Latest Updates

Aku Sudah Berobat dan Berdoa Tapi Belum Sembuh Juga


Nasehat ini beliau sampaikan saat bertemu dengan orang-orang yang sakit dan meminta nasehat pada beliau.

Pertanyaan: Wahai Asy-Syaikh saya diuji dengan suatu penyakit dan telah berusaha mencari kesembuhan tapi belum mendapatkannya. Apa nasehat Syaikh untuk saya?

Jawab: Berkata Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah ta’ala:

Nasehat saya bagi teruji dengan suatu penyakit:

Bahwa orang yang sakit sangat butuh untuk mengetahui sebab-sebab yang mendatangkan kesembuhan, maka tidak cukup engkau menginginkan kesembuhan namun tidak berusaha keras mencari kesembuhan. Ketahuilah bahwa Allah Ta’ala tidaklah menimpakan kepada kita penyakit kecuali untuk memberikan kesembuhan pada kita, tidaklah Allah Ta’ala memberikan rasa takut pada kita kecuali untuk memberikan keamanan pada kita. Karena Allah Ta’ala adalah Maha Penyayang, Maha Pemurah, dan Maha Bijaksana, mengatur hamba-Nya dengan aturan-Nya yang terbaik. Maka siapa yang bersama Allah maka Allah Ta’ala akan bersamanya, siapa yang bertawakal kepada-Nya Dialah yang akan mencukupi. Siapa yang hidup dengan selalu berhubungan dengan Allah Ta’ala maka Allah Ta’ala tidak akan menyia-nyiakannya. Maka hati-hatilah dari rasa putus asa, lalu mengatakan aku telah berobat tapi tidak datang pula kesembuhan, aku telah berdo’a tapi tidak dikabulkan.

Wahai hamba Allah ingatlah sesungguhnya kekurangan itu ada pada kita, jika kita telah memperbaiki hubungan antara kita dengan Allah Ta’ala maka bergembiralah. Para ulama berkata: “Tidaklah datang suatu musibah kecuali disebabkan karena dosa dan tidaklah diangkat kecuali dengan sebab taubat.” Maka siapa yang menginginkan kesehatan kalbu, kesehatan badan, kesehatan akal dan sebagainya maka akan tercapai dengan taubat kepada Allah Ta’ala. Dan taubat kepada-Nya bisa terwujud dengan kembali kepada-Nya setelah lalai, setelah banyak main-main, setelah menentang, atau setelah berpaling dari syari’atnya. Maka setiap kita butuh untuk memperbaiki hubungan kita dengan Allah Ta’ala, siapa yang telah memperbaikinya maka bergembiralah dengan apa yang di sisi Allah Ta’ala karena Allah Ta’ala maha mampu akan segala sesuatu, kebaikan semuanya ada di tangan-Nya dan semua urusan kembali kepada-Nya.

Maka yang dituntut adalah mengoreksi dosa-dosa kita, karena dosa kita itu lebih bahaya dari pada rudal jelajah dan lebih bahaya dari tank. Berapa banyak orang yang melakukan dosa namun dia banyak tertawa. Allah Ta’ala berfirman,
فَلاَ يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ

“Maka tidaklah merasa aman dari makar Allah kecuali orang yang merugi.”

Seorang mukmin jika telah melakukan kesalahan maka tidak aman dari hukuman (dan hukuman bisa berupa suatu penyakit). Saya sebutkan sebuah contoh tentang seorang Nabi Allah Ta’ala yaitu Nabi Yunus ‘alaihi salam. Allah Ta’ala berfirman,
وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ * فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنجِي الْمُؤْمِنِينَ

“Dan ingatlah kisah Dzun Nun (Yunus) yang pergi dalam keadaan marah lalu menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya, maka dia berdoa dalam kegelapan: “Bahwa tiada ilah yang benar kecuali Allah, sungguh aku termasuk orang yang zhalim”. (Ini adalah taubat NabiYunus ‘alaihi salam maka), “Maka kami kabulkan doanya dan Kami selamatkan ia dari kedukaan. Demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (Al-Anbiya: 87-88)

Inilah penghormatan ilahy bagi yang bertaubat, dikabulkan doanya dan diselamatkan dari musibahnya, yang mana tidak ada yang mampu melakukannya kecuali Allah Ta’ala. Maka janganlah putus asa dari berdoa memohon kesehatan, tapi jika doa tidak kunjung dikabulkan maka kembali koreksilah dirimu, periksa dosa-dosamu.

Saya tunjukan suatu perkara pada kalian yang jika kalian melakukannya maka akan datng kesembuhan insyaallah. Perkara itu adalah hendaknya engkau bangun dan shalat di sepertiga malam terakhir, engkau menyeru Rabbamu dan sujud tersungkur di hadapan-Nya, karena Allah Ta’ala itu maha baik dan maha penyayang. Karena Allah Ta’ala turun ke langit dua pada saat sepertiga malam terakhir sembari berfirman: “Apakah ada orang yang berdoa sehingga Aku mengabulkannya, apakah ada orang yang meminta sehingga Aku memberinya, apakah ada yang meminta ampun sehingga aku mengampuninya.” Betapa Allah Ta’ala memuliakan kita dengan kemurahan-Nya. Inilah waktu yang tepat untuk berdoa sehingga segera dikabulkan. Maka sadarkanlah kalbu kalian, jangan menjadi orang yaang banyak berleha-leha, lalai dan banyak main-main. Jika kita berlambat-lambat maka kitalah yang akan terlambat, bukannya kita ditinggal tapi kita sendirilah yang membuat kita terlambat meraih anugerah Allah Ta’ala yang sangat luas. Wallahu ‘alam bishawab.

