Latest Updates

Jauhilah Sifal-sifat Munafik

Di awal surat Al-Baqarah, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tiga golongan manusia:
1. Kaum mukminin
2. Orang-orang kafir
3. Orang-orang munafik
Allah Subhanahu wa Ta’ala membeberkan kepada kaum mukminin di dalam ayat-ayat tersebut tentang kebusukan hati orang-orang munafik dan permusuhan mereka kepada kaum mukminin.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa mereka adalah orang-orang yang berbuat kerusakan namun mengklaim sebagai orang yang melakukan perbaikan:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ. أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ

Apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kalian melakukan kerusakan di muka bumi.” Maka mereka berkata, “Kami hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan.” Ketahuilah, mereka adalah umat yang melakukan kerusakan namun mereka tidak mengetahuinya. (Al-Baqarah: 11-12)
Mereka adalah orang-orang dungu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ ءَامِنُوا كَمَا ءَامَنَ النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا ءَامَنَ السُّفَهَاءُ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلَكِنْ لَا يَعْلَمُونَ

Apabila dikatakan kepada mereka, “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman.” Mereka menjawab, “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?” Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh (dungu), tetapi mereka tidak tahu. (Al-Baqarah: 13)
Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memperolok mereka:

اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ

“Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.” (Al-Baqarah: 15)
Di antara bentuk balasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah ketika di hari kiamat nanti, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ يَسْعَى نُورُهُمْ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ بُشْرَاكُمُ الْيَوْمَ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ. يَوْمَ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا انْظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِنْ نُورِكُمْ قِيلَ ارْجِعُوا وَرَاءَكُمْ فَالْتَمِسُوا نُورًا فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بَابٌ بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُ. يُنَادُونَهُمْ أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْ قَالُوا بَلَى وَلَكِنَّكُمْ فَتَنْتُمْ أَنْفُسَكُمْ وَتَرَبَّصْتُمْ وَارْتَبْتُمْ وَغَرَّتْكُمُ الْأَمَانِيُّ حَتَّى جَاءَ أَمْرُ اللهِ وَغَرَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ

(Yaitu) pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada meraka): “Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, yang kamu kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang besar.” Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman: “Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebagian dari cahayamu.” Dikatakan (kepada mereka): “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu).” Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu, di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa. Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata: “Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kalian?” Mereka menjawab: “Benar, tetapi kalian mencelakakan diri kalian sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah, dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (setan) yang amat penipu.” (Al-Hadid: 12-14)
Di dalam ayat-ayat lainnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam orang-orang munafikin dengan ancaman yang keras. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّهُ مَنْ يُحَادِدِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَأَنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدًا فِيهَا ذَلِكَ الْخِزْيُ الْعَظِيمُ

“Tidakkah mereka (orang-orang munafik) mengetahui bahwasanya barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya maka bagi dia neraka jahanam. Dia kekal di dalamnya dan itu adalah kehinaan yang besar.” (At-Taubah: 63)
Di dalam ayat yang lain:

وَعَدَ اللهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْكُفَّارَ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا

“Allah mengancam orang-orang munafik yang laki-laki dan perempuan serta orang-orang kafir dengan neraka jahanam. Mereka kekal di dalamnya.” (At-Taubah: 68)
Kelak mereka akan ada di kerak neraka yang terbawah:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (An-Nisa: 145)
Banyak lagi nash dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan keburukan orang-orang munafik dan ancaman bagi mereka. Sehingga seyogianya bagi seorang muslim untuk berhati-hati dari mereka dan juga menjauhi sifat-sifat mereka.

Pengertian nifaq (kemunafikan)
Kemunafikan adalah menyembunyikan kebatilan dan menampakkan kebaikan. Kemunafikan adalah penyakit hati yang berbahaya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ

“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya. Dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (Al-Baqarah: 10)

Jenis nifaq (kemunafikan)
Ada dua jenis, yakni nifaq akbar (kemunafikan besar) dan nifaq asghar (kemunafikan kecil). Kemunafikan akbar yang disebut juga kemunafikan i’tiqadi (keyakinan) adalah menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keislaman. Kemunafikan ini mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Kemunafikan asghar yang disebut pula kemunafikan amali (amalan) adalah menampakkan lahiriah yang baik dan menyembunyikan kebalikannya. Pokok kemunafikan asghar kembali kepada lima perkara: Sering berdusta ketika berbicara, sering tidak menepati janji, jika berselisih melampaui batas, jika melakukan perjanjian melanggarnya, dan sering khianat jika diberi amanah.
Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: “Kesimpulannya, kemunafikan asghar semuanya kembali kepada berbedanya seseorang ketika sedang sendiri dan ketika terlihat (bersama) orang lain, sebagaimana dikatakan oleh Hasan Al-Bashri rahimahullahu.” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 747)

Perbedaan kemunafikan kecil dan kemunafikan besar
Di antara perbedaan antara keduanya adalah:
1. Kemunafikan akbar pelakunya keluar dari Islam, adapun kemunafikan asghar tidak mengeluarkan dari Islam.
2. Kemunafikan akbar tidak mungkin bersatu dengan keimanan, adapun kemunafikan asghar mungkin ada pada seorang yang beriman.
3. Kemunafikan akbar pelakunya kekal di neraka, sedangkan kemunafikan asghar pelakunya tidak kekal di neraka.
(Lihat Kitabut Tauhid, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan)

Bahaya kemunafikan asghar
Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: “Kemunafikan asghar adalah jalan menuju kemunafikan akbar, sebagaimana maksiat adalah lorong menuju kekufuran. Sebagaimana orang yang terus-menerus di atas maksiat dikhawatirkan dicabut keimanannya ketika menjelang mati, demikian juga orang yang terus-menerus di atas kemunafikan asghar dikhawatirkan dicabut darinya keimanan dan menjadi munafik tulen.” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam)

Orang beriman senantiasa khawatir terjatuh ke dalam kemunafikan
Ibnu Mulaikah rahimahullahu berkata: “Aku mendapati tiga puluh orang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya mengkhawatirkan kemunafikan atas dirinya.”
Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu sampai bertanya kepada Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, apakah dirinya termasuk yang disebut oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang munafik.
Sebagian ulama menyatakan: “Tidak ada yang takut dari kemunafikan kecuali mukmin, dan tidak ada yang merasa aman darinya kecuali munafik.” (dibawakan oleh Al-Bukhari rahimahullahu dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu)
Al-Imam Ahmad rahimahullahu ditanya, “Apa pendapatmu tentang orang yang mengkhawatirkan atas dirinya kemunafikan?” Beliau menjawab, “Siapa yang merasa dirinya aman dari kemunafikan?” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam)

Jauhi sifat-sifat munafik
Kami akan sebutkan beberapa sifat kemunafikan amali yang telah disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena kemunafikan amali inilah yang kadang dianggap remeh oleh sebagian kaum muslimin. Padahal kemunafikan amali sangatlah fatal akibatnya jika terus dilakukan seseorang. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Rajab rahimahullahu: “Kemunafikan asghar adalah jalan menuju kemunafikan akbar, sebagaimana maksiat adalah lorong menuju kekufuran. Sebagaimana orang yang terus-menerus di atas maksiat dikhawatirkan dicabut keimanannya ketika menjelang mati. Demikian juga orang yang terus-menerus di atas kemunafikan asghar dikhawatirkan dicabut darinya keimanan dan menjadi munafik tulen.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ؛ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ
“Tanda orang munafik ada tiga: Jika bicara berdusta, jika diberi amanah berkhianat, dan jika berjanji menyelisihinya.”
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا، وَإِنْ كَانَتْ خَصْلةٌ مِنْهُنَّ فِيهِ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا: مَنْ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ
“Empat perkara, barangsiapa yang ada pada dirinya keempat perkara tersebut maka ia munafik tulen. Jika ada padanya satu di antara perangai tersebut berarti ada pada dirinya satu perangai kemunafikan sampai meninggalkannya: Yaitu seseorang jika bicara berdusta, jika membuat janji tidak menepatinya, jika berselisih melampui batas, dan jika melakukan perjanjian mengkhianatinya.”
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa di antara perangai kemunafikan adalah:
1. Berdusta ketika bicara
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: “Inti kemunafikan yang dibangun di atasnya kemunafikan adalah dusta.”
2. Mengingkari janji
3. Mengkhianati amanah
4. Membatalkan perjanjian secara sepihak
Perjanjian yang dimaksud dalam hadits ini ada dua:
1. Perjanjian dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk senantiasa beribadah kepada-Nya.
2. Perjanjian dengan hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan ini mencakup banyak perkara.
Oleh karena itu, seorang mukmin seharusnya senantiasa berusaha memenuhi perjanjiannya, terlebih lagi perjanjiannya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak mengubah (janjinya).” (Al-Ahzab: 23)
Lain halnya dengan orang-orang kafir dan munafik. Mereka adalah orang-orang yang suka membatalkan secara sepihak serta tidak menepati perjanjian. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

“(Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya serta membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Al-Baqarah: 27)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الَّذِينَ عَاهَدْتَ مِنْهُمْ ثُمَّ يَنْقُضُونَ عَهْدَهُمْ فِي كُلِّ مَرَّةٍ وَهُمْ لَا يَتَّقُونَ

“(Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya).” (Al-Anfal: 56)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللهَ لَئِنْ ءَاتَانَا مِنْ فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ. فَلَمَّا ءَاتَاهُمْ مِنْ فَضْلِهِ بَخِلُوا بِهِ وَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ. فَأَعْقَبَهُمْ نِفَاقًا فِي قُلُوبِهِمْ إِلَى يَوْمِ يَلْقَوْنَهُ بِمَا أَخْلَفُوا اللهَ مَا وَعَدُوهُ وَبِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ

Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: “Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih.” Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta. (At-Taubah: 75-77)

