Latest Updates

Life is a Style

Saudaraku, Anda pernah mendengar motto “life is a style”? Atau mungkin Anda termasuk yang terinspirasi oleh motto ini?




Alhamdulillah, salawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan sahabatnya. Amin.

Kalau Anda adalah orang Jawa, saya yakin Anda diajari motto "ajining rogo soko busono" (harga diri tercermin dari pakaian).

Saudaraku, coba Anda bayangkan, apa perasaan Anda ketika sedang berpenampilan perlente, semerbak mewangi, serta pakaian, sepatu, jam tangan, tas, dan lain sebagainya serba bermerek, dengan harga seabrek.

Bahkan, tidak jarang dari saudara kita yang beranggapan bahwa agar penampilannya lebih sempurna, ia masih perlu untuk menyisipkan sebatang rokok putih di bibirnya.

Keren, wah, dan penuh percaya diri. Kira-kira begitulah perasaan yang bergemuruh dalam jiwa Anda kala itu. Bukankah demikian, Saudaraku?

Sebaliknya, bayangkan Anda sedang berpenampilan gembel, baju compang-camping, sendal jepit, berjalan di salah satu pusat belanja tersohor di kota Anda. Bagaimana perasaan Anda saat itu? Mungkinkah saat itu Anda bisa tampil dengan percaya diri dan tetap menegakkan kepala, apalagi membusungkan dada?

Saudaraku, Anda pernah berkunjung ke Cibaduyut, Bandung? Betapa banyak produk dalam negeri dengan mutu ekspor yang hasil penjualannya seret di pasaran dalam negeri. Program cinta produk dalam negeri senantiasa kandas, dan hanya sebatas isapan jempol sesaat, dan segera sirna.

Sebaliknya, setelah diberi label oleh perusahaan asing, berbagai produk dalam negeri menjadi begitu laku di pasar, dan tentunya dengan harga yang berlipat ganda.

Saudaraku, mari kita merenung sejenak, dan bertanya, “Sejatinya, harga diri saya terletak dimana? Mungkinkah harga diri saya terletak pada pakaian, sepatu, jam, dan berbagai produk lainnya?”

Bila jawabannya, “Tidak,” lalu mengapa ketika berbelanja Anda memilih barang dengan merek-merek terkenal yang harganya selangit? Padahal, banyak merek lain, produk dalam negeri, mutu yang sama dan tentunya dengan harga yang jauh lebih murah, tidak masuk dalam nominasi daftar belanja Anda?

Saudaraku, atau mungkinkah kepercayaan diri Anda terletak pada sepuntung rokok yang tidak lama lagi akan Anda injak dengan sepatu Anda?

Betapa sengsaranya diri Anda, bila Anda beranggapan bahwa harga diri dan kepercayaan Anda hanya tumbuh bila Anda melengkapi diri Anda dengan berbagai produk orang lain. Sehingga bila pada suatu saat Anda tidak dilengkapi dengan berbagai asesoris, Anda merasa kurang percaya diri atau bahkan rendah diri.

Bahkan, kalaupun Anda dilengkapi dengan berbagai asesoris mewah yang Anda miliki, maka Anda akan kembali merasakan rendah diri tatkala berhadapan dengan orang yang mengenakan asesoris lebih “wah” dibanding yang Anda kenakan.

Juga, sudah barang tentu, bila harga diri Anda terletak pada asesoris yang melekat pada diri Anda, maka tidak lama lagi harga diri Anda akan ketinggalan zaman alias “expire date”.

Wah, gimana tuh rasanya punya harga diri yang "expire date"?

Ketahuilah Saudaraku, sejatinya harga diri Anda terletak pada jiwa Anda. Harga diri Anda terpancar dari iman dan ketakwaan Anda kepada Allah. Bila Anda adalah orang yang berjiwa besar, benar memiliki harga diri, maka Anda tetap percaya diri, walau tidak dilengkapi oleh berbagai asesoris mewah dan bermerek. Harga diri Anda terletak pada iman dan kedekatan Anda kepada Allah Ta'ala.

"Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (Qs. Al-Hujurat: 13)

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalankan Haji Wada' bersama umat Islam, yang kala itu kira-kira berjumlah 100.000 jemaah haji, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan hal ini, dengan berkata,

"Wahai umat manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah Maha Esa, dan ayah kalian satu (yaitu Nabi Adam).  Ketahuilah, bahwa tidak ada kelebihan bagi orang Arab dibanding non-Arab, tidak pula bagi non-Arab atas orang Arab, tidak pula bagi yang berkulit putih kemerahan dibanding yang berkulit hitam, tidak pula sebaliknya bagi yang berkulit putih atas yang berkulit putih kemerahan kecuali dengan ketakwaan." (Hr. Ahmad)

Pada suatu hari, sahabat Umar bin al-Khaththab menangis karena menyaksikan punggung Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bergaris-garis setelah berbaring di atas tikar daun kurma. Ia berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Raja Persia dan Romawi bergelimang dalam kemewahan, sedangkan engkau adalah utusan Allah demikian ini halnya."

Mendengar ucapan sahabatnya ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

"Tidakkah engkau merasa puas bila mereka mendapatkan kenikmatan dunia, sedangkan engkau mendapatkan kenikmatan di akhirat?" (Muttafaqun 'alaihi)

Jawaban ini begitu membekas pada jiwa sahabat Umar bin al-Khaththab, sehingga beliau benar-benar menerapkannya dalam kehidupan. Sampai pun setelah beliau menjadi khalifah, dan berhasil menundukkan kerajaan Persia dan Romawi yang dahulu begitu ia kagumi kekayaannya.

Setelah umat Islam berhasil menguasai Baitul Maqdis, Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu datang ke sana guna menandatangani surat perjanjian dengan para pemuka penduduk setempat, sekaligus menerima kunci pintu Baitul Maqdis. Beliau datang dengan mengenakan sarung, sepatu kulit, dan imamah. Pada saat beliau hendak menyeberangi sebuah parit yang penuh dengan air mengalir, beliau turun dari unta, dan tanpa rasa sungkan sedikit pun beliau menuntun tunggangannya tersebut.

Melihat penampilan beliau yang demikian itu, sebagian pasukan muslimin yang ikut serta menjemput kehadiran beliau berkata, “Wahai Amirul Mukminin, engkau akan disambut oleh pasukan dan para pendeta Syam, sedang penampilanmu semacam ini?” Beliau menjawab, "Sesungguhnya hanya dengan Islamlah Allah memuliakan kita, karenanya kita tidak akan mencari kemuliaan dengan jalan selainnya." (Hr. Ibnu Abi Syaibah)

Pada riwayat al-Hakim, Umar bin Khaththab berkata,

"Sesungguhnya, kita dahulu adalah kaum paling hina, kemudian Allah memuliakan kita dengan agama Islam. Sehingga, jika kita berusaha mencari kemuliaan dengan selain agama Islam, pasti Allah akan menimpakan kehinaan kepada kita."


Demikianlah halnya, bila seseorang telah menemukan harga dirinya dalam jiwanya. Ia tidak merasa berkurang harga dirinya, karena kurangnya asesoris yang melekat pada dirinya, dan ia juga tidak bertambah percaya diri karena berbagai asesoris yang tersemat pada dirinya.

Pada peperang Qadisiyah, pasukan umat Islam yang berjumlah 30.000 personil, di bawah komando sahabat Sa'ad bin Abi Waqqas, menghadapi pasukan Persia yang berjumlah 200.000 personil. Sebelum peperangan dimulai, panglima perang Persia meminta agar umat Islam mengutus seorang juru runding guna berunding dengannya. Memenuhi permintaan ini, sahabat Sa'ad bin Abi Waqqas mengutus Rib'i bin 'Amir.

Setibanya Rib'i di pertendaan Panglima Persia yang bernama Rustum, ia mendapatkan tenda Rustum telah dihiasi dengan permadani berhiaskan emas, sutra, permata, intan berlian, dan hiasan indah lainnya. Rustum yang mengenakan mahkota dan berbagai asesoris mewah lainnya, telah duduk menunggunya di atas kursi yang terbuat dari emas.

Adapun Ribi'i datang dengan mengenakan pakaian yang kedodoran karena kebesaran, menenteng sebilah pedang, sebatang tombak, perisai, dan menunggangi kuda yang pendek. Ribi'i terus berjalan sambil menunggangi kudanya, hingga kudanya menginjak ujung permadani tenda Rustum.

Selanjutnya, ia turun dan menambatkan kudanya di beberapa bantal sandaran yang ada di tenda Rustum. Ia maju menghadap ke Rustum dengan tetap menenteng pedangnya, mengenakan baju dan topi besinya.

Menyaksikan ulah Ribi'i ini, sebagian pengawal Rustum menghardiknya dengan berkata, “Letakkan senjatamu!”

Tanpa gentar, Rabi'i menanggapi hardikan itu dengan berkata, “Bukan aku yang berinisiatif untuk datang ke tempat kalian, tetapi kalianlah yang mengundangku untuk datang. Bila kalian tidak suka dengan caraku ini, maka aku akan kembali.”

Mendengar perdebatan ini, Rustum berkata, “Biakan ia masuk.”

Tatkala Rib'i dizinkan masuk, tidak diduga, ia menghunjamkan tombaknya ke setiap bantal sandaran sutra yang ia lalui.

Setibanya di hadapan Rustum, ia bertanya kepada Ribi'i, “Apa tujuan kalian datang kemari?”

Ribi'i segera menjawab dengan tegas, “Kami datang untuk membebaskan umat manusia dari perbudakan kepada sesama manusia menuju perbibadatan kepada Allah, dari himpitan hidup dunia, kepada kelapangan hidup di akhirat, dari penindasan tokoh-tokoh agama, ke dalam naungan keadilan agama Islam. Allah mengutus kami untuk menyebarkan agama-Nya kepada seluruh umat manusia. Barangsiapa yang menerima seruan kami, maka kami menerima keputusannya itu dan kami pun segera kembali ke negeri kami. Adapun orang yang enggan menerima seruan kami, maka kami akan memeranginya, hingga kita berhasil menggapai janji Allah.”

Spontan, Rutum dan pasukannya kembali bertanya, “Apa janji Allah untuk kalian?”