Diterjemahkan oleh

‘Umar Al-Indunisy

Darul Hadits – Ma’bar, Yaman
Sumber : http://thalibmakbar.wordpress.com 

Bagikan

Sudah Fahamkah anda tentang Islam ?


Islam adalah nama bagi sebuah din/agama yang haq, agama yang diridhai oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya. Islam bukan sekedar kepercayaan yang mengandung sikap pasrah semata tanpa ada rambu-rambu khusus -seperti syari’at yang diajarkan Nabi kepada kita- sebagaimana yang diklaim oleh kaum liberal dan pluralis.
Buktinya, di dalam hadits Jibril Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa Islam itu meliputi; syahadat/persaksian bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- kecuali Allah, Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji. Lalu, dimanakan bisa ditemukan ajaran-ajaran ini kalau bukan dalam agama Islam yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Di dalam hadits yang lain, dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menegaskan, “Islam dibangun di atas lima perkara: kewajiban untuk mentauhidkan Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji.” (HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16, ini lafal Muslim, lihat Fath al-Bari [1/63] dan Syarh Muslim [2/31]). Berdasarkan riwayat hadits ini dapat kita ketahui juga bahwasanya istilah ‘tauhid’ bukanlah istilah baru yang tidak dikenal di masa Nabi, bahkan Nabi sendirilah yang mengajarkannya kepada kita!
Dalam jalur riwayat lain -di dalam Shahih Muslim- masih dari Ibnu Umar juga disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara: kewajiban beribadah kepada Allah -semata- dan mengingkari segala sesembahan selain-Nya, mendirikan sholat, menunaikan zakat, haji ke baitullah, dan puasa Ramadhan.” (lihat Syarh Muslim [2/32])
Berdasarkan dalil-dalil semacam itulah para ulama -di antaranya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah- mendefinisikan bahwa islam adalah: ‘Kepasrahan kepada Allah dengan bertauhid, bersikap tunduk kepada-Nya dengan melakukan ketaatan, dan berlepas diri dari kemusyrikan beserta segenap penganutnya’ (lihat Hushul al-Ma’mul, hal. 104). Apabila kita cermati maka pengertian ini sangat bersesuaian dengan dalil-dalil yang telah disebutkan di atas.
Ada satu hal yang patut untuk digarisbawahi di sini adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan beberapa ungkapan untuk menyebutkan syahadat, yaitu:
  1. Kewajiban mentauhidkan Allah
  2. Kewajiban beribadah kepada Allah -semata- dan mengingkari segala sesembahan selain-Nya
  3. Bersaksi bahwa tiada sesembahan -yang benar- selain Allah dan Muhammad utusan Allah
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa barangsiapa yang tidak memenuhi ketiga hal di atas maka tidak bisa disebut sebagai seorang muslim. Artinya, orang yang bukan muslim itu bisa mencakup:
  1. Orang yang tidak mentauhidkan Allah, dan ini mencakup semua orang selain pemeluk Islam, bahkan mencakup kaum munafikin walaupun mereka ‘berbaju’ Islam, dan juga tercakup di dalamnya kaum atheis yang tidak meyakini adanya tuhan. Allah ta’ala berfirman tentang orang-orang munafikin (yang artinya), “Di antara manusia ada yang mengatakan, ‘Kami beriman kepada Allah dan hari akhir’ padahal mereka itu bukan orang-orang yang beriman.” (QS. al-Baqarah: 8)
  2. Orang yang beribadah kepada Allah namun tidak mengingkari sesembahan selain-Nya, yaitu orang-orang musyrik yang mempersekutukan Allah dalam ibadah. Mereka beribadah kepada Allah dan juga beribadah kepada selain Allah, kelompok ini pun sebenarnya sudah tercakup dalam kategori yang pertama di atas. Allah ta’ala berfirman tentang mereka (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka Allah haramkan atasnya surga, dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tiada seorang penolongpun bagi orang-orang zalim itu.” (QS. al-Ma’idah: 72). Allah ta’ala juga berfirman mengenai status sesembahan selain-Nya (yang artinya), “Yang demikian itu, karena Allah adalah satu-satunya [sesembahan] yang benar sedangkan segala sesuatu yang mereka seru/sembah selain-Nya adalah batil…” (QS. al-Hajj: 62)
  3. Orang yang beribadah kepada Allah semata dan mengingkari sesembahan selain-Nya namun tidak mau mengikuti ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau diutus kepada mereka, seperti halnya kaum ahli kitab di Yaman yang didakwahi oleh Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu. Oleh karenanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -yang beliau itu diutus oleh Allah untuk mengajarkan agama Islam kepada segenap manusia- telah menegaskan dalam sabdanya, dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau bersabda, “Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Tidaklah seorang pun yang mendengar kenabianku di antara umat ini entah dia Yahudi atau Nasrani, lalu dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan risalah/ajaran yang aku bawa melainkan dia pasti termasuk golongan penduduk neraka.” (HR. Muslim no. 153, lihat Syarh Muslim [2/243]). Oleh sebab itu an-Nawawi rahimahullah memberi judul bab untuk hadits ini dengan judul ‘Kewajiban beriman terhadap risalah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berlaku bagi segenap manusia dan dihapusnya semua agama dengan agamanya’ (lihat Syarh Muslim [2/242])
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Cara agar Ikhlas dalam setiap Amalan

