Latest Updates

Kesalahan Dalam Berdo'a

Kesalahan Dalam Berdo'a
(Al Fikrah Ed.07/Thn VII/10 Dzulqa'dah 1427 H)
Doa memiliki kedudukan yang agung dan mulia, Allah berfirman, artinya: "Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas."(QS. Al-A'râf: 55).
Dan firman Allah Subhaana Wa Ta'ala, artinya:
"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku." (QS. Al Baqarah: 186).
Dan juga Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,
 ÇáÏøõÚóÇÁõ åõæó ÇáúÚöÈóÇÏóÉõ
"Doa adalah ibadah." (HR. Abu Dâwûd dan selainnya, dishahihkan oleh Syaikh Al Albânî).
Akan tetapi banyak di antara manusia melakukan kesalahan dan kekeliruan dalam berdoa, serta tidak mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Sehingga, bisa jadi kesalahan dan kekeliruan tersebut menjadi penyebab tidak dikabulkannya doa seseorang.

1. BERDOA DENGAN MENGANGKAT TANGAN BUKAN PADA WAKTUNYA
Mengangkat tangan dalam berdoa merupakan etika yang paling agung dan memiliki keutamaan mulia serta penyebab terkabulnya doa. Dari Salmân Al Fârisî bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,
Åöäøó ÑóÈóóßõãú Íóíöíøñ ßóÑöíúãñ íóÓúÊóÍúíöíú ãöäú ÚóÈúÏöåö ÅöÐóÇ ÑóÝóÚó íóÏóíúåö Åöáóíúåö Ãóäú íóÑõÏøóåõãóÇ Åöáóíúåö ÕöÝúÑðÇ
    "Sesungguhnya Rabb kalian Maha Hidup lagi Maha Mulia. Dia malu kepada hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya (meminta kepada-Nya), lalu dikembalikan dalam keadaan kosong tidak mendapatkan apa-apa." (HR. Abû Dâwûd, dishahihkan oleh Syaikh Al Albânî).  Dari Anas Radhiyallahu 'Anhu berkata,     "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak berdoa dengan mengangkat tangan kecuali dalam shalat istisqa." (HR. Bukhârî).    
Berdasarkan kedua hadits ini, sebagian orang ada yang berlebihan dan tidak pernah sama sekali mau meninggalkan mengangkat tangan. Sebagian yang lainnya tidak pernah sama sekali mengangkat tangan kecuali waktu-waktu khusus saja. Sebagian yang lain bersikap pertengahan, artinya mengangkat tangan hanya pada waktu berdoa yang memang dianjurkan mengangkat tangan pada saat itu, seperti pada saat berdoa dalam shalat istisqa', dan tidak mengangkat tangan pada waktu berdoa yang memang tidak ada anjurannya untuk mengangkat tangan, seperti berdoa sehabis salam pada shalat fardhu, membaca doa di antara dua sujud, membaca doa sebelum salam pada saat shalat, berdoa pada khutbah Jumat dan Idul Fitri. Tidak ada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengangkat tangannya pada waktu-waktu tersebut.
   
Dianjurkan mengangkat tangan dalam berdoa setelah shalat sunnah, tetapi lebih baik jangan rutin melakukannya karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak rutin melakukan perbuatan tersebut, dan seandainya demikian, maka kita pasti akan menemukan riwayat dari beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam karena para sahabat selalu menyampaikan segala tindakan dan ucapan beliau baik dalam keadaan mukim atau pun sedang bepergian. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam adalah panutan kita dalam segala hal, apa yang ditinggalkan dan apa yang dilaksanakan semuanya suatu yang terbaik bagi umatnya.

2. DOA BERSAMA SETELAH SHALAT
Sebagian kaum Muslimin setelah melaksanakan shalat berjamaah, mereka melanjutkan dengan dzikir bersama lalu doa bersama pula, dan orang yang tidak melakukannya dituduh sebagai orang yang malas dan enggan berdoa kepada Allah I. Lajnah Dâ'imah lil Iftâ' (Dewan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia) pernah ditanya tentang hal ini, maka dijawab bahwa berdoa bersama-sama dengan berjamaah setiap setelah shalat fardhu atau pun sunnah adalah perbuatan yang diada-adakan dalam agama ini (bid'ah), sebab tidak ada penjelasan sedikit pun dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para sahabat beliau. Maka barangsiapa yang berdoa bersama-sama dengan berjamaah setelah shalat fardhu atau rawatib, maka perbuatan tersebut bertentangan dengan pedoman Ahlus Sunnah wal Jama'ah. (Fatâwâ Islâmiyyah I/318-319).

3. MENGUSAP WAJAH SETELAH BERDOA
Sebagian orang mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya, padahal tidak ada satu hadits pun yang shohih membenarkan perbuatan tersebut.      (Baca penjelasan Syaikh Bakar Abu Zaid dalam Tashhihud Du’a). Yang paling baik adalah mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, sebagaimana yang paling buruk adalah segala tindakan menyelisihi sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
   
Abû Dâwûd berkata bahwa saya mendengar Imam Ahmad ditanya oleh seseorang tentang hukum mengusap wajah sesudah berdoa, maka beliau menjawab, "Saya tidak pernah mendengar itu, dan saya tidak pernah mendapatkan sesuatu (dalil) tentang itu." Abû Dâwûd berkata, "Saya tidak pernah melihat Imam Ahmad mengerjakan hal itu." (Abû Dâwûd dalam Masâ-il Imâm Ahmad, hal. 71).

4. QUNUT PADA WAKTU SHALAT SUBUH SELAIN QUNUT NAZILAH
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa qunut pada waktu shalat subuh dilakukan oleh Nabi r hanya pada saat terjadi musibah, beliau qunut selama sebulan mendoakan sekelompok kaum kafir yang telah membunuh sejumlah sahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam agar dihancurkan oleh Allah, kemudian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam meninggalkan membaca doa qunut.
   
Kemudian beliau melakukan qunut lagi untuk mendoakan sejumlah sahabat yang tertahan tidak bisa turut hijrah bersama beliau.Begitu pula Khulafâur-Râsyidûn tidak pernah melazimkan qunut tersebut dan juga tidak meninggalkannya sama sekali.
   
Para ulama dalam masalah ini berbeda pendapat; di antara mereka ada yang berpendapat sunnah, sementara yang lainnya berpendapat bahwa anjuran tersebut sudah dinâsakh (dihapus) dan termasuk perbuatan bid'ah. Dan yang lainnya berpendapat bahwa disunnahkan qunut pada saat dibutuhkan. Pendapat terakhir inilah yang kuat karena sesuai dengan praktik yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para Khulafâur-Râsyidûn. (Majmu' Fatâwâ karya Ibnu Taimiyah, 23/98-99).
   
