Latest Updates

Ketika Dia Terlalu Menarik

http://hikayahhati.blogspot.com/2010/06/ketika-dia-terlalu-menarik.html
Memilih sesuatu yang indah-indah sebenarnya lumrah lagi alamiah. Berbusana dan penampilan yang indah, memakai kendaraan, perabot, tempat yang indah, hp cakep dan tentu saja pendamping yang keren. Keinginan manusia untuk memilih yang indah-indah sah saja.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri pernah berkomentar tentang orang yang suka memakai pakaian dan sandal yang indah bahwa sesungguhnya Allah Maha Indah dan menyintai keindahan. Di dalam Al Quran, Allah juga berfirman,
“Dijadikan indah pada(pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik(surga).” (Ali Imran:14)
Kebolehan tadi bisa tetap dalam kondisi aslinya namun bisa juga berubah. Ia bisa jadi sesuatu yang tercela dan terlarang. Kapankah itu semua tidak menjadi tercela? Apabila manusia paham dengan hakikat keindahan tersebut. Bahwa itu semua hanyalah ujian dan cobaan yang diberikan oleh Allah untuk para hamba. Yang dengan keberadaan hal itu bisa diketahui mana orang yang lebih mendahulukan ketaatan dan ridha Allah dibandingkan kenikmatan dan memperturutkan syahwat. Ia menjadikan semua kenikmatan tadi sebagai sarana untuk berbekal bagi kehidupan akhiratnya. Demikian pula ia menikmati keindahan tadi demi membantunya dalam meraih keridhaan Allah. Fisiknya memanfaatkan kenikmatan tadi namun hatinya tidak terikat dengannya. Namun bila sebaliknya, yaitu menjadikan semua keindahan tadi sebagai tujuan maka semua kecintaan pada keindahan tadi menjadi tercela. Sehingga pikiran, aktivitasnya, lahir batinnya untuk hal tersebut, dan akhirnya lupa dengan tujuan dia diciptakan maka ini akan membuat tambahan kesengsaraan dan adzab dari Allah.
APA MENARIKNYA
Keindahan wanita bagi lelaki tentu saja adalah hal yang paling menggetarkan dibandingkan yang lainnya. Ini ditunjukkan dengan didahulukan penyebutannya dalam ayat di atas “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita..” Cobaan berupa wanita ini bisa dikatakan paling berat dari yang lain-lain. Ingat juga, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengatakan,
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku sebuaah cobaan yang lebih berat bagi lelaki selain wanita.”
(Bukhari dan Muslim)
Di sisi yang lain Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga menyebutkan bahwa wanita shaliha bagi seorang suami adalah sebuah perhiasan yang mahal dan terindah di dunia ini.
“Dunia itu adalah kesenangan, dan sebaik-baik kesenagannya adalah seorang wanita shaliha. Apabila ia dipandang oleh suaminya maka ia menyenangkan, bila memerintahnya ia taat, dan bila ia pergi maka ia menjaga dirinya dan harta suaminya.”
Seorang perempuan mesti berusaha dan berbekal diri untuk menjadi shaliha meskipun ia belum menikah. Yah, jelas sebuah pernikahan bukanlah terminal akhir bagi seorang wanita untuk meraih keshalihan. Namun ia hanya menjadi salah satu tahap perjalanan seorang wanita shaliha dalam menempuh perjalanan hidup.
Walaupun bukan sesuatu yang dini bila berbincang tentang pernikahan, namun anggaplah banyak diantara kita yang belum menikah. Seorang perempuan mesti berusaha dan berbekal diri untuk menjadi shaliha meskipun ia belum menikah. Yah, jelas sebuah pernikahan bukanlah terminal akhir bagi seorang wanita untuk meraih keshalihan. Namun ia hanya menjadi salah satu tahap perjalanan seorang wanita shaliha dalam menempuh perjalan hidup. Artinya, shaliha tak harus menunggu ketika seorang wanita telah menikah saja. Namun keshalihan bisa diusahakan dan dimiliki sebelum itu, dan kapan pun waktunya.
FISIK YANG MENARIK
Suka terhadap lawan jenis? Bukan sesuatu yang mengherankan disamping juga bukan istimewa. Karena manusia secara naluriah akan suka dengan lawan jenisnya. Faktor ketertarikan seseorang pada yang lain bisa dibilang beragam. Yang pasti setiap kelebihan entah sekecil apapun akan menarik orang lain untuk menyukai orang tersebut. Beberapa hal yang membuat kita tertarik diantaranya. Cantik, keren, tampan, anggun. Tertarik dengan fisik lawan jenis yang menarik? Bukan sesuatu yang salah tentu saja. Keindahan fisik lawan jenis selalu saja menawarkan daya tarik perdana bagi orang yang melihatnya. Kisah para wanita yang dikumpulkan oleh istri Al Aziz untuk melihat secara langsung bagaimana Nabi Yusuf membuktikan hal ini. Para wanita yang begitu terpesona melihat ketampanan Nabi Yusuf dengan tanpa sadar mengiris jari tangan mereka sendiri. Secara jelas diungkapkan oleh Rasulullah di dalam sebuah haditsnya,
“Seorang wanita itu dinikahi karena empat hal, karena kecantikannya, kekayaannya, keturunannya dan karena agamanya”
APA YANG MESTI DILAKUKAN
Siapa yang bisa mencegah hati untuk mencintai seseorang? Namun memang ada rambu-rambu yang mesti diperhatikan agar rasa suka tersebut tidak megarah pada hal-hal yang membuat jadi dosa. Apa yang sebaiknya kita lakukan bila tertimpa rasa suka pada lawan jenis?
1. Langsung Melamar
Kalau memang sudah mampu, langsung lamar dan menikahlah dengan orang yang kamu sukai. Mau apa lagi, karena inilah hal yang memang puncak yang diinginkan oleh jiwa. Sebagaimana nasihat Nabi Muhammad bagi para pemuda yang telah memiliki kemampuan untuk menyegerakan pernikahan.
2. Jaga Hati dan Pandangan
Cara ini yang harus ditempuh saat kemampuan menikah belum kunjung datang. Pandangan dan hati yang terjaga dari banyak melihat dan mengigat dirinya akan menyelamatkan seseorang dari terjebak pada perbuatan-perbuatan yang bisa mengantarkan pada perzinaan.
Sumber:
Diketik ulang dari Majalah Elfata Edisi 02 Volume 10-2010


