab : "Baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam melebihi sebelas raka'at[1] . Beliau shalat empat raka'at[2] ; jangan tanya soal bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat lagi empat raka'at, jangan juga tanya soal bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat (witir) tiga raka'at.

Hadits tersebut diatas, diriwayatkan oleh Al-Bukhari (III : 25, IV : 205), Muslim (II : 166), Abu 'Uwanah (II : 327), Abu Dawud (I : 210), At-Tirmidzi (II : 302-303 cetakan Ahmad Syakir), An-Nasa'i (I : 248), Malik (I : 134), Al-Baihaqi (II : 495-496) dan Ahmad (VI : 36,73, 104).

Yang Kedua :
Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu 'anhu bahwa beliau menuturkan : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak delapan raka'at lalu beliau berwitir. Pada malam berikutnya, kamipun berkumpul di masjid sambil berharap beliau akan keluar. Kami terus menantikan beliau disitu hingga datang waktu fajar. Kemudian kami menemui beliau dan bertanya : "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami menunggumu tadi malam, dengan harapan engkau akan shalat bersama kami". Beliau menjawab : "Sesungguhnya aku khawatir kalau (akhirnya) shalat itu menjadi wajib atas dirimu". [Diriwayatkan oleh Ibnu Nashar (hal 90), Ath-Thabrani dalam "Al-Mu'jamu Ash-Shagir" (hal 108). Dengan hadits yang sebelumnya, derajatnya hadist ini hasan. Dalam "Fathul Bari" demikian juga dalam "At-Talkhish" Al-Hafizh Ibnu Hajar mengisyaratkan bahwa hadits itu shahih, Namun beliau menyandarkan hadits itu kepada Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah masing-masing dalam Shahih-nya].

Hadits Tarawih Dua Puluh Raka'at Dha'if Sekali dan Tidak Dapat Dijadikan Hujjah Untuk Beramal

Dalam "Fathul Bari" (IV : 205-206) Ibnu Hajar ketika menjelaskan hadits yang pertama, beliau menyatakan : "Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadhan dua puluh raka'at ditambah witir, sanad hadist ini adalah dha'if. Hadits 'Aisyah yang disebut dalam shahih Al-Bukhari dan Muslim ini juga bertentangan dengan hadits itu, padahal 'Aisyah sendiri lebih mengetahui seluk beluk kehidupan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada waktu malam daripada yang lainnya". Pendapat serupa juga telah lebih dahulu diungkapkan oleh Az-Zailai' dalam "Nashbu ar-Rayah" (II : 153).

Saya mengatakan : "Hadits Ibnu Abbas ini dha'if sekali, sebagaimana dinyatakan oleh As-Suyuthi dalam "Al-Hawi Lil Fatawa" (II : 73). Adapun cacat hadits itu yang tersembunyi, adanya perawi bernama Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman. Al-Hafizh dalam "At-Taqrib" menyatakan : "Haditsnya matruk (perawinya dituduh pendusta)". Aku telah menyelidiki sumber-sumber pengambilan hadits itu, namun yang aku temui cuma jalannya. Ibnu Abi Syaibah juga mengeluarkannya dalam "Al-Mushannaf " (II : 90/2), Abdu bin Hamid dalam "Al-Muntakhab Minal Musnad" (43 : 1-2), Ath-Thabarani dalam "Al-Mu'jamu Al-Kabir" (III : 148/2) dan juga dalam "Al-Ausath" serta dalam "Al-Muntaqa" (edisi tersaring) dari kitab itu, oleh Adz-Dzahabi (II : 3), atau dalam "Al-Jam'u" (rangkuman) Al-Mu'jam Ash-Shaghir dalam Al-Kabir oleh penulis lain (119 : I), Ibnu 'Adiy dalam "Al-Kamil" (I : 2), Al-Khatib dalam "Al-Muwaddhih" (I : 219) dan Al-Baihaqi dalam "Sunan"-nya (II : 496). Seluruhnya dari jalur Ibrahim (yang tersebut) tadi, dari Al-Hakam, dari Muqsim, dari Ibnu Abbas hanya melalui jalan ini". Imam Al-Baihaqi juga menyatakan : "Hadits ini hanya diriwayatkan melalui Abu Syaibah, sedangkan ia perawi dha'if ". Demikian juga yang dinyatakan oleh Al-Haitsami dalam "Majmu' Az-Zawaid" (III : 172) bahwa ia perawi yang dha'if. Kenyataannya, ia malah perawi yang dha'if sekali, seperti diisyaratkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar tadi bahwa ia Matrukul hadits (ditinggal haditsnya karena dituduh berdusta). Inilah yang benar, seperti juga dinyatakan oleh Ibnu Ma'in : "Ia sama sekali tak bisa dipercaya". Al-Jauzajani menyatakan : "Jatuh martabatnya" (celaan yang keras). Bahkan Syu'bah menganggapnya berdusta dalam satu kisah. Imam Al-Bukhari berkomentar :"Dia tak dianggap para ulama". Padahal Al-Hafizh Ibnu Katsir menjelaskan dalam "Ikhti-shar 'Ulumi Al-Hadits" (hal 118) :"Orang yang dikomentari oleh Al-Bukhari dengan ucapan beliau seperti tadi, berarti sudah terkena celaan yang paling keras dan buruk, menurut versi beliau". Oleh sebab itu, saya menganggap hadits ini dalam kategori Hadits Maudhu' alias palsu. Disebabkan (disamping kelemahannya) ia bertentangan dengan hadits 'Aisyah dan Jabir yang terdahulu sebagaimana tadi diungkapkan oleh Al-Hafizh Az-Zaila'i dan Al-Asqalani. Imam Al-Hafidz Adz-Dzahabi juga memaparkan hadits-haditsnya yang munkar. Al-Faqih Ibnu Hajar Al-Haitami menyatakan dalam "Al-Fatawa Al-Kubra" (I : 195) setelah beliau menyebutkan hadits ini.