Demikian pula Syaikh Abdul 'Azîz bin 'Abdullâh bin Bâz ditanya, "Apakah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengerjakan qunut pada waktu shalat subuh setelah rukuk pada rakaat terakhir sambil mengangkat kedua tangannya sambil membaca doa,
Çááøóåõãøó ÇåúÏöäöíú Ýöíúãóäú åóÏóíúÊó...
    "Ya, Allah! Berilah aku petunjuk bersama orang-orang yang Engkau beri petunjuk", hingga wafat?"    
Syaikh Bin Bâz menjawab, "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak pernah melazimkan doa qunut pada waktu shalat subuh baik dengan doa yang terkenal (Çááøóåõãøó ÇåúÏöäöíú Ýöíúãóäú åóÏóíúÊó) atau pun dengan doa yang lainnya, kecuali bila kaum Muslimin tertimpa musibah dari musuh-musuh mereka, maka mereka mengerjakan qunut pada waktu tertentu untuk mendoakan mereka agar dibinasakan oleh Allah, atau qunut untuk mendoakan kaum Muslimin agar mendapatkan keselamatan.
   
Sangat banyak hadits-hadits Nabi yang menjelaskan hal itu, diantaranya hadits dari Sa'ad bin Thâriq al Asyja'î bahwa dia bertanya kepada ayahnya, "Wahai Ayahku! Engkau telah shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, Abû Bakar, 'Umar, 'Utsmân, dan 'Alî , apakah mereka selalu qunut pada waktu shalat subuh? Ayahnya menjawab, "Wahai Anakku! Itu adalah perbuatan bid'ah!" (HR. Ahmad, Tirmidzî, Nasâ'i, dan yang lainnya).

Adapun hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam qunut pada waktu subuh hingga meninggal dunia adalah hadits dhaif." (Fatâwâ Islamiyyah, I/258-259).
Wallâhu Ta'âlâ A'lam bis-Shawâb
Marâji':
Jahâlâtun Nâsi fid-Du'â',
karya Syaikh Ismâ'îl bin Marsyûd bin Ibrâhîm Ar-Rumaih 
(Diterbitkan oleh : BEM Ma'had 'Aly STIBA WI)  
Bagikan

Untuk Kita Renungkan


-->Bayangkan satu peristiwa yang tidak dapat menahan air mata untuk jatuh berlinang...
Satu peristiwa bahagia dimana Anda dapat berkumpul dengan orang-orang yang begitu Anda cintai....
Hadirkan sosok seorang wanita yang rela berdesak-desakan ketika membelikan Anda pakaian ketika lebaran...
Seorang wanita yang rela tidur semalaman karena menunggui Anda disaat Anda kecil....
Seorang wanita yang rela menggadaikan nyawanya agar Anda tetap hidup ketika melahirkan Anda...
Seorang wanita yang tidak pernah meminta balas budi sedikit pun dari segala kelelahan dan pengorbanannya....
Seorang wanita yang mungkin sampai hari ini belum sempat Anda bahagiakan...
Seorang wanita yang sangat berharap anda bisa menjadi bagian dari kebahigaan dalam hidupnya.
Hadirkan seorang wanita bernama Ibu yang selama ini mungkin sering kita tidak pedulikan...
Hadirkan seorang wanita bernama ibu yang mungkin selama ini sering kita abaikan...
Hadirkan seorang wanita bernama ibu yang mungkin selama ini sering kita remehkan...
Hadirkan seorang wanita bernama ibu yang mungkin selama ini tidak pernah kita hargai pengorbanannya...
Hadirkan seorang ibu yang selama ini menginginkan kebahagiaan untuk Anda dalam desahan do’a-do’a malamnya...
Dalam butiran-butiran air matanya dan dalam kesedihannya memikirkan kebahagiaan untuk diri Anda...
Seorang wanita yang berharap Anda dapat menjadi anak yang sholeh dan sholehah yang dapat menyelematkan mereka di akhirat...
Ketika tidak ada yang mampu menyelematkan kecuali anak yang sholeh dan sholehah...
Sekarang hadirkan seorang laki-laki yang selama ini telah berkorban banyak untuk Anda..
Seorang laki-laki yang bernama Ayah.
Yang rela kerja keras siang dan malam hanya agar Anda bisa bersekolah, kuliah dan dapat pendidikan yang layak seperti teman-teman anda yang lain...
Seorang laki-laki yang tidurnya tidak pernah nyenyak, karena memikirkan pakaian Anda yang sudah tidak layak pakai lagi. Dan memikirkan biaya sekolah yang harus dibayarnya besok pagi. Yang bekerja dengan ikhlas dan jujur karena tidak rela anaknya diberikan makanan yang haram walaupun sedikit.
Hadirkan sosok Ayah Anda yang selama ini yang mungkin Anda jarang dapat membantunya, meringankan pekerjaan-pekerjaannya. Yang selama ini mungkin Anda sering menuntut banyak diluar kemampuannya. Apakah anda tidak ingin membuat mereka bahagia suatu saat nanti?
Sebelum bendera kuning tertambat di jalan-jalan menuju rumah Anda? Sebelum memberikan hadiah pakaian untuk yang terakhir kalinya yaitu kain kafan. Sebelum kita mengecup kening dan tangannya untuk yang terakhir kali, sebelum kita menghantarkannya ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
Apakah anda tidak ingin membuat mereka tersenyum bahagia melihat Anda telah menjadi anak kebanggaannya dari anak-anak yang pernah dilahirkan dan dididiknya?
Apakah anda tidak ingin satu saat nanti bisa menggendong ibu Anda dari Shofa ke Marwa, menghantarkan ayah Anda untuk mencium Batu Hajar Aswad bersama-sama? Dan meminumkan air zam-zam langsung dari sumbernya, mungkin itu impian dan harapan besar mereka kepada diri Anda.
Dan mereka ingin Anda pun menjadi amal jariah bagi mereka. Apakah Anda tidak ingin menyelamatkan mereka nanti di akhirat? Jadilah yang terbaik hari ini. Belajar terus jangan pernah menyerah, berjuanglah untuk harapan besar orang-orang yang mencintai Anda. Jadilah bukti jangan menunggu bukti, kalau tidak oleh kita maka siapa lagi. Jika tidak sekarang ini kapan lagi. Dan jika tidak disini dimana lagi. Lakukan yang terbaik!
Artikel

Terimalah Pendamping Hidup Kita Apa Adanya


Menerima pendamping apa adanya dengan tidak berharap terlalu banyak, merupakan bekal untuk mencapai kemesraan dan keharmonisan dalam hidup berumah-tangga. Sebagai umat manusia yang dianugerahi, kita memang perlu menyeimbangkan harapan. Tak salah kita berdoa memohon pasangan yang sempurna, tetapi pada saat yang sama kita juga harus melapangkan dada untuk menerima kekurangan. Kita boleh memancangkan harapan, tapi kita juga perlu bertanya apa yang sudah kita persiapkan agar layak mendampingi pasangan idaman. Ini bukan berarti kita tidak boleh mempunyai keinginan untuk memperbaiki kehidupan kita, rumah tangga kita, serta pasangan kita. Akan tetapi, semakin besar harapan kita dalam pernikahan semakin sulit kita mencapai kebahagiaan dan kemesraan. Sebaliknya, semakin tinggi komitmen pernikahan kita (marital commitment) akan semakin lebar jalan yang terbentang untuk memperoleh kebahagian dan kepuasan.