Ketahuilah setan akan senantiasa menggoda manusia untuk merusak amal shalihnya. Dengan
demikian, seorang mukmin akan senantiasa berjihad dengan musuhnya, iblis sampai dia menemui Rabb-nya di atas keimanan kepada-Nya dan keikhlasan di setiap amal yang dikerjakannya. Di antara faktor yang dapat mendorong seorang untuk berlaku ikhlas adalah sebagai berikut,
  • Berdo’a
Hidayah berada di tangan Allah dan hati para hamba berada di antara dua jari Allah, Dia membolak-balikkannya sesuai kehendak-Nya. Oleh karena itu, mohonlah perlindungan kepada-Nya, Zat yang ditangan-Nya-lah hidayah berada, tampakkanlah hajat dan kefakiranmu kepada-Nya. mintalah selalu kepada-Nya agar Dia memberikan keikhlasan kepadamu. Do’a yang sering dipanjatkan oleh Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu adalah do’a berikut,
اللهم اجعل عملي كلها صالحا, واجعله لوجهك خالصا, و لا تجعل لأحد فيه شيئا
“Ya Allah, jadikanlah seluruh amalku sebagai amal yang shalih, Ikhlas karena mengharap Wajah-Mu, dan janganlah jadikan di dalam amalku bagian untuk siapapun.”
  • Menyembunyikan Amal
Amal yang tersembunyi -dengan syarat memang amal tersebut patut disembunyikan-, lebih layak diterima di sisi-Nya dan hal tersebut merupakan indikasi kuat bahwa amal tersebut dikerjakan dengan ikhlas.
Seorang mukhlis yang jujur senang menyembunyikan berbagai kebaikannya sebagaimana dia suka apabila keburukannya tidak terkuak. Hal ini sebagaimana diutarakan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِى ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ الإِمَامُ الْعَادِلُ ، وَشَابٌّ نَشَأَ فِى عِبَادَةِ رَبِّهِ ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِى الْمَسَاجِدِ ، وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِى اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ ، وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّى أَخَافُ اللَّهَ . وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
“Ada tujuh golongan yang akan dinaungi Allah ta’ala dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan selain naungan-Nya. mereka adalah seorang pemimpin yang adil; seorang pemuda yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah; seorang pria yang hatinya senantiasa terpaut dengan masjid; dua orang yang saling mencintai karena Allah, mereka berkumpul dan berpisah di atas kecintaan kepada-Nya; seorang pria yang diajak (berbuat tidak senonoh) oleh seorang wanita yang cantik, namun pria tersebut mengatakan, “Sesungguhnya saya takut kepada Allah”; seorang pria yang bersedekah kemudian dia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu aa yang telah disedekahkan oleh tangan kanannya; seorang pria yang mengingat Allah dalam keadaan sunyi dan air matanya berlinang.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Bisyr ibnul Harits mengatakan, “Janganlah engkau beramal untuk diingat. Sembunyikanlah kebaikan sebagaimana engkau menyembunyikan keburukan.
Shalat nafilah yang dikerjakan pada malam hari lebih utama daripada shalat sunnah pada siang hari, demikian pula beristighfar di waktu sahur daripada waktu selainnya, dikarenakan pada saat itu merupakan waktu yang lebih mendukung untuk menyembunyikan dan mengikhlaskan amal.”
  • Melihat Amal Orang Shalih yang Berada di Atasmu
Janganlah anda memperhatikan amalan orang yang sezaman denganmu, yaitu orang berada di bawahmu dalam hal berbuat kebaikan. Perhatikan dan jadikanlah para nabi dan orang shalih terdahulu sebagai panutan anda. Allah ta’ala berfirman,
أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ قُلْ لا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ هُوَ إِلا ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ (٩٠)
“Mereka Itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran). Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh umat.” (Al An’am: 90).
Bacalah biografi para ulama, ahli ibadah, dan zuhhad (orang yang zuhud), karena hal itu lebih mampu untuk menambah keimanan di dalam hati.
  • Menganggap Remeh Amal