"Hadits ini sungguh amat dha'if ; para ulama telah bersikap keras terhadap salah seorang perawinya, dengan celaan dan hinaan. Diantara bentuk celaan dan hinaan itu (dalam kaedah ilmu hadits) : Ia perawi hadits-hadits palsu, seperti hadits yang berbunyi : "Umat ini hanya akan binasa di Aadzar (nama tempat) " juga hadits : "Kiamat itu hanya akan terjadi di Aadzar ". Hadits-hadistnya yang berkenaan dengan masalah tarawih ini tergolong jenis hadits-hadits munkarnya. Imam As-Subki itu sendiri menjelaskan bahwa (diantara) persyaratan hadist dha'if untuk dapat diamalkan adalah ; hadits itu tak terlalu lemah sekali. Imam Adz-Dzahabi menyatakan : "orang yang dianggap berdusta oleh orang semisal Syu'bah, tak perlu ditoleh lagi haditsnya".

Saya mengatakan : "Apa yang dinukil beliau dari As-Subki itu mengandung isyarat lembut dari Al-Haitami bahwa beliau sendiri tak sependapat dengan mereka yang mengamalkan hadits tentang shalat tarawih 20 raka'at itu, simaklah".

Kemudian, setelah beliau menyebutkan hadits Jabir dari riwayat Ibnu Hibban, Imam As-Suyuthi berkomentar : "Kesimpulannya, riwayat tarawih 20 raka'at itu tak ada yang shahih dari perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Apa yang tersebut dalam riwayat Ibnu Hibban merupakan klimaks apa yang menjadi pendapat kami, karena (sebelumnya) kami telah berpegang dengan apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari 'Aisyah Radhiallahu 'anha, yaitu : Bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam baik dalam bulan Ramadhan maupun dalam bulan lainnya tak pernah shalat malam melebihi 11 raka'at. Kedua hadits itu (Hadits Riwayat Ibnu Hibban dan Al-Bukhari) selaras, karena disebutkan disitu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat delapan raka'at, lalu menutupnya dengan witir tiga raka'at, sehingga berjumlah 11 raka'at. Satu hal lagi yang menjadi dalil, bahwa Nabi apabila mengamalkan satu amalan, beliau selalu melestarikannya. Sebagaimana beliau selalu meng-qadha shalat sunnah Dhuhur sesudah Ashar ; padahal shalat waktu itu pada asalnya haram. Seandainya beliau telah mengamalkan shalat tarawih 20 raka'at itu, tentu beliau akan mengulanginya. Kalau sudah begitu, tak mungkin 'Aisyah tidak mengetahui hal itu, sehingga ia membuat pernyataan seperti tersebut tadi".

Saya mengatakan : "Ucapannya itu mengandung isyarat yang kuat bahwa beliau lebih memilih sebelas raka'at dan menolak riwayat yang 20 raka'at dari Ibnu Abbas karena terlalu lemah, coba renungkan".


[Disalin dari buku Shalatu At-Tarawih, edisi Indonesia Shalat Tarawih, Penyusun Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan Pustaka At-Tibyan hal. 28 - 36 Penerjemah Abu Umar Basyir Al-Maidani]
_________
Foote Note
[1]. Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah (II/116/1), Muslim dan lain-lain : "Shalat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain adalah tiga belas raka'at. Diantaranya dua raka'at fajar". Namun dalam riwayat lain yang dikeluarkan oleh Imam Malik (I : 142), juga oleh Al-Bukhari (III : 35) dan lain-lain, diceritakan bahwa 'Aisyah menuturkan :"Beliau shalat pada waktu malam tiga belas raka'at. Lalu bila datang adzan subuh memanggil, beliau shalat dua raka'at yang ringan". Al-Hafidzh Ibnu Hajar mengatakan : "Pada dzahirnya, hadits itu nampakl bertentangan dengan hadits terdahulu. Bisa jadi, 'Aisyah menggabungkan dengan dua raka'at shalat sesudah Isya, karena beliau memang melakukannya di rumah. Atau mungkin juga dengan dua raka'at yang dilakukan Nabi sebagai pembuka shalat malam. Karena dalam hadits shahih riwayat Muslim disebutkan bahwa beliau memang memulai shalat malam dengan dua raka'at ringan. Dan yang kedua ini lebih kuat, menurut hemat saya. Karena Abu Salamah yang mengkisahkan kriteria shalat beliau yang tak melebihi 11 raka'at dengan empat-empat plus tiga raka'at, hal itu jelas belum mencakup dua raka'at ringan (pembuka) tadi, dua raka'at itulah yang tercakup dalam riwayat Imam Malik. Sedangkan tambahan matan hadits dari seorang hafizh (seperti Malik) bisa diterima. Pendapat ini lebih dikuatkan lagi dengan apa yang tertera pada riwayat Ahmad dan Abu Dawud dari jalur riwayat Abdullah bin Abi Qais dari 'Aisyah Radhiallahu 'anha dengan lafazh : "Beliau melakukan witir tiga raka'at setelah shalat empat raka'at ; atau tiga setelah sepuluh. Dan beliau belum pernah berwitir -plus shalat malamnya- labih dari tiga belas raka'at. Dan juga tidak pernah kurang -bersama shalat malamnya- dari tujuh raka'at. Inilah riwayat paling shahih yang berhasil saya dapatkan dalam masalah itu. Dengan demikian, perselisihan seputar hadits 'Aisyah itu dapat disatukan".

Saya mengatakan : Adapun hadits Ibnu Abi Qais ini akan kembali disebutkan Insya Allah dalam bahasan "Dibolehkannya shalat malam kurang dari 11 raka'at (hal 81).

Penyelesaian yang dikemukakan oleh Ibnu hajar itu ditopang oleh riwayat Imam Malik yang secara lebih rinci menyebutkan dua raka'at ringan tersebut ; yaitu dari jalur hadits Zaid bin Khalid Al-Juhani bahwasanya ia berkata : "Aku betul-betul berhasrat menyelidiki shalat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu malam. Beliau shalat terlebih dahulu dua raka'at ringan. Kemudian beliau shalat dua raka'at panjang, lalu dua raka'at panjang, lalu dua raka'at panjang. Dua raka'at yang kedua tidak sepanjang yang pertama. Demikian juga yang ketiga tak sepanjang yang kedua. Yang keempat juga tak sepanjang yang ketiga. Setelah itu beliau menutup dengan witir. Semuanya berjumlah tiga belas raka'at.