Wajib hukumnya memenuhi perjanjian dengan hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala
Ibnu Rajab rahimahullahu menyatakan: “Mengingkari (mengkhianati) perjanjian adalah haram dalam semua perjanjian seorang muslim dengan yang lainnya walaupun dengan seorang kafir mu’ahad. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Barangsiapa membunuh kafir mu’ahad tidak akan mencium bau surga padahal wanginya surga tercium dari jarak 40 tahun perjalanan.” (HR. Al-Bukhari no. 3166) [Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 744]
Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullahu juga menyatakan: “Adapun perjanjian di antara kaum muslimin maka keharusan untuk memenuhinya lebih kuat lagi, dan membatalkannya lebih besar dosanya. Yang paling besar adalah membatalkan perjanjian taat kepada pemimpin muslimin yang (kita) telah berbai’at kepadanya.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللهُ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ: ...وَرَجُلٌ بَايَعَ رَجُلًا لَا يُبَايِعُهُ إِلَّا لِلدُّنْيَا فَإِنْ أَعْطَاهُ مَا يُرِيدُ وَفَى لَهُ...
Tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat nanti, tidak akan disucikan, dan mereka akan mendapatkan azab yang pedih –di antaranya: “Seorang yang membai’at pemimpinnya hanya karena dunia, jika pemimpinnya memberi apa yang dia mau dia penuhi perjanjiannya dan jika tidak maka dia pun tidak menepati perjanjiannya.” (HR. Al-Bukhari no. 2672, Muslim no. 108)

Berhati-hatilah dari berbagai bentuk kemunafikan
Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Sebagian orang mengira kemunafikan hanyalah ada di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, tidak ada kemunafikan setelah zaman beliau. Ini adalah prasangka yang salah. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Kemunafikan pada zaman ini lebih dahsyat dari kemunafikan di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Mereka berkata: ‘Bagaimana (bisa dikatakan demikian)?’ Beliau menjawab: ‘Orang-orang munafik di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan kemunafikan mereka. Adapun sekarang, mereka (berani) menampakkan kemunafikan mereka’.”
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata: “Kemunafikan sekarang ini banyak terjadi pada pergerakan politik, sebagaimana telah dipersaksikan oleh sebagian mereka. Sebagian mereka menyatakan: ‘Aku tidak pernah tahu ada politikus yang tidak berdusta.’ Sebagian bahkan menyatakan: ‘Sesungguhnya politik adalah kemunafikan.’ Sehingga kebanyakan politikus terkena kemunafikan amali dalam partai-partai politik.”
Beliau juga menyatakan: “Di antara tanda kemunafikan amali adalah ber-wala’ (berloyalitas) dengan ahlul bid’ah serta membuat manhaj-manhaj berbahaya dalam rangka melawan dan meruntuhkan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah.” (Syarh Ushulus Sunnah)

Penutup
Saudaraku sekalian…
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar kita bersikap keras dan menjauhi orang-orang munafik serta menjadikannya sebagai musuh. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ

“Wahai Nabi, jihadilah orang-orang kafir dan munafikin serta bersikap keraslah kepada mereka.” (At-Tahrim: 9)
Dalam ayat yang lain:

هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ

“Mereka (orang-orang munafik) adalah musuh maka hati-hatilah dari mereka…” (Al-Munafiqun: 4)
Maka, sepatutnya seorang muslim menjauhkan diri dari amalan dan sifat-sifat musuh mereka, serta menjauhkan diri dari semua perkara yang akan menjatuhkan dirinya ke dalam kemunafikan, seperti politik praktis dan berbagai jenis kebid’ahan. Nas’alullah al-’afwa wal afiyah.


source: hikayahhati.blogspot.com

Menghindari Banyak Makan


Di antara sebab terbesar yang membantu seseorang untuk tetap giat menuntut ilmu, memahaminya dan tidak jemu, adalah memakan sedikit dari sesuatu yang halal.

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Aku tidak pernah kenyang semenjak 16 tahun lalu. Karena, banyak makan akan menyebabkan banyak minum, sedangkan banyak minum akan membangkitkan keinginan untuk tidur, menyebabkan kebodohan dan menurunnya kemampuan berpikir, lemahnya semangat, serta malasnya badan. Ini belum termasuk makruhnya banyak makan dari tinjauan syariat dan timbulnya penyakit jasmani yang membahayakan.”
Sebagaimana dikatakan dalam sebuah syair:
فَإِنَّ الدَّاءَ أَكْثَرَ مَا تَرَاهُ يَكُونُ مِنَ الطَّعَامِ أَوِ الشَّرَابِ
Sesungguhnya penyakit, kebanyakan yang engkau lihat
terjadi karena makanan atau minuman

Seandainya tidak ada keburukan dari banyak makan dan minum kecuali menyebabkan sering ke toilet, hal itu sudah cukup bagi orang yang berakal dan cerdas untuk menjaga diri darinya. Barangsiapa yang menginginkan keberhasilan dalam menuntut ilmu dan mendapatkan bekal hidup dari ilmu, namun disertai dengan banyak makan dan minum serta tidur, sungguh dia telah mengusahakan sesuatu yang mustahil menurut kebiasaan.

(Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim, hal. 73-74, Al-Imam Badruddin Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dillah bin Jamaah Al-Kinani rahimahullahu, dengan beberapa perubahan)

Bagikan

Berdebat Tanpa Ilmu


وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلاَ هُدًى وَلاَ كِتَابٍ مُنِيْرٍ. ثَانِيَ عِطْفِهِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ لَهُ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَنُذِيْقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَذَابَ الْحَرِيْقِ. ذَلِكَ بِمَا قَدَّمَتْ يَدَاكَ وَأَنَّ اللهَ لَيْسَ بِظَلاَّمٍ لِلْعَبِيْدِ

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk, dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya dengan memalingkan lambungnya untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. Ia mendapat kehinaan di dunia dan di hari kiamat. Kami merasakan kepadanya adzab neraka yang membakar. (Akan dikatakan kepadanya): ‘Yang demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tangan kamu dahulu dan sesungguhnya Allah sekali-kali bukanlah penganiaya hamba-hamba-Nya’.” (Al-Hajj: 8-10)

Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat

ثَانِيَ عِطْفِهِ

“Memalingkan lambung atau lehernya.” Ini merupakan gambaran bahwa dia tidak menerima dan berpaling dari sesuatu.

Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma mengatakan: “Ia menyombongkan diri dari kebenaran jika diajak kepadanya.”

Mujahid, Qatadah, dan Malik dari Zaid bin Aslam mengatakan: “Memalingkan lehernya, yaitu berpaling dari sesuatu yang dia diajak kepadanya dari kebenaran, karena sombong.” Seperti firman-Nya:

وَفِي مُوْسَى إِذْ أَرْسَلْنَاهُ إِلَى فِرْعَوْنَ بِسُلْطَانٍ مُبِيْنٍ. فَتَوَلَّى بِرُكْنِهِ وَقَالَ سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُوْنٌ

“Dan juga pada Musa (terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah) ketika Kami mengutusnya kepada Fir’aun dengan membawa mukjizat yang nyata. Maka dia (Fir’aun) berpaling (dari keimanan) bersama tentaranya, dan berkata: ‘Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila’.” (Adz-Dzariyat: 38-39)

Ibnu Jarir At-Thabari rahimahullahu berkata: “Yang benar dari penafsiran tersebut adalah dengan mengatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati orang yang mendebat tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala ini tanpa ilmu, bahwa itu karena kesombongannya. Jika diajak kepada jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia berpaling dari yang mengajaknya, sambil memalingkan lehernya dan tidak mau mendengar apa yang dikatakan kepadanya dengan berlaku sombong.” (Tafsir At-Thabari)

لِيُضِلَّ

“Untuk menyesatkan.” Ada yang mengatakan bahwa huruf lam dalam ayat ini adalah menjelaskan tentang akibat. Maknanya yaitu yang berakibat dia menyesatkan (manusia) dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Qurthubi rahimahullahu dalam tafsirnya. Adapula yang mengatakan bahwa huruf lam tersebut sebagai ta’li, yang berarti bertujuan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. (lihat Tafsir Ibnu Katsir dan Al-Qurthubi)

Penjelasan Makna Ayat

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu tatkala menjelaskan ayat ini, mengatakan:

“Perdebatan tersebut bagi seorang muqallid (yang mengikuti satu perkataan tanpa dalil). Perdebatan ini berasal dari setan yang jahat yang menyeru kepada berbagai bid’ah. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa dia mendebat tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan cara mendebat para rasul Allah Subhanahu wa Ta’ala dan para pengikutnya dengan cara yang batil dalam rangka menggugurkan kebenaran, tanpa ilmu yang benar dan petunjuk. Dia tidak mengikuti sesuatu yang membimbingnya dalam perdebatannya itu. Tidak dengan akal yang membimbing dan tidak pula dengan seseorang yang diikuti karena hidayah. Tidak pula dengan kitab yang bercahaya, yaitu yang jelas dan nyata. Dia tidak memiliki hujjah baik secara aqli maupun naqli, namun hanya sekedar menampilkan syubhat-syubhat yang dibisikkan oleh setan kepadanya. (Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman):

وَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ لَيُوْحُوْنَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوْكُمْ

“Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu.” (Al-An'am: 121)

Bersamaan dengan itu, dia memalingkan lambung dan lehernya. Ini merupakan gambaran tentang kesombongannya dari menerima kebenaran serta menganggap remeh makhluk yang lain. Dia merasa bangga dengan apa yang dia miliki berupa ilmu yang tidak bermanfaat, serta meremehkan orang-orang yang berada di atas kebenaran dan al-haq yang mereka miliki. Akibatnya, dia menyesatkan manusia, yaitu dia termasuk ke dalam penyeru kepada kesesatan. Termasuk dalam hal ini adalah semua para pemimpin kufur dan kesesatan. Lalu (Allah Subhanahu wa Ta’ala) menyebutkan hukuman yang mereka dapatkan di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَهُ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ

“baginya di dunia kehinaan.” Yaitu, dia akan menjadi buruk di dunia sebelum di akhirat.

Dan ini termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menakjubkan, di mana tidaklah engkau mendapati seorang da’i yang menyeru kepada kekafiran dan kesesatan melainkan dia akan dimurkai di jagad raya ini. Ia mendapatkan laknat, kebencian, celaan, yang berhak ia peroleh. Setiap mereka tergantung keadaannya.

وَنُذِيْقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَذَابَ الْحَرِيْقِ

“Dan Kami akan merasakan kepadanya pada hari kiamat adzab neraka yang membakar.”

yaitu Kami akan menjadikan dia merasakan panasnya yang dahsyat dan apinya yang sangat panas. Hal itu disebabkan apa yang telah dia amalkan. Dan sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak berlaku dzalim terhadap hamba-hamba-Nya. (Taisir Al-Karim Ar-Rahman)

Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan keadaan orang-orang sesat yang jahil dan hanya bertaqlid dalam firman-Nya:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّبِعُ كُلَّ شَيْطَانٍ مَرِيْدٍ

“Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap setan yang sangat jahat.” (Al-Hajj: 3)

Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut dalam ayat ini keadaan para penyeru kepada kesesatan dari tokoh-tokoh kekafiran dan kesesatan. Yaitu, di antara manusia ada yang mendebat tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tanpa ilmu, tanpa hidayah, dan tanpa kitab yang bercahaya, yaitu tanpa akal sehat dan tanpa dalil syar’i yang benar dan jelas. Namun hanya sekedar akal dan hawa nafsu. (Tafsir Ibnu Katsir)

Terjadi perselisihan di kalangan para ulama tentang siapa yang dimaksud dalam ayat ini. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah An-Nadhr bin Al-Harits dari Bani Abdid Dar, tatkala dia berkata bahwa para malaikat ini merupakan anak-anak perempuan Allah. Adapula yang mengatakan yang dimaksud adalah Abu Jahl bin Hisyam, dan ada lagi yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Al-Akhnas bin Syuraiq. Namun ayat ini mencakup setiap yang mendebat tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berakibat menolak kebenaran dan menjauhkan manusia dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik dia orang kafir, munafik, atau dari kalangan ahli bid’ah.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma tatkala beliau menjelaskan makna “ia memalingkan lehernya untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah”: “Dia adalah ahli bid’ah.” (lihat Tafsir Al-Qurthubi)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “mendebat tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tanpa ilmu” ini merupakan celaan terhadap setiap orang yang mendebat tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa ilmu. Juga merupakan dalil yang menunjukkan bolehnya (berdebat) bila dengan ilmu, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibrahim ‘alaihissalam dengan kaumnya.” (Majmu’ Fatawa, 15/267)

Berdebat, antara yang Boleh dan yang Terlarang

Terdapat nash-nash yang menjelaskan tentang tercelanya berdebat dalam agama Allah Subhanahu wa Ta'ala. Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

مَا يُجَادِلُ فِي آيَاتِ اللهِ إِلاَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوا فَلاَ يَغْرُرْكَ تَقَلُّبُهُمْ فِي الْبِلاَدِ

“Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir. Karena itu janganlah pulang balik mereka dengan bebas dari suatu kota ke kota yang lain memperdayakan kamu.” (Ghafir: 4)

dan firman-Nya:

إِنَّ الَّذِيْنَ يُجَادِلُوْنَ فِي آيَاتِ اللهِ بِغَيْرِ سُلْطَانٍ أَتَاهُمْ إِنْ فِي صُدُوْرِهِمْ إِلاَّ كِبْرٌ مَا هُمْ بِبَالِغِيْهِ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

“Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Ghafir: 56)

Telah diriwayatkan dari hadits Aisyah radhiyallahu 'anha berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَبْغَضُ الرِّجَالِ إِلىَ اللهِ اْلأَلَدُّ الْخَصِمُ

“Orang yang paling dibenci Allah adalah yang suka berdebat.” (Muttafaq Alaihi)

Juga dari hadits Abu Umamah radhiyallahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوْتُوا الْجَدَلَ. ثُمَّ تَلاَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ اْلآيَةَ: {مَا ضَرَبُوْهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُوْنَ}

“Tidaklah tersesat satu kaum setelah mendapatkan hidayah yang dahulu mereka di atasnya, melainkan mereka diberi sifat berdebat.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

مَا ضَرَبُوْهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُوْنَ

“Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (Az-Zukhruf: 58) [HR.Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan Al-Albani t dalam Shahih Al-Jami’ no. 5633]

Abdurrahman bin Abiz Zinad berkata: “Kami mendapati orang-orang yang mulia dan ahli fiqih -dari orang-orang pilihan manusia- sangat mencela para ahli debat dan yang mendahulukan akalnya. Dan mereka melarang kami bertemu dan duduk bersama orang-orang itu. Mereka juga memperingatkan kami dengan keras dari mendekati mereka.” (lihat Al-Ibanah Al-Kubra 2/532, Mauqif Ahlis Sunnah, Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili 2/591)

Demikian pula Al-Imam Ahmad rahimahullahu mengatakan: “Pokok-pokok ajaran As-Sunnah menurut kami adalah: berpegang teguh di atas metode para sahabat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengikuti mereka, dan meninggalkan bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat. Dan meninggalkan pertengkaran serta duduk bersama pengekor hawa nafsu, juga meninggalkan dialog dan berdebat serta bertengkar dalam agama ini.” (Syarh Al-Lalika`i, 1/156, Mauqif Ahlis Sunnah, Ar-Ruhaili 2/591)

Wahb bin Munabbih rahimahullahu berkata: “Tinggalkan perdebatan dari perkaramu. Karena sesungguhnya engkau tidak akan terlepas dari menghadapi salah satu dari dua orang: (1) orang yang lebih berilmu darimu, lalu bagaimana mungkin engkau berdebat dengan orang yang lebih berilmu darimu? (2) orang yang engkau lebih berilmu darinya, maka bagaimana mungkin engkau mendebat orang yang engkau lebih berilmu darinya, lalu dia tidak mengikutimu? Maka tinggalkanlah perdebatan tersebut!” (Lammud Durr, karangan Jamal Al-Haritsi hal. 158)

Namun di samping dalil-dalil yang melarang berdebat tersebut di atas, juga terdapat nash-nash lain yang menunjukkan kebolehannya. Di antara yang menunjukkan bolehnya berdebat adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

ادْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 125)

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan beberapa kisah debat antara Rasul-Nya dengan orang-orang kafir. Seperti kisah Ibrahim ‘alaihissalam yang mendebat kaumnya. Demikian pula debat Nabi Musa ‘alaihissalam dengan Fir’aun, dan berbagai kisah lainnya yang disebutkan dalam Al-Qur`an. Demikian pula dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan perdebatan antara Nabi Adam dan Musa ‘alaihissalam, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu.

Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: “Banyak dari kalangan imam salaf mengatakan: Debatlah kelompok Al-Qadariyyah dengan ilmu, jika mereka mengakui maka mereka membantah (pemikiran mereka sendiri). Dan jika mereka mengingkari, maka sungguh mereka telah kafir.”

Demikian pula banyak terjadi perdebatan di kalangan ulama salaf, seperti yang terjadi antara ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu dengan Ghailan Ad-Dimasyqi Al-Qadari, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma yang mendebat kelompok Khawarij, Al-Auza’i rahimahullahu yang berdebat dengan seorang qadari (pengikut aliran Qadariyyah), Abdul ‘Aziz Al-Kinani rahimahullahu dengan Bisyr bin Ghiyats Al-Marisi Al-Mu’tazili, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu dengan para tokoh ahli bid’ah, serta yang lainnya, yang menunjukkan diperbolehkannya melakukan dialog dan debat tersebut. (Mauqif Ahlis Sunnah, 2/597)

Apa yang telah kami sebutkan di atas menunjukkan bahwa dalam masalah berdebat, tidak dihukumi dengan sikap yang sama. Namun tergantung dari keadaan, tujuan, dan maksud dari perdebatan tersebut. An-Nawawi rahimahullahu berkata:

“Jika perdebatan tersebut dilakukan untuk menyatakan dan menegakkan al-haq, maka hal itu terpuji. Namun jika dengan tujuan menolak kebenaran atau berdebat tanpa ilmu, maka hal itu tercela. Dengan perincian inilah didudukkan nash-nash yang menyebutkan tentang boleh dan tercelanya berdebat.”

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Pertengkaran dan perdebatan dalam perkara agama terbagi menjadi dua:

Pertama: dilakukan dengan tujuan menetapkan kebenaran dan membantah kebatilan. Ini merupakan perkara yang terpuji. Adakalanya hukumnya wajib atau sunnah, sesuai keadaannya. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

ادْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 125)

Kedua: dilakukan dengan tujuan bersikap berlebih-lebihan, untuk membela diri, atau membela kebatilan. Ini adalah perkara yang buruk lagi terlarang, berdasarkan firman-Nya:

مَا يُجَادِلُ فِي آيَاتِ اللهِ إِلاَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوا

“Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir.” (Ghafir: 4)

Dan firman-Nya:

وَجَادَلُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقَّ فَأَخَذْتُهُمْ فَكَيْفَ كَانَ عِقَابِ

“Dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu; karena itu Aku adzab mereka. Maka betapa (pedihnya) adzab-Ku.” (Ghafir: 5) [Mauqif Ahlis Sunnah, 2/600-601]

Ibnu Baththah rahimahullahu berkata: “Jika ada seseorang bertanya: ‘Engkau telah memberi peringatan kepada kami dari melakukan pertengkaran, perdebatan, dan dialog (dengan ahlul bid'ah). Dan kami telah mengetahui bahwa inilah yang benar. Inilah jalan para ulama, jalan para sahabat, dan orang-orang yang berilmu dari kalangan kaum mukminin serta para ulama yang diberi penerangan jalan. Lalu, jika ada seseorang datang kepadaku bertanya tentang sesuatu berupa berbagai macam hawa nafsu yang nampak dan berbagai macam pendapat buruk yang menyebar, lalu dia berbicara dengan sesuatu darinya dan mengharapkan jawaban dariku; sedangkan aku termasuk orang yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan ilmu tentangnya serta pemahaman yang tajam dalam menyingkapnya. Apakah aku tinggalkan dia berbicara seenaknya dan tidak menjawabnya serta aku biarkan dia dengan bid’ahnya, dan saya tidak membantah pendapat jeleknya tersebut?’

Maka aku akan mengatakan kepadanya: Ketahuilah wahai saudaraku –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatimu– bahwa orang yang seperti ini keadaannya (yang mau mendebatmu), yang engkau diuji dengannya, tidak lepas dari tiga keadaan:

(1) Adakalanya dia orang yang engkau telah mengetahui metode dan pendapatnya yang baik, serta kecintaannya untuk mendapatkan keselamatan dan selalu berusaha berjalan di atas jalan istiqamah. Namun dia sempat mendengar perkataan mereka yang para setan telah bercokol dalam hati-hati mereka, sehingga dia berbicara dengan berbagai jenis kekufuran melalui lisan-lisan mereka. Dan dia tidak mengetahui jalan keluar dari apa yang telah menimpanya tersebut, sehingga dia bertanya dengan pertanyaan seseorang yang meminta bimbingan, untuk mendapat solusi dari problem yang dihadapinya dan obat dari gangguan yang dialaminya. Dan engkau memandang bahwa dia akan taat dan tidak menyelisihinya.