Penyakit yang sering melanda hamba adalah ridha (puas) dengan dirinya. Setiap orang yang memandang dirinya sendiri dengan pandangan ridha, maka hal itu akan membinasakannya. Setiap orang yang ujub akan amal yang telah dikerjakannya, maka keikhlasan sangat sedikit menyertai amalannya, atau bahkan tidak ada sama sekali keikhlasan dalam amalnya, dan bisa jadi amal shalih yang telah dikerjakan tidak bernilai.
Sa’id bin Jubair mengatakan, “Seorang bisa masuk surga berkat dosanya  dan seorang bisa masuk neraka berkat kebaikannya. Maka ada yang bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Sa’id menjawab, “Pria tadi mengerjakan kemaksiatan namun dirinya senantiasa takut akan siksa Allah atas dosa yang telah dikerjakannya, sehingga tatkala bertemu Allah, Dia mengampuninya dikarenakan rasa takutnya kepada Allah. Pria yang lain mengerjakan suatu kebaikan, namun dia senantiasa ujub (bangga) dengan amalnya tersebut, sehingga tatkala bertemu Allah, dia pun dimasukkan ke dalam neraka Allah.”
  • Khawatir Amal Tidak Diterima
Anggaplah remeh setiap amal shalih yang telah anda perbuat. Apabila anda telah mengerjakannya, tanamkanlah rasa takut, khawatir jika amal tersebut tidak diterima. Diantara do’a yang dipanjatkan para salaf adalah,
اللهم إنا نسألك العمل الصالح و حفظه
“Ya Allah kami memohon kepada-Mu amal yang shalih dan senantiasa terpelihara.”
Diantara bentuk keterpeliharaan amal shalih adalah amal tersebut tidak disertai dengan rasa ujub dan bangga dengan amal tersebut, namun justru amal shalih terpelihara dengan adanya rasa takut dalam diri seorang bahwa amal yang telah dikerjakannya tidak serta merta diterima oleh-Nya. Allah ta’ala berfirman,
وَلا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا تَتَّخِذُونَ أَيْمَانَكُمْ دَخَلا بَيْنَكُمْ أَنْ تَكُونَ أُمَّةٌ هِيَ أَرْبَى مِنْ أُمَّةٍ إِنَّمَا يَبْلُوكُمُ اللَّهُ بِهِ وَلَيُبَيِّنَنَّ لَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (٩٢)
“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. dan Sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.” (An Nahl: 92).
Ibnu Katsir mengatakan, ["Mereka menunaikan sedekah, namun hati mereka takut dan khawatir, bahwa amalan mereka tidak diterima di sisi-Nya. mereka takut karena (sadar) mereka tidak menunaikan syarat-syaratnya secara sempurna. Imam Ahmad dan Tirmidzi telah meriwayatkan hadits dari Ummul Mukminin, 'Aisyah radhiallahu 'anhu. Dia bertanya kepada rasulullah, "Wahai rasulullah, mengenai ayat,
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ (٦٠)
"Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka." (Al Mukminun: 60).
Apakah mereka yang tersebut dalam ayat itu adalah orang-orang yang melakukan tindak pencurian, perzinaan, dan meminum khamr, karena mereka takut kepada Allah (atas kemaksiatan yang telah dikerjakannya)? Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun menjawab, "Bukan, wahai putri ash Shiddiq. Akan tetapi, mereka adalah orang yang menunaikan shalat, puasa, dan sedekah, namun mereka khawatir apabila amalan tersebut tidak diterima oleh-Nya." Keikhlasan memerlukan mujadahah (perjuangan) yang dilakukan sebelum, ketika, dan setelah beramal.]
  • Tidak Terpengaruh Perkataan Manusia atas Amalan yang Telah Dikerjakan
Seorang yang diberi taufik oleh Allah ta’ala tidaklah terpengaruh oleh pujian manusia apabila mereka memujinya atas kebaikan yang telah dilakukannya. Apabila dia mengerjakan ketaatan, maka pujian yang dilontarkan oleh manusia hanya akan menambah ketawadhu’an dan rasa takut kepada Allah. Dia yakin bahwa pujian manusia kepada dirinya merupakan fitnah baginya, sehingga dia pun berdo’a kepada Allah ta’ala agar menyelamatkan dirinya dari fitnah tersebut. Dia tahu bahwa hanya Allah semata, yang pujian-Nya bermanfaat dan celaan-Nya semata yang mampu memudharatkan hamba.
Dia menempatkan manusia layaknya penghuni kubur yang tidak mampu memberikan manfaat kepada dirinya dan tidak mampu menolak bahaya dari dirinya. Ibnul Jauzi mengatakan,
أن ترك النظر إلى الخلق و محو الجاه من قلوبهم بالعمل و إخلاص القصد و ستر الحال هو الذي رفع من رفع