[Diriwayatkan oleh Imam Malik (I:143-144), Muslim (II:183), Abu 'Uwanah (II:319) Abu Dawud (I:215) dan Ibnu Nashar (hal.48]

Menurut hemat saya, ada kemungkinan dua raka'at disitu adalah shalat sunnah sesudah Isya. Bahkan itulah yang nampak (berdasarkan hukum) secara zhahir. Karena saya belum mendapatkan satu haditspun yang menyebutkan dua raka'at itu berseiringan dengan penyebutan raka'at yang tiga belas. Bahkan sebaliknya, saya justru mendapatkan riwayat yang menopang apa yang saya perkirakan. Yaitu hadits Jabir bin Abdullah, dimana beliau menyampaikan :"Dahulu kami bersama-sama beranjak dengan Rasulullah dari Hudaibiyyah. Tatkala kami sampai di Suqya (yaitu perkampungan antara Mekkah dan Madinah), tiba-tiba beliau berhenti -dan jabir kala itu disampingnya- lalu melakukan shalat isya' kemudian setelah itu beliau shalat tiga belas raka'at" (hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Nashar (hal 48). Hadits ini juga sebagai nash yang jelas, bahwa shalat sunnah 'Isya termasuk hitungan yang tiga belas tadi. Seluruh perawi hadits tersebut tsiqah (terpercaya), selain Syurahbil bin Sa'ad. Dia memiliki kelemahan.

[2]. Yakni dengan satu kali salam. Imam Nawawi dalam ''Syarhu Muslim" menyebutkan :"Hadits ini menunjukkan bolehnya shalat dengan hitungan itu. Adapun yang dikenal dari perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahkan beliau memerintahkan, yaitu agar shalat malam itu dibuat dua-dua (raka'at).

Saya mengatakan : Yang dinyatakan oleh beliau itu sungguh benar adanya. Adapun pendapat madzhab Syafi'iyyah bahwa (Wajib kita bersalam pada setiap dua raka'at. Barangsiapa yang melakukannya dengan satu salam, maka tidak shah) sebagaimana tersebut dalam "Al-Fiqhu Ala Al-Madzahibi Al-Arba'ah" (I: 298) dan juga dalam "Syarhu Al-Qasthalani" Terhadap shahih Al-Bukhari (V : 4) dan lain-lain, pendapat itu jelas bertentangan dengan hadits shahih ini dan juga bersebrangan dengan pernyataan Imam An-Nawawi yang menyatakan dibolehkannya cara itu. Padahal beliau termasuk ulama besar dan alhi tahqiq (peneliti) dari kalangan Syafi'iyyah. maka jelas tak ada alasan bagi seseorang untuk menfatwakan hal yang sebaliknya.!
Bagikan