Orang yang seperti ini, yang wajib atasmu adalah mengarahkan dan membimbingnya dari berbagai jeratan setan. Dan hendaklah engkau membimbingnya kepada Al-Kitab dan As-Sunnah serta atsar-atsar yang shahih dari ulama umat ini dari kalangan para sahabat dan tabi’in. Semua itu dilakukan dengan cara hikmah dan nasihat yang baik. Dan jauhilah sikap berlebih-lebihan terhadap apa yang engkau tidak ketahui, lalu hanya mengandalkan akal dan tenggelam dalam ilmu kalam. Karena sesungguhnya perbuatanmu tersebut adalah bid’ah. Jika engkau menghendaki sunnah, maka sesungguhnya keinginanmu mengikuti kebenaran namun dengan tidak mengikuti jalan kebenaran tersebut adalah batil. Dan engkau berbicara tentang As-Sunnah dengan cara bukan As-Sunnah adalah bid’ah. Jangan engkau mencari kesembuhan saudaramu dengan penyakit yang ada pada dirimu. Jangan engkau memperbaikinya dengan kerusakanmu, karena sesungguhnya orang yang menipu dirinya tidak bisa menasihati manusia. Dan siapa yang tidak ada kebaikan pada dirinya, maka tidak ada pula kebaikan untuk yang lainnya. Siapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beri taufiq, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meluruskan jalannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menolong dan membantunya.”

Abu Bakr Al-Ajurri rahimahullahu berkata:

“Jika seseorang berkata: ‘Jika seseorang yang telah diberi ilmu oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu ada seseorang datang kepadanya bertanya tentang masalah agama, lalu mendebatnya; apakah menurutmu dia perlu mengajaknya berdialog agar sampai kepadanya hujjah dan membantah pemikirannya?’

Maka katakan kepadanya: ‘Inilah yang kita dilarang dari melakukannya, dan inilah yang diperingatkan oleh para imam kaum muslimin yang terdahulu.’

Jika ada yang bertanya: ‘Lalu apa yang harus kami lakukan?’

Maka katakan kepadanya: ‘Jika orang yang menanyakan permasalahannya kepadamu adalah orang yang mengharapkan bimbingan kepada al-haq dan bukan perdebatan, maka bimbinglah dia dengan cara yang terbaik dengan penjelasan. Bimbinglah dia dengan ilmu dari Al-Kitab dan As-Sunnah, perkataan para shahabat dan ucapan para imam kaum muslimin. Dan jika dia ingin mendebatmu, maka inilah yang dibenci oleh para ulama, dan berhati-hatilah engkau terhadap agamamu.’

Jika dia bertanya: ‘Apakah kita biarkan mereka berbicara dengan kebatilan dan kita mendiamkan mereka?’

Maka katakan kepadanya: ‘Diamnya engkau dari mereka dan engkau meninggalkan mereka dalam apa yang mereka bicarakan itu lebih besar pengaruhnya atas mereka daripada engkau berdebat dengannya. Itulah yang diucapkan oleh para ulama terdahulu dari ulama salafush shalih kaum muslimin." (Lammud Durr, Jamal Al-Haritsi hal. 160-162)
Bagikan

Koreksi Sholat Kita : Shalatnya Wanita di Masjid


Hadirnya Wanita Dalam Shalat Berjamaah di Masjid

Sejak zaman Nubuwwah, kehadiran wanita dalam shalat berjamaah di masjid bukanlah sesuatu yang asing. Dalam artian, diantara shahabiyah ada yang ikut menghadiri shalat berjamaah di belakang para shahabat walaupun itu tidak wajib bagi mereka. (Lihat kembali Salafy edisi IX/Rabiul Akhir 1417/1996 rubrik Ahkam yang membahas tentang hukum shalat berjamaah bagi wanita dan lihat pula edisi XVI/Dzulhijjah 1417/1997 rubrik Kajian Kali Ini).

Ada beberapa dalil dari sunnah yang shahihah yang menunjukkan keikutsertaan wanita dalam shalat berjamaah di masjid. Tiga diantaranya kami sebutkan berikut ini :

Hadits dari Aisyah radliyallahu 'anha, ia berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengakhirkan shalat Isya hingga Umar memanggil beliau (dengan berkata) : "Telah tertidur para wanita dan anak-anak." Maka keluarlah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata : "Tidak ada seorang pun selain kalian dari penduduk bumi yang menanti shalat ini." (HR. Bukhari dalam kitab Mawaqit Ash Shalah 564 dan Muslim kitab Al Masajid 2/282)

Imam Nawawi dalam syarahnya terhadap hadits di atas berkata : "Ucapan Umar (Telah tertidur para wanita dan anak-anak) yakni diantara mereka yang menanti didirikannya shalat berjamaah di masjid."

Dalam hadits lain, Aisyah radliyallahu 'anha mengabarkan : "Mereka wanita-wanita Mukminah menghadiri shalat shubuh bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan berselimut dengan kain-kain mereka. Kemudian para wanita itu kembali ke rumah-rumah mereka hingga mereka (selesai) menunaikan shalat tanpa ada seorangpun yang mengenali mereka karena masih gelap." (HR. Bukhari 578)

Hadits dari Abi Qatadah Al Anshari radliyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Sesungguhnya aku berdiri untuk menunaikan shalat dan berkeinginan untuk memanjangkan shalat itu. Lalu aku mendengar tangisan bayi maka akupun memendekkan shalatku karena khawatir (tidak suka) memberatkan ibunya." (HR. Bukhari 868, Abu Daud 789, Nasa'i 2/94-95 dan Ibnu Majah 991)

Izin Bagi Wanita Untuk Keluar ke Masjid

Shalatnya seorang wanita di rumahnya lebih utama daripada shalatnya di masjid (lihat rubrik Ahkam, Salafy edisi IX). Namun tidak berarti wanita dilarang dan harus dicegah bila ingin hadir berjamaah di masjid, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Apabila wanita (istri) salah seorang dari kalian meminta izin untuk ke masjid maka janganlah ia mencegahnya." (HR. Bukhari 2/347 dalam Fathul Bari, Muslim 442, dan Nasa'i 2/42)

Salim bin Abdullah bin Umar menceritakan bahwasanya Abdullah bin Umar radliyallahu 'anhuma berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Janganlah kalian melarang istri-istri kalian dari masjid bila mereka meminta izin untuk mendatanginya." (HR. Bukhari dan Muslim 442 dan hadits yang disebutkan disini menurut lafadh Muslim)
Salim berkata : Bilal bin Abdullah bin Umar lalu berkomentar: "Demi Allah, kami benar-benar akan melarang mereka."

(Mendengar ucapan seperti itu, -pent.) Abdullah bin Umar memandang Bilal kemudian mencelanya dengan celaan yang buruk yang aku sama sekali belum pernah mendengar celaannya seperti itu terhadap Bilal. Dan Abdullah berkata : "Aku kabarkan kepadamu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lalu engkau menimpali dengan ucapanmu, 'demi Allah, kami benar-benar akan melarang mereka!'"

Beberapa Perkataan Ulama Dalam Permasalahan Ini
Berkata Imam Nawawi rahimahullah : [ Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah dari masjid-masjid Allah"
Dan yang semisalnya dari hadits-hadits dalam bab ini menunjukkan bahwa wanita tidak dilarang mendatangi masjid akan tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan oleh ulama yang diambil dari hadits-hadits yang ada. Seperti wanita itu tidak memakai wangi-wangian, tidak berhias, tidak mengenakan gelang kaki yang bisa terdengar suaranya, tidak mengenakan pakaian mewah, tidak bercampur-baur dengan laki-laki, dan wanita itu bukan remaja putri (pemudi) yang dengannya dapat menimbulkan fitnah serta tidak ada perkara yang dikhawatirkan kerusakannya di jalan yang akan dilewati dan semisalnya. ] (Syarhu Muslim 2/83)

Musthafa Al Adawi hafidhahullah memberi komentar terhadap ucapan Imam Nawawi di atas : [Terhadap ucapan Imam Nawawi rahimahullah tentang pelarangan remaja putri (pemudi untuk hadir di masjid) perlu dilihat kembali. Kami belum mendapatkan dalil yang jelas yang melarang pemudi atau membedakan antara pemudi dan yang selainnya untuk pergi ke masjid. ] (Jami' Ahkamin Nisa' juz 1 halaman 278)

Imam Nawawi juga berkata dalam Al Majmu' Syarhul Muhadzdzab 4/199 : [ Larangan dalam hadits : "Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah dari masjid-masjid Allah."

Hal ini merupakan larangan tanzih/makruh (bukan larangan yang menunjukkan tahrim/haram, pent.) karena hak suami agar istri tetap tinggal di rumah wajib dipenuhi. Maka janganlah si istri meninggalkannya untuk mengerjakan amalan yang tidak wajib. ]

Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah dalam Al Muhalla-nya menyatakan : "Tidak halal bagi wall wanita dan tidak juga bagi majikan budak wanita untuk melarang keduanya menghadiri shalat berjamaah di masjid jika diketahui bahwa mereka memang hendak shalat. Dan tidak halal bagi mereka (kaum wanita) untuk keluar dalam keadaan memakai wangi-wangian dan mengenakan pakaian yang indah (mewah). Bila si wanita melakukan hal demikian maka hendaklah dicegah." (Al Muhalla 2/170)

Al Baihaqi rahimahullah menyebutkan dalam Sunan-nya (3/133) bahwa perintah untuk tidak melarang wanita merupakan perintah yang sunnah dan bersifat bimbingan, bukan perintah yang menunjukkan fardlu dan wajib.

Musthafa Al Adawi berkata : "Bila tidak dijumpai adanya sebab yang dapat menghalangi keluarnya wanita menuju ke masjid maka wajib bagi suami untuk mengizinkannya karena adanya larangan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dari mencegahnya. Wallahu a'lam." (Jami' Ahkamin Nisa' 1/279)

Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini Al Atsari hafidhahullah dalam kitabnya, Al Insyirah fi Adabin Nikah halaman 72-74) setelah membawakan hadits yang artinya : "Bila istri salah seorang dari kalian meminta izin untuk ke masjid maka janganlah ia mencegahnya."

Syaikh menyatakan : [ Dalam hadits ini menunjukkan bahwa keluarnya istri harus dengan izin suami. Seandainya si suami menahan istrinya (untuk keluar) maka si suami tidak berdosa menurut pendapat yang terpilih dari pendapat-pendapat para Ahli Tahqiq dan telah berkata Al Baihaqi : "Dengan inilah mayoritas ulama berpendapat."