Apa bedanya harapan dan komitmen?
Apa pula pengaruhnya terhadap keutuhan rumah tangga kita? Harapan terhadap perkawinan menunjukkan apa yang ingin kita dapatkan dalam perkawinan. Bila kita memiliki harapan perkawinan yang sangat besar, sulit bagi kita untuk menerima pasangan apa adanya. Kita akan selalu melihat dia penuh kekurangan.
Jika kita menikah karena terpesona oleh kecantikannya, kita akan segera kehilangan kemesraan sehingga tidak bisa berlemah lembut begitu istri kita sudah tidak memikat lagi. Betapa cepat dan berlalu dan betapa besar nestapa yang harus ditanggung.
Sementara itu, komitmen perkawinan lebih menunjukkan rumah tangga seperti apa yang ingin kita bangun. Kerelaan untuk menerima kekurangan, termasuk mengikhlaskan hati menerima kekurangannya membuat kita lebih mudah mensyukuri perkawinan.
Orang yang melapangkan hati untuk menerima perbedaan, cenderung akan menemukan banyak kesamaan. Perbedaan itu bukan lantas tidak ada, tetapi kesediaan untuk menerima perbedaan membuat kita mudah untuk melihat kesamaan dan kebaikannya.
Sebaliknya, kita akan merasa tidak nyaman berhubungan dengan orang lain, tidak terkecuali pendamping hidup kita, bila kita sibuk mempersoalkan perbedaan. Apalagi jika kita sering menyebut-nyebutnya, semakin terasa perbedaan itu dan semakin tidak nyaman membina hubungan dengannya. Semoga Tuhan melindungi kita dari mempersoalkan perbedaan tanpa mengilmui. Semoga Tuhan menjauhkan kita dari kesibukan yang menghancurkan. Semoga Tuhan pula kelak mengukuhkan ikatan perasaan di antara kita dengan kasih sayang, ketulusan, dan kerelaan menerima perbedaan. Sesungguhnya telah berlalu sebelum kita yang sibuk mempersoalkan perbedaan dan memperdebatkan hal-hal yang menjadi rahasia Allah. Nah, jika mempersoalkan perbedaan, menyebut-nyebutnya, dan mengeluhkannya akan membuat hubungan renggang, mengapa tidak melapangkan hati untuk menerimanya?
Sesungguhnya menerima perbedaan akan menumbuhkan kasih sayang dan kemesraan yang hangat. Ada perasaan mengharukan yang sekaligus membahagiakan jika kita memberikan untuknya apa yang ia sukai. Berangkat dari petunjuk Tuhan ini tidak layak bagi kita untuk sibuk mempersoalkan kekurangan ataupun kesalahan, apalagi kekurangan yang sulit dihilangkan, sepanjang ia tidak melakukan kekejian yang nyata. Betapa pun banyak yang tidak kita sukai darinya, kemesraan dengannya tak akan pudar jika kita mencoba untuk berbaik sangka kepada Tuhan, barangkali di balik itu Tuhan berikan kebaikan yang sangat besar. Sebaliknya, sesedikit apa pun keburukannya, bila kita sibuk menyebut-nyebut dan mengingatnya, akan sangat memberatkan jiwa. Dampak selanjutnya tidak hanya bagi hubungan suami istri, tetapi merembet pada hubungan kita dan si kecil.
Terimalah ia apa adanya. Terimalah kekurangannya dengan keikhlasan hati maka akan kita temukan cinta yang bersemi indah. Sesudahnya berupaya memperbaiki dan bukan menuntut untuk sempurna.
Bukankah kita sendiri mempunyai kekurangan, mengapa kita sibuk menuntut pasangan kita untuk sempurna? Ada amanat yang harus kita emban ketika kita menikah. Ada ruang untuk saling berbagi. Ada ruang untuk saling memperbaiki. Dan bukan saling mengeluhkan, apalagi menyebut-nyebut kekurangan.
Pahamilah kekhilafannya agar ia merasa ringan dalam memperbaiki, meski bukan berarti kita lantas membiarkan kesalahan. Berikanlah dukungan dan kehangatan kepadanya sehingga ia berbesar hati menghadapi tantangan-tantangan yang ada di depan.
Tunjukkanlah bahwa kita memang sangat menghargainya, menerimanya dengan tulus, mau mengerti dan bersemangat mendampinginya. Disini memang tidak hanya membahas seputar keikhlasan menerima pasangan kita apa adanya. Namun tampaknya memandang masalah yang remeh temeh ini dalam beberapa hal telah menjadi batu karang yang cukup terjal yang kemudian melahirkan benih-benih konflik dan alih-alih perceraian.
Pada bagian akhir ini, menjelaskan bagaimana upaya belajar itu tidak sebatas menerima apa adanya, tetapi juga diikuti dengan belajar mendengar dengan sepenuh hati. Karena tidak jarang kita bukan tidak paham jawaban yang sesungguhnya diinginkan di balik pertanyaan pasangan. Cukup banyak hal sepele yang tampaknya kita anggap telah kita berikan tetapi ternyata hal itu jauh meleset dari dugaan. Kita bukan mendengar pasangan tetapi mendengar diri sendiri. Kita bukan memberi solusi tapi malah menambah materi. Kita bukan memberi jalan keluar malah menghakimi. Kita bukan memberikan jawaban, tetapi malah memberikan pertanyaan. Kita bukan meringankan tetapi malah memberatkan. Benarkan?
Kekayaan itu ada di jiwa. Dan keping kekayaan itu dimulai dari ketulusan menerima. Dengan kekayaan jiwa kita akan lebih mudah memberikan empati, lebih mudah untuk memahami, lebih mudah untuk berbagi dan lebih mudah mendengar dengan sepenuh hati.
Hari ini, ketika kita bermimpi tentang sebuah pernikahan yang romantis sementara ikatan batin di antara kita dan pasangan begitu rapuh, sudahkah kita berterima kasih kepadanya? Sudahkah kita meminta maaf atas kesalahan kesalahan kita? Jika belum, mulailah dengan meminta maaf atas kesalahan-kesalahan kita dan ungkapkan sebuah panggilan "sayang" untuknya. Mulailah dari yang paling mudah, "kalimat/kata " yang paling remeh atau kecil sekalipun. Mulailah dari yang paling kecil, "Little things mean a lot" Agar cinta bersemi dalam keluarga kita, agar cinta senantiasa berbunga dalam kehidupan kita.


artikel: hikayahhati.blogspot.com

Bacaan Ushalli (Niat) dalam Shalat

Bacaan Ushalli (Niat) dalam Shalat
 Penulis : Al Ustadz Abu Abdillah Muhammad Sarbini

Apakah benar tidak ada bacaan khusus sebelum takbir (bacaan ushalli)?

الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُوْلِ اللهِ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ
Memang benar demikian, bahkan hal itu merupakan bid’ah yang diada-adakan dalam agama yang sempurna ini. Sebagaimana diterangkan para ulama berdasarkan dalil-dalil Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman yang benar yang diwarisi dari para shahabat (as-salaf ash-shalih) ridhwanullahi alaihim ajma’in.
1. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam Asy-Syarhul Mumti’ (2/285): “Ketahuilah bahwa niat itu tempatnya di qalbu (hati), oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amalan-amalan itu dikerjakan dengan niat, dan bagi setiap orang apa yang dia niatkan.” (Muttafaqun ‘alaih, dari shahabat ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu 'anhu)

Maka niat itu bukan amalan anggota tubuh
1, oleh karena itu kami mengatakan bahwa melafadzkan niat adalah bid’ah. Tidak disunnahkan bagi seseorang jika hendak melaksanakan suatu ibadah
2 untuk mengucapkan:
اللَّهُمَّ نَوَيْتُ كَذَا أَوْ أَرَدْتُ كَذَا“Ya Allah tuhanku, aku berniat untuk…” atau “aku bermaksud untuk…”, baik secara jahr (keras) maupun sirr (pelan), karena hal ini tidak pernah dinukilkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan Allah mengetahui apa yang ada dalam qalbu setiap orang. Maka engkau tidak perlu     mengucapkan niatmu karena niat itu bukan dzikir sehingga (harus) diucapkan dengan lisan. Dia hanyalah suatu niat yang tempatnya di hati. Dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara ibadah haji dan yang lainnya. Bahkan dalam ibadah haji pun seseorang tidak disunnahkan untuk mengatakan:
اللَّهُمَّ إِنِّيْ نَوَيْتُ الْعُمْرَةَ أَوْ نَوَيْتُ الْحَجَّ
“Ya Allah, aku berniat untuk umrah atau aku berniat untuk haji.”
Namun dia mengucapkan talbiyah sesuai dengan yang dia niatkan. Dan talbiyah bukanlah merupakan pengkabaran niat karena talbiyah mengandung jawaban terhadap panggilan Allah. Maka talbiyah itu sendiri merupakan dzikir dan bukan pengkabaran tentang apa yang diniatkan di dalam hati. Oleh karena itu seseorang mengucapkan:
لَبَّيْكَ عُمْرَةً أَوْ لَبَّيْكَ حَجًّا
“(Ya Allah), aku memenuhi panggilan-Mu untuk menunaikan umrah” atau “(Ya Allah) aku memenuhi panggilan-Mu untuk menunaikan haji.”

2. Syaikh kami Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah berkata dalam Ijabatus Sail (hal. 27): “Melafadzkan niat merupakan bid’ah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

قُلْ أَتُعَلِّمُوْنَ اللهَ بِدِيْنِكُمْ
“Katakanlah (wahai Nabi), apakah kalian hendak mengajari Allah tentang agama (amalan) kalian?” (Al-Hujurat: 16)
Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajari a’rabi (seorang Arab dusun) yang tidak benar cara shalatnya dengan sabdanya:
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ
“Jika kamu bangkit (berdiri) untuk shalat maka bertakbirlah (yakni takbiratul ihram, pen).” (Muttafaqun ‘alaih dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu)
Jadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengatakan kepadanya: “Ucapkanlah: Aku berniat untuk…”3
Dan niat itu tempatnya di hati, berdasarkan hadits:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amalan-amalan itu dikerjakan dengan niat.” (Muttafaqun ‘alaih, dari shahabat ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu 'anhu)
Maka merupakan suatu kekeliruan jika dikatakan bahwa dalam kitab Al-Umm4 ada penyebutan melafadzkan niat. Tidak ada dalam kitab Al-Umm penyebutan tersebut.
Dan melafadzkan niat tidak ada sama sekali dalam ibadah apapun dalam agama ini. Adapun talbiyah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: (لَبَّيْكَ حَجًّا), maka ada 2 kemungkinan:
1. Kata (حَجًّا) manshub5 sebagai mashdar (maf’ul muthlaq) yaitu (لَبَّيْكَ أَحُجُّ حَجًّا) “(Ya Allah), aku menjawab     panggilan-Mu untuk menunaikan haji.”
2. Kata (حَجًّا) manshub sebagai maf’ul dari fi’il (نَوَيْتُ) yaitu (لَبَّيْكَ نَوَيْتُ حَجًّا) “(Ya Allah), aku menjawab panggilanmu, aku berniat untuk haji.”
Namun ibadah ini (yaitu talbiyah) disamakan dengan ibadah-ibadah lainnya, maka kemungkinan yang pertama yang benar.6
3. Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata (Zadul Ma’ad, 1/201): “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jika hendak melaksanakan shalat beliau mengatakan (اللهُ أَكْبَرُ), dan beliau tidak mengucapkan sesuatu sebelumnya. Dan tidaklah beliau melafadzkan niat sama sekali dan tidak pula mengatakan:
أُصَلِّي لِلَّهِ صَلاَةَ كَذَا مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ إِمَاماً أَوْ مَأْمُوْمًا
“Aku berniat shalat ini (dzuhur misalnya, pen) menghadap kiblat, empat rakaat, sebagai imam,” atau “sebagai makmum.”
Dan beliau tidak mengatakan:( أَدَاءً)7 atau (قَضَاءً)8, tidak pula (فَرْضَ الْوَقْتِ)9. Ini adalah 10 bid’ah10, tidak seorangpun yang menukilkannya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam baik dengan sanad yang shahih, atau dha’if (lemah), atau musnad (sanad yang bersambung) atau mursal (terputus sanadnya), satu lafadz pun dari lafadz-lafadz itu. Bahkan tidak juga dari seorang shahabat sekalipun. Dan tidak seorang tabi’in pun yang menganggapnya baik, dan tidak pula dari kalangan imam yang empat (Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Ahmad, pen).
Hanya saja sebagian orang dari kalangan mutaakhirin (orang-orang yang belakangan, pen) salah memahami perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i tentang shalat bahwa: ‘Shalat itu tidak sama dengan puasa, maka tidaklah seseorang mengawali shalatnya kecuali dengan dzikir,’ maka orang ini menyangka bahwa yang dimaksud adalah melafadzkan niat untuk shalat. Padahal yang dimaksud oleh Al-Imam Asy-Syafi’i adalah takbiratul ihram, bukan yang lainnya.”
Wallahu a’lam.
 artikel anchaznet.com
Bagikan