Niat dalam berpuasa wajib di bulan Ramadhan

Niat dalam berpuasa wajib di bulan Ramadhan
1. Wajibnya Niat Puasa Wajib Sebelum Terbit Fajar
Jika telah jelas masuknya bulan Ramadhan dengan penglihatan mata atau persaksian atau dengan menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari, maka wajib atas setiap muslim yang mukallaf untuk niat puasa di malam harinya, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya) : “Barangsiapa yang tidak niat untuk melakukan puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya” [Hadits Riwayat Abu Dawud 2454, Ibnu Majah 1933, Al-Baihaqi 4/202 dari jalan Ibnu Wahb dari Ibnu Lahi'ah dari Yahya bin Ayub dari Abdullah bin Abu Bakar bin Hazm dari Ibnu Syihab, dari Salim bin Abdillah, dari bapaknya, dari Hafshah. Dalam satu lafadz pada riwayat Ath-Thahawi dalam Syarah Ma'anil Atsar 1/54 : "Niat di malam hari" dari jalan dirinya sendiri. Dan dikeluarkan An-Nasa'i 4/196, Tirmidzi 730 dari jalan lain dari Yahya, dan sanadnya shahih]
Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya) : “Barangsiapa tidak niat untuk melakukan puasa pada malam harinya, maka tidak ada puasa baginya” [Hadits Riwayat An-Nasa'i 4/196, Al-Baihaqi 4/202, Ibnu Hazm 6/162 dari jalan Abdurrazaq dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Syihab, sanadnya shahih kalau tidak ada 'an-anah Ibnu Juraij, akan tetapi shahih dengan riwayat sebelumnya].
Niat itu tempatnya di dalam hati, dan melafazdkannya adalah bid’ah yang sesat, walaupun manusia menganggapnya sebagai satu perbuatan baik. Kewajiban niat semenjak malam harinya ini hanya khusus untuk puasa wajib saja, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang ke Aisyah pada selain bulan Ramadhan, kemudian beliau bersabda (yang artinya) : “Apakah engkau punya santapan siang ? Maka jika tidak ada aku akan berpuasa” [Hadits Riwayat Muslim 1154].
Hal ini juga dilakukan oleh para sahabat, (seperti) Abu Darda’, Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Hudzaifah ibnul Yaman Radhiyallahu ‘anhum dibawah benderanya Sayyidnya bani Adam [Lihatlah dan takhrijnya dalam Taghliqul Ta'liq 3/144-147]
Ini berlaku (hanya) pada puasa sunnah saja, dan hal ini menunjukkan wajibnya niat di malam harinya sebelum terbit fajar pada puasa wajib. Wallahu Ta’ala a’lam
2. Kemampuan Adalah Dasar Pembebanan Syari’at
Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan tetapi dia tidak tahu sehingga diapun makan dan minum, kemudian baru tahu, maka dia harus menahan diri (makan, minum dan hal-hal yang membatalkan puasa lainnya, -ed) serta menyempurnakan puasanya tersebut (tidak perlu di qadha’). Barangsiapa yang belum makan dan minum (tetapi tidak tahu sudah masuk bulan Ramadhan), maka tidak disyaratkan baginya niat pada malam hari, karena hal itu tidak mampu dilakukannya (karena dia tidak tahu telah masuk Ramadhan-ed) dan termasuk dari ushul syari’at yang telah ditetapkan : “Kemampuan adalah dasar pembebanan syari’at.
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, (dia berkata) (yang artinya) : “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan puasa Asyura, maka ketika diwajibkan puasa Ramadhan, maka bagi yang mau puasa Asyura diperbolehkan, dan yang mau berbuka dipersilahkan” [Hadits Riwayat Bukhari 4/212 dan Muslim 1135]
Dan dari Salamah bin Al-Akwa’ Radhiyallahu, ia berkata (yang artinya) : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh seorang dari bani Aslam untuk mengumumkan kepada manusia, bahwasanya barangsiapa yang sudah makan hendaklah puasa sampai maghrib, dan barangsiapa yang belum makan teruskanlah berpuasa karena hari ini adalah hari Asyura” [Hadits Riwayat Bukhari 4/216, Muslim 1135].
Puasa hari Asyura dulunya adalah wajib, kemudian dimansukh (dihapus kewajiban tersebut), mereka telah diperintahkan untuk tidak makan dari mulai siang dan itu cukup bagi mereka. Puasa Ramadhan adalah puasa wajib, maka hukumnya sama dengan puasa Asyura ketika masih wajib, tidak berubah (berbeda) sedikitpun.
3. Perbedaan Pendapat Sebagian Ulama
Ketahuilah saudara seiman, bahwa seluruh dalil menerangkan bahwa puasa Asyura ini wajib karena adanya perintah untuk puasa di hari tersebut sebagaimana pada hadits Aisyah, kemudian kewajiban ditekankan lagi karena diserukan secara umum, ditambah lagi dengan perintah orang yang makan untuk menahan diri (tidak makan lagi) sebagaiamana dalam hadits Salamah bin Akwa’ tadi, serta hadits Muhamamad bin Shaifi Al-Anshary : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui kami pada hari Asyura kemudian beliau bersabda : “Apakah kalian puasa pada hari ini ?” sebagian mereka menjawab : “Ya” dan sebagian yang lainnya menjawab : “Tidak” (Kemduian) beliau bersabda : “Sempurnakanlah puasa hari pada sisa hari ini”. Dan beliau menyuruh mereka untuk memberitahu penduduk Arrud (di) kota Madinah -untuk menyempurnakan sisa hari mereka” [Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 3/389, Ahmad 4/388, An-Nasa'i 4/192, Ibnu Majah 1/552, At-Thabrani dalam Al-Kabir 18/238 dari jalan As-Sya'bi darinya, dengan sanad yang Shahih]
Yang memutuskan perselisihan ini adalah perkataan Ibnu Mas’ud [Hadits Riwayat Muslim 1127] : “Ketika diwajibkan puasa Ramadhan ditinggalkanlah Asyura”.
Dan ucapan Aisyah [Hadits Riwayat Muslim 11225] : “Ketika turun kewajiban puasa Ramadhan, maka Ramadhanlah yang wajib dan ditinggalkanlah Asyura (berartti puasa Asyura tidak wajib lagi hukumnya -pent)
Walaupun demikian sunnahnya puasa Asyura tidak dihilangkan, sebagaimana yang dinukil Al-Hafidzh dalam Fathul Bari 4/264 dari Ibnu Abdil Barr. Maka jelas lah bahwa sunnahnya puasa Asyura masih ada, sedang yang dihapus hanya kewajibannya. Wallahu a’lam.
Sebagian (ahlul ilmi) yang lainnya menyatakan : Jika puasa wajib telah mansukh (dihapus), maka dihapus juga hukum-hukum yang menyertainya. Yang benar (bahwa) hadits-hadits tentang Asyura menunjukkan beberapa perkara (yaitu) :
1. Wajibnya puasa Asyura
2. Barangsiapa yang tidak niat di malam hari ketika puasa wajib sebelum terbitnya fajar karena tidak tahu, maka tidaklah rusak puasanya, dan
3. Barangsiapa makan dan minum kemudian tahu di sisa hari tersebut, maka tidak wajib mengqadha’
Yang mansukh adalah perkara yang pertama, hingga Asyura hanyalah sunnah sebagaimana yang telah dijelaskan. Dimansukhkannya hukum tersebut bukan berarti menghapus hukum-hukum lainnya. Walalhu a’lam.
Mereka berdalil dengan hadits Abu Dawud 2447 dan Ahmad 5/409 dari jalan Qatadah dari Abdurrahman bin Salamah dari pamannya, ia berkata : “Bahwa bani Aslam pernah mendatangi Nabi, kemudian beliau bersabda : “Kalian puasa hari ini?” Mereka menjawab, “Tidak” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sempurnakanlah sisa hari ini kemudian qadha’lah kalian”.
Hadits ini lemah karena ada dua illat (cacat) yaitu :
1. Majhulnya (tidak dikenalnya) Abdurrahman bin Salamah.Adz-Dzahabi berkata tentangnya di dalam Al-Mizan 2/567 : “(Dia) tidak dikenal” Al-Hafidz berkata dalam At-Tahdzib 6/239 : “Keduanya majhul”. Dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam Al-Jarhu wa Ta’dil 5/288, tidak disebutkan padanya Jarh atau Ta’dil.
2. Ada ‘an-anah Qatadah, padahal dia seorang mudallis.
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.