["Meninggalkan perhatian makhluk dan tidak mencari-cari kedudukan di hati mereka dengan beramal shalih, mengikhlaskan niat, dan menyembunyikan amal merupakan faktor yang mampu meninggikan derajat orang yang mulia."][1]
  • Sadar bahwa Manusia Bukanlah Pemilik Surga dan Neraka
Apabila hamba mengetahui manusia yang menjadi faktor pendorong untuk melakukan riya akan berdiri bersamanya di padang Mahsyar dalam keadaan takut dan telanjang,dia akan mengetahui bahwasanya memalingkan niat ketika beramal kepada mereka tidaklah akan mampu meringankan kesulitan yang dialaminya di padang Mahsyar. Bahkan mereka akan mengalami kesempitan yang sama dengan dirinya.
Apabila anda telah mengetahui hal itu, niscaya anda akan mengetahui bahwamengikhlaskan amal adalah benar adanya, tidak sepatutnya amalan ditujukan kecuali kepada Zat yang memiliki surga dan neraka.
Oleh karena itu, seorang mukmin wajib meyakini bahwa manusia tidaklah memiliki surge sehingga mereka mampu memasukkan anda ke dalamnya. Demikian pula, mereka tidaklah mampu untuk mengeluarkan anda dari neraka apabila anda meminta mereka untuk mengeluarkan anda. Bahkan apabila seluruh umat manusia, dari nabi Adam hingga yang terakhir, berkumpul dan berdiri di belakang anda, mereka tidaklah mampu untuk menggiring anda ke dalam surge meski selangkah. Dengan demikian, mengapa anda mesti riya di hadapan mereka, padahal mereka tidak mampu memberikan apapun kepada anda?
Ibnu Rajab mengatakan,
من صلى وصام وذكر الله يقصد بذلك عرض الدنيا فإنه لا خير له فيه بالكلية لأنه لاتقع في ذلك لصاحبه لما يترتب عليه من الإثم فيه ولا لغيره
“Barangsiapa yang berpuasa, shalat, dan berzikir kepada Allah demi tujuan duniawi, maka amalan itu tidak mendatangkan kebaikan baginya sama sekali. Seluruh amal tersebut tidak bermanfaat bagi pelakunya dikarenakan mengandung dosa (riya), dan (tentunya amalan itu) tidak bermanfaat bagi orang lain.”[2]
Kemudian, anda tidak akan mampu memperoleh keinginan anda dari manusia yang menjadi tujuan riya yang telah anda lakukan, yaitu agar mereka memuji anda. Bahkan mereka akan mencela anda, menyebarkan keburukan anda di tengah-tenah mereka, dan tumbuhlah kebencian di hati mereka kepada anda. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من يراء يراء الله به
“Barangsiapa yang berbuat riya, maka Allah akan menyingkap niat busuknya itu di hadapan manusia” (HR. Muslim).
Demikianlah akibat orang yang riya. Namun, apabila anda mengikhlaskan amal kepada-Nya, niscaya Allah dan makhluk akan mencintaimu. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدًّا (٩٦)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah[911] akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih saying (kecintaan)” (Maryam: 96).
  • Ingatlah Anda Sendirian di Dalam Kubur
Jiwa akan merasa tenang dengan mengingat perjalanan yang akan dilaluinya di akhirat. Apabila hamba meyakini bahwa dirinya akan dimasukkan ke dalam liang lahat sendiri, tanpa seorang pun menemani, dan tidak ada yang bermanfaat bagi dirinya selain amal shalih, dan dia yakin bahwa seluruh manusia,  tidak akan mampu menghilangkan sedikit pun, azab kubur yang diderita, maka dengan demikian hamba akan menyakini bahwa tidak ada yang mampu menyelematkannya melainkan mengkihlaskan amal kepada Sang Pencipta semata. Ibnul Qayyim mengatakan,
صدق التأهب للقاء الله من أنفع ما للعبد وأبلغه في حصول استقامته فإن من استعد للقاء الله انقطع قلبه عن الدنيا وما فيها ومطالبها
["Persiapan yang benar untuk bertemu dengan Allah merupakan salah satu faktor yang paling bermanfaat dan paling ampuh bgi hamba untuk merealisasikan keistiqamahan diri. Karena setiap orang yang mengadakan persiapan untuk bertemu dengan-Nya, hatinya akan terputus dari dunia dan segala isinya."][3]
Diterjemahkan dari Khutuwaat ilas Sa’adah karya Dr. Abdul Muhsin Al Qasim (Imam dan Khatib Masjid Nabawi serta Hakim di Pengadilan Umum).
Buaran Indah, Tangerang, 1 Rajab 1431 H.
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim / Ikhwanmuslim.com