Laksana Bidadari Dalam Hati Suami (Bagian 2)

Berkulit Mulus dan Bertubuh Molek
Allah Ta’ala berfirman,
كَأَنَّهُنَّ الْيَاقُوتُ وَالْمَرْجَانُ
Seakan – akan para bidadari itu permata yaqut dan marjan” (Qs. Ar-Rahman: 58)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Salah satu wanita surga, sungguh dapat dilihat putih betisnya dari balik tujuh puluh pakaian. Hal ini karena Allah berfirman, “Mereka bagaikan Yaqut dan Marjan.” Beliau melanjutkan, “Yaqut adalah batu. Kalau saja kawat dimasukkan ke dalamnya, kemudian kamu menjernihkanny, pasti kamu bisa melihat kawat dari balik batu tersebut.” (Hr. At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban, di dalam Al Jami’)
Pada masa modern seperti ini industri kaca, kristal, batu mulia sudah lah maju dengan pesatnya, dan dalam ayat tersebut Allah menggambarkan keadaan bidadari laksana dua jenis batu mulia yang menunjukkan keelokan mereka yang memikat, kemurnian Yaqut dan keputihan Marjan. Sudah selayaknya makhluk seperti bidadari ini diciptakan dari zat yang murni, jernih, lembut, sesuai dengan kemolekan dan kecantikan yang sungguh sangat menakjubkan. Dengan gambaran seperti itu tentulah lelaki penghuni surga dibuat terkesima melihat betapa berkilau dan bersinarnya tubuh bidadari.
Diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Masing – masing dari mereka mendapatkan dua orang istri (bidadari) yang tulang kedua kaki mereka dapat terlihat dari balik daging mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketebalan daging yang transparan pada bidadari menunjukkan kekhususan dan perbedaan antara daging bidadari dan daging wanita dunia. Bagaimana tidak?daging bidadari yang transparan itu menunjukkan betapa bening daging tubuh bidadari. Disebutkan juga bahwa tubuh yang transparan itu bercampur dengan warna putih hingga membuat tubuhnya menjadi putih, bening, indah, dan cantik jelita. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
كَأَنَّهُنَّ بَيْضٌ مَكْنُونٌ
Seakan-akan mereka adalah telur (burung unta) yang tersimpan dengan baik.” (Qs. Ash-Shaffat: 49)
Orang Arab mengenal telur yang tersimpan dengan baik itu adalah telur burung unta yang terpendam dalam pasir. Warnanya putih dan tidak ada yang melebihi putihnya. Ciri yang transparan dan bening ini dilukiskan dalam Al-Qur’an dengan ungkapan Yaqut, Marjan, Al-Lu’lu Al-Maknuun, Baidhun Maknuun.
Tidak Liar Pandangannya
Allah Ta’ala berfirman,
فِيهِنَّ قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ لَمْ يَطْمِثْهُنَّ إِنْسٌ قَبْلَهُمْ وَلَا جَانٌّ
“Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan dan menundukkan pandangannya.” (Qs. Ar-Rahman: 56)
وَعِنْدَهُمْ قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ عِينٌ
“Di sisi mereka ada bidadari-bidadari yang sopan dan menundukkan pandangannya dan matanya jelita.” (Qs. Ash-Shaffat: 48)
وَعِنْدَهُمْ قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ أَتْرَابٌ
“Dan pada sisi mereka ada bidadari-bidadari yang menundukkan pandangannya dan sebaya umurnya.” (Qs. Shad: 52)
Wanita dunia yang menyakiti suaminya dengan memandang lelaki selain suaminya, dan menikmati pandangan tersebut menunjukkan kekurangan dan kehinaannya. Maka Allah pun mengganti wanita yang demikian dengan bidadari-bidadari yang sempurna lagi istimewa bagi hambaNya yang shalih, yang mana bidadari-bidadari tersebut hanya menujukan pandangannya terhadap suami-suami mereka. Terdapat point penting yang bisa kita ambil dari sini, yakni:
  1. Ayat ini menjelaskan tentang keutamaan bidadari yang menunjukkan pandangannya hanya bagi suaminya. Mereka terbiasa untuk tidak melihat ke lelaki lain kendatipun mereka memiliki mata jelita, dan satu-satunya pemandangan yang mereka lihat hanyalah suami-suami mereka. Ya, karena di mata mereka…suami merekalah yang paling tampan. Saudariku…ingin kubertanya padamu, sudahkah engkau menunjukkan pandangan penuh kasih sayang, kerinduan dan cinta hanya bagi suamimu? Bagaimana dengan keadaan suami dalam pandangan matamu, wahai saudariku?
  2. Ayat ini menjelaskan bahwa para bidadari itu sangat mencintai suami mereka. Bahkan mereka “menutup mata” kepada lelaki lain untuk selama-selamanya. Pandangan, hati, cinta, bahkan dirinya hanya ditujukan bagi suami mereka. Hal tersebut tidak mungkin dilakukan kecuali oleh orang yang hidup dengan penuh rasa cinta yang mendalam kepada Sang Suami, seperti kedalaman cinta Qais pada Laila. Karena cinta yang mendalam dapat menjadikan seseorang hanya melihat kepada orang yang ia cintai.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung..” (Qs. An-Nuur: 31)
Dan alangkah indahnya perkataan penyair,
“Segala peristiwa berawal dari pandangan mata
Jilatan api bermula dari setitik bara
Berapa banyak pandangan yang membelah hati
Laksana anak panah yang melesat dari tali”

Mata ibarat duta, sedangkan hati sebagai rajanya. Betapa banyak cinta itu bermula, hanya karena pandangan mata yang sungguh sangat menggoda yang lambat laun bergerak menjalar dan mengakar di dalam dada. Maka, jika kau biarkan matamu memandang liar kepada lelaki yang tiada halal bagimu, yakinkah engkau masih mampu mempertahankan sebentuk cinta dalam hati bagi suamimu?!
Bersambung insyaallah
***
Artikel http://hikayahhati.blogspot.com/
source: muslimah.or.id
Penulis: Fatihdaya Khairani
Murajaah: Ust. Ammi Nur Baits
Maraji’:
  1. Tamasya ke Surga, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Darul Falah, Jakarta.
  2. Panduan Lengkap Nikah (Dari “A” sampai “Z”), Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdirrazzak, Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan ke-4, Bogor, 2006.
  3. Bersanding Dengan Bidadari di Surga, Dr.Muhamamd bin Ibrahim An-Naim, Daar An Naba’, Cetakan Pertama, Surakarta, 2007.
  4. Mengintip Indahnya Surga, Syaikh Mahir Ahmad Ash-Shufi, Aqwam, Cetakan Pertama, Solo, 2008.
  5. Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Darul falah, Cetakan ke-11, Jakarta, 2003.
  6. Majelis Bulan Ramadhan, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Pustaka Imam Syafi’i, Cetakan ke-2, Jakarta, 2007.
  7. Bidadari Surga Agar Engkau Lebih Mulia Darinya, ‘Itisham Ahmad Sharraf, IBS, Cetakan ke-3, Bandung 2008.