Adapun hadits yang berbunyi : "Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah dari masjid-masjid Allah"

Perintah disini (yakni perintah untuk tidak melarang wanita ke masjid, pent.) tidaklah menunjukkan wajib. Karena seandainya wajib, maka tidak ada maknanya meminta izin. Wallahu a'lam. ]

Pendapat Aisyah radliyallahu 'anha dan Bimbingannya
Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan ucapan Aisyah radliyallahu 'anha :
"Seandainya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sempat menemui apa yang diada-adakan oleh para wanita (saat ini) niscaya beliau akan melarang mereka sebagaimana dilarangnya wanita-wanita Bani Israil." (HR. Bukhari hadits 869 dan dikeluarkan juga oleh Muslim 445)

Dalam riwayat Muslim disebutkan : Salah seorang rawi bertanya kepada Amrah binti Abdirrahman (murid Aisyah yang meriwayatkan hadits ini darinya) : "Apakah para wanita Bani Israil dilarang ke masjid?" Amrah menjawab : "Ya, adapun hal-hal baru yang diperbuat para wanita Bani Israil diantaranya memakai wangi-wangian, berhias, tabarruj, ikhtilath, dan kerusakan-kerusakan lainnya."

Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Bari (2/350) : "Shalatnya wanita di rumahnya lebih utama baginya karena terjamin aman dari fitnah. Dan yang menguatkan hal ini setelah munculnya perbuatan tabarruj dan pamer perhiasan yang dilakukan oleh para wanita. Terlebih lagi Aisyah radliyallahu 'anha telah berkata dengan apa yang dia katakan. Sebagian orang berpegang dengan ucapan Aisyah ini untuk melarang wanita (ke masjid) secara mutlak dan pendapat ini perlu ditinjau kembali."

Beliau berkata lagi : "Aisyah mengaitkan larangan dengan syarat, yang ia menganggap bila Nabi sempat melihat (perbuatan para wanita itu) niscaya beliau akan melarangnya. Dengan demikian, dikatakan kepada orang yang berpendapat wanita dilarang secara mutlak (ke masjid) bahwa Nabi tidak sempat melihat (perbuatan para wanita itu) dan beliau tidak melarang, hingga hukum (kebolehan wanita ke masjid dan larangan untuk mencegah mereka, pent.) terus berlaku ... ."

Berkata Musthafa Al Adawi setelah membawakan riwayat Aisyah di atas : [ Ini merupakan pendapat Aisyah radliyallahu 'anha berkenaan dengan keluarnya wanita ke masjid ... . Beliau berpendapat (perlunya) larangan karena sebab yang disebutkan. Pendapat ini memiliki arti bila ada fitnah dan adanya kekhawatiran terhadap kaum pria dan wanita dari fitnah itu. Akan tetapi kita kembali dan kita katakan : Pendapat ini tempatnya bila fitnah terwujud nyata. Adapun melarang mereka karena (menganggap) semata-mata ke masjid itu adalah fitnah maka ini pendapat yang lemah. Allah Ta'ala telah berfirman :
"Dan tidaklah Tuhanmu lupa." (QS. Maryam : 64)
"Tidaklah Kami luputkan sesuatu pun di dalam Kitab ini." (QS. Al An'am : 38)

Dan layak untuk kami (Musthafa Al Adawi) nukilkan disini ucapan Al Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari 2/350. Beliau menyatakan : " … dan juga Allah subhanahu wa ta'ala telah mengetahui apa yang akan mereka (para wanita) perbuat. Namun Allah tidak mewahyukan kepada Nabi-Nya untuk melarang mereka (mendatangi masjid). Seandainya apa yang mereka perbuat mengharuskan untuk melarang mereka dari masjid, niscaya melarang mereka dari selain masjid seperti mendatangi pasar-pasar adalah lebih utama. Dan juga perbuatan yang diada-adakan itu hanya dilakukan oleh sebagian wanita, tidak seluruhnya. Maka pengkhususan larangan (penunjukkan larangan) ditujukan kepada wanita yang berbuat. Yang lebih utama adalah menilik perkara yang dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan, lalu menghindarinya berdasarkan isyarat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan melarang memakai wangi-wangian dan berhias." (Lihat Jami' Ahkamin Nisa' 1/280) ]

Ibnu Hazm rahimahullah dalam Al Muhalla (3/ 134) menyebutkan enam sisi bantahan terhadap orang yang berhujjah dengan ucapan Aisyah radliyallahu 'anha ini untuk melarang wanita ke masjid secara mutlak. Dua sisi diantaranya kami sebutkan secara ringkas di bawah ini :

Sisi pertama : Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak sempat melihat apa yang diperbuat para wanita, maka beliau tidak melarang mereka ke masjid. Apabila beliau sendiri tidak melarang mereka (ke masjid) maka berarti melarang mereka adalah bid'ah dan kesalahan. Ini sama dengan firman Allah Ta'ala :

"Wahai istri-istri Nabi, siapa diantara kalian yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata niscaya akan dilipatgandakan siksaan padanya dua kali lipat ... ." (QS. Al Ahzab : 30)

Maka mereka sama sekali tidak mengerjakan perbuatan keji yang nyata sehingga tidak dilipatgandakan adzab bagi mereka, walhamdulillah. Dan juga seperti firman Allah Ta'ala :

"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka barakah dari langit dan bumi." (QS. Al A'raf : 96)

Maka mereka tidak beriman sehingga tidak dibukakan barakah bagi mereka.

Sisi Kedua : Aisyah radliyallahu 'anha tidak berpendapat melarang para wanita karena sebab itu dan ia tidak berkata : "Laranglah mereka karena apa yang mereka perbuat." Akan tetapi Aisyah mengabarkan : "Andai Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup niscaya beliau melarang mereka ... ."

Kami katakan : Seandainya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang mereka, kami pun melarang mereka. Dan bila beliau tidak melarang maka kami pun tidak melarang mereka.

Syarat-Syarat Yang Harus Dipenuhi
Wanita dibolehkan menghadiri shalat berjamaah di masjid namun harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan syariat seperti tidak memakai wangi-wangian sebagaimana dikabarkan oleh Zainab Ats Tsaqafiyah, istri Abdullah bin Mas'ud radliallahu anhuma. la berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada kami : "Bila salah seorang dari kalian (para wanita) ingin menghadiri shalat di masjid maka janganlah ia menyentuh wewangian." (HR. Muslim 4/163, Ibnu Khuzaimah 1680, dan Al Baihaqi 3/439)

Demikian juga hadits Abi Hurairah radliyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam : "Wanita mana saja yang memakai wangi-wangian maka janganlah ia menghadiri shalat lsya yang akhir bersama kami." (HR. Muslim 4/162, Abu Daud 4175, dan Nasa'i 8/154)

Musthafa Al Adawi berkata : [ Abu Muhammad Ibnu Hazm rahimahullah memiliki pendapat yang ganjil dimana ia berkata dalam Al Muhalla 4/78 : "Tidak halal bagi seorang wanita menghadiri shalat di masjid dalam keadaan memakai wangi-wangian. Jika ia melakukannya maka batallah shalatnya."

Ini merupakan pendapat yang ganjil dari beliau rahimahullah. Yang benar, --wallahu a'lam-- wanita yang melakukan perbuatan demikian (memakai wewangian ketika keluar menuju masjid) berarti telah berbuat dosa, akan tetapi dosanya tersendiri dari shalatnya dan tidak ada hubungan antara dosa itu dengan batalnya shalat. Allahu a'lam. ] (Jami' Ahkamin Nisa' 1/288)

Al Qadli 'Iyadl rahimahullah menyebutkan syarat dari ulama berkenaan dengan keluarnya wanita, diantaranya tidak mengenakan perhiasan, tidak memakai wewangian, dan tidak berdesak-desakan dengan laki-laki. Kata Al Qadli : "Termasuk dalam makna wewangian adalah menampakkan perhiasan dan keindahannya. Jika ada sesuatu dari perbuatan demikian maka wajib melarang mereka karena takut fitnah."

Berkata Syaikh Abdullah Al Bassam dalam kitabnya, Taudlihul Ahkam (2/283) : [Terhitung wangi-wangian adalah sesuatu yang semakna dengannya berupa gerakan-gerakan yang dapat mengundang syahwat seperti pakaian yang indah, perhiasan, dan dandanan. Karena aroma si wanita, perhiasan, bentuknya, dan penonjolan kecantikannya merupakan fitnah baginya dan fitnah bagi laki-laki.
Bila si wanita melakukan hal demikian atau melakukan sebagiannya, haram baginya untuk keluar berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu (telah disebutkan di atas, pent.) dan hadits dalam Shahihain dari Aisyah radliyallahu 'anhuma, ia berkata: "Seandainya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melihat apa yang dilakukan para wanita sebagaimana yang kita lihat niscaya beliau akan melarang mereka ke masjid." ]

Dituntunkan kepara para wanita yang hadir dalam shalat berjamaah di masjid untuk bersegera kembali ke rumah setelah menunaikan shalat. Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah radliyallahu 'anha : "Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menunaikan shalat shubuh ketika hari masih gelap. Maka para wanita Mukminah berpaling (meninggalkan masjid) dalam keadaan mereka tidak dikenali karena gelap atau sebagian mereka tidak mengenali sebagian lainnya." (HR. Bukhari 872)

Musthafa Al Adawi berkata setelah membawakan hadits di atas: [ Imam Bukhari membuat satu bab untuk hadits ini dalam kitab Shahih-nya dan diberi judul : Bab Bersegeranya Wanita Meninggalkan Masjid Setelah Shalat Shubuh dan Sebentarnya Mereka Berdiam di Masjid. Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menjelaskan : "Dikhususkan waktu shubuh karena mengakhirkan keluar dari masjid (berdiam lama di masjid, pent.) berakibat suasana sekitar sudah terang. Maka sepantasnya wanita bersegera keluar. Berbeda dengan Isya, karena suasana akan semakin gelap hingga tidak bermudlarat untuk berdiam lebih lama di masjid (tentunya dengan catatan aman dari fitnah dan tidak ada gangguan yang membahayakan si wanita di jalanan seperti zaman sekarang ini, wallahu a'lam, pent.)." ]

Aku (Mustafa Al Adawi) katakan : "Ucapan Al Hafidh ini diikuti oleh hadits berikutnya (hadits Ummu Salamah yang akan disebutkan setelah ini, pent.). Maka tidak ada maknanya untuk mengkhususkan waktu shubuh daripada waktu lainnya dalam hal bersegeranya wanita keluar dari masjid. Yang benar, para wanita bergegas meninggalkan masjid setelah menunaikan semua shalat hingga memungkinkan mereka untuk pergi sebelum bercampur-baur dengan laki-laki." (Jami' Ahkamin Nisa' 1/285)

Hindun bintu Al Harits berkata bahwa Ummu Salamah --istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam-- menceritakan padanya tentang para wanita di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam : "Apabila mereka telah mengucapkan salam dari shalat fardlu, mereka berdiri meninggalkan masjid sedangkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam beserta para pria yang ikut shalat tetap tinggal selama waktu yang dikehendaki Allah. Maka apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri, para pria pun ikut berdiri." (HR. Bukhari 866)

Dalam riwayat lain dari Ummu Salamah juga, ia berkata : "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bila telah selesai salam (dari shalat) beliau tinggal sejenak di tempatnya (sebelum berdiri meninggalkan masjid, pent.)." (HR. Bukhari 849)

Berkata seorang perawi hadits di atas : "Kami berpendapat, wallahu a'lam, beliau berbuat demikian agar ada kesempatan bagi para wanita untuk meninggalkan masjid."