[1] Shaidul Khatir hlm. 251 [2] Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/67.
[3] Thariqul Hijratain hlm. 297.

Nadzar dalam Sorotan

Nadzar dalam Sorotan
Telah menjadi ketentuan pokok dalam permasalahan tauhid, segala bentuk peribadatan mutlak ditujukan kepada Allah semata, tidak kepada selain-Nya. Dengan kata lain, tatkala motivasi utama dilakukannya  peribadatan tersebut adalah selain Allah, seperti ingin memperoleh pujian dan sanjungan, maka pelakunya telah terjerumus ke dalam jurang kesyirikan. Wal ‘iyadzu biillah.
Nadzar adalah Ibadah
Pembaca budiman, salah satu bentuk ibadah yang wajib ditujukan kepada Allah semata adalah nadzar. Nadzar merupakan tindakan seorang yang mewajibkan dirinya untuk melakukan suatu ibadah kepada Allah, yang pada dasarnya hal tersebut tidak wajib[1].
Di antara dalil yang menunjukkan nadzar merupakan ibadah adalah firman Allah ta’alaa dalam surat Al Insaan ayat 7, yang artinya,
“Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.”
Dalam ayat ini, Allah memuji para hamba-Nya yang menunaikan nadzar dan menjadikan hal itu sebagai salah satu sebab yang dapat memasukkan mereka ke dalam surga. Sehingga dapat disimpulkan bahwa nadzar adalah ibadah, karena suatu perbuatan yang dapat menyebabkan pelakunya masuk ke dalam surga adalah ibadah.
Selain itu Allah juga memerintahkan para hamba-Nya untuk menyempurnakan nadzar dalam surat Al Hajj ayat 29. Perintah untuk menyempurnakan nadzar menunjukkan bahwa nadzar adalah ibadah[2].
Berdasarkan ketentuan yang telah disebutkan di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa seorang yang melakukan nadzar dengan niat atau motivasi selain Allah, maka dirinya telah melakukan kesyirikan karena telah memalingkan ibadah kepada selain Allah.
Penyimpangan dalam Masalah Nadzar
Terdapat beberapa penyimpangan seputar nadzar yang sering dilakukan sebagian kaum muslimin, diantara penyimpangan tersebut berada dalam tataran maksiat, dan sebagian bahkan masuk ke dalam kesyirikan dan kekufuran. Wal ‘iyadzu billahi. Berikut kami paparkan di antara penyimpangan tersebut,
a) Bernadzar untuk bermaksiat kepada Allah. Hal ini semisal perkataan seorang, “Saya bernadzar demi Allah untuk mencuri.” Nadzar jenis ini haram untuk ditunaikan, meskipun niat nadzar tersebut ditujukan kepada Allah, karena tidak mungkin beribadah kepada Allah dengan kemaksiatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا وفاء لنذر في معصية
“Tidak boleh menunaikan nadzar dalam rangka bermaksiat kepada Allah.”[3]. Wajib bagi pelaku nadzar jenis ini untuk membatalkan nadzarnya dan membayar kaffarah sumpah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من نذر نذرا في معصية, فكفارته كفارة يمين
“Barangsiapa yang bernadzar dalam rangka bermaksiat kepada Allah, maka (hendaknya dirinya membayar) kaffarah sumpah.”[4].
b) Bernadzar kepada selain Allah, seperti tindakan seorang yang pergi ke kuburan orang shalih lantas berujar, “Aku bernadzar demi kyai fulan” atau ucapan, “Aku bernadzar demi kuburan ini”, dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada mereka. Tidak diragukan lagi hal ini merupakan kesyirikan yang mengeluarkan pelakunya dari Islam, karena  telah memalingkan ibadah kepada selain Allah.
c) Bentuk penyimpangan dalam masalah nadzar yang juga sering dilakukan sebagian orang  dan merupakan turunan dari bentuk penyimpangan yang kedua adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh  Qasim Al Hanafi dalam Syarh Duraril Bihar, “Bentuk nadzar yang sering dilakukan sebagian besar kaum awwam (adalah nadzar yang dilakukan) di sisi kuburan-kuburan, seperti seorang yang mengharapkan kembalinya orang yang dicintai yang telah lama menghilang, seorang yang sedang sakit dan membutuhkan kesembuhan atau ia memiliki suatu kebutuhan, kemudian mendatangi kuburan orang-orang shalih, meletakkan kain tabir penutup kuburan di kepalanya lalu memohon, “Wahai tuan fulan, apabila Allah mengembalikan kerabatku yang telah lama pergi, atau menyembuhkan penyakitku, atau menunaikan hajatku. Maka (aku berkewajiban untuk memberi) kepadamu emas, atau perak, atau makanan, air atau minyak zaitun. Nadzar jenis ini batil berdasarkan kesepakatan ulama dengan beberapa alasan berikut, pertama, hal tersebut merupakan bentuk bernadzar kepada makhluk, sedangkan nadzar kepada makhluk hukumnya haram karena nadzar adalah ibadah dan ibadah tidak boleh ditujukan kepada makhluk. Kedua, media yang menjadi objek sasaran nadzar adalah seonggok mayit, padahal mayit tidaklah mampu untuk berbuat sesuatu pun  (bagi dirinya terlebih bagi orang lain). Ketiga, pelaku nadzar berkeyakinan bahwa mayit tersebut mampu berbuat sesuatu, (baik memberikan manfaat atau menghilangkan mara bahaya dari dirinya) di samping Allah, padahal keyakinan semacam ini merupakan keyakinan kekufuran.”[5].
Nadzar jenis ini mengeluarkan pelakunya dari Islam, karena menjadikan mayit tersebut sebagai perantara untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah ta’alaa. Allah mengkategorikan orang yang berkeyakinan seperti ini sebagai musyrik dalam firman-Nya, yang artinya,
“Dan mereka menyembah (sesembahan) selain Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah”. (Yunus: 18).
Allah tabaraka wa ta’alaa juga berfirman, yang artinya,
“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya” (Az Zumaar: 3). Dalam ayat ini, secara gamblang Allah memberitakan bahwa di antara keyakinan syirik adalah keyakinan yang beredar luas di tengah-tengah kaum muslimin bahwa mayit orang shalih dapat menjadi perantara yang dapat mendekatkan seorang kepada Allah ta’alaa.
d) Sebagian pelaku nadzar walaupun bernadzar kepada Allah, mereka meyakini bahwa kebutuhan mereka tidak akan terpenuhi melainkan dengan bernadzar terlebih dahulu. Keyakinan semacam ini salah dan salah satu bentuk berburuk sangka kepada Allah, Dzat yang Mahapemurah dan Mahapemberi kepada para hamba-Nya. Para ulama’ berkata, “Sesungguhnya barangsiapa yang berkeyakinan bahwa kebutuhannya tidak akan terpenuhi melainkan dengan bernadzar, maka keyakinannya tersebut hukumnya haram. Karena dirinya berkeyakinan bahwa Allah tidak akan memberi (karunia kepada hamba-Nya) kecuali dengan adanya imbalan. Hal ini merupakan salah satu bentuk berburuk sangka kepada Allah dan keyakinan yang salah terhadap-Nya, justru sebaliknya Allah adalah Dzat yang sangat royal dalam memberikan nikmat kepada para hamba-Nya.”[6].