Obat Ketika Merindukan Si Dia

Tak bisa disangkal, manusia akan selalu bersentuhan dengan cinta. Sementara kecintaan memberikan buah kerinduan. Orang yang mencinta akan rindu kepada orang yang dicintainya.
Kerinduan kepada kekasih, seringkali membekaskan duka. Karena sudah tahu bahwa pacaran bukanlah jalan yang halal untuk ditempuh, maka nikahlah satu-satunya yang jadi pilihan. Padahal si pria belum mampu memberi nafkah lahir. Wanita pun masih muda dan dituntut oleh orang tua untuk menyelesaikan sekolah atau meraih gelar. Akhirnya, karena tidak kesampaian untuk nikah, maka pacaran terselubung sebagai jalan keluar karena tidak kuat menahan rasa rindu pada si dia. Lewat chatting, inbox FB atau sms jadi jalur alternatif.
Inilah yang dialami pemuda masa kini. Mungkin juga dialami para aktivis dakwah. Agar dikira tidak melalui pacaran, maka sms dan chatting yang jadi pilihan. Seharusnya rasa rindu ini bisa dipendam dengan melakukan beberapa kiat yang akan kami utarakan[1]. Semoga Allah senantiasa memberi taufik.
Terapi dari Rasa Rindu dengan Segera Nikah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, barangsiapa yang memiliki baa-ah[2], maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.”[3]
Yang dimaksud dengan syabab (pemuda) di sini adalah siapa saja yang belum mencapai usia 30 tahun. Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah.[4]
Secara bahasa, baa-ah bermakna jima’ (berhubungan suami istri). Sedangkan mengenai makna baa’ah dalam hadits di atas terdapat ada dua pendapat di antara para ulama, namun intinya kembali pada satu makna.
Pertama: makna baa-ah adalah sebagaimana makna secara bahasa yaitu jima’. Sehingga makna hadits adalah barangsiapa yang mempunyai kemampuan untuk berjima’ karena mampu memberi nafkah nikah, maka menikahlah. Barangsiapa yang tidak mampu berjima’ karena ketidakmampuannya memberi nafkah, maka hendaklah ia memperbanyak puasa untuk menekan syahwatnya dan untuk menghilangkan angan-angan jeleknya.
Pendapat kedua: makna baa-ah adalah kemampuan memberi nafkah. Dimaknakan demikian karena konsekuensi dari seseorang mampu berjima’, maka tentu ia harus mampu memberi nafkah. Sehingga makna hadits adalah barangsiapa yang telah mampu memberi nafkah nikah, maka hendaklah ia menikah. Barangsiapa yang tidak mampu, maka berpuasalah untuk menekan syahwatnya.
Jadi maksud dari dua pendapat ini adalah sama yaitu harus punya kemampuan untuk memberi nafkah. Sehingga inilah yang menjadi syarat seseorang (khususnya pria) untuk membina rumah tangga dengan kekasih pilihan, yaitu ia memiliki kemampuan untuk memberi nafkah keluarga. Hal ini yang banyak disalahpahami sebagian pemuda. Mereka ngebet minta nikah pada ortunya. Padahal sesuap nasi saja masih ngemis pada ortunya. Hanya Allah yang memberi taufik.
Dari sini, barangsiapa yang memiliki kemampuan, maka segeralah untuk menikah guna memadamkan rasa rindu yang ada. Menikah di sini tidak mesti dengan orang yang selalu dirindukan. Boleh jadi, juga dengan orang lain. Karena nikah telah mencukupkan segala kebutuhan jiwa di samping dalam nikah akan ditemui banyak keberkahan. Jika memungkinkan menikah dengan orang yang dirindukan, maka menikahlah dengannya. Ini merupakan terapi manjur.
Berusaha untuk Ikhlas dalam Beribadah
Ikhlas adalah obat manjur penyakit rindu. Jika seseorang benar-benar ikhlas menghadapkan diri pada Allah, maka Allah akan menolongnya dari penyakit rindu dengan cara yang tak pernah terbetik di hati sebelumnya. Cinta pada Allah dan nikmat dalam beribadah akan mengalahkan cinta-cinta lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sungguh, jika hati telah merasakan manisnya ibadah kepada Allah dan ikhlas kepada-Nya, niscaya ia tidak akan menjumpai hal-hal lain yang lebih manis, lebih indah, lebih nikmat dan lebih baik daripada Allah. Manusia tidak akan meninggalkan sesuatu yang dicintainya, melainkan setelah memperoleh kekasih lain yang lebih dicintainya. Atau karena adanya sesuatu yang ditakutinya. Cinta yang buruk akan bisa dihilangkan dengan cinta yang baik. Atau takut terhadap sesuatu yang membahayakannya.”
Hati yang tidak ikhlas akan selalu diombang-ambingkan nafsu, keinginan, tuntutan serta cinta yang memabukkan. Keadaannya tak beda dengan sepotong ranting yang meliuk ke sana kemari mengikuti arah angin.
Banyak Memohon pada Allah
Setiap do’a yang kita panjatkan pasti akan bermanfaat. Boleh jadi do’a tersebut segera dikabulkan oleh Allah. Boleh jadi sebagai simpanan di akhirat. Boleh jadi dengan do’a kita tadi, Allah akan menghilangkan kejelekan yang semisal.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ وَإِمَّا أَنُْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا ». قَالُوا إِذاً نُكْثِرُ. قَالَ « اللَّهُ أَكْثَرُ »
“Tidaklah seorang muslim memanjatkan do’a pada Allah selam tidak mengandung dosa dan memutuskan silaturahmi (antar kerabat, pen) melainkan Allah akan beri padanya tiga hal: [1] Allah akan segera mengabulkan do’anya, [2] Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan [3] Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal.” Para sahabat lantas mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak berdo’a.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Allahu akbar (Allah Maha besar).”[5]
Ketika seseorang berada dalam kesempitan dan dia bersungguh-sungguh dalam berdo’a, merasakan kebutuhannya pada Allah, niscaya Allah akan mengabulkan do’anya. Termasuk di antaranya apabila seseorang memohon pada Allah agar dilepaskan dari penyakit rindu dan kasmaran yang terasa mengoyak-ngoyak hatinya. Penyakit yang menyebabkan dirinya gundah gulana, sedih dan sengsara. Oleh karena itu, perbanyaklah do’a.
Memenej Pandangan
Pandangan yang berulang-ulang adalah pemantik terbesar yang menyalakan api hingga terbakarlah api dengan kerinduan. Orang yang memandang dengan sepintas saja jarang yang mendapatkan rasa kasmaran. Namun pandangan yang berulang-ulanglah yang merupakan biang kehancuran. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk menundukkan pandangan agar hati ini tetap terjaga. Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى
“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.”[6]
Mujahid mengatakan,
غَضُّ الْبَصَرِ عَنْ مَحَارِمِ اللَّهِ يُورِثُ حُبَّ اللَّهِ
“Menundukkan pandangan dari berbagai hal yang diharamkan oleh Allah, akan menimbulkan rasa cinta pada Allah.”[7]Berarti menahan pandangan dari wanita yang bukan mahrom akan menimbulkan rasa cinta pada Allah. Menundukkan pandangan yang dimaksud di sini ada dua macam yaitu memandang aurat sesama jenis dan memandang wanita yang bukan mahram.
Tiga faedah dari menundukkan pandangan telah disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[8].
Pertama: Akan merasakan manis dan lezatnya iman. Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah, Dia akan memberi ganti dengan yang lebih baik.
Kedua: Akan memberi cahaya pada hati dan akan memiliki firasat yang begitu cemerlang.
Ketiga: Akan lebih menguatkan hati.
Lebih Giat Menyibukkan Diri
Dalam situasi kosong kegiatan biasanya seseorang lebih mudah untuk berangan memikirkan orang yang ia cintai. Dalam keadaan sibuk luar biasa berbagai pikiran tersebut mudah untuk lenyap begitu saja. Oleh karena itu, untuk memangkas kerinduan seseorang hendaknya menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat baik untuk dunia atau akhirat. Hakikat dari rasa rindu adalah kesibukan hati yang kosong. Di kala sepi sendiri, tanpa aktivitas muncullah bayangan sang kekasih, wajah, gerak-gerik, dan segala yang berkaitan dengannya. Seluruhnya hanya sekedar bayangan dan khayalan yang berakhir dengan kesedihan diri. Tiada manfaatnya sedikit pun bagi kehidupan kita.
Ibnul Qayyim menyebutkan nasehat seorang sufi yang ditujukan pada Imam Asy Syafi’i. Ia berkata,
وَنَفْسُكَ إِنْ أَشْغَلَتْهَا بِالحَقِّ وَإِلاَّ اشْتَغَلَتْكَ بِالبَاطِلِ
“Jika dirimu tidak tersibukkan dengan hal-hal yang baik (haq), pasti akan tersibukkan dengan hal-hal yang sia-sia (batil).”[9]
Menghindari Nyanyian dan Film Percintaan
Nyanyian dan film-film percintaan memiliki andil besar untuk mengobarkan kerinduan pada orang yang dicintai. Apalagi jika nyanyian tersebut dikemas dengan mengharu biru, mendayu-dayu tentu akan menggetarkan hati orang yang sedang ditimpa kerinduan. Akibatnya rasa rindu kepadanya semakin memuncak, berbagai angan-angan yang menyimpang pun terbetik dalam hati dan pikiran. Bila demikian, sudah layak jika nyanyian dan tontonan seperti ini dan secara umum ditinggalkan. Demi keselamatan dan kejernihan hati. Sehingga sempat diungkapkan oleh beberapa ulama nyanyian adalah mantera-mantera zina.
Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan sayuran.”
Fudhail bin Iyadh[10] mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.”
Adh Dhohak[11] mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.”[12]
Imam Asy Syafi’i berkata, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak.”[13]
Bayangkan Kekurang Si Dia
Ingatlah selalu, orang yang engkau rindukan bukanlah pribadi yang sempurna. Ia sangat banyak kekurangan, sehingga tidak layak untuk dipuja, disanjung atau senantiasa dirindukan. Orang yang dirindukan sebenarnya tidak seperti yang dikhayalkan dalam lamuman.
Ibnul Jauzi berkata, “Sesungguhnya manusia itu penuh dengan najis dan kotoran. Sementara orang yang dimabuk cinta senantiasa melihat kekasihnya dalam keadaan sempurna. Disebabkan cinta ia tidak lagi melihat adanya aib.”
Kita bisa menghukumi sesuatu dengan timbangan keadilan sedangkan orang yang sedang kasmaran tengah dikuasai oleh hawa nafsunya sehingga tak dapat bersikap dengan adil. Kecintaannya menutupi seluruh aib yang dimiliki oleh pasangannya.
Para ahli hikmah berkata, “Mata yang diliputi oleh hawa nafsu akan menjadi buta.”
Semoga Allah memberi taufik. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
Pangukan, Sleman, Kamis, 24 Dzulqo’dah 1430 H
[1] Kiat-kiat yang ada kami olah dari pembahasan di Majalah Elfata, edisi 02, volume 05, tahun 2005.
[2] Baa-ah ada tiga penyebutan lainnya: [1] al baah (الْبَاءَة), [2] al baa’ (الْبَاء), dan [3] al baahah (الْبَاهَة). Lihat Syarh Muslim, An Nawawi, 5/70, Mawqi’ Al Islam.
[3] HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400.
[4] Lihat Syarh Muslim, 5/70.
[5] HR. Ahmad no. 11149, 3/18, dari Abu Sa’id. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (bagus). Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.
[6] HR. Muslim no. 2159.
[7] Majmu’ Al Fatawa, 15/394, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H
[8] Majmu’ Al Fatawa, 15/420-426
[9] Al Jawabul Kafi, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 109, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah
[10] Beliau adalah Abu Ali Al-Fudhail bin Iyadh bin Mas’ud bin Bisyr At-Tamimi Al-Yarbu’i, dilahirkan di Samarqan. Beliau adalah seorang yang dinilai tsiqah dan menghaafal banyak hadits. Sebagian ulama, seperti Imam Al-Bukhari Ali bin Al-Madini, dan Yahya bin Ma’in menyebutkan bahwa beliau wafat pada tahun 186 H di kota Makkah dalam usia lebih dari delapan puluh tahun.
[11] Beliau adalah Dhahhak bin Muzaahim Al-Hilaali Abul Qasim atau Abu Muhammad Al-Khurasani. Beliau wafat setelah abad pertama hujriah. Lihat biografi beliau di kitab Taqrib at-Tahdzib (I/373).
[12] Lihat Talbis Iblis, 289, Asy Syamilah
[13] Talbis Iblis, 283