Ribi'i menjawab, “Orang yang gugur dalam perjuangan ini mendapatkan surga dan kejayaan bagi yang selamat.” (Al-Bidayah wa an-Nihayah, oleh Ibnu Katsir: 7/46--47)

Demikianlah, bila harga diri seseorang tertanam kuat dalam jiwanya. Ia tidak menjadi gentar atau rendah diri walaupun penampilannya serba pas-pasan, sedangkan lawan bicaranya lengkap dengan berbagai asesoris yang menyilaukan mata.

Saudaraku, Anda bisa bayangkan, andai Anda dengan perlengkapan yang ditugasi untuk menemui panglima perang Persia dengan perlengkapan yang demikian itu, kira-kira bagaimana perasaan dan sikap Anda?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

"Bisa saja seseorang berpenampilan kumuh, selalu diusir orang karena dianggap remeh, namun bila ia bersumpah memohon kepada Allah, maka Allah pasti memenuhi permohonannya."  (Hr. Muslim)

Sebaliknya, walaupun berbagai asesoris yang berkilau, indah nan mahal harganya telah melekat pada diri Anda,tetapi Anda jauh dari Allah, bergelimang dalam kemaksiatan, maka kehinaan akan melekat selalu di kening Anda.

Al-Hasan al-Bashri berkata,

"Sesungguhnya, meskipun mereka (yaitu, para pelaku kemaksiatan dan dosa) menunggangi kuda yang gagah, dibuat melenggak-lenggok oleh keledai yang mereka tunggangi, tetapi kehinaan akibat amal kemaksiatan senantiasa melekat di hatinya. Allah tidak akan menimpakan sesuatu kepada orang yang bermaksiat kepanya-Nya kecuali kehinaan."

Haramkah Anda Berpakaian Bagus?

Saudaraku, mungkin Anda bertanya, “Bila demikian, apa itu artinya umat Islam harus berpenampilan kumuh, kusut, tidak rapi dan meninggalkan segala keindahan dunia?”

Tidak demikian, Saudaraku! Besarkan hati Anda, tidak perlu kawatir. Anda tetap dibenarkan untuk mencicipi berbagai keindahan dunia. Bahkan sebaliknya, berbanggalah menjadi umat islam, karena Allah Ta'ala menciptakan segala isi dunia tiada lain kecuali untuk kepentingan Anda.

"Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu."  (Qs. Al-Baqarah: 29)

Pada ayat lain, Allah berfirman,

"Katakanlah, ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah di keluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya, dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?’ Katakanlah, ‘Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.’ Demikianlah, Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui." (Qs. Al-A'raf: 32)

Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

"Tidak masuk surga orang yang di hatinya terdapat sebesar debu dari kesombongan." Spontan, salah seorang sahabat Nabi terkejut dan bertanya, "Sesungguhnya ada orang yang suka bila berpakaian bagus, dan mengenakan sendal yang bagus pula."  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi pertanyan ini dengan bersabda, "Sesungguhnya Allah Maha Indah, mencintai keindahan. Kesombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain." (Hr. Muslim)

Pendek kata, harga diri Anda hanya ada di dalam jiwa Anda. Bila Anda berjiwa besar karena dekat dengan Allah Yang Mahabesar dan Mahaagung, sumber segala kebesaran, maka tanpa asesoris yang macam-macam pun, Anda tetap percaya diri. Sebaliknya, bila jiwa Anda kerdil karena jauh dari Allah Yang Mahabesar dan Mahaagung, maka apa pun asesoris yang Anda sematkan pada diri Anda, tidak akan dapat mengangkat derajat Anda. Percayalah, Saudaraku!

Di antara aplikasi nyata keyakinan ini, Anda akan selalau membeli segala kebutuhan Anda tepat guna dengan harga yang tepat pula dan tidak pernah membeli produk hanya karena pertimbangan mereknya.

Sebagaimana Anda tidak menjadi latah dengan tren yang sedang berkembang di masyarakat. Anda tetap percaya diri walaupun asesoris yang Anda kenakan telah “expire date”, karena Anda percaya bahwa harga diri Anda terletak pada iman dan takwa Anda yang tidak pernah kadaluwarsa.

Akhirnya, saya mohon maaf  bila ada kata-kata saya yang kurang berkenan. Semoga Allah Ta'ala melimpahkan kemurahan-Nya kepada kita semua, sehingga kita menjadi hamba-Nya yang besar karena besarnya iman yang melekat di dada. Wallahu a'alam bish-shawab.

Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, Lc. M.A.
Bagikan

JODOH YANG TAK KUNJUNG TIBA

Jodoh......mestikah Dikejar?

Oh.. ibu, usiaku sudah lanjut, na­mun belum datang seorang pemuda pun memi­nangku... ? Apakah aku akan menjadi perawan seumur hidup?" Kira-kira begitulah keluhan seorang gadis Mekah yang berasal dari Bani Ma'zhum yang kaya raya. Mendengar rintihan sianak, ibunya yang teramat kasih dan sayangkan anaknya lantas kelam kabut ke sana ke mari untuk mencari jodoh buat sI puteri. Pelbagai ahli nujum dan dukun ditemuinya, ia tidak peduli berapa saja wang yang harus keluar dari saku, yang penting anaknya yang cuma seorang itu dapat bertemu jodoh.

Namun sayang usaha siibu tidak juga menam­pakkan buahnya. Buktinya, janji-janji sang dukun cuma bualan kosong belaka. Sekian lama mereka menunggu jejaka datang melamar, sedangkan yang ditunggu tidak pernah nam­pak batang hidungnya. Melihat keadaan ini tentu saja gadis Bani Ma'zhum yang bernama Rithah AI-Hamqa men­jadi semakin bermuram durja, tidak ada kerja lain yang diperbuatnya setiap hari kecuali mengadap di depan cermin untuk memandang diri sambil terus bertanya-tanya, “Mengapa sampai hari ini tidak kunjung datang juga seseorang yang akan mengahwiniku?”

Penantian jodoh yang ditunggu-tunggu Rithah ak­hirnya tamat tatkala ibu saudaranya yang berasal dari luar daerah berkunjung ke rumah mereka dengan membawa jejaka tampan. Akhirnya Rithah yang telah lanjut usia pun menikah dengan jejaka yang muda rupawan. Kenapa sipemuda itu ber­sedia menikahi gadis Bani Ma'zhum yang telah tua itu..? Oh… ternyata ada udang di sebalik batu. Rupa-rupanya jejaka rupawan yang miskin itu hanya menginginkan keka­yaan Rithah yang melimpah ruah. Sebaik sahaja sijejaka telah berha­sil menggunakan sebahagian harta Rithah ia pun pergi tanpa pe­san dan kesan... . Dan tinggallah kini Rithah seorang diri, menangisi pemergi­an suami yang tidak tentu ke mana perginya. Kesedihan dan kemurungan­nya dilepaskan Rithah dengan membeli be­ratus-ratus buku benang untuk di­pintal (ditenun), setelah jadi hasil tenunannya, wanita itu mencerai beraikan lagi men­jadi benang. Lalu ia tenun lagi dan ia cerai beraikan lagi. Be­gitulah seterusnya ia jalani sisa-sisa hidupnya. Sesuailah kata-kata jahiliyyah mengata­kan, Asmara boleh membuat orang jadi gila sasau." (tentu bagi orang-orang yang tidak memiliki iman)

AI-Qur'anul Karim meng­abadikan kisah gadis Bani Ma'­zhum ini dalam surat An-NahI ayat 29, “Dan janganlah kamu seperti perempuan yang meng­uraikan benangnya yang su­dah dipintal dengan kuat men­jadi bercerai-berai kembali... ” Yang dimaksud Al­Qur'an dengan 'wanita pengu­rai benang yang telah dipintal' tidak lain adalah Rithah Al­Hamqa. Dalam ayat tersebut Allah melarang kita berkelakuan seperti Rithah dalam menghadapi masalah jodoh. Namun demikian banyak ibrah yang dapat kita petik dari episod gadis kaya keturunan Bani Ma'zhum ter­sebut.

Kisah Rithah mengajar kita bahawa jodoh sebenarnya merupakan urusan Allah. Jodoh tidak dapat di­hindari manakala kita belum menginginkannya, dan sebaliknya ia juga tidak dapat dikejar ketika kita su­dah teramat sangat ingin men­dapatkannya. Bukankah Rasul pun telah bersabda: “Ketika di­tiupkan ruh pada anak manu­sia tatkala ia masih di dalam perut ibunya sudah ditetap­kan ajalnya, rezekinya, jodohnya dan celaka atau bahagianya di akhirat”. Kerana Allah telah menentukan jodoh kita maka tidak layak bagi kita untuk bimbang dan risau seperti Rithah. Kalau sudah sampai waktunya jodoh itu pasti akan datang sendiri.

Episod Rithah juga mengajar kita un­tuk melakukan ikhtiar (usaha) dalam mencapai cita-cita. Ka­lau ibu Rithah menda­tangi berbagai ahli nujum agar anaknya berhasil mendapat­kan jodoh, bagi kita tentunya mendatangi AI-Mujub (yang Maha Pengabul doa) agar tujuan kita tercapai. Allah sen­diri telah berfirman: "Dan apabila hambaKu bertanya tentang Aku, maka jawablah bahawa Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang-orang yang berdoa kepadaKu.. "(QS. 2:186) Dengan ayat tersebut Allah memberikan harapan yang sebesar-besarnya bahawa setiap doa yang disampaikan padaNya akan dikabulkan. Allah tidak mungkin mungkir janji, siapa yang paling tepat janjinya selain Allah? Dalam sebuah hadis riwayat Abu Da­wud, Tarmizi dan lbnu Majah, Rasul pun bersabda tentang masalah doa, "Sesungguhnya Allah malu terhadap seseorang yang menadahkan tangannya berdoa meminta kebaikan kepadaNya, kemudian menolaknya dalam keadaan hampa".

lbrah berikutnya yang dapat kita petik, ialah memu­puk sikap 'sabar' dalam meng­hadapi jodoh yang mungkin belum juga menghampiri kita padahal usia kita telah sema­kin senja. Firman Allah dalam Surah AI-Baqarah ayat 45, "Dan jadikanlah sabar dan solat sebagai penolongmu, sesungguhnya yang demikian itu amat berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu', iaitu orang-orang yang meyakini bahawa mereka akan menemui Rabbnya, dan mereka akan kembali padaNya".