Bagikan

Ancaman bagi yang membatalkan Puasa Ramadhan

Ancaman bagi yang membatalkan Puasa Ramadhan
 bismillah.jpg
Penulis: Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly


Dari Abu Umamah Al-Bahili Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “ Ketika aku tidur, datanglah dua orang pria kemudian memegang dhabaya[1], membawaku ke satu gunung yang kasar (tidak rata), keduanya berkata, “Naik”. Aku katakan, “Aku tidak mampu”. Keduanya berkata, ‘Kami akan memudahkanmu’. Akupun naik hingga sampai ke puncak gunung, ketika itulah aku mendengar suara yang keras. Akupun bertanya, ‘Suara apakah ini?’. Mereka berkata, ‘Ini adalah teriakan penghuni neraka’. Kemudian keduanya membawaku, ketika itu aku melihat orang-orang yang digantung dengan kaki di atas, mulut mereka rusak/robek, darah mengalir dari mulut mereka. Aku bertanya, ‘Siapa mereka?’ Keduanya menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum halal puasa mereka.[2] .” [Riwayat An-Nasa'i dalam Al-Kubra sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf 4/166 dan Ibnu Hibban (no.1800-zawaidnya) dan Al-Hakim 1/430 dari jalan Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, dari Salim bin 'Amir dari Abu Umamah. Sanadnya shahih].
Adapun hadits yang diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “ Barangsiapa berbuka satu hari saja pada bulan Ramadhan dengan sengaja, tidak akan bisa diganti walau dengan puasa sepanjang zaman kalau dia lakukan”
Hadits ini lemah, tidak shahih. Pembahasan hadits ini secara rinci akan di bahas di akhir kitab ini.
Footnote:
[1]. Yakni : dua lenganku
[2]. Sebelum tiba waktu berbuka puasa
(Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.)
Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=303
Bagikan

Bid’ah-Bid’ah Di Bulan Ramadhan


Bulan Romadhon adalah bulan yang sangat mulia, hanya saja –sebagaimana ibadah-ibadah yang lain-, ia tercampur oleh beberapa ritual bid’ah[1] yang tidak ada dasarnya dalam agama. Berikut ini kami sampaikan beberapa bid’ah yang biasa dilakukan oleh kebanyakan manusia. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menyelamatkan kita darinya. Diantaranya adalah hal-hal sebagai berikut:
1. Melafadzkan Niat Puasa di Malam Hari
Tidak diragukan lagi bahwa niat merupakan syarat sahnya ibadah dengan kesepakatan ulama. Hanya saja perlu diketahui bahwa niat tempatnya adalah di dalam hati, barangsiapa yang terlintas dalam hatinya bahwa dia besok akan berpuasa maka sudah berarti bahwa dia telah berniat. Adapun melafadzkan niat puasa di malam hari baik dengan berjamaah maupun sendiri-sendiri dengan mengucapkan:

“Nawaitu Shouma ghodin ‘an adaai fardli syahri romadloona hadzihissanati lillahi ta’ala
Yang artinya: “Aku berniat puasa besok untuk melaksanakan fardlu puasa Romadlon pada tahun ini karena Allah ta’ala”.
Bacaan ini sangat masyhur di masyarakat kita, bahkan acap kali diucapkan secara berjamaah di masjid setelah sholat Tarawih. Ritual ini tidak ada asalnya sama sekali dalam kitab-kitab hadits, bahkan termasuk kebid’ahan dalam agama yang sekalipun manusia menganggapnya sebagai kebaikan.
Jadi melafadzkan niat seperti itu tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan sebagainya. Bahkan kata Imam Ibnu Abil Izz al-Hanafi rahimahullah: “Tak seorangpun dari imam yang empat, baik Imam Syafi’i rahimahullah maupun lainnya yang mensyaratkan harus melafadzkan niat, karena niat itu di dalam hati dengan kesepakatan mereka”[2]. Maka jelaslah bahwa melafadzkan niat termasuk bid’ah dalam agama”[3].
2. Menetapkan Waktu Imsak
Menetapkan waktu imsak bagi orang yang makan sahur 5 atau 7 menit menjelang adzan shubuh dan mengumumkannya melalui pengeras suara ataupun radio adalah bid’ah dan menyelisihi sunnah, yaitu anjuran mengakhirkan sahur.
Syariat memberikan batasan seseorang untuk makan sahur sampai adzan kedua atau adzan Shubuh dan syariat menganjurkan untuk mengakhirkan sahur. Adapun imsak melarang manusia dari apa yang diperbolehkan syariat dan memalingkan manusia dari menghidupkan sunnah untuk mengakhirkan sahur.
Maka lihatlah wahai saudaraku keadaan kaum muslimin zaman sekarang, mereka membalik sunnah dan menyelisihi petunjuk Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Mereka dianjurkan untuk bersegera dalam berbuka tetapi malah mengakhirkannya, dianjurkan untuk mengakhirkan sahur tetapi malah menyegerakannya. Oleh karenanya, maka tertimpa petaka, kefakiran dan kerendahan di hadapan musuh-musuh mereka[4].
Kami memahami bahwa maksud dari para pencetus imsak adalah sebagai bentuk kehati-hatian agar jangan sampai masuk waktu shubuh dalam kondisi masih makan atau minum, Akan tetapi karena ini adalah perkara ibadah, maka untuk pengamalannya harus berdasarkan dalil yang shohih. Jika kita hidup di zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, apakah kita berani membuat membuat-buat waktu imsak, melarang Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam makan sahur, jauh-jauh sebelum waktu shubuh tiba ??
3. Membangunkan Dengan Kentongan Atau Pengeras Suara
Biasanya disebagian kampung dan desa ada sekelompok anak muda atau juga orang tua menabuh kentongan sekitar 2-3 jam sebelum shubuh untuk membangunkan warganya agar segera sahur, seraya mengatakan: ‘Sahur!! Sahur!! Sahur !!’ Bahkan ada sebagian yang menggunakan mikrofon masjid untuk melakukan panggilan ini.
Tidak ragu lagi bahwa ini adalah suatu kebiasaan yang dianggap ibadah, padahal tidak ada ajarannya dalam agama. Sekiranya hal itu baik tentu akan diajarkan oleh agama. Terlebih lagi kebiasaan tersebut dapat mengganggu kenyamanan tidur warga sekitar di malam hari, padahal Allah azza wa jalla berfirman:
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَااكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka Telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 58)
Syaikh Abdul Qodir al-Jazairi berkata: “Apa yang dilakukan oleh sebagian orang jahil pada zaman sekarang di negeri kita berupa membangunkan orang puasa dengan kentongan merupakan kebid’ahan dan kemungkaran yang seharusnya dilarang dan diingatkan oleh orang-orang yang berilmu”[5].
4. Memperingati Nuzulul Quran
Kebiasaan lain yang dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin pada tanggal 17 Romadhon ialah mengadakan peringatan yang disebut dengan perayaan Nuzulul Quran sebagai bentuk pengagungan kepada kitab suci al-Quran. Namun ritual ini perlu disoroti dari dua segi:
Pertama: Dari segi sejarah, adakah bukti autentik baik berupa dalil ataupun fakta sejarah yang menyebutkan bahwa al-Quran diturunkan pada tanggal tersebut ? Inilah pertanyaan yang kami lontarkan kepada saudara-saudaraku semua.[6]
Kedua: Anggaplah memang terbukti bahwa al-Quran diturunkan pada tanggal tersebut[7], maka untuk menjadikannya sebagai perayaan yang syar’i diperlukan dalil dan contoh dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Bukankah orang yang paling gembira dengan turunnya al-Quran adalah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam? Namun sekalipun demikian, tidak pernah dinukil dari mereka tentang adanya peringatan semacam ini. Dari sini menunjukkan bahwa peringatan tersebut bukan termasuk ajaran Islam, tetapi merupakan kebid’ahan dalam agama.
Ketahuilah wahai saudaraku bahwa perayaan tahunan dalam Islam hanya ada dua macam: ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha.
Sebagaimana hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:
“Dari Anas bin Malik berkata: Tatkala Nabi datang ke kota Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari untuk bersenang-senang sebagaimana di waktu jahiliyah, lalu beliau bersabda: ‘Saya datang kepada kalian dan kalian memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang sebagaimana waktu jahiliah. Dan sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik: ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri’”[8]
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak menginginkan umatnya membuat-buat perayaan baru yang tidak disyariatkan dalam Islam. Alangkah bagusnya ucapan al-Hafizh Ibnu Rojab rahimahullah: “Sesungguhnya perayaan tidaklah diadakan berdasarkan logika dan akal sebagaimana dilakukan ole Ahli Kitab sebelum kita, tetapi berdasarkan syariat dan dalil”[9]. Beliau juga berkata: “Tidak disyariatkan bagi kaum muslimin untuk membuat perayaan kecuali perayaan yang diizinkan syariat, yaitu ‘Idul Fithri, ‘Idul Adha, hari-hari Tasyrik, ini perayaan tahunan, dan hari Jum’at ini perayaan pekanan. Selain itu, menjadikannya sebagai perayaan adalah bid’ah dan tidak ada asalnya dalam syari’at.”[10]
5. Komando Diantara Raka’at Sholat Tarawih
Berdzikir dan mendo’akan para Khulafaur Rosyidin diantara dua salam sholat Tarawih dengan cara berjamaah dipimpin oleh satu orang dengan mengucapkan
“Assholatu sunnatat tarawihi rahimakumullah…”
Tidak pernah dinukil dari al-Quran dan dalam Sunnah tentang dzikir ini. Kalau tidak pernah kenapa kita tidak mencukupkan diri dengan apa yang dibawa oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabatnya? Oleh karenanya maka hendaknya bagi setiap muslim untuk menjauhi hal ini, karena hal ini termasuk kebid’ahan dalam agama yang hanya dianggap baik oleh logika.
Jangan ada yang mengatakan bahwa hal itu boleh-boleh saja karena berisi sholawat dan do’a kepada sahabat yang merupakan amalan baik dengan kesepakatan ulama, itu memang benar tetapi masalahnya manusia menganggapnya sebagai syiar shalat tarawih, padahal itu merupakan tipu daya iblis kepada mereka.
Bagaimana mereka menganggap baik sesuatu yang tidak ada ajarannya dalam agama, padahal hal itu diingkari secara keras oleh Imam Syafi’i rahimahullah tatkala berkata:
“Barangsiapa yang istihsan maka ia telah membuat syariat”[11].
Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Maksud istihsan adalah ia menetapkan suatu syariat yang tidak syar’i dari pribadinya sendiri”[12]. Jadi ritual ini termasuk kebid’ahan yang harus diwaspadai dan ditinggalkan.
6. Tadarrus Al-Qur’an Berjamaah Dengan Pengeras Suara
Pada dasarnya kita dianjurkan untuk banyak membaca al-Qur’an di bulan ini. Namun ritual Tadarrus al-Qur’an berjamaah yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin di masjid dengan mengeraskan suara adalah suatu hal yang perlu diluruskan.
Membaca al-Qur’an termasuk ibadah mulia yang diharapkan dengannya dapat dipahami dan diamalkan kandungannya serta dilakukan sesuai tuntunan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yaitu dengan suara pelan dan merendahkan diri karena itu lebih menjauhkan seseorang dari riya’ dan mendekatkan seseorang kepada Robbnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A’rof:55)
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah menegur sebagian sahabat yang berdo’a atau berdzikir dengan suara keras dengan perkataan beliau:
“Wahai manusia, kasihanilah dirimu ! sesungguhnya kalian tidaklah berdo’a kepada Dzat yang tuli dan tidak ada, sesungguhnya Ia bersama kalian dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat Maha Suci Nama-Nya dan Maha Tinggi Kemuliaan-Nya” (HR. Bukhori dan Muslim)
Terlebih lagi apabila ibadah mulia ini dilakukan dengan cara campur baurnya antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom. Wallahul muwaffiq.
7. Mengkhususkan Ziarah Kubur
Pada Bulan Romadhon dan hari raya sering kita dapati manusia ramai ke kuburan dengan keyakinan bahwa waktu itu adalah waktu yang sangat istimewa dalam ziarah kubur. Namun, adakah dalam Islam ketentuan waktu khusus untuk ziarah kubur ?
Islam tidak mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk melakukan ziarah kubur. Para ahli fiqih dari kalangan Syafi’iyyah dan Hanabilah telah menegaskan anjuran memperbanyak zaiarah kubur kapanpun waktunya[13]. Ulama-ulama dari kalangan Malikiyah mengatakan: “Ziarah kubur tidak ada batasan dan waktu khusus”[14]. Hal ini juga dikuatkan dengan keumuman dalil-dalil tentang perintah ziarah kubur dan tidak ada keterangan bahwa ziarah kubur terbatasi dengan waktu tertentu, karena diantara hikmah ziarah kubur adalah untuk mengambil pelajaran, mengingat akhirat, melembutkan hati, dan hal itu dianjurkan untuk dilaksanakan setiap waktu tanpa terbatasi oleh waktu khusus.
Jadi pada prinsipnya kita tidak boleh mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk ziarah kubur, kapanpun hal itu dilakukan hukumnya adalah boleh.
Demikianlah beberapa bid’ah yang masyhur dan dilakukan oleh sebagian kaum muslimin yang dapat kami sampaikan. Kita memohon kepada Allah azza wa jalla agar menyelamatkan kita semua darinya dan memberikan hidayah kepada kaum muslimin yang masih melakukannya. Amiin.
Sumber: Majalah Al-Furqon, Edisi Khusus Th. Ke -9 Romadhon-Syawal 1430 H (September dan Oktober 2009) hal. 35-38 dengan penambahan dan pengurangan beberapa footnote
Footnote