Imam Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar 2/315 berkata : "Hadits ini menunjukkan disunnahkannya imam untuk memperhatikan keadaan makmum dan bersikap hati-hati dengan menjauhi apa yang dapat mengantarkan kepada perkara yang dilarang ... ."

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata : "Jika pria dan wanita hadir bersama imam (dalam shalat berjamaah) maka disunnahkan bagi sang imam dan jamaah pria agar tetap tinggal di tempat (selesai menunaikan shalat) sekadar imam berpendapat bahwa jamaah wanita telah meninggalkan masjid ... ." (Al Mughni 2/560)

Musthafa Al Adawi berpendapat : "Bila di masjid itu ada pintu khusus bagi wanita dan mereka terhijab dari kaum pria dan kaum pria tidak melihat mereka maka tidak ada larangan --wallahu a'lam-- bagi mereka untuk tetap tinggal di tempat shalat agar mereka dapat bertasbih, bertahmid, bertakbir, dan bertahlil dengan dzikir-dzikir tertentu setelah shalat karena para Malaikat bershalawat untuk orang yang shalat selama ia tetap di tempat shalatnya dalam keadaan berdzikir pada Allah dan selama ia belum berhadats sebagaimana hal ini diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam." (Jami' Ahkamin Nisa' 1/286-287)

Sebaik-Baik Shaf Wanita
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Abi Hurairah radliyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Sebaik-baik shaf pria adalah shaf yang pertama dan sejelek-jelek shaf pria adalah yang paling akhir. Sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling akhir dan sejelek-jeleknya yang paling depan." (HR. Muslim nomor 440, Nasa'i 2/93, Abu Daud 678, Tirmidzi 224 dan ia berkata : "Hadits hasan shahih." Ibnu Majah juga meriwayatkan hadits ini nomor 1000)

Ada beberapa pendapat ulama dalam permasalahan ini, diantaranya : Berkata Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarhu Muslim (halaman 1194) : "Adapun shaf pria maka secara umum selamanya yang terbaik adalah shaf yang pertama dan yang paling jelek adalah shaf yang terakhir. Adapun shaf wanita maka yang dimaksudkan dalam hadits adalah shaf-shaf wanita yang shalat bersama kaum pria. Sedangkan bila mereka (kaum wanita) shalat terpisah dan tidak bersama kaum pria maka mereka sama dengan pria, yakni sebaik-baik shaf mereka adalah yang paling depan dan seburuk-buruknya adalah yang paling akhir. Yang dimaksud dengan jelek-nya shaf bagi pria dan wanita adalah yang paling sedikit pahalanya dan keutamaannya serta paling jauh dari tuntutan syar'i. Sedangkan shaf yang paling baik adalah sebaliknya. Shaf yang paling akhir bagi jamaah wanita yang hadir bersama jamaah pria dikatakan memiliki keutamaan karena jauhnya para wanita itu dari bercampur (ikhtilath) dengan pria, dari melihat pria, dan tergantungnya hati tatkala melihat gerakan kaum pria, serta mendengar ucapan (pembicaraan mereka), dan semisalnya. Dan celaan bagi shaf yang terdepan bagi jamaah wanita (yang hadir bersama pria) adalah sebaliknya dari alasan di atas, wallahu a'lam."

Beliau rahimahullah berkata juga dalam Al Majmu' 4/301 : "Telah kami sebutkan tentang disunnahkannya memilih shaf pertama kemudian sesudahnya (shaf kedua) kemudian sesudahnya sampai shaf yang akhir. Hukum ini berlaku terus-menerus bagi shaf pria dalam segala keadaan dan juga bagi shaf wanita yang jamaahnya khusus wanita, terpisah dari jamaah pria. Adapun jika kaum wanita shalat bersama pria dalam satu jamaah dan tidak ada pemisah/penghalang diantara keduanya, maka shaf wanita yang paling utama adalah yang paling akhir berdasarkan hadits Abi Hurairah radliyallahu 'anhu (telah disebutkan di atas, pent.)."

Berkata Imam Syaukani rahimahullah : [ Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam : " ... dan sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling akhir."

Dikatakan paling baik karena berdiri pada shaf tersebut menyebabkan jauhnya dari bercampur dengan pria, berbeda dengan berdiri di shaf pertama dari shaf-shaf jamaah wanita karena mengandung (kemungkinan) bercampur dengan pria dan tergantungnya hati dengan mereka (para pria) disebabkan melihat mereka dan mendengar ucapan mereka. Karena inilah, shaf pertama dinyatakan paling jelek (bagi wanita). (Nailul Authar 3/184) ]

Dalam Subulus Salam 2/30 (Maktabah Dahlan), Imam Shan'ani rahimahullah berkata : "Shaf yang paling akhir dikatakan shaf yang terbaik bagi wanita. Alasannya karena dalam keadaan demikian mereka berada jauh dari pria, dari melihat, dan mendengar omongan mereka. Hanya saja alasan ini tidak sempurna kecuali bila shalat mereka dilakukan bersama kaum pria. Adapun bila mereka shalat dan imam mereka juga wanita (jamaah khusus wanita, pent.) maka shaf-shaf mereka hukumnya seperti shaf-shaf pria yaitu yang paling utama adalah shaf pertama."

Musthafa Al Adawi berkata setelah menyebutkan hadits Abi Hurairah di atas : [ Ketentuan ini berlaku bila kaum wanita bergabung bersama kaum pria dalam shalat berjamaah dimana mereka berada di belakang shaf-shaf. Adapun bila jamaahnya khusus wanita atau bersama kaum pria dalam melaksanakan shalat akan tetapi mereka tidak dapat terlihat oleh pria, maka shaf yang paling baik adalah yang paling depan berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Seandainya mereka tahu keutamaan shaf yang terdepan niscaya mereka akan berundi untuk mendapatkannya." (HR. Bukhari 721) ] (Jami' Ahkamin Nisa' 1/353-354)

Bolehnya Wanita Shalat Sunnah di Masjid
Sebagaimana wanita dibolehkan untuk shalat berjamaah di masjid, dibolehkan pula baginya untuk melakukan shalat sunnah di masjid selama aman dari fitnah dan terpenuhi syarat-syarat yang ditetapkan. Hal ini berdalil dengan riwayat Imam Bukhari dalam Shahih-nya dari Anas bin Malik radliyallahu 'anhu. Anas berkata : Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam masuk ke dalam masjid, tiba-tiba beliau mendapatkan seutas tali terbentang diantara dua tiang (masjid). Maka beliau bersabda : "Tali apa ini?" Para shahabat menjawab : "Tali ini milik Zainab. Bila ia merasa lemah (dari melaksanakan shalat sunnah, pent.) ia bergantung dengan tali ini." Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Jangan, putuskan tali ini! Hendaklah salah seorang dari kalian shalat dalam keadaan ia bersemangat maka kalau ia lemah hendaklah ia duduk." (HR. Bukhari hadits 1150, dikeluarkan juga oleh Muslim, Abu Daud 1312, Nasa'i, dan Ibnu Majah 1371)

Berkata Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 3/37 : "Hadits ini menunjukkan upaya menghilangkan kemungkaran dengan tangan dan lisan dan menunjukkan bolehnya para wanita menunaikan shalat nafilah (sunnah) di masjid."

Penutup

Sebelum seorang wanita melangkah ke masjid, ia harus melihat syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam agama ini agar ia tidak jatuh dalam pelanggaran dan perbuatan dosa. Dan ia hendaknya tidak melupakan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Ummu Humaid ketika Ummu Humaid berkata : "Ya Rasulullah, sesungguhnya aku senang shalat bersamamu." Nabi menjawab :

"Sungguh aku tahu bahwa engkau suka shalat bersamaku, namun shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu dan shalatmu di masjid kaummu lebih-baik daripada shalatmu di masjidku ini." (HR. Ibnu Khuzaimah 1689, Ahmad 6/371, Ibnu Abdil Barr dalam Al Isti'ab. Kata Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini : "Isnadnya hasan dengan syawahid." Lihat Al Insyirah halaman 74)

Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini menyatakan : "Bersamaan dengan dibolehkannya wanita keluar ke masjid maka sesungguhnya shalatnya di rumahnya lebih utama daripada hadirnya ia dalam shalat berjamaah (di masjid)." (Al Insyirah halaman 73)

Wallahu A'lam Bish Shawwab.

(Dikutip dari tulisan Ummu Ishaq, judul asli Shalatnya Wanita di Masjid, dari majalah Salafy MUSLIMAH XXXII/1420/1999/Kajian Kita, url sumber http://www.geocities.com/dmgto/muslimah201/wanitamasjid.htm). 
Bagikan

Surat An-Nisa`, Satu Bukti Islam Memuliakan Wanita

Surat An-Nisa`, Satu Bukti Islam Memuliakan Wanita
Berbekal pengetahuan tentang Islam yang tipis, tak sedikit kalangan yang dengan lancangnya menghakimi agama ini, untuk kemudian menelorkan kesimpulan-kesimpulan tak berdasar yang menyudutkan Islam. Salah satunya, Islam dianggap merendahkan wanita atau dalam ungkapan sekarang ‘bias jender’. Benarkah?

Sudah kita maklumi keberadaan wanita dalam Islam demikian dimuliakan, terlalu banyak bukti yang menunjukkan kenyataan ini. Sampai-sampai ada satu surah dalam Al-Qur`anul Karim dinamakan surah An-Nisa`, artinya wanita-wanita, karena hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita lebih banyak disebutkan dalam surah ini daripada dalam surah yang lain. (Mahasinut Ta`wil, 3/6)

Untuk lebih jelasnya kita lihat beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang berbicara tentang wanita.

1. Wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.

Surah An-Nisa` dibuka dengan ayat:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً

“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan dari jiwa yang satu itu Dia menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (An-Nisa`: 1)

Ayat ini merupakan bagian dari khutbatul hajah yang dijadikan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai pembuka khutbah-khutbah beliau. Dalam ayat ini dinyatakan bahwa dari jiwa yang satu, Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan pasangannya. Qatadah dan Mujahid rahimahumallah mengatakan bahwa yang dimaksud jiwa yang satu adalah Nabi Adam 'alaihissalam. Sedangkan pasangannya adalah Hawa. Qatadah mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. (Tafsir Ath-Thabari, 3/565, 566)

Dalam hadits shahih disebutkan:

إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ، وَِإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلْعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهَا، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ وَفِيْهَا عِوَجٌ

“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang namun padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini ada dalil dari ucapan fuqaha atau sebagian mereka bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menerangkan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk. Hadits ini menunjukkan keharusan berlaku lembut kepada wanita, bersikap baik terhadap mereka, bersabar atas kebengkokan akhlak dan lemahnya akal mereka. Di samping juga menunjukkan dibencinya mentalak mereka tanpa sebab dan juga tidak bisa seseorang berambisi agar si wanita terus lurus. Wallahu a’lam.”(Al-Minhaj, 9/299)

2. Dijaganya hak perempuan yatim.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا

“Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya.” (An-Nisa`: 3)

Urwah bin Az-Zubair pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu 'anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى maka Aisyah radhiyallahu 'anha menjawab, “Wahai anak saudariku1. Perempuan yatim tersebut berada dalam asuhan walinya yang turut berserikat dalam harta walinya, dan si wali ini ternyata tertarik dengan kecantikan si yatim berikut hartanya. Maka si wali ingin menikahinya tanpa berlaku adil dalam pemberian maharnya sebagaimana mahar yang diberikannya kepada wanita lain yang ingin dinikahinya. Para wali pun dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim terkecuali bila mereka mau berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim serta memberinya mahar yang sesuai dengan yang biasa diberikan kepada wanita lain. Para wali kemudian diperintah untuk menikahi wanita-wanita lain yang mereka senangi.” Urwah berkata, “Aisyah menyatakan, ‘Setelah turunnya ayat ini, orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang perkara wanita, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayat:

وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ

“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita.” (An-Nisa`: 127)

Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, “Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam ayat yang lain:

وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ

“Sementara kalian ingin menikahi mereka (perempuan yatim).” (An-Nisa`: 127)

Salah seorang dari kalian (yang menjadi wali/pengasuh perempuan yatim) tidak suka menikahi perempuan yatim tersebut karena si perempuan tidak cantik dan hartanya sedikit. Maka mereka (para wali) dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya kecuali bila mereka mau berbuat adil (dalam masalah mahar, pent.). Karena keadaan jadi terbalik bila si yatim sedikit hartanya dan tidak cantik, walinya enggan/tidak ingin menikahinya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4574 dan Muslim no. 7444)

Masih dalam hadits Aisyah radhiyallahu 'anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللاَّتِي لاَ تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ

Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita. Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepada kalian tentang mereka dan apa yang dibacakan kepada kalian dalam Al-Qur`an tentang para wanita yatim yang kalian tidak memberi mereka apa yang ditetapkan untuk mereka sementara kalian ingin menikahi mereka.” (An-Nisa`: 127)

Aisyah radhiyallahu 'anha berkata:

أُنْزِلَتْ فِي الْيَتِيْمَةِ، تَكُوْنُ عِنْدَ الرَّجُلِ فَتَشْرِكُهُ فِي مَالِهِ، فَيَرْغَبُ عَنْهَا أَنْ يَتَزَوَّجَهَا وَيَكْرَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا غَيْرَهُ، فَيَشْرَكُهُ فِي ماَلِهِ، فَيَعْضِلُهَا، فَلاَ يَتَزَوَّجُهَا وَيُزَوِّجُهَا غَيْرَهُ.

“Ayat ini turun tentang perempuan yatim yang berada dalam perwalian seorang lelaki, di mana si yatim turut berserikat dalam harta walinya. Si wali ini tidak suka menikahi si yatim dan juga tidak suka menikahkannya dengan lelaki yang lain, hingga suami si yatim kelak ikut berserikat dalam hartanya. Pada akhirnya, si wali menahan si yatim untuk menikah, ia tidak mau menikahinya dan enggan pula menikahkannya dengan lelaki selainnya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5131 dan Muslim no. 7447)

3. Cukup menikahi seorang wanita saja bila khawatir tidak dapat berlaku adil secara lahiriah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

“Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki.” (An-Nisa`: 3)

Yang dimaksud dengan adil di sini adalah dalam perkara lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat tinggal, dan giliran. Adapun dalam perkara batin seperti rasa cinta dan kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena hal ini di luar kesanggupan seorang hamba. Dalam Al-Qur`anul Karim dinyatakan:

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ

“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” (An-Nisa`: 129)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “Maksudnya, kalian wahai manusia, tidak akan mampu berlaku sama di antara istri-istri kalian dari segala sisi. Karena walaupun bisa terjadi pembagian giliran malam per malam, namun mesti ada perbedaan dalam hal cinta, syahwat, dan jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma, ‘Abidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah.”

Setelah menyebutkan sejumlah kalimat, Ibnu Katsir rahimahullah melanjutkan pada tafsir ayat: فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ maksudnya apabila kalian cenderung kepada salah seorang dari istri kalian, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cenderung secara total padanya, فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ “sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” Maksudnya istri yang lain menjadi terkatung-katung. Kata Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Adh Dhahhak, Ar-Rabi` bin Anas, As-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan, “Makna كَالْمُعَلَّقَةِ, seperti tidak punya suami dan tidak pula ditalak.” (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 2/317)

Bila seorang lelaki khawatir tidak dapat berlaku adil dalam berpoligami, maka dituntunkan kepadanya untuk hanya menikahi satu wanita. Dan ini termasuk pemuliaan pada wanita di mana pemenuhan haknya dan keadilan suami terhadapnya diperhatikan oleh Islam.

4. Hak memperoleh mahar dalam pernikahan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَءَاتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa`: 4)

5. Wanita diberikan bagian dari harta warisan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa`: 7)

Sementara di zaman jahiliah, yang mendapatkan warisan hanya lelaki, sementara wanita tidak mendapatkan bagian. Malah wanita teranggap bagian dari barang yang diwarisi, sebagaimana dalam ayat:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا

“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa`: 19)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma menyebutkan, “Dulunya bila seorang lelaki di kalangan mereka meninggal, maka para ahli warisnya berhak mewarisi istrinya. Jika sebagian ahli waris itu mau, ia nikahi wanita tersebut dan kalau mereka mau, mereka nikahkan dengan lelaki lain. Kalau mau juga, mereka tidak menikahkannya dengan siapa pun dan mereka lebih berhak terhadap si wanita daripada keluarga wanita itu sendiri. Maka turunlah ayat ini dalam permasalahan tersebut.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4579)

Maksud dari ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah, adalah untuk menghilangkan apa yang dulunya biasa dilakukan orang-orang jahiliah dari mereka dan agar wanita tidak dijadikan seperti harta yang diwariskan sebagaimana diwarisinya harta benda. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/63)

Bila ada yang mempermasalahkan, kenapa wanita hanya mendapatkan separuh dari bagian laki-laki seperti tersebut dalam ayat:

يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ

“Allah mewasiatkan kepada kalian tentang pembagian warisan untuk anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….” (An-Nisa`: 11)

Maka dijawab, inilah keadilan yang sesungguhnya. Laki-laki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita karena laki-laki butuh bekal yang lebih guna memberikan nafkah kepada orang yang di bawah tanggungannya. Laki-laki banyak mendapatkan beban. Ia yang memberikan mahar dalam pernikahan dan ia yang harus mencari penghidupan/penghasilan, sehingga pantas sekali bila ia mendapatkan dua kali lipat daripada bagian wanita. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/160)

6. Suami diperintah untuk berlaku baik pada istrinya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) secara patut.” (An-Nisa`: 19)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan: “Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan serta penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam hal ini:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarga (istri)nya. Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)ku.”2 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/173)

7. Suami tidak boleh membenci istrinya dan tetap harus berlaku baik terhadap istrinya walaupun dalam keadaan tidak menyukainya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)

Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (5/65), Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ (“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka”), dikarenakan parasnya yang buruk atau perangainya yang jelek, bukan karena si istri berbuat keji dan nusyuz, maka disenangi (dianjurkan) (bagi si suami) untuk bersabar menanggung kekurangan tersebut. Mudah-mudahan hal itu mendatangkan rizki berupa anak-anak yang shalih yang diperoleh dari istri tersebut.”

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yakni mudah-mudahan kesabaran kalian dengan tetap menahan mereka (para istri dalam ikatan pernikahan), sementara kalian tidak menyukai mereka, akan menjadi kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan di akhirat. Sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma tentang ayat ini: ‘Si suami mengasihani (menaruh iba) istri (yang tidak disukainya) hingga Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan rizki kepadanya berupa anak dari istri tersebut dan pada anak itu ada kebaikan yang banyak’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia ridha (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan larangan (untuk membenci), yakni sepantasnya seorang suami tidak membenci istrinya. Karena bila ia menemukan pada istrinya satu perangai yang tidak ia sukai, namun di sisi lain ia bisa dapatkan perangai yang disenanginya pada si istri. Misalnya istrinya tidak baik perilakunya, tetapi ia seorang yang beragama, atau berparas cantik, atau menjaga kehormatan diri, atau bersikap lemah lembut dan halus padanya, atau yang semisalnya.” (Al-Minhaj, 10/58)

8. Bila seorang suami bercerai dengan istrinya, ia tidak boleh meminta kembali mahar yang pernah diberikannya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَءَاتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا. وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

“Dan jika kalian ingin mengganti istri kalian dengan istri yang lain sedang kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali sedikitpun dari harta tersebut. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (An-Nisa`: 20-21)

9. Termasuk pemuliaan terhadap wanita adalah diharamkan bagi mahram si wanita karena nasab ataupun karena penyusuan untuk menikahinya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ

“Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, ‘ammah kalian (bibi/ saudara perempuan ayah), khalah kalian (bibi/ saudara perempuan ibu), putri-putri dari saudara laki-laki kalian (keponakan perempuan), putri-putri dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu susu kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan, ibu mertua kalian, putri-putri dari istri kalian yang berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan kalian) maka tidak berdosa kalian menikahi putrinya. Diharamkan pula bagi kalian menikahi istri-istri anak kandung kalian (menantu)…” (An-Nisa`: 23)

Diharamkannya wanita-wanita yang disebutkan dalam ayat di atas untuk dinikahi oleh lelaki yang merupakan mahramnya, tentu memiliki hikmah yang agung, tujuan yang tinggi yang sesuai dengan fithrah insaniah. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)

Di akhir ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

“(Diharamkan atas kalian) menghimpunkan dalam pernikahan dua wanita yang bersaudara, kecuali apa yang telah terjadi di masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa`: 23)

Ayat di atas menetapkan bahwa seorang lelaki tidak boleh mengumpulkan dua wanita yang bersaudara dalam ikatan pernikahan karena hal ini jelas akan mengakibatkan permusuhan dan pecahnya hubungan di antara keduanya. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)

Demikian beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang menyinggung tentang wanita. Apa yang kami sebutkan di atas bukanlah membatasi, namun karena tidak cukupnya ruang, sementara hanya demikian yang dapat kami persembahkan untuk pembaca yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta'ala-lah yang memberi taufik.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Karena ibu ‘Urwah, Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu 'anhuma adalah saudara perempuan Aisyah radhiyallahu 'anha.