Jenis Nadzar
Mungkin sebagian orang bertanya, mengapa nadzar itu tergolong ibadah, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membencinya dan pernah bersabda,
إنه لا يأتي بخير
“Sesungguhnya nadzar tidaklah mendatangkan kebaikan.”[7].
Sebelum menjawab pertanyaan ini, maka kita perlu mengetahui jenis nadzar ditinjau dari sebabnya. Berdasarkan tinjauan ini, nadzar terbagi dua, yaitu:
a) Nadzar muthlaq, yaitu seorang bernadzar untuk melakukan ibadah kepada Allah tanpa mengharapkan ganti dari Allah, seperti ucapan seorang, “Saya bernadzar untuk puasa 3 hari berturut-turut karena Allah”. Ulama’ mengatakan nadzar jenis ini tidaklah termasuk dalam sabda Nabi di atas, karena dia bernadzar tanpa mengharapkan imbalan duniawi.
b) Nadzar muqayyad, seorang bernadzar untuk beribadah kepada Allah sembari mengharapkan gantinya, seperti seorang yang mengatakan, “Apabila Allah menyembuhkanku, maka aku akan berpuasa seminggu berturut-turut.” Atau seorang yang berucap, “Wahai Allah, apabila Engkau meluluskanku dalam ujian nasional, maka aku akan bersedekah sekian ratus ribu.” Orang yang melaksanakan nadzar jenis ini mempersyaratkan sesuatu, yang apabila dipenuhi, barulah dirinya melaksanakan ibadah tersebut. Nadzar jenis inilah yang dikatakan oleh para ulama’ termasuk dalam hadits di atas dan dicela oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنْ الْبَخِيلِ
“Sesungguhnya nadzar hanyalah berfungsi agar orang yang pelit beramal mau untuk beramal.”[8].

Jangan Terbiasa Bernadzar!
Mungkin yang patut direnungkan oleh mereka yang sering bernadzar adalah hendaknya  nadzar jangan dijadikan kebiasaan, walaupun berbentuk mutlak dan tidak dimaksudkan untuk mengharapkan ganti dari Allah ta’alaa, karena terkadang pelaku nadzar tidak mampu menunaikannya dengan sempurna dan dalam pelaksanaannya mengandung banyak kesalahan dan kekurangan, sehingga dirinya terjatuh dalam dosa[9].
Adapun bernadzar kepada Allah dengan mengharapkan ganti, seyogyanya ditinggalkan,  karena hal tersebut ciri orang yang pelit dalam beramal. Pelakunya telah disifati oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang pelit, karena seorang yang pelit tidaklah mau untuk beramal hingga syarat yang dia ajukan terpenuhi, sehingga tidak ubahnya seperti seorang pedagang yang mengharapkan imbalan[10].
Patut diingat meskipun demikian perbuatan menunaikan nadzar merupakan sesuatu yang dipuji oleh Allah sebagaimana keterangan yang telah lalu.
Kita memohon kepada Allah agar menjadikan diri kita ikhlas dan benar dalam beramal, sesungguhnya Dia Mahamengabulkan do’a. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat, dan mereka yang senantiasa tegak di atas tauhid dan sunnah beliau. Aamin.
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim



[1] Taudlihul Ahkam 7/132 [2] Al Qaulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid 1/155, Darul Aqidah
[3] HR. Muslim nomor 1641, dinukil dari Taudlihul Ahkam 7/135
[4] HR. Abu Dawud nomor 3322
[5] Dinukil dari Fathul Majiid hal. 153, Darul Hadits, dengan beberapa penyesuaian
[6] At Tamhid lisyarhi Kitabit Tauhid hal. 160, Darut Tauhid
[7] HR. Muslim nomor 3095
[8] HR. Muslim nomor 3095
[9] Taudlihul Ahkam 7/134
[10] At Tamhid lisyarhi Kitabit Tauhid hal.159 dengan beberapa penyesuaian.

Bagikan

Ucapan “Shadaqallahul ‘Azhim” setelah membaca Al Quran?