source: hikayahhati.blogspot.com


Hati Seperti Inilah Yang Jadi Incaran Setan

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,
"…Merealisasikan la ilaha illallah adalah suatu hal yang sangat sulit. Oleh sebab itu sebagian salaf berkata: ‘Setiap maksiat merupakan bentuk lain dari kesyirikan’. Sebagian salaf juga mengatakan: ‘Tidaklah aku berjuang menundukkan jiwaku untuk menggapai sesuatu yang lebih berat daripada ikhlas’. Dan tidak ada yang bisa memahami hal ini selain seorang mukmin. Adapun selain mukmin, maka dia tidak akan berjuang menundukkan jiwanya demi menggapai keikhlasan.
Oleh sebab itu, pernah ditanyakan kepada Ibnu Abbas, ‘Orang-orang Yahudi mengatakan: Kami tidak pernah diserang waswas dalam sholat’. Maka beliau menjawab: ‘Apa yang perlu dilakukan oleh setan terhadap hati yang sudah hancur?’ Setan tidak akan repot-repot meruntuhkan hati yang sudah hancur. Akan tetapi ia akan berjuang untuk meruntuhkan hati yang makmur -dengan iman-.
Oleh sebab itu, tatkala ada yang mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa terkadang seseorang -diantara para sahabat- mendapati di dalam hatinya sesuatu yang terasa berat dan tidak sanggup untuk diucapkan -karena buruknya hal itu, pent-. Maka beliau berkata, ‘Benarkah kalian merasakan hal itu?‘. Mereka menjawab, ‘Benar’. Beliau pun bersabda, ‘Itulah kejelasan iman‘ (HR. Muslim). Artinya hal itu merupakan bukti yang sangat jelas yang menunjukkan keimanan kalian, karena perasaan itu muncul dalam dirinya sementara hal itu tidak akan muncul kecuali pada hati yang lurus dan bersih." (al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/38] cet. Makt. al-’Ilmu)
Apa yang dimaksud dengan merealisasikan la ilaha illallah?
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata,
"Sesungguhnya merealisasikan tauhid itu adalah dengan membersihkan dan memurnikannya dari kotoran syirik besar maupun kecil serta kebid’ahan yang berupa ucapan yang mencerminkan keyakinan maupun yang berupa perbuatan/amalan dan mensucikan diri dari kemaksiatan. Hal itu akan tercapai dengan cara menyempurnakan keikhlasan kepada Allah dalam hal ucapan, perbuatan, maupun keinginan, kemudian membersihkan diri dari syirik akbar -yang menghilangkan pokok tauhid- serta membersihkan diri dari syirik kecil yang mencabut kesempurnaannya serta menyelamatkan diri dari bid’ah-bid’ah." (al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 20 cet. Makt. al-’Ilmu)
Benarkah sesulit itu merealisasikan la ilaha illallah?
Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah -seorang tabi’in- mengatakan,
"Aku telah berjumpa dengan tiga puluh orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka semua merasa takut dirinya tertimpa kemunafikan. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengatakan bahwa imannya sebagaimana iman Jibril dan Mika’il." (HR. Bukhari secara mu’allaq dan dimaushulkan oleh Ibnu Abi Khaitsamah di dalam Tarikhnya tanpa menyebutkan jumlah sahabat yang ditemui, lihat Fath al-Bari [1/136-137] cet. Dar al-Hadits)
Ibrahim at-Taimi rahimahullah -seorang fuqaha’ dan ahli ibadah di kalangan tabi’in- berkata,
"Tidaklah aku hadapkan ucapanku kepada amalanku melainkan aku khawatir termasuk orang yang didustakan/tidak dipercayai nasehatnya." (HR. Bukhari secara mu’allaq dan dimaushulkan oleh beliau dalam Tarikhnya, lihat Fath al-Bari [1/136-137] cet. Dar. al-Hadits)
Ibnu Hajar rahimahullah berkata -menjelaskan maksud ucapan di atas-,
"Maksudnya; aku merasa takut orang akan mendustakan diriku karena melihat amalanku yang menyelisihi ucapanku, sehingga dia akan berkata, ‘Seandainya kamu jujur niscaya kamu tidak akan melakukan sesuatu yang menyelisihi ucapanmu’. Beliau mengucapkan hal itu karena beliau sering memberikan nasehat/wejangan kepada orang-orang -sementara beliau mengkhawatirkan amalannya, pent-…" (Fath al-Bari [1/136])
Ibnul Qayyim rahimahulllah berkata,
"… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik." (al-Fawa’id, hal. 34 cet. Dar al-’Aqidah)
Lalu bagaimana langkah mewujudkannya?
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,
"…Tauhid (la ilaha illallah) itu tidak akan terwujud kecuali dengan tiga perkara:
Pertama, ilmu; karena kamu tidak mungkin mewujudkan sesuatu sebelum mengetahui/memahaminya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Ketahuilah, bahwa tiada sesembahan yang benar selain Allah.’ (QS. Muhammad: 19).
Kedua, i’tiqad/keyakinan, apabila kamu telah mengetahui namun tidak meyakini dan justru menyombongkan diri/angkuh maka itu artinya kamu belum merealisasikan tauhid. Allah ta’ala berfirman mengenai orang-orang kafir (yang artinya), ‘Apakah dia -Muhammad- hendak menjadikan sesembahan-sesembahan -yang banyak- itu menjadi satu sesembahan saja, sungguh ini merupakan perkara yang sangat mengherankan.’ (QS. Shaad: 5). Mereka -orang kafir- tidak meyakini keesaan Allah dalam hal peribadahan -meskipun mereka memahami seruan Nabi tersebut, pent-.
Ketiga, inqiyad/ketundukan, apabila kamu telah mengetahui dan meyakini namun tidak tunduk maka itu artinya kamu belum mewujudkan tauhid. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Sesungguhnya mereka itu dahulu apabila dikatakan kepada mereka bahwa tiada sesembahan yang benar selain Allah maka mereka pun menyombongkan diri/bersikap angkuh dan mengatakan; apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami hanya gara-gara seorang penyair gila?’ (QS. ash-Shaffat: 35-36)…" (al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/55] cet. Makt. al-’Ilmu)
Ilmu tentang la ilaha illallah

Syaikh Abdullah bin Ahmad al-Huwail berkata,
"… La ilaha illallah tidak akan bermanfaat bagi orang yang mengucapkannya kecuali apabila dia telah mewujudkan syarat-syaratnya yang jumlahnya ada delapan:
  1. Ilmu -tentang makna la ilaha illallah, pent- yang menepis kebodohan
  2. Keyakinan yang menepis adanya keragu-raguan
  3. Keikhlasan yang menepis kemusyrikan
  4. Kejujuran yang menepis dusta/kepura-puraan
  5. Kecintaan yang menepis kebencian
  6. Ketundukan yang menepis sikap meninggalkan
  7. Sikap menerima yang menepis penolakan
  8. Mengingkari segala sesembahan selain Allah…" (at-Tauhid al-Muyassar, hal. 15)
Makna la ilaha illallah