Sabar dan solat akan selalu membentengi kita dari desakan orang sekeliling dan godaan syaitan yang berharap kita salah langkah dalam ma­salah jodoh ini. Masalah ini banyak ditanggung oleh saudara-saudara kita yang sudah layak nikah namun belum ada juga ikhwah yang datang meminang merupakan ujian yang - wallahu a'lam - sesuai dengan ketetapan Allah. Banyak kisah nyata bahawa resah gelisah dan tidak sabar dalam ma­salah jodoh malah mem­buat kehidupan selepas per­nikahan jadi tidak seindah semasa masih bujang.

Di samping itu kita pun harus tetap men­jaga kemur­nian niat kita untuk menikah. Motivasi usia yang semakin senja serta tidak tahan mendengar umpatan orang sekitar harus secepatnya dihilangkan. ltu semua tidak akan menghasilkan suatu rumahtangga Islami yang kita harapkan. Ini adalah kerana kekukuhan rumahtangga kita seiring de­ngan kuatnya landasan iman dan niat ikhlas kita. Sungguh beruntung se­kali menjadi orang-orang muk­min. Tatkala mendapat ujian (termasuk jodoh) ia akan ber­sabar maka sabarnya menjadi kebaikan baginya. Dan ketika mendapat nikmat ia bersyukur, maka kesyukurannya itu men­jadi baik pula baginya.

Kisah gadis Bani Ma'zhum itu juga memberikan nasihat pada manusia di zaman kemudiannya bahawa jodoh merupakan amanah Allah. Amanah yang hanya akan diberikan pada seseorang yang dianggap te­lah mampu memikulnya kerana amanah merupakan se­suatu yang harus dipelihara dengan baik dan dipertanggungjawabkan. Manakala kita belum dikurniai amanah jodoh oleh Allah, mungkin belum waktunya untuk kita memikul amanah tersebut. Si­kap kita yang paling baik da­lam hal ini adalah sentiasa bersangka baik (husnudzon) kepadaNya. Kerana sesuatu yang kita cintai atau sesuatu yang kita anggap baik (jodoh) belum tentu baik bagi kita menurut Allah. Begitu pula sebaliknya sesuatu yang kita anggap buruk bagi diri kita belum tentu buruk menurut ilmu Allah. "Boleh jadi kamu rnencintai sesuatu padahal se­suatu itu amat buruk bagimu, dan boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu. Kamu tidak menge­tahui sedangkan Allah Maha Mengetahui" (QS. 2:216)

Akhir sekali kisah Rithah mem­berikan ibrah kepada kita untuk mengarahkan cinta (mahabbah) tertinggi kita kepada yang memang berhak memilikinya. Cinta Rithah yang begitu tinggi diarahkan kepada makhluk (suaminya), hingga membuat ia 'gila sasau'. Bagi kita tentu cinta yang tertinggi itu hanya patut dipersembahkan buat yang Maha A’la pula (Khaliq). Bukankah salah satu ciri mukmin adalah asyaddu huballillah ada­pun orang-orang yang beriman itu amat sangat cintanya kepada Allah (asyaddu huballillah).. " (QS. 2:165). Jika arah cinta kita sudah benar, maka yakinlah Allah SWT tidak akan mengabaikan kehidupan kita.

Seorang penyair dari Seberang yang terkenal Khairil Anwar pernah menulis puisi:



Tuhanku
Dalam termangu, aku masih menyebut namaMu
Walau susah
sungguh
Mengingat kau penuh seluruh
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Di pintuMu aku me­ngetuk
Aku tidak bisa berpaling
(dari petikan puisi ‘DOA’ - Khairil Anwar)



Khairil Anwar sampai begitu sekali dalamnya mencintai Allah dalam sajak tersebut, mengapa kita tidak boleh?

Wallahua'lam bisshawab

Jaga Dermagamu, Dik!

“Semua wanita memiliki fitrah yang sama, ingin segera membina sebuah keluarga. Tapi jodoh itu kan Allah yang mengatur. Kau tidak sendiri, dik! Masih banyak saudari-saudarimu yang usianya jauh lebih tua darimu juga belum diperkenankan Allah untuk memikul amanah itu. Kau sendiri tahu kan berapa umur kakak ketika menikah...”


----------

Anchaznet.com - “Dik, jangan gegabah seperti itu, pikirkan dulu masak-masak dampaknya kelak. Sayang jika kau nodai apa yang sudah dengan susah payah kau bangun dan bina selama ini. Bersabarlah, saatnya pasti akan tiba. Saat yang telah diputuskan Allah sejak kau dalam rahim ibumu. Pada hari yang dijanjikan itu, pasti akan bersua jua dirimu dengannya.”

“Adik sudah cukup lelah bersabar, kak. Sampai kapan adik harus menunggu? Sementara detik demi detik terus berpacu, adik sudah tidak muda lagi sekarang”

“Semua wanita memiliki fitrah yang sama, ingin segera membina sebuah keluarga. Tapi jodoh itu kan Allah yang mengatur. Kau tidak sendiri, dik! Masih banyak saudari-saudarimu yang usianya jauh lebih tua darimu juga belum diperkenankan Allah untuk memikul amanah itu. Kau sendiri tahu kan berapa umur kakak ketika menikah...”

“Ya, kalau pada akhirnya happy ending seperti kakak...Kak, semua saudara seperjuangan juga sudah angkat tangan membantu mempertemukan adik dengan laki-laki pilihan itu, terus apa nggak boleh kalau kemudian adik berusaha sendiri?”

“Adikku sayang, bukan berarti kau tidak boleh mencari sendiri. Tapi kecenderungan rasa kita pada seseorang biasanya akan membutakan mata hati kita karena semua yang ada pada si dia akan terlihat begitu indah tanpa cela. Cukuplah kakak yang mengalaminya. Ingat, dik, sesal itu selalu datang diakhir cerita”

“Tapi laki-laki dari kantor pusat itu orang baik, kak! Dia rajin sholat, santun dan ikut pengajian rutin. Menurut teman-temanku sih begitu...”

“Teman-temanmu yang mana? Teman-teman kantor yang kau bilang biasa dugem di kafe-kafe sampai pagi? Sudah berapa kali kakak bilang jauhi mereka! Dan laki-laki itu, apakah bisa disebut laki-laki baik kalau dia tak pernah absen mengirim puisi-puisi sentimentil untukmu? Jangan-jangan dia juga biasa mengirim puisi-puisi itu ke perempuan-perempuan lain. Atau gara-gara dia selalu mengirim sms untuk mengingatkanmu sholat, lalu kau anggap dia itu laki-laki baik? Ironisnya, mengapa dia tidak mengirim sms yang sama kepada teman-temanmu yang lain supaya mereka juga ingat sholat...”

“Ah, pasti kakak mau bilang bahwa dia bukan laki-laki yang tepat untuk adik, kan? Kak, yang namanya laki-laki sholeh itu jauuuuh...jauh di ujung laut sana. Kalaupun dia mau berlabuh, pasti akan memilih dermaga yang bagus. Dermaga yang cantik, pintar, kaya, tinggi, putih bersih, dst...dst! Kalau seperti aku dengan tampang cuma nilai enam, IQ standar, pegawai biasa dan kulit sawo kematangan sih nggak bakal masuk hitungan. Waiting listnya kepanjangan, kak!”

“Ya, berusaha dong menjadi dermaga yang bagus. Dermaga yang bagus kan nggak selalu dengan kriteria seperti itu. Perbaiki dermagamu dengan mempercantik akhlak, memperbanyak ibadah, meningkatkan potensi diri, dengan izin Allah pasti akan ada yang berlabuh juga.”

“Kakak nggak ngerti sih. Siapa sih yang nggak mau berjodoh dengan laki-laki pilihan yang punya tujuan hidup sama dengan kita. Laki-laki sholeh, yang akan membimbing istri dan anak-anak ke surga...Kalaulah pada akhirnya adik berjodoh dengan laki-laki yang “biasa-biasa saja”, bukan sesuatu yang nggak mungkin kan kalau adik yang justru membimbing dia ke arah sana?”

“Dik, kakak sangat mengerti kegundahan hatimu, karena kakak pernah mengalami masa-masa usia krisis sepertimu. Dalam keputus-asaan, kakak mencoba mencari si dia dengan cara kakak sendiri, tabrak sana sini. Kakak pun dulu mempunyai prinsip yang sama denganmu, bertekat akan bimbing si dia menjadi laki-laki yang sholeh. Mencari-cari waktu agar sering bersama, mengenalkan si dia lebih jauh dengan Islam. Meski tak pernah dijamah, tapi itu namanya sudah berdua-duaan, berkhalwat! Toh, semua berakhir mengecewakan, si dia tak seperti yang kakak harapkan. Mudahnya berpaling ke perempuan lain, karena dengan kakak banyak yang tak bolehnya. Begitu seterusnya, beberapa bahkan ada yang sudah ikut pengajian rutin sebelum kenal dengan kakak. Mereka sempat membuat hari-hari kakak begitu berbunga-bunga, sekaligus menderita! Karena semua bunga itu semu, dan tak akan pernah menjadi buah. Kakak merasa lelah, capek! Ternyata apa yang kakak harapkan dengan melanggar takdir itu pun tak pernah membuah kan hasil. Kakak telah mencoreng muka sendiri, hina rasanya dimata Allah, dan malu dengan teman-teman seperjuangan. Tapi Allah Maha Pemurah dan Penyayang, Allah mengirimkan seorang laki-laki pilihanNya, seorang yang begitu baik untuk kakak. Ketahuilah dik, rasa bersalah itu tidak pernah hilang, meski si Abang ikhlas dan mau mengerti dengan “story” kakak sebelum menikah dengannya.”

“Lalu adik harus bagaimana mengisi hari-hari sendiri, kak? Hampa rasanya, ilmu-ilmu yang adik terima tentang membina rumah tangga sakinah, tentang mendidik dan membina anak, semua itu hanya tinggal sebuah teori indah dalam khayal. Mubazir, karena nggak jelas kapan akan dipraktekkan. Bagaimana jika sampai akhir hayat adik ditakdirkan tetap sendiri, karena laki-laki pilihan itu tak kunjung datang?”