Laksana Bidadari Dalam Hati Suami (Bagian 1)

Saudariku,
Pada saatnya nanti kan tiba, engkau akan menjadi istri -Insya Allah-. Atau bahkan sekarang ini pun engkau sudah menjadi istri. Dan sudah barang tentu engkau pasti ingin menjadi wanita shalihah lagi berakhlak karimah. Ciri khas wanita shalihah yaitu wanita yang selalu berusaha merebut hati, mencari cinta suami, selalu mengharap ridha suaminya agar mendulang pahala, demi meretas jalan menuju Al-Firdaus Al-A’la…di sanalah, dia akan berharap bisa menjadi “permaisuri” suaminya ketika di dunia.
Lalu, lewat jalan manakah hati seorang lelaki akan terebut…dan ridhanya pun menyambut, sehingga dua jiwa dalam satu cinta akan bertaut?
Saudariku…Bunga-bunga cinta suami dapat mekar bersemi,
Harum semerbak mewangi di taman hati,
Jika ia senantiasa disirami


Manis ucapan, santun perkataan, lembut perlakuan, dan baiknya pergaulan seorang wanita akan menjadi siraman yang dapat menumbuhkan benih-benih cinta di hati sanubari sang suami. Dan bukan hal yang mustahil, karena akhlakmulah, duhai wanita…hati suami pun akan mencinta.
Agar memiliki akhlak wanita yang mulia, seorang wanita seyogyanya berkiblat pada figur wanita abadi nan sempurna. Sosoknya banyak digambarkan dengan parasnya yang sungguh sangat cantik jelita. Kiranya engkau pun tahu…karena dia adalah…bidadari surga.
Bidadari surga teramat istimewa, wanita yang Allah ciptakan dengan penuh kesempurnaan yang didambakan pria. Dengan segala keistimewaan yang ada dalam dirinya, kiranya itu menjadi tantangan bagi wanita dunia untuk bisa berusaha menyamai karakteristik bidadari surga. Menyinggung soal karakteristik, tentunya wanita dunia tidak akan mampu bersaing dengan bidadari dalam urusan fisik, dan yang bisa kita contoh adalah ciri khas akhlaknya. Baiklah, mari kita bersama-sama telusuri tabiat yang khas dari bidadari surga.
Cantik Parasnya, Baik Akhlaknya, dan Harum Bau Tubuhnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati bidadari dengan keelokan dan kecantikan yang sungguh sempurna, sebagaimana yang tergambar dalam ayat berikut,
وَزَوَّجْنَاهُمْ بِحُورٍ عِينٍ
Dan Kami pasangkan mereka dengan bidadari – bidadari yang cantik dan bermata jelita. ” (Qs. Ath-Thur: 20) – bagian yg berwarna sebaiknya dibuang, agar sesuai dg terjemahannya
Huur ( حور) adalah bentuk jamak dari kata haura (حوراء ) yaitu wanita muda usia yang cantik mempesona, kulitnya mulus dan biji matanya sangat hitam.
Hasan berkata, “Al-Haura (الحوراء )adalah wanita yang bagian putih matanya amat putih dan biji matanya sangat hitam.”
Zaid bin Aslamberkata, “Al-Haura adalah wanita yang matanya amat putih bersih dan indah.”
Muqatilberkata, “Al-Huur adalah wanita yang wajahnya putih bersih.”
Mujahid berkata, “Al-Huur Al-’Iin (الحور العين ) adalah wanita yang matanya sangat putih dan sumsum tulang betisnya terlihat dari balik pakaiannya. Orang bisa melihat wajahnya dari dada mereka karena dada mereka laksana cermin.”
Seorang penyair berkata,
Mata yang sangat hitam di ujungnya telah membunuh kita
Lalu tak menghidupkan kita lagi

Menaklukkan orang yang punya akal hingga tak bergerak
Dan mereka ialah makhluk Allah yang paling indah pada manusia

Benarlah memang, karena wanita juga akan tampak terlihat lebih menawan jika ia bermata indah, dengan kelopak mata yang lebar, berbiji mata hitam dikelilingi warna putih lagi bersih.
فِيهِنَّ خَيْرَاتٌ حِسَانٌ
Di dalam surga – surga ada bidadari – bidadari yang baik – baik lagi cantik – cantik.”. (Qs. Ar-Rahman: 70)