Syaikh Abdullah bin Ahmad al-Huwail berkata,
"…Maknanya: Tidak ada sesembahan yang benar selain Allah.
Makna lain yang keliru adalah:
[1] Tidak ada sesembahan selain Allah.
Ini keliru, sebab makna(konsekuensi)nya: segala yang disembah benar atau salah adalah Allah.
[2] Tidak ada pencipta selain Allah.
Ini memang sebagian dari maknanya, akan tetapi bukan itu yang dimaksudkan; sebab seandainya itu merupakan makna la ilaha illallah niscaya tidak akan terjadi persengketaan antara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kaumnya, sebab mereka mengakui hal ini -yaitu keesaan Allah dalam hal mencipta, dsb. Pent-.
[3] Tidak ada penetapan hukum selain oleh Allah.
Ini juga sebagian saja dari maknanya, akan tetapi hal ini belum mencukupi dan bukan maksud utamanya. Sebab seandainya Allah dieesakan dalam perkara hukum namun tetap ada selain-Nya yang disembah/diibadahi -oleh seorang hamba- maka tauhid belum dianggap terwujud." (at-Tauhid al-Muyassar, hal. 13)
Apa konsekuensi la ilaha illallah?
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata,
"… (konsekuensinya) adalah meninggalkan peribadahan kepada segala sesuatu selain Allah, hal ini ditunjukkan oleh ungkapan penolakan yaitu dalam ucapan kita ‘la ilaha’, dan beribadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya, yang hal ini ditunjukkan oleh penetapan yaitu dalam ucapan kita ‘illallah’…" (at-Tauhid li as-Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 50)
Apa itu ibadah?
Syaikh Abdullah bin Ahmad al-Huwail berkata,
"Pengertiannya: Secara bahasa artinya perendahan diri dan ketundukan. Adapun menurut syari’at adalah sebuah ungkapan yang mewakili segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, berupa ucapan dan perbuatan, yang tersembunyi/batin maupun yang tampak/lahir." (at-Tauhid al-Muyassar, hal. 53)
Apa saja pilar-pilar ibadah?
Syaikh Abdullah bin Ahmad al-Huwail berkata,
"Pilar-pilar ibadah:
  1. Kecintaan (mahabbah)
  2. Rasa takut (khauf)
  3. Harapan (raja’)." (at-Tauhid al-Muyassar, hal. 53)
Ada apa antara cinta dengan ibadah?
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,
"…Pokok semua amalan adalah kecintaan. Seorang manusia tidak akan melakukan amalan/perbuatan kecuali untuk apa yang dicintainya, bisa berupa keinginan untuk mendapatkan manfaat atau demi menolak madharat. Apabila dia melakukan sesuatu; maka bisa jadi hal itu terjadi karena untuk mendapatkan sesuatu yang disenangi karena barangnya seperti halnya makanan, atau karena sebab luar yang mendorongnya seperti halnya mengkonsumsi obat. Adapun ibadah kepada Allah itu dibangun di atas kecintaan, bahkan ia merupakan hakekat/inti daripada ibadah. Sebab seandainya kamu melakukan sebentuk ibadah tanpa ada unsur cinta niscaya ibadahmu akan terasa hampa tak ada ruhnya sama sekali padanya…" (al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/3] cet. Makt. al-’Ilmu)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata,
"… Tidak akan sempurna tauhid seorang hamba sampai sempurna kecintaan hamba tersebut kepada Rabbnya dan kecintaan kepada-Nya harus lebih didahulukan di atas semua perkara yang dicintainya dan mengalahkan itu semua serta kecintaan kepada Allah itulah yang menghakimi semua kecintaan yang lain sehingga semua yang dicintai oleh hamba tersebut senantiasa mengikuti kecintaan ini yang dengannya seorang hamba akan meraih kebahagiaan dan keberuntungan dirinya." (al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 95)
Menggapai manisnya iman dengan cinta

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Ada tiga perkara yang barangsiapa ketiganya terdapat dalam dirinya niscaya dia akan merasakan manisnya iman. [1] Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada segala sesuatu selain keduanya. [2] Tidaklah dia mencintai seseorang kecuali karena Allah. [3] Dia benci kembali kepada kekafiran setelah Allah selamatkan dirinya darinya sebagaimana orang yang tidak suka dilemparkan ke dalam kobaran api." (HR. Bukhari dan Muslim)
Kamu ini memang aneh!

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
"Sungguh sebuah perkara yang amat mengherankan tatkala kamu telah mengenal-Nya lantas kamu justru tidak mencintai-Nya. Kamu mendengar da’i yang menyeru kepada-Nya namun kamu justru berlambat-lambat dalam memenuhi seruan-Nya. Kamu menyadari betapa besar keuntungan yang akan dicapai dengan bermuamalah dengan-Nya namun kamu justru memilih bermuamalah dengan selain-Nya. Kamu mengerti betapa berat resiko kemurkaan-Nya namun kamu justru nekat membangkang kepada-Nya. Kamu bisa merasakan betapa pedih kegalauan yang muncul dengan bermaksiat kepada-Nya namun kamu justru tidak mau mencari ketentraman dengan cara taat kepada-Nya. Kamu bisa merasakan betapa sempitnya hati tatkala menyibukkan diri dengan selain ucapan-Nya atau pembicaraan tentang-Nya namun kemudian kamu justru tidak merindukan kelapangan hati dengan cara berdzikir dan bermunajat kepada-Nya. Kamu pun bisa merasakan betapa tersiksanya hatimu tatkala bergantung kepada selain-Nya namun kamu justru tidak meninggalkan hal itu menuju kenikmatan yang ada dalam pengabdian serta kembali bertaubat dan taat kepada-Nya. Dan yang lebih aneh lagi daripada ini semua adalah kesadaranmu bahwa kamu pasti membutuhkan-Nya dan bahwa Dia merupakan sosok yang paling kamu perlukan, akan tetapi kamu justru berpaling dari-Nya dan mencari-cari sesuatu yang menjauhkan dirimu dari-Nya." (al-Fawa’id, hal. 45)
Mana bukti cintamu?
Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
"Katakanlah (Muhammad): ‘Jika kamu benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imran: 31). Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
(muslim.or.id)