Ucapan “Shadaqallahul ‘Azhim” setelah membaca Al Quran?
Bacaan “shadaqallahul ‘azhim” setelah membaca Al Qur’an merupakan perkara yang tidak asing bagi kita tetapi sebenarnya tidak ada tuntunannya, termasuk amalan yang tidak ada contoh dari Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam dan para sahabatnya, bahkan menyelisihi amalan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam ketika memerintahkan Ibnu Mas’ud untuk berhenti dari membaca Al Qur’an dengan kata “hasbuk”(cukup), dan Ibnu Mas’ud tidak membaca shadaqallahul’adzim.
Dalam Shahih Al Bukhari disebutkan:
Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata bahwa Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam telah berkata kepadaku, “Bacakan kepadaku (Al Qur’an)!” Aku menjawab, “Aku bacakan (Al Qur’an) kepadamu? Padahal Al Qur’an sendiri diturunkan kepadamu.” Maka Beliau menjawab, “Ya”. Lalu aku membacakan surat An Nisaa’ sampai pada ayat 41. Lalu beliau berkata, “Cukup, cukup.” Lalu aku melihat beliau, ternyata kedua matanya meneteskan air mata.
Syaikh Muhammad Musa Nashr menyatakan, “Termasuk perbuatan yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah) yaitu mayoritas qori’ (orang yang membaca Al Qur’an) berhenti dan memutuskan bacaannya dengan mengatakan shadaqallahul ‘azhim, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghentikan bacaan Ibnu Mas’ud dengan mengatakan hasbuk (cukup). Inilah yg dikenal para salaf dan tidak ada keterangan bahwa mereka memberhentikan atau mereka berhenti dengan mengucapkan shadaqallahul ‘azhim sebagaimana dianggap baik oleh orang-orang sekarang”. (Al Bahtsu wa Al Istiqra’ fi Bida’ Al Qurra’, Dr Muhammad Musa Nashr, cet 2, th 1423H)
Kemudian beliau menukil pernyataaan Syaikh Mustafa bin Al ‘Adawi dalam kitabnya Shahih ‘Amal Al Yaumi Wa Al Lailhlm 64 yang berbunyi, “Keterangan tentang ucapan Shadaqallahul’azhim ketika selesai membaca Al Qur’an: memang kata shadaqallah disampaikan Allah dalam Al Qur’an dalam firman-Nya,
قُلْ صَدَقَ اللَّهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah:’Benarlah (apa yang difirmankan) Allah.’ Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.” (Qs Ali Imran:95)
Memang benar, Allah Maha Benar dalam setiap waktu. Namun masalahnya kita tidak pernah mendapatkan satu hadits pun yang menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhiri bacaannya dengan kata “Shadaqallahul’azhim.”
Di sana ada juga orang yang menganggap baik hal-hal yang lain namun kita memiliki Rasulullah shallallanhu’alaihi wa sallam sebagai contoh teladan yang baik. Demikian juga kita tidak menemukan satu atsar, meski dari satu orang sahabat walaupun kita mencukupkan pada hadits-hadits Nabi shallallanhu’alaihi wa sallam setelah kitab Allah dalam berdalil terhadap masalah apa pun. Kami telah merujuk kepada kitab Tafsir Ibnu Katsir, Adhwa’ Al Bayan, Mukhtashar Ibnu katsir dan Fathul Qadir, ternyata tak satu pun yang menyampaikan pada ayat ini, bahwa Rasulullah shallallanhu’alaihi wa sallam pernah mengakhiri bacaannya dengan shadaqallahul ‘azhim.(Lihat Hakikat Al Maru Bil Ma’ruf Wa Nahi ‘Anil munkar, Dr Hamd bin Nashir Al ‘Amar,cet 2)
Bila dikatakan “Cuma perkataan saja, apa dapat dikatakan bid’ah?” Perlu kita pahami,bahwa perbuatan bid’ah itu meliputi perkataan dan perbuatan sebagaimana sabda Rasulullah shallallanhu’alaihi wa sallam,
Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR Muslim)
Sehingga apa pun bentuknya, perkataan atau perbuatan yang dimaksudkan untuk ibadah yang tidak ada contohnya dalam agama, maka ia dikategorikan bid’ah. Bid’ah ialah tata cara baru dalam agama yang tidak ada contohnya, yang menyelisihi syariat dan dalam mengamalkannya dimaksudkan sebagai ibadah kepada Allah.
Wallahu a’lam.
***


Sumber:
Tanya Jawab Majalah As Sunnah ed 04/IX/1426H/2005M (dengan sedikit pengeditan)
Murajaah: Ust Abu Rumaysho M A Tausikal

Bagikan

Hukum Wanita Mengeriting Rambut

Bagaimana hukum wanita mengeriting rambut? Padahal mengeriting adalah membuat lurus tergerai menjadi kusut tidak teratur. Ada yang mengeriting rambut untuk waktu yang tidak lama. Tetapi ada juga sebagian wanita pergi ke salon untuk menambahkan beberapa cairan ke rambut mereka hingga rambut mereka menjadi keriting dalam waktu enam bulan. Bagaiman pendapat Syaikh?

Jawaban Syaikh Shalih al-Fauzan:
Mengeriting rambut bagi wanita hukumnya mubah, selama tidak menyerupai wanita-wanita kafir, juga tidak untuk dipamerkan kepada pria yang bukan mahramnya. Selain itu, orang yang mengeriting rambut hendaklah wanita dari kerabat  dekatnya, baik dikeriting untuk waktu yang singkat ataupun untuk waktu yang lama, baik menggunakan bahan-bahan yang mubah lainnya.
Catatan yang perlu diperhatikan, tidak boleh bagi wanita pergi ke salon-salon untuk melakukan itu semua, karena seorang wanita yang keluar dari rumahnya menimbulkan fitnah (godaan bagi pria) dan dikhawatirkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Sebab wanita-wanita yang bekerja di salon bukanlah tipe wanita yang berpegang teguh terhadap agama. Terlebih lagi jika pegawai salon itu seorang lelaki, karena diharamkan bagi wanita yang menampakkan rambutnya kepada laki-laki yang bukan mahramnya.
***
Artikel muslimah.or.id
Sumber:
Fatwa Perhiasan Wanita, Abi Muhammad Asyraf bin Abdul Maqshud (Hal 149-150)
Murajaah: Ust Muhammad Abduh Tausikal