Khairaatun ( خَيْرَاتٌ ) adalah jamak dari kata khairatun, sedangkan hisaan adalah bentuk jamak dari hasanatun ( حسنة). Maksudnya, bidadari – bidadari tersebut baik akhlaknya dan cantik wajahnya. Beruntunglah seorang pria yang diberi anugrah wanita secantik akhlak bidadari surga. Perhatikan dan tanyakan pada diri kita…
Apakah kita sudah sepenuhnya memenuhi hak-hak suami, memuliakannya dengan sepenuh hati dan segenap jiwa? Apakah kita sudah berterima kasih atas kebaikannya? Pernahkah kita menyakitinya dengan sadar atau tidak??
Duhai istri…Suami yang beriman merupakan orang yang mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan marah jika engkau menghina dan menyakiti lelaki yang memiliki kedudukan yang mulia di sisiNya. Sebagai gantinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menugaskan para bidadari untuk menjunjung kemuliaan suami-suami mereka di dunia ketika para istri menyakiti mereka - sekalipun sedikit - di dunia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya ketika di dunia, melainkan istri suami tersebut yang berasal dari kalangan bidadari akan berkata, ‘Jangan sakiti dia! Semoga Allah mencelakakanmu, sebab dia berada bersamamu hanya seperti orang asing yang akan meninggalkanmu untuk menemui kami.” (Hr. Tirmidzi dan Ahmad. Menurut Imam Tirmidzi, ini hadits hasan)
Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu’anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sekiranya ada seorang wanita penghuni surga, yang menampakkan dirinya ke bumi, niscaya ia akan menerangi kedua ufuknya serta memenuhinya dengan semerbak aroma. Kerudungnya benar-benar lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (Hr. Bukhari)
Saudariku, sebagaimana kita ketahui…kecantikan paras wanita dunia seperti kita sangatlah minim jika dibandingkan kecantikan paras bidadari surga. Kita niscaya tidak akan mampu menandingi kecantikan mereka, namun apakah kita harus bersedih? Sama sekali tidak!
Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang beraneka rupa, sebagai tanda dari kehendak dan kekuasaanNya. Maka terimalah apapun yang telah Ia karuniakan bagimu, karena itu yang terbaik untukmu. Meskipun wajah kurang cantik dan fisik kurang menarik, janganlah takut untuk tidak dicinta. Berhiaslah dan percantiklah dirimu dengan hal – hal yang Allah halalkan, karena istri shalihah bukan hanya yang tekun beribadah saja, namun seorang istri yang bisa menyenangkan hati suami ketika suami memandangnya.
Saudariku… Dan apakah kau lupa, fitrahmu sebagai wanita yang tentu suka akan perhiasan? Perhiasan terkait dengan makna keindahan, sehingga seorang perempuan shalihah senantiasa menjaga daya tarik dirinya bagi suaminya… karena wanita adalah salah satu sumber kebahagiaan lelaki. Apabila seorang istri senantiasa melanggengkan berhias dan mempercantik diri di hadapan suami, itu akan menjadi hal yang menambah keintiman hubungannya dengan suami. Sang Suami pun tentu akan semakin cinta pada istri pujaan hatinya insyaallah.
Bagi saudari-saudariku pada umumnya serta saudara-saudaraku pada khususnya, enak dipandang dan menyenangkan hati bukan berarti harus cantik sekali bukan? Dan berhias pun tidak harus menggunakan aksesori yang terlalu mahal . Lalu bagaimana jika Allah menentukan engkau mendampingi lelaki yang secara materi belum mampu “madep mantep“? (baca: hanya cukup untuk membiayai kebutuhan pokok)
Aku ingatkan engkau pada nasihat para pendahulu kita kepada putrinya…
Abul Aswad berkata pada putrinya, “Janganlah engkau cemburu, dan sebaik-baik perhiasan adalah celak. Pakailah wewangian, dan sebaik – baik wewangian adalah menyempurnakan wudhu.”
Ketika Al-Farafisah bin Al-Ahash membawa putrinya, Nailah, kepad Amirul Mukminin ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, dan Beliau telah menikahinya, maka ayahnya menasihatinya dengan ucapannya, “Wahai putriku, engkau didahulukan atas para wanita dari kaum wanita Quraisy yang lebih mampu untuk berdandan darimu, maka peliharalah dariku dua hal ini: bercelaklah dan mandilah, sehingga aromamu adalah aroma bejana yang terguyur hujan.”
Memang tubuhmupun dicipta tiada bercahaya dan harum mewangi laksana bidadari, namun engkau tentu bisa memakai wewangian yang disukai suamimu ketika engkau berada di kediamanmu bersamanya, dengan begitu penampilanmu tambah terlihat menawan dipandang mata.
Bersambung insyaallah
***
Artikel hikayahhati.blogspot.com
source: muslimah.or.id
Penulis: Fatihdaya Khairani
Murajaah: Ust. Ammi Nur Baits
Maraji’:
  1. Tamasya ke Surga, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Darul Falah, Jakarta.
  2. Panduan Lengkap Nikah (Dari “A” sampai “Z”), Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdirrazzak, Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan ke-4, Bogor, 2006.
  3. Bersanding Dengan Bidadari di Surga, Dr.Muhamamd bin Ibrahim An-Naim, Daar An Naba’, Cetakan Pertama, Surakarta, 2007.
  4. Mengintip Indahnya Surga, Syaikh Mahir Ahmad Ash-Shufi, Aqwam, Cetakan Pertama, Solo, 2008.
  5. Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Darul falah, Cetakan ke-11, Jakarta, 2003.
  6. Majelis Bulan Ramadhan, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Pustaka Imam Syafi’i, Cetakan ke-2, Jakarta, 2007.
  7. Bidadari Surga Agar Engkau Lebih Mulia Darinya, ‘Itisham Ahmad Sharraf, IBS, Cetakan ke-3, Bandung 2008.

Kalau Saya Berpikir Bisa, Maka Saya Bisa

Kalau saya berpikir bisa, maka saya akan bisa melakukannya. Itulah kalimat pemotivasi untuk terus berpikir positif terhadap kemampuan yang saya punya. Saat ini saya kuliah sebagai mahasiswa Teknik Kimia, Universitas Sriwijaya. Selain itu juga mengikuti berbagai kegiatan di kampus terutama di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). 

Alhamdulillah dengan segala kesibukan yang ada, sebagai anak pertama, masih bisa bantu ayah dan ibu walaupun cuma sekedar belanja ke pasar. Ayah  berkerja sebagai sopir pick up untuk mengangkut barang dan ibu ikut jualan makanan untuk sarapan pagi dan menjual gorengan di waktu sore. Dengan kondisi seperti ini, mau tak mau saya dan keempat adik saya, tak mungkin hanya berdiam diri. Kami berlima punya tugas masing-masing. Dari belanja keperluan jualan dan makan, cuci piring, beres-beres  rumah, masak, dan lain-lain. Masing-masing punya tanggung jawab di rumah.

Kami berlima tidak diminta untuk mencari uang tambahan di luar belajar,  tapi juga tidak dilarang kalaupun harus bekerja. Asal tidak mengganggu waktu belajar. Saya ingat ucapan ayah, "Keputusan ada pada kalian masing-masing. Tapi, kalau bisa difokuskan sama belajar dulu saja."

Penghasilan orangtua boleh dibilang cukup. Namun, karena ketiga adik bersekolah di swasta, maka biayanya lumayan besar. Tahun ini saja ada dua yang kelulusan. Satu dari SMP mau ke SMA, satunya lagi dari SMA mau ke perguruan tinggi. Mungkin akan mengeluarkan biaya yang cukup besar kalau keduanya melanjutkan. Maka, ketika adik ngomong ke saya, "Mungkin aku kerjo dulu kak, cak setahunla. Kalo lah terkumpul uangnya, baru aku kuliah dengan uang ku sendiri. Aku dak gala ngerepoti ayah samo ibu lagi."

Mendengarnya terkadang saya malu sendiri. Makanya, sudah dua tahun belakangan ini saya tidak terlalu meminta uang lebih, kecuali sangat mendesak. Saya bilang sama ayah dan ibu, "Kasih uangnya setengah saja. Insya Allah, Hendra masih punya simpanan".

Saya juga mendapatkan beasiswa dari kampus. Ditambah lagi menjadi asisten laboratorium kampus.  Dulu pernah sempat mengajar, tapi tidak bertahan lama. Cita-cita saya terhadap orangtua, pengen sekali memberangkatkan mereka naik haji. Karena itu saya berusaha.
Untuk menambah pengetahuan, biasanya saya rutin membaca buku setengah jam sebelum tidur, buku apa saja asal bermanfaat. 

Kenal DSIM dari kakak tingkat saya. Beliau menyarankan untuk mencoba ikut. Alhamdulillah setelah beberapa hari dari wawancara, saya dinyatakan lulus untuk mendapatkan beastudi. Dari uang disanalah saya bisa bantu adik-adik, membayarkan SPP sekolah mereka.  Jika ada lebih maka uang itu ditabung, kalau-kalau ada keperluan lain. Tujuh tanggungan (ditambah satu keponakan) ayah, membuat saya terus berpikir mencari cara melengkapi kebutuhan kampus.