Bagikan

Hadiah Allah Ta'ala Buat Orang Yang Gemar Puasa Sunnah

Tidakkah engkau tahu pahala yang melimpah di balik amalan puasa sunnah. Semoga dengan mengetahui hal ini membuat kita semakin giat melakukannya.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.”” (HR. Muslim no. 1151)
Dalam riwayat lain dikatakan,
قَالَ اللَّهُ كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ ، فَإِنَّهُ لِى
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa. Amalan puasa adalah untuk-Ku”.” (HR. Bukhari no. 1904)
Dalam riwayat Ahmad dikatakan,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ كُلُّ الْعَمَلِ كَفَّارَةٌ إِلاَّ الصَّوْمَ وَالصَّوْمُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ
Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “Setiap amalan adalah sebagai kafaroh/tebusan kecuali amalan puasa. Amalan puasa adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya”.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)
Pahala yang Tak Terhingga Bagi Orang yang Berpuasa
Dari riwayat pertama, dikatakan bahwa setiap amalan akan dilipatgandakan sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kebaikan yang semisal. Kemudian dikecualikan amalan puasa. Amalan puasa tidaklah dilipatgandakan seperti tadi. Amalan puasa tidak dibatasi lipatan pahalanya. Oleh karena itu, amalan puasa akan dilipatgandakan oleh Allah hingga berlipat-lipat tanpa ada batasan bilangan.
Kenapa bisa demikian? Ibnu Rajab Al Hambali –semoga Allah merahmati beliau- mengatakan, ”Karena puasa adalah bagian dari kesabaran”. Mengenai ganjaran orang yang bersabar, Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10). Al Auza’i mengatakan, “Pahala bagi orang yang bersabar tidak bisa ditakar dan ditimbang. Mereka benar-benar akan mendapatkan ketinggian derajat.” As Sudi mengatakan, “Balasan orang yang bersabar adalah surga.”[1]
Sabar itu ada tiga macam yaitu [1] sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah, [2] sabar dalam meninggalkan yang haram dan [3] sabar dalam menghadapi takdir yang terasa menyakitkan. Ketiga macam bentuk sabar ini, semuanya terdapat dalam amalan puasa. Dalam puasa tentu saja di dalamnya ada bentuk melakukan ketaatan, menjauhi hal-hal yang diharamkan, juga dalam puasa seseorang berusaha bersabar dari hal-hal yang menyakitkan seperti menahan diri dari rasa lapar, dahaga, dan lemahnya badan. Itulah mengapa amalan puasa bisa meraih pahala tak terhingga sebagaimana sabar.
Amalan Puasa Khusus untuk Allah
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Allah Ta’ala berfirman, “Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa. Amalan puasa adalah untuk-Ku”. Riwayat ini menunjukkan bahwa setiap amalan manusia adalah untuknya. Sedangkan amalan puasa, Allah khususkan untuk diri-Nya. Allah menyandarkan amalan tersebut untuk-Nya.
Kenapa Allah bisa menyandarkan amalan puasa untuk-Nya?
[Alasan pertama] Karena di dalam puasa, seseorang meninggalkan berbagai kesenangan dan berbagai syahwat. Hal ini tidak didapati dalam amalan lainnya. Dalam ibadah ihram, memang ada perintah meninggalkan jima’ (berhubungan badan dengan istri) dan meninggalkan berbagai harum-haruman. Namun bentuk kesenangan lain dalam ibadah ihram tidak ditinggalkan. Begitu pula dengan ibadah shalat. Dalam shalat memang kita dituntut untuk meninggalkan makan dan minum. Namun itu dalam waktu yang singkat. Bahkan ketika hendak shalat, jika makanan telah dihidangkan dan kita merasa butuh pada makanan tersebut, kita dianjurkan untuk menyantap makanan tadi dan boleh menunda shalat ketika dalam kondisi seperti itu.
Jadi dalam amalan puasa terdapat bentuk meninggalkan berbagai macam syahwat yang tidak kita jumpai pada amalan lainnya. Jika seseorang telah melakukan ini semua –seperti meninggalkan hubungan badan dengan istri dan meninggalkan makan-minum ketika puasa-, dan dia meninggalkan itu semua karena Allah, padahal tidak ada yang memperhatikan apa yang dia lakukan tersebut selain Allah, maka ini menunjukkan benarnya iman orang yang melakukan semacam ini. Itulah yang dikatakan oleh Ibnu Rajab, “Inilah yang menunjukkan benarnya iman orang tersebut.” Orang yang melakukan puasa seperti itu selalu menyadari bahwa dia berada dalam pengawasan Allah meskipun dia berada sendirian. Dia telah mengharamkan melakukan berbagai macam syahwat yang dia sukai. Dia lebih suka mentaati Rabbnya, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya karena takut pada siksaan dan selalu mengharap ganjaran-Nya. Sebagian salaf mengatakan, “Beruntunglah orang yang meninggalkan syahwat yang ada di hadapannya karena mengharap janji Rabb yang tidak nampak di hadapannya.”. Oleh karena itu, Allah membalas orang yang melakukan puasa seperti ini dan Dia pun mengkhususkan amalan puasa tersebut untuk-Nya dibanding amalan-amalan lainnya.
[Alasan kedua] Puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya yang tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Amalan puasa berasal dari niat batin yang hanya Allah saja yang mengetahuinya dan dalam amalan puasa ini terdapat bentuk meninggalkan berbagai syahwat. Oleh karena itu, Imam Ahmad dan selainnya mengatakan, “Dalam puasa sulit sekali terdapat riya’ (ingin dilihat/dipuji orang lain).” Dari dua alasan inilah, Allah menyandarkan amalan puasa pada-Nya berbeda dengan amalan lainnya.
Sebab Pahala Puasa, Seseorang Memasuki Surga
Lalu dalam riwayat lainnya dikatakan, “Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “Setiap amalan adalah sebagai kafaroh/tebusan kecuali amalan puasa. Amalan puasa adalah untuk-Ku.
Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan, “Pada hari kiamat nanti, Allah Ta’ala akan menghisab hamba-Nya. Setiap amalan akan menembus berbagai macam kezholiman yang pernah dilakukan, hingga tidak tersisa satu pun kecuali satu amalan yaitu puasa. Amalan puasa ini akan Allah simpan dan akhirnya Allah memasukkan orang tersebut ke surga.”
Jadi, amalan puasa adalah untuk Allah Ta’ala. Oleh karena itu, tidak boleh bagi seorang pun mengambil ganjaran amalan puasa tersebut sebagai tebusan baginya. Ganjaran amalan puasa akan disimpan bagi pelakunya di sisi Allah Ta’ala. Dengan kata lain, seluruh amalan kebaikan dapat menghapuskan dosa-dosa yang dilakukan oleh pelakunya. Sehingga karena banyaknya dosa yang dilakukan, seseorang tidak lagi memiliki pahala kebaikan apa-apa. Ada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa hari kiamat nanti antara amalan kejelekan dan kebaikan akan ditimbang, satu yang lainnya akan saling memangkas. Lalu tersisalah satu kebaikan dari amalan-amalan kebaikan tadi yang menyebabkan pelakunya masuk surga.
Itulah amalan puasa yang akan tersimpan di sisi Allah. Amalan kebaikan lain akan memangkas kejelekan yang dilakukan oleh seorang hamba. Ketika tidak tersisa satu kebaikan kecuali puasa, Allah akan menyimpan amalan puasa tersebut dan akan memasukkan hamba yang memiliki simpanan amalan puasa tadi ke dalam surga.
Dua Kebahagiaan yang Diraih Orang yang Berpuasa
Dalam hadits di atas dikatakan, “Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya.”
Kebahagiaan pertama adalah ketika seseorang berbuka puasa. Ketika berbuka, jiwa begitu ingin mendapat hiburan dari hal-hal yang dia rasakan tidak menyenangkan ketika berpuasa, yaitu jiwa sangat senang menjumpai makanan, minuman dan menggauli istri. Jika seseorang dilarang dari berbagai macam syahwat ketika berpuasa, dia akan merasa senang jika hal tersebut diperbolehkan lagi.
Kebahagiaan kedua adalah ketika seorang hamba berjumpa dengan Rabbnya yaitu dia akan jumpai pahala amalan puasa yang dia lakukan tersimpan di sisi Allah. Itulah ganjaran besar yang sangat dia butuhkan.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا تُقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا
Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan) nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya.” (QS. Al Muzammil: 20)
يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ مَا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُحْضَرًا
Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya).” (QS. Ali Imron: 30)
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ
Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya.” (QS. Az Zalzalah: 7)
Bau Mulut Orang yang Berpuasa di Sisi Allah
Ganjaran bagi orang yang berpuasa yang disebutkan pula dalam hadits di atas , “Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.”
Seperti kita tahu bersama bahwa bau mulut orang yang berpuasa apalagi di siang hari sungguh tidak mengenakkan. Namun bau mulut seperti ini adalah bau yang menyenangkan di sisi Allah karena bau ini dihasilkan dari amalan ketaatan dank arena mengharap ridho Allah. Sebagaimana pula darah orang yang mati syahid pada hari kiamat nanti, warnanya adalah warna darah, namun baunya adalah bau minyak kasturi.
Harumnya bau mulut orang yang berpuasa di sisi Allah ini ada dua sebab:
[Pertama] Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Allah di dunia. Ketika di akhirat, Allah pun menampakkan amalan puasa ini sehingga makhluk pun tahu bahwa dia adalah orang yang gemar berpuasa. Allah memberitahukan amalan puasa yang dia lakukan di hadapan manusia lainnya karena dulu di dunia, dia berusaha keras menyembunyikan amalan tersebut dari orang lain. Inilah bau mulut yang harum yang dinampakkan oleh Allah di hari kiamat nanti karena amalan rahasia yang dia lakukan.
[Kedua] Barangsiapa yang beribadah dan mentaati Allah, selalu mengharap ridho Allah di dunia melalui amalan yang dia lakukan, lalu muncul dari amalannya tersebut bekas yang tidak terasa enak bagi jiwa di dunia, maka bekas seperti ini tidaklah dibenci di sisi Allah. Bahkan bekas tersebut adalah sesuatu yang Allah cintai dan baik di sisi-Nya. Hal ini dikarenakan bekas yang tidak terasa enak tersebut muncul karena melakukan ketaatan dan mengharap ridho Allah. Oleh karena itu, Allah pun membalasnya dengan memberikan bau harum pada mulutnya yang menyenangkan seluruh makhluk, walaupun bau tersebut tidak terasa enak di sisi makluk ketika di dunia.[2]
Ganjaran Puasa Lainnya

# Puasa adalah perisai dari api neraka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الصِّيَامُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُّ بِهَا الْعَبْدُ مِنَ النَّارِ
Puasa adalah perisai yang dapat melindungi seorang hamba dari api neraka.”[3]
# Amalan puasa akan memberikan syafa’at bagi orang yang menjalankannya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ الصِّيَامُ أَىْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِى فِيهِ. وَيَقُولُ الْقُرْآنُ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِى فِيهِ. قَالَ فَيُشَفَّعَانِ
Amalan puasa dan amalan Al Qur’an itu akan memberikan syafa’at kepada seorang hamba pada hari kiamat nanti. Amalan puasa akan berkata, “Wahai Tuhanku, saya telah menahannya dari makan dan nafsu syahwat, karenanya perkenankan aku untuk memberikan syafa’at kepadanya”. Dan amalan Al Qur’an pula berkata, “Saya telah melarangnya dari tidur pada malam hari, karenanya perkenankan aku untuk memberi syafa’at kepadanya.” Beliau bersabda, “Maka syafa’at keduanya diperkenankan”.[4]
# Bagi orang yang berpuasa akan disediakan pintu surga Ar Royyan
Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ فِى الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ ، يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ ، فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ
”Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang bernama Ar-Royyaan. Pada hari kiamat orang-orang yang berpuasa akan masuk surga melalui pintu tersebut dan tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut kecuali mereka. Dikatakan kepada mereka, “Di mana orang-orang yang berpuasa?” Maka orang-orang yang berpuasa pun berdiri dan tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut kecuali mereka. Jika mereka sudah masuk, pintu tersebut ditutup dan tidak ada lagi seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut”[5]
Semoga dengan mengetahui keutamaan ini kita bisa lebih giat memperbanyakan amalan puasa sunnah.
Hanya Allah yang beri taufik.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
(rumaysho.com)


[1] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 12/117, Muassasah Qurthubah.
[2] Pembahasan ini kami sarikan dari Latho’if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, 268-290 ditambah beberapa sumber lainnya.
[3] HR. Ahmad dan Baihaqi, dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohihul Jami’
[4] HR. Ahmad, Hakim, Thabrani, periwayatnya shahih sebagaimana dikatakan oleh Al Haytsami dalam Majma’ Zawaid.
[5] HR. Bukhari no. 1896 dan Muslim no. 1152.