[1] Simaklah ceramah (mp3) penjelasan gamblang tentang bid’ah  di postingan sebelumnya yang berjudul “Kupas Tuntas Akar Bid’ah” di http://maramissetiawan.wordpress.com/2009/05/21/download-audio-kupas-tuntas-akar-bidah/ [2] Al-Ittiba’ hlm. 62, tahqiq Muhammad Atho’ullah Hanif dan Dr. Ashim al-Qoryuthi.
[3] Lihat secara luas pembahasan ini dalam tulisan yang berjudul “Hukum Melafadzkan Niat” oleh Ust. Abu Ibrohim dalam majalah al-Furqon edisi 9, hlm. 37-42, tahun ketujuh.
[4] Shofwatul Bayan fii Ahkamil Adzan wal Iqomah hlm. 116 oleh Abdul Qodir al-Jazairi
[5] Shofwatul Bayan fii Ahkamil Adzan wal Iqomah hlm. 115-116 oleh Abdul Qodir al-Jazairi murojaah syaikh al-Albani dan syaikh Mansyur bin Hasan.
[6] Penulis (Ust. Abu Ubaidah) pernah menanyakan kepada syaikh Abdurrahman ad-Dahsy (Dosen Ilmu Tafsir di Universitas Qoshim KSA) beliau menjawab bahwa penetapan turunnya al-Quran pada tanggal tersebut tidak ada dalilnya atau bukti sejarah yang valid.
[7] Padahal yang benar bahwa al-Quran itu diturunkan pada malam lailatul qadr. Silahkan pembaca yang budiman merujuk ke postingan di blog ini setahun yang lalu yang berkaitan dengan hal ini di http://maramissetiawan.wordpress.com/2008/09/13/al-quran-turun-pada-malam-lailatul-qadr-bukan-malam-%E2%80%98nuzulul-quran%E2%80%99-17-ramadhan/
[8] HR. Ahmad: 3/103, HR. Abu Dawud: 1134 dan HR. an-Nasa’i: 3/179
[9] Fathul Bari:1/159, Tafsir Ibnu Rojab: 1/390
[10] Lathoiful Ma’arif hlm. 228
[11] Ucapan ini populer dari Imam Syafi’i sebagaimana dinukil oleh para imam madzhab. Syafi’i seperti Ghozali dalam al-Mankhul hlm. 374 dan al-Mahalli dalam Jam’ul Jawami’: 2/395 dan lain sebagainya. (Lihat Ilmu Ushul Bida’ hlm. 121 oleh syaikh Ali Hasan)
[12] Irsyadul Fuhul hlm. 240
[13] Ahkam al-Maqobir hal. 302
[14] Mukhtasor al-Khalil Ala Mawahib al-Jalil: 2/237

Bagikan

Jerman Resmi Tutup Masjid Terkait Peristiwa 9/11


Polisi Jerman menutup sebuah mesjid di Hamburg pada hari Senin kemarin (9/8) yang dianggap memiliki hubungan dengan peristiwa serangan 11 September 2001 Amerika Serikat. Polisi Jerman juga mengatakan bahwa masjid tersebut memiliki hubungan 'khusus' dengan kelompok-kelompok Islam bersenjata di Pakistan dan Afghanistan.
Masjid Taiba di kota pelabuhan itu sebelumnya dikenal sebagai Masjid Al-Quds dan pernah dikunjungi oleh Muhammad Atta, pemimpin kelompok yang dituduh melakukan serangan di World Trade Centre di New York untuk gerakan Al Qaidah.
Meskipun adanya perubahan nama, masjid di distrik Hamburg St Georg tetap di bawah pengawasan pihak layanan keamanan sejak serangan 9/11.
"Kami percaya bahwa masjid ini telah mendukung terorisme selama bertahun-tahun," kata Manfred Murck dari Kantor Perlindungan Konstitusi, layanan intelijen dalam negeri Jerman, mengatakan hal itu pada jumpa pers yang diselenggarakan oleh otoritas negara di Hamburg.
Sekitar 20 garis pembatas polisi terpasang di masjid pada hari Senin kemarin, kata menteri dalam negeri untuk Hamburg, Christoph Ahlhaus, sembari menambahkan bahwa asosiasi budaya di balik aktivitas masjid itu telah dinyatakan sebagai organisasi terlarang.
Masjid ini adalah titik pertemuan untuk "aksi jihad" yang mana para aktivis direkrut kemudian terakhir dikirim untuk ikut ambil bagian dalam perlawanan bersenjata Islamis di Pakistan dan Afghanistan, kata Ahlhaus.
Muhammad Atta kelahiran Mesir, konono berada di pesawat pertama dari dua pesawat yang menabrak World Trade Centre, ia belajar di sebuah universitas teknik di Hamburg pada tahun 1990-an dan sering mengunjungi masjid Al-Quds, bersama dengan 'pelaku' aksi 9/11 lainnya.
Bagikan