Karena itu, kadang saya merasa sedih melihat euphoria adik-adik ketika lulus sekarang. Kebanyakan dari mereka yang baru dinyatakan lulus SMA bersuka cita, padahal masih panjang perjalanan mereka dalam mengejar ilmu. Harusnya mereka harap-harap cemas pada kehidupan mereka ke depan. Mungkin pendidikan harus segera diperbaiki. Kalo dilihat pelajar sekarang hanya bisa menerima. Mereka tidak berusaha menumbuhkan kreativitas mereka dalam belajar. Apalagi tidak ada yang memotivasi atau menyemangatinya dalam berkreativitas. Walaupun tidak semua siswa.

Saat ini saya masih mendapatkan beastudi dari DSIM, tapi ke depan dengan ilmu yang saya punya, dan harapan mendapatkan pekerjaan yang terbaik. Insya Allah, saya akan menjadi donatur pula, membantu mereka untuk medapatkan pendidikan dan ilmu yang terbaik, amin. (Nurbaiti

Saya Percaya Dengan Kekuatan Sedekah

Masa lalu saya cukup gelap. Dulu, waktu saya masih menarik becak, kehidupan saya tidak seperti ini. Mabuk, main kartu hingga perilaku negatif lainnya, menjadi hal biasa bagi saya. Profesi menarik becak ini saya geluti sejak tahun 2005. Hidup saya mulai berubah setelah saya diajak ikut dalam pembukaan pengajian abang penarik becak yang diadakan oleh Divisi Madrasah Ummat (MU) DSIM dan Baperohis Telkom. Saat itu tahun 2003. Yang mengajak dan sekaligus menjadi pembimbing kami adalah Ustadz Umar Said (sekarang ketua FUI Palembang). Dari beliaulah saya banyak mendapat pencerahan. 

Alhamdulillah, saya bisa membaca Al Quran dengan lancar. Padahal, jujur saja sebelumnya saya buta sama sekali dengan ilmu agama. Dan di tahun kedua, saya dipercaya menjadi pembimbing teman-teman membaca Al Quran di kelompok saya. Uniknya, di dalam pengajian ini, selain kami dibimbing secara spiritual, kami juga mendapat semacam uang pengganti waktu. Yakni uang pengganti karena tidak menarik becak selama pengajian. Apalagi kelompok kami semuanya berprofesi menarik becak. Uang ini saya terima sampai dengan tahun 2006.

Di akhir tahun 2005, saya diberi bantuan untuk membuka usaha. Saya senang sekali waktu itu. Dengan bimbingan dan konsultasi dari pihak DSIM, saya memutuskan untuk membuka gerobak dagangan makanan dan minuman ringan di kawasan selama ini saya mangkal. Kebetulan rumah saya, tidak jauh. Akhirnya saya pilihlah es cendol sebagai dagangan. Alhamdulillah, sampai saat ini jualan es cendol saya masih bertahan.

Sekarang saya bersama istri yang ikut membantu berjualan, menambah jenis dagangan dengan menu sop buah. Sejak membuka usaha es cendol inilah, kondisi ekonomi saya mulai berubah. Walaupun sudah membuka usaha es cendol, saya tetap menarik becak. Dari hari Senin sampai Jumat, istri saya yang berjualan. Sedang di hari Sabtu dan Ahad, saya tidak narik tapi menemani istri berjualan. Dari usaha ini, alhamdulillah saya bisa membeli motor. Saya pun beralih menjadi pengojek.
Sedang becak saya, saya pinjamkan kepada seorang kenalan. Yang saat ini masih  hidup prihatin. Saya hanya ingin membiasakan diri dan keluarga untuk selalu saling berbagi. Begitu yang saya dengar dari tausiah motivasi Ustadz Yusuf Mansyur. Sedikit uang yang didapat tanpa kita bisa berbagi rezeki dengan orang yang berhak, maka harta yang kita dapatkan itu niscaya tidak ada nilai keberkahannya.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Saya yakin dengan kedahsyatan berinfak. Penghasilan saya memang belum memenuhi nishab zakat. Tapi, kalau saya ingin menunggu sampai memeuhi kriteria seorang muzzaki, mungkin entah kapan saya bisa berbagi rezeki dengan yang lain.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tentang kedahsyatan berinfak ini sendiri saya pernah mengalaminya. Yang pertama di awal tahun 2006. Saat itu oleh doker saya divonis oleh dokter mengidap kanker dan diharuskan melakukan operasi karena kondisinya sudah lumayan parah. Padahal saat itu saya dalam keadaan tidak mempunyai cukup uang. Di tangan cuma ada Rp 75.000 sedangkan biaya operasi ditaksir sekitar Rp 5.000.000.

Saya memasrahkan masalah ini kepada Allah swt. Saya memohon kemudahan dan jalan keluar dari permasalahan ini. Shalat malam saya lakukan dan dari uang yang ada di tangan, saya ikhlaskan Rp 25.000 untuk diinfakkan. Entah kekuatan dari mana saat itu, sehingga saya sangat yakin sekali bahwa jika kita mau bersedekah dengan ikhlas pasti Allah akan menggantinya dengan berlipat ganda, sama seperti yang diungkapkan Ustadz Yusuf Mansyur dalam buku yang sering saya baca itu.
Allahu Akbar! Berselang empat hari dari vonis dokter, saya mendapat order besar untuk mengisi menu es cendol dalam sebuah acara pernikahan. Omzetnya cukup besar. Setelah itu pun datang lagi rezeki yang tak diduga. Sehingga dalam waktu dua pekan, saya bisa mendapatkan uang sebesar yang dibutuhkannya untuk operasi. Peristiwa itu, sampai sekarang masih membuat saya takjub. Dari situlah, saya mengambil motivasi untuk terus berbagi rezeki.

Peristiwa serupa juga terulang di awal tahun 2009 ini. Kejadiannya di bulan April kemarin. Tapi kali ini yang mendapatkan cobaan sakit justru istri saya. Kasusnya sama, istri membutuhkan biaya pengobatan yang besar tapi tidak mempunyai dana yang cukup. Dengan sangat yakin, saya dan istri menginfakkan harta, kali ini lebih besar lagi. Setengah dari total uang yang kami miliki saat itu, sekitar Rp.750.000,-. Yang terjadi kemudian adalah, penyakit istri saya berangsur membaik. Hingga sekarang penyakit tersebut tidak pernah kambuh, sehingga tidak jadi untuk pengobatan dengan biaya mahal. Gemetar saya bila teringat kejadian tersebut. Ini berkah yang luar biasa. Alhamdulillah ya Allah...(Rakhmat Adinugroho)