Bagikan

Do'a Agar Dianugerahi Akhlak Mulia Dan Dilindungi Dari Nafsu

Di antara do’a lainnya yang disebutkan oleh An Nawawi rahimahullah dalam kitab Riyadhush Sholihin yaitu do’a yang ringkas namun penuh makna adalah do’a berikut ini. Do’a ini berisi permintaan agar dianugerahi akhlak yang mulia, juga agar diberikan taufik untuk dapat beramal sholih.
Do’a tersebut adalah: “Allahumma inni a’udzu bika min munkarotil akhlaaqi wal a’maali wal ahwaa’.”
Hadits yang menyebutkan do’a tersebut adalah:
Dari Ziyad bin ‘Ilaqoh dari pamannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca do’a,
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الأَخْلاَقِ وَالأَعْمَالِ وَالأَهْوَاءِ
Allahumma inni a’udzu bika min munkarotil akhlaaqi wal a’maali wal ahwaa’ [Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari akhlaq, amal dan hawa nafsu yang mungkar].” (HR. Tirmidzi no. 3591, shahih)
Faedah dari hadits dan do’a di atas:
Pertama: Dalam do’a ini kita meminta perlindungan dari akhlak yang jelek. Do’a ini mencakup kita meminta berlindung dari akhlak yang jelek dari sisi syari’at. Termasuk pula kita meminta perlindungan pada Allah dari sesuatu yang dikenal jelek secara batin.
Kedua: Do’a ini mencakup berlindung dari akhlak mungkar seperti begitu takjub dengan diri sendiri, sombong, berbangga diri, hasad dan melampaui batas.
Ketiga: Do’a ini mencakup kita berlindung pada Allah dari amalan yang mungkar, yaitu amalan yang zhohir atau ditampakkan.
Keempat: Do’a berlindung dari amal yang mungkar mencakup zina, minum khomr dan bentuk keharaman lainnya.
Kelima: Do’a ini juga mencakup meminta perlindungan pada keinginan atau nafsu yang mungkar. Dan kebanyakan hawa nafsu mengantarkan kepada kejelekan, itulah umumnya.
Keenam: Do’a berlindung dari keinginan atau nafsu yang mungkar mencakup berlindung dari aqidah yang jelek, niatan-niatan yang batil, dan pemikiran yang sesat.
Ketujuh: Do’a ini mendorong kita agar berakhlak yang mulia dan beramal yang sholih.
Semoga yang singkat ini bermanfaat.
Referensi:
Nuhzatul Muttaqin Syarh Riyadhish Sholihin, Dr. Musthofa Sa’id Al Khin, hal. 1011, Muassasah Ar Risalah, cetakan keempat belas, 1407 H.
Tuhfatul Ahwadzi Bi Syarh Jaami’ At Tirmidzi, Al Mubarakfuri, 10/36, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.

(rumaysho.com)
Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal


Bagikan

10 Hal Yang Sia-Sia Dan Tidak Bermanfaat Dalam Hidup

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in.
Pada posting kali ini, kami akan membawakan beberapa faedah dari kitab Al Fawa’id mengenai hal-hal yang sia-sia dan tidak berfaedah. Hal-hal inilah yang banyak dilalaikan oleh kaum muslimin saat ini, termasuk juga kami. Semoga posting kali ini bisa menjadi nasehat bagi kami dan pembaca sekalian.

Ibnu Qoyyim Al Jauziyah mengatakan bahwa ada sepuluh hal yang tidak bermanfaat.
Pertama: memiliki ilmu namun tidak diamalkan.
Kedua: beramal namun tidak ikhlash dan tidak mengikuti tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketiga: memiliki harta namun enggan untuk menginfakkan. Harta tersebut tidak digunakan untuk hal yang bermanfaat di dunia dan juga tidak diutamakan untuk kepentingan akhirat.
Keempat: hati yang kosong dari cinta dan rindu pada Allah.
Kelima: badan yang lalai dari taat dan mengabdi pada Allah.
Keenam: cinta yang di dalamnya tidak ada ridho dari yang dicintai dan cinta yang tidak mau patuh pada perintah-Nya.
Ketujuh: waktu yang tidak diisi dengan kebaikan dan pendekatan diri pada Allah.
Kedelapan: pikiran yang selalu berputar pada hal yang tidak bermanfaat.
Kesembilan: pekerjaan yang tidak membuatmu semakin mengabdi pada Allah dan juga tidak memperbaiki urusan duniamu.
Kesepuluh: rasa takut dan rasa harap pada makhluk yang dia sendiri berada pada genggaman Allah. Makhluk tersebut tidak dapat melepaskan bahaya dan mendatangkan manfaat pada dirinya, juga tidak dapat menghidupkan dan mematikan serta tidak dapat menghidupkan yang sudah mati.
Itulah sepuluh hal yang melalaikan dan sia-sia. Di antara sepuluh hal tersebut yang paling berbahaya dan merupakan asal muasal segala macam kelalaian adalah dua hal yaitu: hati yang selalu lalai dan waktu yang tersia-siakan.
Hati yang lalai akan membuat seseorang mengutamakan dunia daripada akhirat, sehingga dia cenderung mengikuti hawa nafsu. Sedangkan menyia-nyiakan waktu akan membuat seseorang panjang angan-angan.
Padahal segala macam kerusakan terkumpul karena mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Sedangkan segala macam kebaikan ada karena mengikuti al huda (petunjuk) dan selalu menyiapkan diri untuk berjumpa dengan Rabb semesta alam.
Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Segala puji bagi Allah, yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Faedah ilmu dari Al Fawa’id, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, Darul ‘Aqidah

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
(Rumaysho.com )
Catatan di masa silam, Panggang, Gunung Kidul, pagi hari yang penuh berkah, 16 Muharram 1430 H