Awal Ramadan, Mesir Mulai Laksanakan Sentralisasi Azan


Seperti kebanyakan negara muslim lainnya, masyarakat Mesir kemungkinan akan menjalankan ibadah puasa pada Rabu (11/8). Pemerintah Mesir memanfaatkan datangnya bulan Ramadan untuk mulai menerapkan kebijakan sentralisasi kumandang azan sebagai petunjuk datangnya waktu salat.
Dengan sistem sentralisasi ini, masjid-masjid di Mesir tidak lagi mengumandangkan azan sendiri-sendiri saat waktu salat tiba karena suara azan akan dikumandangkan dari satu sumber saja lewat alat pengeras suara yang disambungkan ke seluruh masjid. Menteri Wakaf Mesir Hamdi Zaqzuq mengatakan, kebijakan penyatuan kumandang azan untuk tahap pertama akan dilaksanakan di kota Kairo yang memiliki sekitar 4.500 masjid. Setelah Kairo, kebijakan tersebut akan dilakukan di kota Alexandria dan kota-kota lainnya di seluruh Mesir jika sistem ini terbukti efektif dan efisien.
"Kami sudah melakukan uji coba sistem baru untuk sentralisasi kumandang azan, untuk mengakhiri 'perang' suara azan lewat pengeras suara sehingga menimbulkan kebisingan dan terkesan tidak tertib," kata Zaqzuq.
Salem Abdul-Galil, pejabat kementerian wakaf untuk urusan salat menyatakan, sebuah tim teknisi sudah menginstal jaringan ke masjid-masjid agar bisa mengumandangkan azan yang sama pada saat yang sama. Uji coba sistem jaringan ini sudah berhasil dilakukan di 17 masjid. Stasiun Radio Kairo Raya akan menjadi pusat transmisi kumandang azan ke masjid-masjid di seluruh kota itu. Kementerian Wakaf Mesir sudah menyeleksi para muazin yang suaranya sudah direkam terlebih dahulu, dan rekaman suara azan mereka akan didistribusikan ke seluruh provinsi di Mesir.
"Dengan sentralisasi kumandan azan ini, orang-orang yang sedang sakit, para pelajar atau mahasiswa, serta mereka yang membutuhkan konsentrasi tidak terganggu dengan suara azan yang bising dari masjid-masjid di sekitar mereka," kata Abdul-Galil.
Sentralisasi kumandang azan ini berpengaruh pada puluhan ribu muazin di Mesir. Saat ini, ada 70.000 ribua muazin yang bekerja untuk Kementerian Wakaf. Mereka yang tidak terpilih untuk sistem sentralisasi ini akan dipekerjakan sebagai pengurus masjid atau diberikan pelatihan menjadi imam untuk memenuhi kebutuhan imam di Mesir yang ternyata masih kekurangan tenaga-tenaga imam yang profesional.
Survei yang dilakukan oleh Pusat Informasi dan Dukungan Kebijakan pemerintah Mesir menunjukkan bahwa mayoritas warga Kairo meyambut positif kebijakan sentralisasi azan ini. Dari 1.150 keluarga di Kairo yang disurvei, 58 persen mendukung kebijakan sentralisasi sedangkan sisanya menolak dengan alasan kebijakan itu bertentangan dengan tradisi Islam dan mengurangi nilai spiritualitas yang terkandung dalam kumandang azan.
Bagikan

Akademisi Inggris Sarankan Guru Agama Non-Muslim Belajar Islam


Banyak guru agama non-muslim yang minim pengetahuan tentang agama Islam dan ada kebutuhan mendesak untuk memberikan bimbingan pada para guru tersebut tentang isu-isu yang berkaitan dengan agama Islam.
Hal tersebut diungkapkan oleh seorang cendikiawan asal Inggris Doktor Peter Vardy. Cendikiawan di bidang studi keagamaan dan nilai-nilai pendidikan ini mengatakan, minimnya pengetahuan para guru agama non-muslim tentang ajaran Islam membuat mereka tidak mampu menjawab berbagai pertanyaan anak-anak muda tentang ajaran Islam dan berbagai persoalan yang ada sangkut pautnya dengan Islam.
"Terus terang, persoalan terbesar adalah ketidaktahuan mereka (tentang Islam). Mereka tidak tahu harus kemana dan mereka tidak pernah mendapatkan pelatihan sehingga mereka menemui kesulitan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan karena mereka tidak memiiki dasar pengetahuan yang cukup," kata Doktor yang menjadi wakil pemimpin di akademi filsafat dan teologi Universitas London.
Ia menjadi pembicara kunci dalam pelatihan bagi para guru agama non-muslim di Australia agar lebih baik dalam memahami ajaran Islam dan dalam memberikan penjelasan tentang agama Islam bagi para siswanya. Vardy meyakini, kesalahpahaman banyak orang tentang Islam bisa diminimalkan lewat pendidikan.
"Di tengah globalisasi dunia, sangat penting bagi para siswa sekolah untuk menghargai keberagaman, perbedaan budaya dan ajaran agama, serta mampu berinteraksi dengan tetangga-tetangga mereka yang muslim bahkan sampai level bisnis," ujar Vardy.
Ia mengatakan, Islam merupakan agama kedua terbesar di dunia dan ia tertarik dengan Islam yang tumbuh dengan pesatnya di Inggris. Berbeda dengan Inggris, Vardy menilai Australia justru cenderung menjauhi Islam. Menurutnya, informasi yang akurat tentang Islam dan ajaran Islam bagi para generasi muda di Australia sangat penting karena negara Kanguru itu terlibat dalam perang di Irak dan Afghanistan dan Australia berdekatan dengan Indonesia, negara yang mayoritas penduduknya muslim.
"Pengetahuan tentang apa itu Islam jarang dikomunikasikan pada anak-anak muda Australia, sehingga mereka hanya tahu informasinya dari pemberitaaan media massa sehingga mereka hanya tahu bahwa Islam identik dengan terorisme dan radikalisme. Selain itu, mereka tidak tahu apa-apa tentang Islam," tukas Doktor Vardy.
Ia melanjutkan, "Kita tidak sedang berusaha meyakinkan orang untuk menjadi seorang muslim atau tidak, tapi berusaha untuk membantu mereka mendapatkan informasi yang lebih baik agar mereka memahami, misalnya, apa itu keuangan islami, dan pengetahuan lainnya."
Dengan pengetahuan yang memadai tentang Islam, Vardu berharap para guru non-muslim bisa meningkatkan pemahaman para siswa tentang agama Islam yang sebenarnya sekaligus menyelaraskan hubungan keagamaan dengan nilai-nilai pendidikan.Bagikan