2 HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.
Bagikan

"Pembakaran Al Qur'an" AS Tak Hanya Dikecam Oleh Umat Muslim


JAKARTA- Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) bersama Forum Lintas Agama dengan keras mengecam tindakan kampanye pembakaran Al-Quran dari kelompok yang menamakan `Dove World Outreach Center` di bawah pimpinan Pastor Senior Sylvia Jones yang berkantor di Florida, Amerika Serikat.

Kepala Biro Penelitian dan Komunikasi PGI, Pendeta Henry Lokra di Jakarta mengatakan, "Dalam tindakan itu mereka mengatasnamakan kelompok agama, terutama membawa agama kristen, padahal hal itu tidak benar, Kristen mengajarkan cinta kasih dan tidak provokatif."

Kampanye membakar Al-Quran muncul di halaman situs jejaring sosial Facebook sebagai bentuk ajakan kepada warga dunia dalam peringatan sembilan tahun tragedi WTC pada 9 November mendatang.

Ketua Laskar Empati Pembela Bangsa (LEPAS) Egi Sudjana yang hadir bersama Gerakan Peduli Pluralisme, merasa geram dan meminta pemerintah Indonesia untuk cepat melakukan tindakan. "Menteri Luar Negeri harus melobi PBB agar memberi teguran kepada Pemerintah Amerika Serikat agar menangkap pastor yang menyebarkan gerakan provokasi tersebut," katanya. Kecaman terhadap pembakaran Al-Quran juga datang dari Parisada Hindu Dharma Indonesia, Matakin, Wahid Institute, Ma'arif Institute, Gamki, PP GMKI, beserta ormas dan forum agama lainnya.

Sebelumnya, Ulama NU, Dr KH Nuril Arifin, MBA, yang biasa disapa Gus Nuril, mengimbau agar umat Muslim di Indonesia tidak terprovokasi dengan kampanye pembakaran kitab suci Al Quran yang dilontarkan kelompok non-denominasi Dove World Outreach Center. Organisasi ini berbasis di Florida, Amerika Serikat.

"Saya mohon ke seluruh bangsa Indonesia agar tidak menyikapi gerakan ini dengan kemarahan. Dia tidak tahu, kalau kita balas dengan gerakan vandalis, rusak semua," kata Gus Nuril dalam jumpa pers bersama tokoh lintas agama, di Kantor Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Rabu (4/8/2010) di Jakarta.

Gus Nuril menekankan agar upaya tak beradab ini jangan sampai merusak persaudaraan antarumat beragama dan semangat pluralisme yang tumbuh di Indonesia. "Warga Muslim agar menahan diri dan tidak melakukan gerakan emosional, apalagi gerakan balasan sampai pada pembakaran," ujarnya.

Aksi yang direncanakan oleh sekelompok kecil orang Amerika, kata dia, jangan dibalas dengan melampiaskannya pada orang-orang yang tak bersalah di Tanah Air. "Ibaratnya, yang maling orang Amerika, jangan pukuli orang Indonesia. Jangan cari orang yang tidak bersalah di sini," ujarnya.

Peristiwa ini dinilainya merupakan ujian bagi umat Muslim. Menyikapinya, umat Muslim diimbau untuk menawarkan sikap perdamaian dan persaudaraan. "Saya yakin bangsa ini tidak terpengaruh dengan gerakan edan-edanan, tidak manusiawi, dan biadab ini," tegasnya.

Pemerintah juga diharapkan segera merespons rencana oleh kelompok non-denominasi di Amerika Serikat itu, sebelum meluas dan mendapatkan reaksi dari masyarakat Muslim Indonesia.

Dalam kesempatan yang sama, perwakilan dari Parisadha Hindu Dharma Indonesia, Udayana, juga mengutuk keras rencana aksi yang ditujukan untuk memperingati sembilan tahun peristiwa WTC itu.

"Kami mengutuk gerakan yang membakar kitab suci. Sama seperti kami, kami punya Wedha. Kami juga akan berontak jika ada aksi seperti ini. Oleh karena itu, kita harus memberi solidaritas atas gerakan usaha pembakaran kitab suci saudara umat Muslim," kata Udayana.

Sementara itu, Ketua PBNU Slamet Effendi Yusuf meminta umat Islam di Indonesia tidak terpengaruh dengan provokasi aksi pembakaran Al Quran di Amerika Serikat (AS). Ide tersebut dinilai hanya untuk membuat provokasi dari kelompok masyarakat yang menderita Islamophobia.

"Kami mengharapkan umat Islam tidak terprovokasi. Ide semacam itu tidak muncul dari mereka yang menghayati agama dengan baik. Ini ide paranoid dan Islamophobia yang diakibatkan pemahaman yang sempit mengenai Islam," kata Slamet.

Menurut Ketua MUI bidang kerukunan agama ini, semua kelompok yang cinta damai harus berupaya menentang ide gila dan tidak bertanggungjawab. Sebab, jika cara seperti ini dibiarkan, bisa jadi akan menimbulkan konflik antarumat beragama seperti yang pernah terjadi.

"Saya juga mengharapkan umat beragama di seluruh dunia menentang ide gila semacam ini. Kalau ini terjadi, apalagi di Indonesia ada yang ikut-ikutan, pasti akan menjadi pemicu konflik yang sangat luar biasa. Kita semua harus mencegah," ajak mantan Ketua DPP Golkar ini.

Slamet meminta pemerintah AS juga berupaya meredam aksi-aksi provokatif seperti yang akan dilakukan kelompok ekstrem ini. Apalagi jika memang betul gerakan ini akan terjadi, mereka akan salah perkiraan. Sebab, Al Quran tidak akan lenyap meski mereka membakarnya.

"Harus ada usaha dari pemerintah sana untuk membatasi dan melarang upaya provokasi ini. Di Indonesia, kami akan mengumpulkan tokoh beragama untuk menyikapi hal ini," tegasnya. 

Sebelumnya diberitakan, Dove World Outreach Center, sebuah gereja di Gainesville, Florida, AS, akan menjadi tuan rumah 'Hari Pembakaran Al Quran Internasional' dalam memperingati 9 tahun tragedi serangan 11 September 2001.
Bagikan

Jika Perda Tempat Hiburan Malam Ditegakkan, FPI tidak Akan Turun ke Jalan


Ketua Umum FPI Habib Rizieq Syihab memberikan apresiasi kepada Gubernur DKI Jakarta yang menyatakan akan menindak tegas setiap tempat hiburan malam "bandel" yang buka saat ramadhan. Hal itu dinyatakan saat pertemuan silaturahmi siang kemarin, Selasa (03/08) di Balai Kota bersama jajaran pengurus DPP-FPI lainnya. Pertemuan ini adalah silaturahmi dan juga kordinasi antara FPI dengan pemerintah yang berkomitmen untuk menjaga kesucian Bulan Suci Ramadhan.

Pada pertemuan, FPI meminta Pemprov DKI menegakkan peraturan daerah yang telah ditetapkan yaitu menutup tempat hiburan malam selama bulan suci Ramadan. Ketua Umum FPI Habib Rizieq Syihab, MA, menyatakan karena yang wajib melakukan sweeping tempat hiburan malam adalah Satpol PP.
"Yang berhak melakukan sweeping itu Satpol PP, kalau pun ada polisi itu hanya mendampingi tugas Satpol PP," ujar Habib Rizieq Syihab,MA, yang didampingi Munarman.
Habib Rizieq Syihab, menyatakan selama Perda DKI Jakarta Nomor 10 tahun 2004 tentang Kepariwisataan itu ditegakkan maka FPI tidak perlu turun ke jalan.
FPI tidak akan gegabah main hakim sendiri. Seperti dikatakan Habib Rizieq Syihab, bahwa FPI sudah berkomitmen tidak turun ke jalan jika tidak diperlukan. "Kami akan mendorong polisi dan Satpol PP untuk mengawasi dan menindak. Tetapi kalau mereka diganggu, kami akan bantu," tegas Habib Rizieq Syihab di kesempatan yang sama.
"Selama PERDA itu ditegakkan, kami tidak akan turun ke jalan. Kita sangat mendukung Pemprov DKI yang berkomitmen menegakkan perda tersebut," tambah Beliau.
FPI juga akan tetap secara ketat memonitor dan memantau langsung berbagai lokasi tempat hiburan malam yang diharuskan tutup selama ramadhan. Dan mengajak masyarakat untuk juga terjun langsung dalam menjaga kesucian ramadhan dengan melaporkan kepada pemerintah dan aparat jika ada tempat hiburan malam yang bandel buka saat ramadhan.
Sementara itu, Gubernur Fauzi Bowo menegaskan bahwa Pemda DKI akan menegakkan Perda itu tanpa pandang bulu. "Kalau ada yang melanggar akan kita beri sanksi tegas, kita tidak ingin bulan suci diganggu kepentingan bisnis yang mengganggu ibadah," tutur Foke sapaan akrabnya.
Lewat Perda DKI Jakarta Nomor 10 tahun 2004 tentang Kepariwisataan, diatur bahwa jam operasional tempat hiburan seperti karaoke, cuma dapat beroperasi pukul 20.30 WIB hingga 01.30 WIB. Sementara, klub malam, diskotik, tempat pijat, dan permainan ketangkasan sudah harus tutup sehari sebelum dan selama bulan Rhamadan.
Bagikan