Bagikan

Zuhud Bukan Berarti Hidup Tanpa Harta

Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi berbagai nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Sebagian orang salah paham dengan istilah zuhud. Dikira zuhud adalah hidup tanpa harta. Dikira zuhud adalah hidup miskin. Lalu apa yang dimaksud dengan zuhud yang sebenarnya? Semoga tulisan berikut bisa memberikan jawaban berarti.
Mengenai zuhud disebutkan dalam sebuah hadits,
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِى عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِىَ اللَّهُ وَأَحَبَّنِىَ النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « ازْهَدْ فِى الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِى أَيْدِى النَّاسِ يُحِبُّوكَ ».
Dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idi, ia berkata ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amalan yang apabila aku melakukannya, maka Allah akan mencintaiku dan begitu pula manusia.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Zuhudlah pada dunia, Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di sisi manusia, manusia pun akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah dan selainnya. An Nawawi mengatakan bahwa dikeluarkan dengan sanad yang hasan)
Dalam hadits di atas terdapat dua nasehat, yaitu untuk zuhud pada dunia, ini akan membuahkan kecintaan Allah, dan zuhud pada apa yang ada di sisi manusia, ini akan mendatangkan kecintaan manusia.[1]
Penyebutan Zuhud Terhadap Dunia dalam Al Qur’an dan Hadits
Masalah zuhud telah disebutkan dalam beberapa ayat dan hadits. Di antara ayat yang menyebutkan masalah zuhud adalah firman Allah Ta’ala tentang orang mukmin di kalangan keluarga Fir’aun yang mengatakan,
وَقَالَ الَّذِي آَمَنَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُونِ أَهْدِكُمْ سَبِيلَ الرَّشَادِ (38) يَا قَوْمِ إِنَّمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَإِنَّ الْآَخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ (39)
Orang yang beriman itu berkata: "Hai kaumku, ikutilah aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar. Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (QS. Ghafir: 38-39)
Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (16) وَالْآَخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى (17)
Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al A’laa: 16-17)
Mustaurid berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَاللَّهِ مَا الدُّنْيَا فِى الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ - وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ - فِى الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ
Demi Allah, tidaklah dunia dibanding akhirat melainkan seperti jari salah seorang dari kalian yang dicelup -Yahya berisyarat dengan jari telunjuk- di lautan, maka perhatikanlah apa yang dibawa.” (HR. Muslim no. 2858)
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Dunia seperti air yang tersisa di jari ketika jari tersebut dicelup di lautan sedangkan akhirat adalah air yang masih tersisa di lautan.”[2] Bayangkanlah, perbandingan yang amat jauh antara kenikmatan dunia dan akhirat!
Dari Sahl bin Sa’ad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
Seandainya harga dunia itu di sisi Allah sebanding dengan sayap nyamuk tentu Allah tidak mau memberi orang orang kafir walaupun hanya seteguk air.” (HR. Tirmidzi no. 2320. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Tiga Makna Zuhud Terhadap Dunia
Yang dimaksud dengan zuhud pada sesuatu –sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rajab Al Hambali- adalah berpaling darinya dengan sedikit dalam memilikinya, menghinakan diri darinya serta membebaskan diri darinya.[3] Adapun mengenai zuhud terhadap dunia para ulama menyampaikan beberapa pengertian, di antaranya disampaikan oleh sahabat Abu Dzar.
Abu Dzar mengatakan,
الزَّهَادَةُ فِى الدُّنْيَا لَيْسَتْ بِتَحْرِيمِ الْحَلاَلِ وَلاَ إِضَاعَةِ الْمَالِ وَلَكِنَّ الزَّهَادَةَ فِى الدُّنْيَا أَنْ لاَ تَكُونَ بِمَا فِى يَدَيْكَ أَوْثَقَ مِمَّا فِى يَدَىِ اللَّهِ وَأَنْ تَكُونَ فِى ثَوَابِ الْمُصِيبَةِ إِذَا أَنْتَ أُصِبْتَ بِهَا أَرْغَبَ فِيهَا لَوْ أَنَّهَا أُبْقِيَتْ لَكَ
Zuhud terhadap dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan bukan juga menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah engkau begitu yakin terhadapp apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Zuhud juga berarti ketika engkau tertimpa musibah, engkau lebih mengharap pahala dari musibah tersebut daripada kembalinya dunia itu lagi padamu.”[4]
Yunus bin Maysaroh menambahkan pengertian zuhud yang disampaikan oleh Abu Dzar. Beliau menambahkan bahwa yang termasuk zuhud adalah, “Samanya pujian dan celaan ketika berada di atas kebenaran.”[5]
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Zuhud terhadap dunia dalam riwayat di atas ditafsirkan dengan tiga hal, yang kesemuanya adalah amalan batin (amalan hati), bukan amalan lahiriyah (jawarih/anggota badan). Abu Sulaiman menyatakan, “Janganlah engkau mempersaksikan seorang pun dengan zuhud, karena zuhud sebenarnya adalah amalan hati.“[6]
Cobalah kita perhatikan penjelasan dari Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah terhadap tiga unsur dari pengertian zuhud yang telah disebutkan di atas.
Pertama: Zuhud adalah yakin bahwa apa yang ada di sisi Allah itu lebih diharap-harap dari apa yang ada di sisinya. Ini tentu saja dibangun di atas rasa yakin yang kokoh pada Allah. Oleh karena itu, Al Hasan Al Bashri menyatakan, “Yang menunjukkan lemahnya keyakinanmu, apa yang ada di sisimu (berupa harta dan lainnya –pen) lebih engkau harap dari apa yang ada di sisi Allah.”
Abu Hazim –seorang yang dikenal begitu zuhud- ditanya, “Apa saja hartamu?” Ia pun berkata, “Aku memiliki dua harta berharga yang membuatku tidak khawatir miskin: [1] rasa yakin pada Allah dan [2] tidak mengharap-harap apa yang ada di sisi manusia.”
Lanjut lagi, ada yang bertanya pada Abu Hazim, “Tidakkah engkau takut miskin?” Ia memberikan jawaban yang begitu mempesona, “Bagaimana aku takut miskin sedangkan Allah sebagai penolongku adalah pemilik segala apa yang ada di langit dan di bumi, bahkan apa yang ada di bawah gundukan tanah?!”
Al Fudhail  bin ‘Iyadh mengatakan, “Hakikat zuhud adalah ridho pada Allah ‘azza wa jalla.” Ia pun berkata, “Sifat qona’ah, itulah zuhud. Itulah jiwa yang “ghoni”, yaitu selalu merasa cukup.”
Intinya, pengertian zuhud yang pertama adalah begitu yakin kepada Allah.
Kedua: Di antara bentuk zuhud adalah jika seorang hamba ditimpa musibah dalam hal dunia berupa hilangnya harta, anak atau selainnya, maka ia lebih mengharap pahala dari musibah tersebut daripada dunia tadi tetap ada. Ini tentu saja dibangun di atas rasa yakin yang sempurna.
Siapakah yang rela hartanya hilang, lalu ia lebih harap pahala?! Yang diharap ketika harta itu hilang adalah bagaimana bisa harta tersebut itu kembali, itulah yang dialami sebagian manusia. Namun Abu Dzar mengistilahkan zuhud dengan rasa yakin yang kokoh. Orang yang zuhud lebih berharap pahala dari musibah dunianya daripada mengharap dunia tadi tetap ada. Sungguh ini tentu saja dibangun atas dasar iman yang mantap.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini telah mengajarkan do’a yang sangat bagus kandungannya, yaitu berisi permintaan rasa yakin agar begitu ringan menghadapi musibah. Do’a tersebut adalah,
اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا يَحُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مُصِيبَاتِ الدُّنْيَا
Allaahummaqsim lanaa min khosy-yatika maa yahuulu bihii bainanaa wa baina ma'aashiika, wa min thoo'atika maa tuballighunaa bihi jannatak, wa minal yaqiini maa tuhawwinu bihi 'alainaa mushiibaatid dunyaa" (Ya Allah, curahkanlah kepada kepada kami rasa takut kepadaMu yang menghalangi kami dari bermaksiat kepadaMu, dan ketaatan kepadaMu yang mengantarkan kami kepada SurgaMu, dan curahkanlah rasa yakin yang dapat meringankan berbagai musibah di dunia) (HR. Tirmidzi no. 3502. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Inilah di antara tanda zuhud, ia tidak begitu berharap dunia tetap ada ketika ia tertimpa musibah. Namun yang ia harap adalah pahala di sisi Allah.
‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan, “Siapa yang zuhud terhadap dunia, maka ia akan semakin ringan menghadapi musibah.” Tentu saja yang dimaksud zuhud di sini adalah tidak mengharap dunia itu tetap ada ketika musibah dunia itu datang. Sekali lagi, sikap semacam ini tentu saja dimiliki oleh orang yang begitu yakin akan janji Allah di balik musibah.
Ketiga: Zuhud adalah keadaan seseorang ketika dipuji atau pun dicela dalam kebenaran itu sama saja. Inilah tanda seseorang begitu zuhud pada dunia, menganggap dunia hanya suatu yang rendahan saja, ia pun sedikit berharap dengan keistimewaan dunia. Sedangkan seseorang yang menganggap dunia begitu luar biasa, ia begitu mencari pujian dan benci pada celaan. Orang yang kondisinya sama ketika dipuji dan dicela dalam kebenaran, ini menunjukkan bahwa hatinya tidak mengistimewakan satu pun makhluk. Yang ia cinta adalah kebenaran dan yang ia cari adalah ridho Ar Rahman.
Orang yang zuhud selalu mengharap ridho Ar Rahman bukan mengharap-harap pujian manusia. Sebagaimana kata Ibnu Mas’ud, “Rasa yakin adalah seseorang tidak mencari ridho manusia, lalu mendatangkan murka Allah. Allah sungguh memuji orang yang berjuang di jalan Allah. Mereka sama sekali tidaklah takut pada celaan manusia.”
Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang zuhud adalah yang melihat orang lain, lantas ia katakan, “Orang tersebut lebih baik dariku”. Ini menunjukkan bahwa hakekat zuhud adalah ia tidak menganggap dirinya lebih dari yang lain. Hal ini termasuk dalam pengertian zuhud yang ketiga.
Pengertian zuhud yang biasa dipaparkan oleh ulama salaf kembali kepada tiga pengertian di atas. Di antaranya, Wahib bin Al Warod mengatakan, “Zuhud terhadap dunia adalah seseorang tidak berputus asa terhadap sesuatu yang luput darinya dan tidak begitu berbangga dengan nikmat yang ia peroleh.” Pengertian ini kembali pada pengertian zuhud yang kedua. [7]
Pengertian Zuhud yang Amat Baik
Jika kita lihat pengertian zuhud yang lebih bagus dan mencakup setiap pengertian zuhud yang disampaikan oleh para ulama, maka pengertian yang sangat bagus adalah yang disampaikan oleh Abu Sulaiman Ad Daroni. Beliau mengatakan, “Para ulama berselisih paham tentang makna zuhud di Irak. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah enggan bergaul dengan manusia. Ada pula yang mengatakan, “Zuhud adalah meninggalkan berbagai macam syahwat.” Ada pula yang memberikan pengertian, “Zuhud adalah meninggalkan rasa kenyang” Namun definisi-definisi ini saling mendekati. Aku sendiri berpendapat,
أَنَّ الزُهْدَ فِي تَرْكِ مَا يُشْغِلُكَ عَنِ اللهِ
“Zuhud adalah meninggalkan berbagai hal yang dapat melalaikan dari mengingat Allah.[8]
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Definisi zuhud dari Abu Sulaiman ini amatlah bagus. Definisi telah mencakup seluruh definisi, pembagian dan macam-macam zuhud.”[9]
Jika bisnis yang dijalani malah lebih menyibukkan pada dunia sehingga lalai dari kewajiban shalat, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Begitu pula jika permainan yang menghibur diri begitu berlebihan dan malah melalaikan dari Allah, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Demikian pengertian zuhud yang amat luas cakupan maknanya.
Dunia Tidak Tercela Secara Mutlak
Ada sebuah perkataan dari ‘Ali bin Abi Tholib namun dengan sanad yang dikritisi. ‘Ali pernah mendengar seseorang mencela-cela dunia, lantas beliau mengatakan, “Dunia adalah negeri yang baik bagi orang-orang yang memanfaatkannya dengan baik. Dunia pun negeri keselamatan bagi orang yang memahaminya. Dunia juga adalah negeri ghoni (yang berkecukupan) bagi orang yang menjadikan dunia sebagai bekal akhirat. ...”[10]
Oleh karena itu, Ibnu Rajab mengatakan, “Dunia itu tidak tercela secara mutlak, inilah yang dimaksudkan oleh Amirul Mukminin –‘Ali bin Abi Tholib-. Dunia bisa jadi terpuji bagi siapa saja yang menjadikan dunia sebagai bekal untuk beramal sholih.”
Ingatlah baik-baik maksud dunia itu tercela agar kita tidak salah memahami! Dunia itu jadi tercela jika dunia tersebut tidak ditujukan untuk mencari ridho Allah dan beramal sholih.
Zuhud Bukan Berarti Hidup Tanpa Harta
Sebagaimana sudah ditegaskan bahwa dunia itu tidak tercela secara mutlak. Namun sebagian orang masih salah paham dengan pengertian zuhud. Jika kita perhatikan pengertian zuhud yang disampaikan di atas, tidaklah kita temukan bahwa zuhud dimaksudkan dengan hidup miskin, enggan mencari nafkah dan hidup penuh menderita. Zuhud adalah perbuatan hati. Oleh karenanya, tidak hanya sekedar memperhatikan keadaan lahiriyah, lalu seseorang bisa dinilai sebagai orang yang zuhud. Jika ada ciri-ciri zuhud sebagaimana yang telah diutarakan di atas, itulah zuhud yang sebenarnya. Berikut satu kisah yang bisa jadi pelajaran bagi kita dalam memahami arti zuhud.
Abul ‘Abbas As Siroj, ia berkata bahwa ia mendengar Ibrahim bin Basyar, ia berkata bahwa ‘Ali bin Fudhail berkata, ia berkata bahwa ayahnya (Fudhail bin ‘Iyadh) berkata pada Ibnul Mubarok,
أنت تأمرنا بالزهد والتقلل، والبلغة، ونراك تأتي بالبضائع، كيف ذا ؟
“Engkau memerintahkan kami untuk zuhud, sederhana dalam harta, hidup yang sepadan (tidak kurang tidak lebih). Namun kami melihat engkau memiliki banyak harta. Mengapa bisa begitu?”
Ibnul Mubarok mengatakan,
يا أبا علي، إنما أفعل ذا لاصون وجهي، وأكرم عرضي، وأستعين به على طاعة ربي.
“Wahai Abu ‘Ali (yaitu Fudhail bin ‘Iyadh). Sesungguhnya hidupku seperti ini hanya untuk menjaga wajahku dari ‘aib (meminta-minta). Juga aku bekerja untuk memuliakan kehormatanku. Aku pun bekerja agar bisa membantuku untuk taat pada Rabbku”.[11]
Semoga pembahasan kami kali ini dapat memahamkan arti zuhud yang sebenarnya. Raihlah kecintaan Allah lewat sifat zuhud. Semoga Allah menganugerahkan pada kita sekalian sifat yang mulia ini.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