“Adikku sayang, percayalah pada takdir Allah dan bersabarlah. Mungkin Allah belum mengabulkan doa-doamu karena belum kau panjatkan dengan segenap kepasrahan, belum kau lepas keangkuhanmu karena kau berusaha menerjang ketetapanNya yang berlaku bagimu. Mungkin juga kau belum tinggalkan segala hal yang mendekati kemaksiatan. Itulah yang menjauhkan terkabulnya doa-doa kita,dik. Ketahuilah jika Allah memang berkehendak, jodoh adik bisa datang tanpa disangka dan diduga. Akan tetapi jika kehendak Allah sebaliknya, Insya Allah, itulah hal terbaik yang ditetapkan Allah bagi dirimu. Mungkin, Allah berkehendak memperjodohkan adik dengan bidadarinya di surga kelak ”

***

“Saya terima nikahnya Muthmainnah binti Syaiful dengan mas kawin....”

“Alhamdulillah,ya Allah... Kak, hari yang dijanjikan itu akhirnya datang juga. Laki-laki pilihan itu kini mengikat janji untuk berlabuh di dermagaku...”

“Subhanallah! Biarkan bulir-bulir bahagia itu luruh di matamu,dik. Kakak bangga, kesabaran adik pada akhirnya berbuah kebahagiaan. Kesucian dermagamu telah kau jaga dengan baik, dan hanya kau peruntukkan bagi laki-laki sholeh yang mulai saat ini akan menemanimu menempuh bahtera kehidupan, dunia akhirat. Barokallah, semoga Allah memberkatimu dan memberikan berkah atas kamu serta menyatukan kalian berdua dalam kebaikan, adikku sayang...”

Melati Salsabila,
The Netherlands


Bagikan

Menebar Keangkuhan Menuai Kehinaan

Masih berkaca pada untaian nasihat Luqman Al-Hakim kepada anaknya. Menjelang akhir nasihatnya, Luqman melarang sang anak dari sikap takabur dan memerintahkannya untuk merendahkan diri (tawadhu’). Luqman berkata kepada anaknya:

"Dan janganlah engkau memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong), dan janganlah berjalan dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang angkuh dan menyombongkan diri." (Luqman: 18)

Demikian Luqman melarang untuk memalingkan wajah dan bermuka masam kepada orang lain karena sombong dan merasa dirinya besar, melarang dari berjalan dengan angkuh, sombong terhadap nikmat yang ada pada dirinya dan melupakan Dzat yang memberikan nikmat, serta kagum terhadap diri sendiri. Karena Allah tidak menyukai setiap orang yang menyombongkan diri dengan keadaannya dan bersikap angkuh dengan ucapannya. (Taisirul Karimir Rahman hal. 649)

Pada ayat yang lain Allah melarang pula:

"Dan janganlah berjalan di muka bumi dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mencapai setinggi gunung." (Al-Isra`: 37)

Demikianlah, seseorang dengan ketakaburannya tidak akan dapat mencapai semua itu. Bahkan ia akan menjadi seorang yang terhina di hadapan Allah dan direndahkan di hadapan manusia, dibenci, dan dimurkai. Dia telah menjalani akhlak yang paling buruk dan paling rendah tanpa menggapai apa yang diinginkannya. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 458)

Kehinaan. Inilah yang akan dituai oleh orang yang sombong. Dia tidak akan mendapatkan apa yang dia harapkan di dunia maupun di akhirat.

‘Amr bin Syu’aib meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya dari Rasulullah:

"Orang-orang yang sombong dikumpulkan pada hari kiamat seperti semut-semut kecil dalam bentuk manusia, diliputi oleh kehinaan dari segala arah, digiring ke penjara di Jahannam yang disebut Bulas, dilalap oleh api dan diberi minuman dari perasan penduduk neraka, thinatul khabal.1" (HR. At-Tirmidzi, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 434)

Bahkan seorang yang sombong terancam dengan kemurkaan Allah .Demikian yang kita dapati dari Rasulullah, sebagaimana yang disampaikan oleh seorang shahabat mulia, ‘Abdullah bin ‘Umar:

"Barangsiapa yang merasa sombong akan dirinya atau angkuh dalam berjalan, dia akan bertemu dengan Allah dalam keadaan Allah murka terhadapnya." (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Asy- Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 427)

Kesombongan (kibr) bukanlah pada orang yang senang dengan keindahan. Akan tetapi, kesombongan adalah menentang agama Allah dan merendahkan hamba-hamba Allah. Demikian yang dijelaskan oleh Rasulullah tatkala beliau ditanya oleh ‘Abdullah bin ‘Umar , "Apakah sombong itu bila seseorang memiliki hullah2 yang dikenakannya?" Beliau menjawab, "Tidak." "Apakah bila seseorang memiliki dua sandal yang bagus dengan tali sandalnya yang bagus?" "Tidak." "Apakah bila seseorang memiliki binatang tunggangan yang dikendarainya?" "Tidak." "Apakah bila seseorang memiliki teman-teman yang biasa duduk bersamanya?" "Tidak." "Wahai Rasulullah, lalu apakah kesombongan itu?" Kemudian beliau menjawab:

"Meremehkan kebenaran dan merendahkan manusia."
(HR. Ahmad, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 426)

Tak sedikit pun Rasulullah membuka peluang bagi seseorang untuk bersikap sombong. Bahkan beliau senantiasa memerintahkan untuk tawadhu’. ‘Iyadh bin Himar menyampaikan bahwa Rasulullah bersabda:

"Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap tawadhu’ hingga tidak seorang pun menyombongkan diri atas yang lain dan tak seorang pun berbuat melampaui batas terhadap yang lainnya." (HR. Muslim no. 2865)

Berlawanan dengan orang yang sombong, orang yang berhias dengan tawadhu’ akan menggapai kemuliaan dari sisi Allah, sebagaimana yang disampaikan oleh shahabat yang mulia, Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

"Dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu’ karena Allah, kecuali Allah akan mengangkatnya." (HR. Muslim no. 2588)

Tawadhu’ karena Allah ada dua makna. Pertama, merendahkan diri terhadap agama Allah, sehingga tidak tinggi hati dan sombong terhadap agama ini maupun untuk menunaikan hukum- hukumnya. Kedua, merendahkan diri terhadap hamba-hamba Allah karena Allah, bukan karena takut terhadap mereka, ataupun mengharap sesuatu yang ada pada mereka, namun semata-mata hanya karena Allah. Kedua makna ini benar.

Apabila seseorang merendahkan diri karena Allah, maka Allah akan mengangkatnya di dunia dan di akhirat. Hal ini merupakan sesuatu yang dapat disaksikan dalam kehidupan ini. Seseorang yang merendahkan diri akan menempati kedudukan yang tinggi di hadapan manusia, akan disebut-sebut kebaikannya, dan akan dicintai oleh manusia. (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/365)

Tak hanya sebatas perintah semata, kisah-kisah dalam kehidupan Rasulullah banyak melukiskan ketawadhu’an beliau. Beliau adalah seorang manusia yang paling mulia di hadapan Allah. Meski demikian, beliau menolak panggilan yang berlebihan bagi beliau. Begitulah yang dikisahkan oleh Anas bin Malik tatkala orang-orang berkata kepada Rasulullah, "Wahai orang yang terbaik di antara kami, anak orang yang terbaik di antara kami! Wahai junjungan kami, anak junjungan kami!" Beliau pun berkata:

"Wahai manusia, hati-hatilah dengan ucapan kalian, jangan sampai kalian dijerumuskan oleh syaitan. Sesungguhnya aku tidak ingin kalian mengangkatku di atas kedudukan yang diberikan oleh Allah ta’ala bagiku. Aku ini Muhammad bin ‘Abdillah, hamba-Nya dan utusan-Nya." (HR. An- Nasa`i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah, dikatakan dalam Ash-Shahihul Musnad fi Asy-Syamail Muhammadiyah no. 786: hadits shahih menurut syarat Muslim)

Anas bin Malik mengisahkan:

"Rasulullah biasa mengunjungi orang-orang Anshar, lalu mengucapkan salam pada anak-anak mereka, mengusap kepala mereka dan mendoakannya." (HR An. Nasa`i, dikatakan dalam Ash- Shahihul Musnad fi Asy-Syamail Muhammadiyah no. 796: hadits hasan)

Ketawadhu’an Rasulullah ini menjadi gambaran nyata yang diteladani oleh para shahabat. Anas bin Malik pernah melewati anak-anak, lalu beliau mengucapkan salam pada mereka. Beliau mengatakan:

"Nabi biasa melakukan hal itu." (HR. Al-Bukhari no. 6247 dan Muslim no. 2168)

Memberikan salam kepada anak-anak ini dilakukan oleh Rasulullah dan diikuti pula oleh para shahabat beliau. Hal ini merupakan sikap tawadhu’ dan akhlak yang baik, serta termasuk pendidikan dan pengajaran yang baik, serta bimbingan dan pengarahan kepada anak-anak, karena anak-anak apabila diberi salam, mereka akan terbiasa dengan hal ini dan menjadi sesuatu yang tertanam dalam jiwa mereka.(Syarh Riyadhish Shalihin, 1/366-367)

Pernah pula Abu Rifa’ah Tamim bin Usaid menuturkan sebuah peristiwa yang memberikan gambaran ketawadhu’an Rasulullah serta kasih sayang dan kecintaan beliau terhadap kaum muslimin:

"Aku pernah datang kepada Rasulullah ketika beliau berkhutbah. Lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, seorang yang asing datang padamu untuk bertanya tentang agamanya, dia tidak mengetahui tentang agamanya.’ Maka Rasulullah pun mendatangiku, kemudian diambilkan sebuah kursi lalu beliau duduk di atasnya. Mulailah beliau mengajarkan padaku apa yang diajarkan oleh Allah. Kemudian beliau kembali melanjutkan khutbahnya hingga selesai." (HR. Muslim no. 876)

Begitu banyak anjuran maupun kisah kehidupan Rasulullah yang melukiskan ketawadhu’an beliau. Demikian pula dari para shahabat. Tinggallah kembali pada diri ayah dan ibu. Jalan manakah kiranya yang hendak mereka pilihkan bagi buah hatinya? Mengajarkan kerendahan hati hingga mendapati kebahagiaan di dua negeri, ataukah menanamkan benih kesombongan hingga menuai kehinaan di dunia dan akhirat?

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

1 Thinatul khabal adalah keringat atau perasan dari penduduk neraka.

2 Hullah adalah pakaian yang terdiri dari dua potong baju.

(Dikutip dari http://www.asysyariah.com, Penulis : Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran, Judul: Menebar Keangkuhan Menuai Kehinaan)



Bagikan

Apa Salahnya Menangis?

Milist Sabili ..


Sebagian orang menganggap menangis itu adalah hal yang hina, ia merupakan tanda lemahnya seseorang. Bangsa Yahudi selalu mengecam cengeng ketika anaknya menangis dan dikatakan tidak akan mampu melawan musuh-musuhnya. Para orang tua di Jepang akan memarahi anaknya jika mereka menangis karena dianggap tidak tegar menghadapi hidup. Menangis adalah hal yang hanya dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai prinsip hidup.

Bagi seorang muslim yang mukmin, menangis merupakan buah kelembutan hati dan pertanda kepekaan jiwanya terhadap berbagai peristiwa yang menimpa dirinya maupun umatnya. Rasulullah Saw meneteskan air matanya ketika ditinggal mati oleh anaknya, Ibrahim. Abu Bakar Ashshiddiq ra digelari oleh anaknya Aisyah ra sebagai Rojulun Bakiy (Orang yang selalu menangis). Beliau senantiasa menangis, dadanya bergolak manakala sholat dibelakang Rasulullah Saw karena mendengar ayat-ayat Allah. Abdullah bin Umar suatu ketika melewati sebuah rumah yang di dalamnya ada sesorang sedang membaca Al Qur'an, ketika sampai pada ayat: "Hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam" (QS. Al Muthaffifin: 6). Pada saat itu juga beliau diam berdiri tegak dan merasakan betapa dirinya seakan-akan sedang menghadap Robbnya, kemudian beliau menangis. Lihatlah betapa Rasulullah Saw dan para sahabatnya benar-benar memahami dan merasakan getaran-getaran keimanan dalam jiwa mereka. Lembutnya hati mengantarkan mereka kepada derajat hamba Allah yang peka.

Bukankah diantara tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan pada hari dimana tiada naungan kecuali naungan Allah adalah orang yang berdoa kepada Robbnya dalam kesendirian kemudian dia meneteskan air mata? Tentunya begitu sulit meneteskan air mata saat berdo'a sendirian jika hati seseorang tidak lembut. Yang biasa dilakukan manusia dalam kesendiriannya justru maksiat. Bahkan tidak sedikit manusia yang bermaksiat saat sendiri di dalam kamarnya seorang mukmin sejati akan menangis dalam kesendirian dikala berdo'a kepada Tuhannya. Sadar betapa berat tugas hidup yang harus diembannya di dunia ini.

Di zaman ketika manusia lalai dalam gemerlap dunia, seorang mukmin akan senantiasa menjaga diri dan hatinya. Menjaga lembutan dan kepekaan jiwanya. Dia akan mudah meneteskan air mata demi melihat kehancuran umatnya. Kesedihannya begitu mendalam dan perhatiannya terhadap umat menjadikannya orang yang tanggap terhadap permasalahan umat. Kita tidak akan melihat seorang mukmin bersenang-senang dan bersuka ria ketika tetangganya mengalami kesedihan, ditimpa berbagai ujian, cobaan, dan fitnah. Mukmin yang sesungguhnya akan dengan sigap membantu meringankan segala beban saudaranya. Ketika seorang mukmin tidak mampu menolong dengan tenaga ataupun harta, dia akan berdoa memohon kepada Tuhan semesta alam.

Menangis merupakan sebuah bentuk pengakuan terhadap kebenaran. "Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Qur'an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri) seraya berkata: "Ya Robb kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Qur'an dan kenabian Muhammad)". (QS. Al Maidah: 83).

Ja'far bin Abdul Mutholib membacakan surat Maryam ayat ke-16 hingga 22 kepada seorang raja Nasrani yang bijak. Demi mendengar ayat-ayat Allah dibacakan, bercucuranlah air mata raja Habsyah itu. Ia mengakui benarnya kisah Maryam dalam ayat tersebut, ia telah mengenal kebenaran itu dan hatinya yang lembut menyebabkan matanya sembab kemudian menangis. Raja yang rindu akan kebenaran benar-benar merasakannya.

Orang yang keras hatinya, akan sulit menangis saat dibacakan ayat-ayat Allah. Bahkan ketika datang teguran dari Allah sekalipun ia justru akan tertawa atau malah berpaling dari kebenaran. Sehebat apapun bentuk penghormatan seorang tokoh munafik Abdullah bin Ubay bin Salul kepada Rasulullah Saw, sedikit pun tidak berpengaruh pada hatinya. Ia tidak peduli ketika Allah Swt mengecam keadaan mereka di akhirat nanti, "Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan neraka yang paling bawah. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapatkan seorang penolongpun bagi mereka". (QS. An Nisa': 145)

Barangkali di antara kita yang belum pernah menangis, maka menangislah disaat membaca Al Qur'an, menangislah ketika berdo'a di sepertiga malam terakhir, menangislah karena melihat kondisi umat yang terpuruk, atau tangisilah dirimu karena tidak bisa menangis ketika mendengar ayat-ayat Allah. Semoga hal demikian dapat melembutkan hati dan menjadi penyejuk serta penyubur iman dalam dada. Ingatlah hari ketika manusia banyak menangis dan sedikit tertawa karena dosa-dosa yang diperbuatnya selama di dunia. "Maka mereka sedikit tertawa dan banyak menangis, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan". (QS At Taubah: 82). 



Bagikan

Membersihkan hati dari ghibah

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujuraat:12)

 

Allah berfirman, “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.” Ayat ini mengandung larangan berbuat ghibah. Dan telah ditafsirkan pula pengertiannya oleh Rasulullah SAW sebagaimana yang terdapat di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa Abu Hurairah r.a. berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan ghibah itu?” Rasulullah menjawab, “Kamu menceritakan perihal saudaramu yang tidak disukainya.” Ditanyakan lagi, “Bagaimanakah bila keadaan saudaraku itu sesuai dengan yang aku katakan?” Rasulullah SAW menjawab, “Bila keadaan saudaramu itu sesuai dengan yang kamu katakan, maka itulah ghibah terhadapnya. Bila tidak terdapat apa yang kamu katakan maka kamu telah berdusta.”

Ghibah adalah haram berdasarkan ijma’. Tidak ada pengecualian mengenai perbuatan ini kecuali bila terdapat kemaslahatan yang lebih kuat, seperti penetapan kecacatan oleh perawi hadits, penilaian keadilan, dan pemberian nasihat. Sedangkan selain itu tetap dalam pengharaman yang sangat keras dan larangan yang sangat kuat. Itulah sebabnya Allah SWT menyerupakan perbuatan ghibah dengan memakan daging manusia yang sudah menjadi bangkai.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Setiap harta, kehormatan, dan darah seorang muslim adalah haram atas muslim lainnya. Cukup buruklah seseorang yang merendahkan saudaranya sesama muslim.”
Diriwayatkan pula oleh Imam Abu Dawud dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah bersabda, “Ketika aku diangkat ke langit, aku melewati suatu kaum yang berkuku tembaga yang mencakar wajah dan dada mereka.” Aku bertanya, ‘Siapakah mereka itu, hai Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Mereka itulah orang yang selalu memakan daging-daging orang lain dan tenggelam dalam menodai kehormatan mereka.’” Hadits tersebut diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad.

Telah diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim bahwa Sa’id al-Khudri berkata, “Kami bertanya, ‘Ya Rasulullah, ceritakanlah kepada kami apa saja yang telah engkau lihat pada malam engkau diperjalankan Allah.’ Rasulullah SAW menjawab, ‘…Kemudian Jibril membawaku pergi menuju sekelompok makhluk Allah yang sangat banyak, terdiri atas laki-laki dan wanita. Ada sejumlah orang yang menunggui mereka dan bersandar pada lambung salah seorang di antara mereka. Kemudian orang itu memotong lambung mereka sekerat sebesar sandal, lalu meletakkannya di mulut salah seorang di antara mereka. Kemudian dikatakan kepadanya, ‘Makanlah sebagaimana dulu kamu telah memakannya.’ Dan dia tahu daging yang harus dimakannya itu berupa bangkai. Hai Muhammad, kalau dia mengetahuinya sebagai bangkai, tentu dia sendiri sangat membencinya.’ Sedangkan, dia dipaksa untuk memakan dagingnya itu.”

Astaghfirullah. Tiada tujuan dari pengutipan Tafsir Ibnu Katsir di atas melainkan sebagai bagian dari upaya saya untuk memperbaiki diri pribadi dan semangat untuk beramar ma’ruf nahi munkar.

Ghibah (menggunjing) adalah membicarakan orang lain tentang kekurangan-kekurangan yang ada pada badan, nasab, tabiat, ucapan, maupun agama hingga pada pakaian, rumah, atau harta miliknya yang lain, yang apabila orang tersebut mendengarnya maka ia tidak senang (tidak ridho).

Dalam sekelompok orang yang sedang dalam perbincangan, kita sering menemui pembicaraan yang mengarah kepada kejelekan seseorang, entah yang memulai pembicaraan itu kita atau orang lain yang ada dalam sekelompok itu. Yang jelas apabila kita ikut larut dalam memperbincangkan kejelekan orang tersebut maka kita telah berbuat ghibah yang dalam Al-Qur’an dan hadits diterangkan perbuatan itu adalah terlarang (haram). Maka bagaimana sebaiknya kita menyikapi kasus yang demikian? Insya Allah berikut ini adalah poin-poin yang dapat menjauhkan kita dari ghibah:
1. Pertama mengidentifikasi apakah apa yang dibicarakan itu termasuk ghibah atau bukan. Caranya mudah, yaitu seandainya orang yang kita bicarakan kekurangannya itu mendengar apa yang kita bicarakan, jika dia merasa tidak senang maka kita telah berbuat ghibah.
2. Setelah mengetahui haramnya ghibah maka berusahalah semaksimal mungkin untuk menjauhinya yaitu dengan menyeleksi apa yang akan kita katakan, atau menelaah ulang apa yang telah kita katakan. Apabila kita ketahui apa yang akan kita katakan itu tergolong ghibah, maka tahanlah untuk mengatakannya. Atau apabila kita kemudian menyadari apa yang telah kita katakan itu adalah ghibah, maka sesegera mungkin bertobat (astaghfirullah) dan bertekad lagi untuk lebih hati-hati dalam berbicara.
3. Telaah, renungkan, dan yakinkan diri sendiri bahwa dengan membicarakan kejelekan orang lain maka tidak akan menambah derajat kita dan tidak akan menurunkan derajat orang yang kita bicarakan kejelekannya. Justru orang yang suka berbuat ghibah akan mudah untuk tidak dipercaya orang lain, dan hatinya pun tidak akan tenteram.
4. Sadarilah bahwa seseorang yang kita bicarakan kejelekannya itu adalah saudara kita sendiri, bukan musuh yang harus dihujat. Sekiranya seseorang tersebut melakukan perbuatan tercela atau yang kurang berakhlak maka sesungguhnya dia belum mengetahui tentang ilmu, maka kita seyogyanya ikut menunjukinya kepada jalan yang lurus bukannya malah meng-ghibahnya.
5. Jika kita diajak membicarakan kejelekan orang lain oleh seseorang maka berusahalah untuk menghentikannya secara bertahap dengan ma’ruf tanpa menyinggung perasaannya. Pertama ingatkanlah secara lisan bahwa kita dilarang berbuat ghibah. Jika belum berhenti, maka kita bisa menanggapi seperlunya kemudian berusaha mengalihkan kepada pembicaraan yang lebih baik. Jika sekiranya kedua upaya itu belum menghentikannya berbuat ghibah maka diamlah kemudian berdoa supaya kita dan orang tersebut sama-sama dijauhkan dari perbuatan ghibah.

Saya dan juga mungkin yang lain hampir pasti pernah atau sedang terhinggapi salah satu penyakit hati ini (ghibah), lalu bagaimana kita bisa membersihkan diri atas dosa yang telah diperbuat?

Jumhur (sebagian besar) ulama mengatakan, “Cara yang mesti ditempuh oleh orang yang bertobat karena menceritakan saudaranya ialah hendaknya dia menghentikan perbuatan itu dan bertekad tidak akan mengulanginya.” Dan apakah menjadi syarat pula menyesali perbuatan yang telah lalu itu dan meminta maaf kepada orang yang telah digunjingkannya itu? Maka di antara ulama ada yang berpendapat demikian. Adapun yang lainnya mengatakan, “Tidak menjadi syarat baginya meminta maaf kepada orang itu. Karena bila dia memberitahukan kepada orang itu tentang gunjingannya, barangkali ia akan merasa lebih sakit daripada dia tidak mengetahui apa yang telah dipergunjingkan orang terhadap dirinya itu. Sehingga akan lebih baik apabila umpatan diganti dengan pujian.” Sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Mu’adz bin Anas al-Juhani r.a. bahwa Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang membela seorang mukmin dari seorang dari seorang munafiq yang menggunjingkan dirinya, maka Allah akan menurunkan kepadanya satu malaikat yang akan memelihara dagingnya di hari kiamat nanti dari jilatan api neraka. Dan barangsiapa yang melemparkan kepada seorang mukmin sesuatu yang dimaksudkan untuk mencelanya, maka Allah akan menahannya di jembatan Jahannam sehingga dia menarik kembali apa yang telah diucapkannya itu.” Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Abu Dawud.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.
Semoga Allah selalu membimbing kita untuk selalu meluruskan niat, membersihkan hati dan memperbaiki diri hingga di penghujung usia, amin.



Bagikan

Hikmah buah prasangka

Berikut adalah sebuah kisah ilustrasi yang diambil dari website pesantren online: Alkisah seekor anjing yang sangat setia kepada tuannya.

----------

Berikut adalah sebuah kisah ilustrasi yang diambil dari website pesantren online:
Alkisah seekor anjing yang sangat setia kepada tuannya.
Kemanapun tuannya pergi ia selalu mengikutinya untuk melindungi sang tuan. Ia sangat patuh dan selalu menuruti perintah tuannya. Anjing ini memang jenis anjing yang langka. Ia juga bisa berkomunikasi dengan manusia segala umur. Kebetulan sang tuan mempunyai anak kecil yang mulai bisa bermain. Anjing itu kadang ikut bermain dengannya. Jadilah anjing itu sangat disayang tuannya sebagaimana sang anak.
Suatu ketika sang tuan pergi untuk berbelanja besar ke pasar yang biasa ia lakukan setiap akhir pekan. Kali ini ia tidak mengajak anjing kesayangannya. Sebab, ketika itu anaknya sedang pulas tidur di kamarnya. Dan ia tugaskan anjingnya untuk menjaga sang anak. Anjing itu menuruti apa kata tuannya walaupun raut mukanya menyiratkan sedikit kekecewaan karena tidak bisa pergi bersama tuannya. Ia kemudian naik ke tempat tidur di mana anak tuannya sedang pulas mendengkur. Ia juga ikut tidur bersamanya untuk menemani dan menjaganya.
Mulailah sang tuan pergi menuju pasar. Sesampainya di sana, ia beli barang-barang yang sudah ia rencanakan sebelumnya. Tak lupa pula beberapa mainan kesayangan anaknya ia beli semua. Terakhir untuk sang anjing, ia belikan tulang-tulang dan daging kesukannya. Kemudian ia pulang dengan ceria karena ia telah dapat membeli semua barang sesuai rencana.
Sesampainya di rumah, ia langsung disambut oleh anjing kesayangannya dengan penuh suka dan gembira. Tapi sang tuan justru menampakkan ketidaksukaannya --sikap yang tidak pernah ia tunjukkan selama ini. Ia heran melihat mulut anjingnya yang belepotan darah pertanda baru saja ia habis makan besar. Ia mengira bahwa anjingnya telah memangsa sang anak yang ditinggalkannya. Perasaan marah dan sedih berbaur jadi satu. Dengan pikiran kalut ia amat menyesalkan dirinya sendiri mengapa ia tidak mengajak anjing pergi bersamanya atau pergi bersama anaknya atau...
Dengan penuh marah dan geram, langsung saja ia ambil sebilah golok panjang dan tanpa pikir lagi ia ayunkan golok itu ke leher anjing yang selama ini selalu menemaninya. Tak ada perlawanan sedikitpun dari sang anjing yang sedang gembira menyambut tuannya datang. Darah muncrat membanjiri halaman rumah. Tubuh anjing itu langsung tergelepar, tergolek,.. dan akhirnya tak bergerak lagi, mati. Ia merasa puas telah membinasakan anjing yang telah merenggut nyawa anaknya. Tapi perasaan sedih tetap saja tidak bisa ia pendam. Dengan air mata yang menggenang di pelopak matanya, ia pergi menuju kamar tempat tidur sang anak. Ia ingin melihat sisa-sisa mayat dan tulang belulang anaknya.
Dibukalah pintu kamar dan langsung ia lemparkan pandangannya ke atas ranjang. Namun, dengan mata melotot dan terbelalak-heran ia temukan seekor ular besar tercabik-cabik di atas ranjang bekas tempat tidur anaknya semula. Kemudian ia cepat bergegas menuju taman di belakang rumah tempat anak dan anjingnya biasa bermain. Ia lihat di sana sang anak tertawa riang bermain di taman itu.
Sekarang, barulah ia menyadari semuanya bahwa ia salah sangka terhadap anjingnya yang selalu setia kepadanya. Sesungguhnya anjing itu sangat gembira ketika menyambut kedatangannya untuk menunjukkan keberhasilannya menjaga anaknya dari gangguan ular berbisa. "Anjing itu ternyata tetap setia dan prasangka itu telah membuatku lupa semuanya.." sesalnya. (pesantrenonline.com)
Kisah di atas tentulah sebuah fiksi, akan tetapi cukup memberikan pelajaran yang berharga buat kita. Prasangka buruk (negative thinking) akan membuahkan keburukan juga, ya kalau persangkaan buruk itu memang benar, tetapi jika persangkaan buruk itu tidak benar maka itu akan membuat renggangnya tali persaudaraan di tengah-tengah komunitas (masyarakat). Tentang apa yang ada pada diri orang lain sebaiknya selalu berpikiran positif atau selalu berprasangka baik, kita sedikit tahu apa yang terjadi pada orang lain, kita juga tidak bisa menilai hati atau pikiran seseorang. Jadi sebenarnya tidak berhak untuk menilai buruk seseorang karena bisa jadi persangkaan kita itu salah besar. Dalam hal kebaikan pun seseorang bisa disangka buruk oleh orang lain. Sehingga apabila kita jumpai persoalan seseorang yang membuat kita ragu, bertanya-tanya, atau tidak berkenan di hati maka positive thingking adalah hal yang dapat menyelamatkan kita dan juga orang tersebut.
Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujuraat:12)
Diriwayatkan kepada kami dari Amirul Mukminin Umar bin Khattab bahwa beliau mengatakan, “Berprasangka baiklah terhadap tuturan yang keluar dari mulut saudaramu yang beriman, sedang kamu sendiri mendapati adanya kemungkinan tuturan itu mengandung kebaikan.”
Imam Malik meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Jauhilah berprasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta. Janganlah kamu meneliti rahasia orang lain, mencuri dengar, bersaing yang tidak baik, saling mendengki, saling membenci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian ini sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)
Apa yang keluar dari mulut dan apa yang terlintas di benak sebaiknya kita telaah ulang, apakah sudah bersih dari persangkaan buruk? Kadang kita memang tidak sadar karena sudah menjadi kebiasaan.
Semoga Allah selalu melindungi kita dalam naungan hidayah-Nya…
Semoga Allah selalu membimbing kita untuk selalu memperbaiki diri hingga di akhir hayat… Amin…




Bagikan

Bersegeralah, Jangan Menunda!

Jangan sekali-kali mengulur-ulur waktu, karena ia merupakan tentara iblis yang paling besar
 Anchaznet.com—Sudah menjadi rahasia umum dalam masalah waktu, masyarakat kita dikenal suka  menggunakan sistem “jam karet”. Layaknya sebuah karet, ia akan bisa kita ulur sekehendak kita. Begitu pula halnya dengan jam karet, tidak ada prinsip tepat waktu di dalam penerapannya. Ia selalu molor, molor, dan molor. Sebagai contoh, ketika kita hendak mengadakan rapat ataupun kegiatan sejenisnya yang berkaitan dengan ketepatan waktu, maka setiap kali itu pula pemunduran jadwal dari waktu yang telah disepakati, senantiasa terjadi.

Sepakat kumpul jam tujuh, tibanya jam setengah delapan. Berjanji untuk datang jam sepuluh, munculnya malah jam sebelas, begitu seterusnya, dan begitu seterusnya. Dan 'tradisi' ini terjadi, bermuara pada karakter masyarakat  yang 'doyan' menunda-nunda pekerjaan/waktu.

Ironinya, kasus tersebut (menunda-nunda) tidak hanya melanda golongan bawah (masyarakat biasa) negeri ini, namun, mereka yang ‘duduk’ di kursi pemerintahan (yang seharusnya menjadi tauladan) pun melakukan hal serupa. Perilaku yang kurang terpuji ini, tentu sangat memprihatinkan, sebab sebagai negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seharusnya kita harus lebih cermat dalam memanfaatkan waktu. Kenapa? Karena dalam ajaran Islam, tidak mengenal konsep menunda-nunda. Laa tuakhir ‘amalaka ilal ghaadi maa taqdiru an-ta’malal yaum (janganlah kamu menunda-nunda pekerjaanmu besok hari, apa yang bisa kamu lakukan sekarang).

Mengapa menunda?


Menunda biasa kita artikan dengan menangguhkan suatu urusan untuk sementara waktu, dengan jaminan akan mengerjakanya di waktu yang lain. Pada dasarnya, menunda itu tidaklah jadi masalah, dengan catatan, berhenti kita dari aktivitas tersebut, karena dituntut untuk menunaikan kewajiban yang lain, yang lebih penting atau memang kondisi yang darurat.

Dalam bukunya, Fiqh Al-Awwaliyah, Dr Yusuf Qaradhawi menerangkan, , selayaknyalah kaum muslimin untuk lebih memilih suatu pekerjaan yang dianggap paling prioritas, dari pada yang kurang prioritas.

Yang menjadi masalah –dan ini yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat kita saat ini-- seringkali mereka menunda-nunda pekerjaan dengan alasan yang kurang dibenarkan, atau lebih tepatnya, karena merasa masih punya waktu luang, bad mood, atau sejenisnya. Penundaan macam ini yang --biasanya- justru akan membuat pekerjaan kita terbengkalai, karena untuk kembali melanjutkan aktivitas yang sudah kita tangguhkan, sukarnya  luar biasa. Hal ini tidak lepas dari gangguan setan, yang notabene adalah musuh kita yang nyata.

Sebagai contoh, ketika kita hendak belajar, membaca, ataupun menelaah bidang ilmu, kita sering berleha-leha dengan alasan masih banyak waktu, "besokkan masih bisa dilanjutin." Bisikan-bisakan demikian, sejatinya berasal dari bisikan setan dan hawa nafsu yang tidak pernah rela apabila kita melakukan kebajikan.

Tidak hanya satu, dua kali setan dan hawa nafsu mendorong kita untuk menunda pekerjaan, namun, mereka akan terus-menerus memperdayai kita, hingga kita takluk dengan bujuk rayuan mereka. Dan ketika mereka (setan dan hawa nafsu) berhasil membelokkan kita, maka, kemudian hari, kita pun akan menuai buahnya, yaitu berlalunya waktu dengan kesia-siaan. Masa muda yang penuh semangat, berlalu begitu saja hingga tiba masa tua renta. Masa kaya sirna tanpa makna berganti dengan masa sengsara. Waktu luang terbuang, berganti dengan masa sibuk. Masa sehat kita lalui tanpa sesuatu yang bermanfaat, hingga tiba masa sakit. Semua waktu berlalu, tanpa memiliki makna.

Dan yang perlu diperhatikan, setiap hitungan detik itu senantiasa terkandung akan dua hal, yaitu; hak dan kewajiban yang harus ditunaikan.

Pengabaian terhadap hak dan kewajiban tersebut akan membawa kemudharatan yang berlipat-lipat bagi pelaku. Seorang ahli hikmah berkata bahwa kewajiban pada tiap-tiap waktu memungkinkan untuk diganti, namun hak-hak dari tiap waktu tersebut tidak mungkin diganti.

Ibnu 'Atha mengungkapkan, "Sesungguhnya pada setiap waktu yang datang, maka bagi Allah atas dirimu kewajiban yang baru. Bagaimana kamu akan mengerjakan kewajiban yang lain, padahal ada hak Allah di dalamnya yang belum kamu laksanakan!"

Hasan Al Banna mengatakan bahwa, ”Alwaajibatu Aktsaru minal Auqoot.” Kewajiban yang dibebankan kepada kita itu lebih banyak daripada waktu yang kita miliki, pada saat kita menunda dari menyelesaikan suatu perkara. Hakikatnya kita sedang menumpuk-numpuk kewajiban, semakin kita sering menunda maka semakin banyak tumpukkan pekerjaan yang harus kita selesaikan, sehingga apabila kita menunda berarti kita hidup dalam tumpukan-tumpukan kewajiban untuk diselesaikan dalam waktu yang lebih sedikit.

Di saat kita bekerja dengan sekian banyak kewajiban dengan waktu yang sedikit, jangan harap kita dapat bekerja dengan profesional dan menyenangkan. Yang ada, justru hidup tidak tenang, selalu dihantui sekian banyak tugas dan kewajiban yang harus dikerjakan. Dan tidak menutup kemungkinan, ada beberapa kewajiban yang tidak bisa kita tunaikan karena keterbatasan waktu, tenaga, dan pikiran yang pada akhirnya akan mendapatkan kegagalan demi kegagalan yang diakibatkan oleh kebiasaan menunda tersebut

Selain itu, rasa takut juga –terkadang- menjadi alasan orang menunda-nunda pekerjaan. Padahal untuk mengatasinya,  tersedia tiga pilihan bagi kita, yaitu; menghindarinya, mengharapkan ia cepat berlalu, atau menghadapinya untuk dilaksanakan.

Menghindar, jelas bukan solusi karena menghindar dari kewajiban adalah sama dengan lari dari kenyataan. Sedangkan lari dari kenyataan, berarti kekufuran atas ketetapan Allah SWT. Begitu juga dengan angan-angan kosong,  agar ia (permasalahan) cepat berlalu tanpa menimpa kita, jelas ini adalah perbuatan tercela. Pilihan yang benar adalah hadapi permasalahan tersebut, dan selesaikan.

Segera, segera, segera!

Para ulama salaf kita telah menuliskan resep yang ampuh untuk mengobati penyakit kronis ini, yaitu dengan  mendidik diri agar segera melakukan dan bersegera menuntaskan.

Allah Ta’ala berfirman, “Bersegeralah kalian menuju ampunan Tuhan kalian dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali Imran [3]: 133).

Rasulullah juga bersabda berkaitan dengan pentingnya mempersegerakan suatu urusan. Sabdanya, “Bersegeralah melakukan perbuatan baik, karena akan terjadi fitnah laksana sepotong malam yang gelap.” (HR. Muslim). Dalam hadits lain, beliau juga menerangkan, “Jadilah engkau di dunia laksana orang asing atau orang yang menyeberangi jalan.” Ibnu umar berkata. “Bila engkau berada di sore hari, maka jangan menunggu datangnya pagi, dan bila engkau di pagi hari, maka janganlah menunggu datangnya sore.” Manfaatkan waktu sehatmu sebelum sakitmu, dan waktu hidupmu sebelum matimu.

Hasan Al-Bashri berwasiat, “Jangan sekali-kali menunda-nunda karena Anda adalah hari ini bukan besok.” Beliau juga berkata ,”Apabila Anda memiliki esok hari, maka penuhilah dengan ketaatan, sebagaimana hari ini yang Anda penuhi dengan ketaatan  bila Anda tidak lagi hidup di esok hari, maka Anda tidak akan menyesal atas apa yang Anda lakukan hari ini.”

Ibnu Al jauzi mewanti-wanti kita agar tidak mengulur-ulur waktu. Beliau pernah mengatakan, “Jangan sekali-kali mengulur-ulur waktu, karena ia merupakan tentara iblis yang paling besar.” Penundaan merupakan bekal orang yang bodoh dan lalai. Itulah sebabnya orang yang saleh berwasiat, “Jauhilah ‘saufa (nanti)’, penundaan juga kemalasan, merupakan penyebab kerugian dan penyesalan.”

Di penghujung tulisan ini, bisa kita simpulkan, kebiasaan menunda-nunda pekerjaan, merupakan perilaku buruk, yang bisa menjadi penghalang kesuksesan kita di kemudian hari. Sejarah telah berkata, tidak sedikit bani Adam mati dengan meninggalkan segudang cita-cita yang gagal direalisasikannya, dan itu dimodusi, seringkalinya ia mengucapkan kata ‘nanti’ setiap kali melakukan aktivitas.  Karena itu, kita berdo’a mudah-mudahan kita tidak termasuk dalam golongan tersebut. Wallahu ‘alam bis-shawab


Bagikan

Hidup Mulia dengan "Cinta"

Cinta adalah kekuatan
Yang Mampu Mengubah Duri Menjadi Mawar
Mengubah Cuka Menjadi Anggur
Mengubah Malang Menjadi Beruntung
Mengubah Sedih Menjadi Riang
.............................................
Mengubah Iblis Menjadi Malaikat
Mengubah Sakit Menjadi Sehat
Mengubah Kikir Menjadi Dermawan
Mengubah Kandang Menjadi Taman
Mengubah Penjara Jadi Istana
BAGI siapa saja yang pernah membaca novel, ataupun menonton film Ketika Cinta Bertasbih beberapa waktu lalu, tentu tidak akan asing lagi dengan puisi cinta di atas. Puisi tersebut menggambarkan betapa uniknya cinta.  Untuk mendefinisikannya, sungguh sangat sukar.  Kurang dan lebih, bait-bait tersebut telah menggambarkan akan hakekat cinta.

Ya, begitulah cinta. Ia  mampu mengubah pandangan seseorang dari buruk menjadi baik, benci jadi sayang, sebagaimana terlukis dari bait-bait puisi di atas. 

Dalam pandangan Islam, cinta adalah anugerah yang diberikan oleh Allah kepada anak manusia. Firmannya, “Dijadikan indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah dan ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.”  (surat Al-Imron: 14). 

Karena cinta adalah penganugerahan, kita harus menyelaraskan ‘iramanya’ sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh sang-penganugerah cinta, yaitu Allah. kalau tidak, alih-alih cinta itu akan mengubah kandang menjadi taman, tapi justru ia akan membuat kita terpenjara dalam kandang itu sendiri.  

Kisah perjalanan cinta keturunan pertama Nabiullah Adam a.s, Qobil, telah memberikan kita pelajaran yang sangat gamblang. Betapa cinta itu bisa mematikan mata hati. “Love is blind,” kata orang Inggris. Karena buta, akibatnya apapun atau siapapun, akan dianggap musuh, ketika mencoba menghalangi langkah-langkahnya dalam merengkuh pujaan hati.

Coba perhatikan, siapakah Habil itu? Beliau tidak lain adalah adik kandung dari Qobil sendiri. Tapi karena menganggap Habil sebagai hambatan bagi dirinya untuk menikah dengan kembarannya sendiri, yang secara fisik lebih memukau dari pada kembarannya Habil yang dijodohkan dengannya, maka, Habil akhirnya dimusnahkan dari permukaan bumi. Inilah kisah pembunuhan pertama Bani Adam, yang sebenarnya sempat dikhawatirkan oleh para Malaikat. Dan salah satu di antara penyebab terjadinya pembunuhan tersebut adalah masalah cinta.

Sekarang coba kita tarik permasalahan di atas dengan kontek kekinian. Sepertinya, problem cinta yang menimbulkan mafsadat macam Qobil, tengah merambat di sekitar kita. Cinta tidak lagi menjelma menjadi kekuatan yang mampu mengubah lawan menjadi kawan, kikir menjadi dermawan, dan selain sebagainya. Yang terjadi saat ini justru sebaliknya, cinta justru melahirkan permusuhan, kekikiran, kebobrokan moral, keangkuhan, dan lain-lain.

Lihatlah, bukankah wabah korupsi di negeri ini terjadi karena dilandasi rasa cinta terhadap harta yang salah (berlebihan)? Mereka (para koruptor) telah tergila-gila pada harta benda, sehingga mematikan mata hati mereka. Hak rakyat yang harusnya mereka nikmati, justru mandek di kantong mereka. Padahal jelas, perbuatan macam ini sangat tidak diperkenankan.

Terhadap kasus-kasus yang lain, seperti zina, perselingkuhan, suap, judi, mencuri, pun tidak lepas dari landasan yang serupa. Memang benar, ”love is blind”.

Tauladan Yusuf a.s 
   

Islam sebagai agama yang sempurna, telah mengatur segalanya, termasuk masalah cinta dengan begitu indah, sehingga, ia tidak menjerumuskan pemiliknya kepada kebinasaan, sebagaimana telah digambarkan di atas. Dalam Al-Quran, terdapat sosok suri tauladan bagi kita, yang mampu mengelola cintanya dengan benar, sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah. Beliau adalah Nabiullah Yusuf ‘Alaihissalam.

Dari sekian banyak kisah Nabi yang tertera dalam Al-Quran, kisah Nabi Yusuf merupakan kisah yang paling unik, sebab kisahnya memiliki ‘page’ tersendiri dalam Al-Quran, yang berbeda dengan para nabi yang lain. Tengoklah surat Yusuf,  yang secara keseluruhan mengisahkan tentang beliau, mulai dari awal surat, hingga akhirnya. Hal ini tentu saja, karena di dalam diri beliau  terkandung uswah hasanah, yang sangat penting, yang harus kita teladani. Dan salah satu di antara perilaku terpuji tersebut adalah tauladan cinta yang mengiringi perjalanan hidup beliau.

 Yusuf adalah sosok pemuda yang elok rupanya, lagi berbudi pekerti luhur. Karena ketampanan parasnya ini, tak sedikit wanita yang tertarik untuk menaklukkan hatinya, tak terkecuali  Zulaikha, istri majikan beliau. Namun, karena kesucian hatinya, dan kemurnian cintanya, sekuat apapun Zulaikha merayu, tetap beliau berpegang teguh untuk tidak mencemari kesucian cinta beliau.

 Bahkan, pada puncaknya, Yusuf lebih memilih untuk dipenjara, dari pada harus mengikuti rayuan istri-istri pembesar saat itu. Ucap beliau yang diabadikan dalam Al-Quran, ”Wahai Tuhanku! Penjara lebih aku cintai daripada memenuhi ajakan mereka. Jika aku tidak Kau hindarkan dari tipu daya mereka, niscaya aku akan cenderung untuk mengikuti ajakan mereka dan aku termasuk orang yang bodoh. (Yusuf : 33).

 Pilihan hidup macam ini tidak serta merta menghinakan Nabi Yusuf. Yang terjadi justru sebaliknya, diliputi dengan kemuliaan dan keagungan. Dan itu terjadi, setelah para perempuan (yang pernah merayu beliau), mengakui kesalahan mereka di depan raja, dan memuji keteguhan hati Yusuf untuk tidak tunduk pada kehendak mereka.

Allah berfirman, ”Dia (raja) berkata (kepada perempuan-perempuan itu), ”bagaimana keadaanmu ketika kalian menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya?” Mereka berkata, ”Maha Sempurna Allah, kami tidak mengetahui keburukan dari dirinya.” istri Al-Aziz berkata, ”sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggoda dan merayunya, dan dia termasuk orang yang benar” (Yusuf : 51)

 Dan dari penjelasan para wanita ini, raja mengangkat yusuf menjadi salah satu pegawai di kerajaannya. Dia berkata, ”bawalah dia (Yusuf) kepadaku, agar aku memilih dia (sebagai orang yang dekat) ke padaku.” Ketika Raja telah bercakap-cakap dengannya, dia (raja) berkata, ”sungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi orang yang berkedudukan tinggi di lingkungan kami dan dipercaya” (Yusuf : 54)

 Subhanallah, lihatlah bukti sejarah, betapa cinta yang suci telah memberikan anugerah yang baik bagi perjalanan Yusuf. Cinta macam ini bukanlah cinta buta, yang mampu membutakan mata hati. Cinta model inilah yang telah melahirkan kekuatan, yang mampu mengubah kandang menjadi taman, penjara menjadi istana. Pertanyaannya, bagaimana membangun cinta yang demikian?

Cinta Suci, itu berhirarki

Cinta dalam Islam adalah salah satu syarat dari keimanan seorang. Tidaklah termasuk orang yang beriman, apa bila ia tidak memiliki rasa cinta, terlebih terhadap sesama mukmin. Sabda Rasulullah, ”Tidaklah beriman di antara kalian hingga mencintai saudaranya, sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” (Al-Hadits).

Terhadap harta, istri, keluarga, pun harus demikian. Namun,  agar cinta tidak mengarahkan kita kepada kenistaan hidup, sebagaimana kasus-kasus di atas, maka cinta terhadap kesemuanya itu harus berada di bawah  cinta kepada penganugerah cinta itu sendiri, yaitu Allah. Kenistaan tidak akan didapati, ketika cinta berjalan demikian.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah menjelaskan bahwa ada tiga hal yang bisa membuat seorang hamba akan merasakan manisnya keimanan, di antaranya adalah mencintai Allah di atas segalanya. Lengkapnya hadits tersebut berbunyi, ”Ada tiga hal, yang jika tiga hal itu ada pada seseorang, maka dia akan merasakan manisnya iman. (Yaitu); Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya; Mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah; Benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan darinya, sebagaimana bencinya jika dicampakkan ke dalam api." (Muttafaq ‘alaih).

Dari hadis ini pula kita bisa mengambil benang merah, cinta kepada Allah menuntut kita untuk mencintai segala hal apa yang dicintai-Nya, dan membenci apa/siapapun yang dibenci-Nya. Akan timbul keraguan akan ketulusan cinta yang dimiliki, apabila dia tidak menunjukkan ketaatan kepada yang ia cintai.

Dalam hal ini Allah juga berfirman, ”Katakanlah Muhammad, jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampunimu...” (Al-Imron: 31)

Nabi Muhammad adalah kekasih Allah. Sebabnya, untuk menunjukkan cinta kepada Allah, kita pun harus mencintai beliau, dan terhadap apa yang diajarkannya. Cinta model ini, juga telah mengantarkan Umar bin Khathab, menjadi sosok yang mulia, yang sebelumnya merupakan sosok yang bengis. Al-kisah, pada suatu hari Rasulullah menanyai tentang besar cintanya terhadap beliau. Umar menjawab, “Aku mencintaimu ya Rasulullah melebihi cintaku kepada semua yang lain, kecuali diriku sendiri”. Mendengar jawaban demikian, Rasulullah akhirnya menimpali, “Tidak wahai Umar! Sampai aku lebih engkau cintai dari dirimu sendiri.”

Ketika cinta telah mengikuti hirarki demikian, maka, cinta kita terhadap yang lainnya akan lurus. Cinta terhadap istri, anak-anak, keluarga, harta benda, jabatan, akan menjadi lurus kalau ia berada dalam ruang besar yang bernama cinta kepada Allah. Tidak akan ada cerita tentang penyelewengan cinta, yang dilakukan Bani Adam, ketika cinta mereka telah menapaki jejak cinta yang telah ditetapkan oleh Allah. sikap sami’na wa atha’na (kami dengar dan kami taati) terhadap apa yang telah menjadi ketetapan Allah dan Rasulnya (tanpa harus mendiskusikannya terlebih dahulu), juga menjadi ciri akan kemurnian cinta kepada Ilahi Rabbi.

Kesimpulannya, untuk meraih kemuliaan hidup dengan cinta, maka kita harus memposisikan cinta sesuai dengan hirarki yang telah dipaparkan di atas. Mudah-mudahan, Allah mencatat kita termasuk golongan orang-orang yang telah menapakkan cinta sesuai dengan apa yang telah dicontohkan oleh Yusuf  ‘Alaihi Wassalam, ataupun Umar bin Khathab.  Wallahu’alam bis-shawab



Bagikan