(rumaysho.com)
Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal
Diselesaikan di sore hari, 17 Jumadits Tsani 1431 H (30/05/2010), di Panggang-GK

[1] Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 346, Darul Muayyid, cetakan pertama, tahun 1424 H.
[2] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 11/232, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379.
[3] Idem.
[4] HR. Tirmidzi no. 2340 dan Ibnu Majah no. 4100. Abu Isa berkata: Hadits ini gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur sanad ini, adapun Abu Idris Al Khaulani namanya adalah A'idzullah bin 'Abdullah, sedangkan 'Amru bin Waqid dia adalah seorang yang munkar haditsnya. Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Yang tepat riwayat ini mauquf (hanya perkataan Abu Dzar) sebagaimana dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Az Zuhd.” (Lihat Jaami’ul Ulum wal Hikam, hal. 346)
[5] Dikeluarkan oleh Ibnu Abid Dunya dari riwayat Muhammad bin Muhajir, dari Yunus bin Maysaroh. (Lihat Jaami’ul Ulum wal Hikam, hal. 347)
[6] Jaami’ul Ulum, hal. 347.
[7] Kami sarikan point ini dengan sedikit perubahan redaksi dari Jaami’ul Ulum, hal. 347-348.
[8] Disebutkan oleh Abu Nu’aim Al Ashbahani dalam Hilyatul Awliya’, 9/258, Darul Kutub Al ‘Arobi, Beirut, cetakan keempat, 1405 H.
[9] Jaami’ul Ulum, hal. 350.
[10] Jaami’ul Ulum, hal. 350
[11] Siyar A'lam An Nubala, Adz Dzahabi, 8/387, Mawqi’ Ya’sub (penomoran halaman sesuai cetakan).

Bagikan

Jawaban Allah Atas Rezeki Manusia Yang Berbeda-Beda

Assalamualaikum. Saya sudah berkeluarga dan sekarang adalah perkawinan ke-2. Yang 1 dulu digugat cerai karena faktor ekonomi. Dan sekarang kehidupan ekonomi saya juga tidak berubah. Sebelum pernikahan ke-2, saya coba nanya ke ustadz tentang kehidupan kami, dari ustadz tersebut dengan perhitungan nama kami yang disatukan, menunjukan kehidupan ekonomi kami bakal berat. Dan memang sekarang kami rasakan hal itu.
Pertanyaan saya: Adakah doa/cara untuk kami memperbaiki kehidupan kami? Sebagai bahan pertimbangan berikut nama kami: Fajar Basuki bin Sumari, Nurjanah bintu M. Usman. Mohon penjelasannya. Terimakasih.
Wassalamu’alaikum
(Fajar Basuki)
Jawab:
Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuhu.
Sebelum saya menjawab pertanyaan antum, perlu antum ketahui bahwa apa yang dilakukan oleh “ustadz” tadi adalah tidak dibenarkan di dalam agama islam, karena itu termasuk meramal yang di dalamnya ada pengakuan ilmu ghaib yang merupakan kekhususan Allah. Dan ini termasuk dalam kategori syirik dalam rububiyyah Allah.
Allah ta’ala berfirman:
(عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَداً) (الجـن:26) (إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَداً) (الجـن:27)

“Dia adalah Rabb Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (Qs. Al-Jin: 25)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan agar kita jangan mendatangi tukang ramal dan membenarkan ucapannya dengan sabdanya:
من أتى عرافا فسأله عن شيء لم تقبل له صلاة أربعين ليلة
“Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal kemudian menanyakan sesuatu maka tidak terima shalatnya selama 40 malam.” (HR. Muslim)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
من أتى حائضا أو امرأة في دبرها أو كاهنا فصدقه بما يقول فقد كفر بما أنزل على محمد
“Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haidh atau menyetubuhi dari duburnya atau mendatangi dukun dan membenarkannya maka dia telah mengingkari apa yang telah diturunkan kepada Muhammad.” (HR. Ashhabussunan, dan dishahihkan Syeikh Al-Albany)
Allah ta’ala Dialah yang telah mencipta sebab dan musabbab, oleh karena itu seorang muslim tidak boleh mengatakan sesuatu sebagai sebab dari sesuatu kecuali atas dasar dalil atau dari pengalaman yang jelas sebabnya.
(قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْأِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ) (لأعراف:33)
Katakanlah:”Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui”. (Qs. Ali Imron: 33)
Luas dan sempitnya rezeki adalah hikmah dan cobaan dari Allah, bukan disebabkan oleh perhitungan nama yang disatukan.
Oleh karena itu antum harus buang jauh-jauh ramalan “ustadz” tadi, dan seandainya apa yang diramalkan itu terjadi maka sebenarnya itu bukan dari ramalan dia, akan tetapi itu adalah kabar yang dibawa syetan yang dia curi dari langit yang sampai kepadanya atau takdir Allah semata bukan karena mengotak- atik nama.
Adapun kesempitan ekonomi yang menimpa sebagian kita maka ini termasuk sunnatullah, menjadikan manusia bertingkat-tingkat dalam ekonomi.
(وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ فَمَا الَّذِينَ فُضِّلُوا بِرَادِّي رِزْقِهِمْ عَلَى مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَهُمْ فِيهِ سَوَاءٌ أَفَبِنِعْمَةِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ) (النحل:71)

“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah.” (Qs. 16:71)
Sebagian Allah luaskan rezekinya dan sebagian Allah sempitkan Dan Allah melakukan apa yang Dia inginkan.. Allah meluaskan rezeki untuk sebagian dengan hikmah dan tujuan. Dan Allah sempitkan rezeki bagi yang lain dengan hikmah dan tujuan. Allah Maha Tahu apa yang terbaik untuk kita, Allah Maha Adil tidak akan mendhalimi hamba-hambaNya
Diantaranya hikmahnya adalah supaya manusia bisa saling memenuhi kebutuhan hidupnya. Bayangkan seandainya Allah menjadikan semua orang punya harta banyak maka siapa yang mau kerja menjadi pembantu, menjadi sopir, jualan di pasar, nelayan, kuli, guru dll. Dan kalau semuanya miskin maka siapa yang akan membeli barang dagangan, siapa yang menggaji pegawai dll.
Allah berfirman:
(أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضاً سُخْرِيّاً وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ) (الزخرف:32)
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain.Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Qs. 43:32)
Ketahuilah akhi, sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah kehidupan sementara. Oleh karena itu janganlah bersedih karena Allah telah menyediakan bagi orang-orang yang beriman dan beramal shaleh kenikmatan yang luar biasa yang kekal abadi di akhirat. Allah berfirman:
(اللَّهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ وَفَرِحُوا بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مَتَاعٌ) (الرعد:26)
“Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan didunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (Qs. 13:26)
Hendaknya kita bersabar atas cobaan ini, sungguh kesabaran kita itu lebih baik bagi kita.
Berbaik sangkalah kepada Allah, Allah mengurangi rezeki untuk kemashlahatan kita, karena Allah tahu bahwa kalau kita diberi maka akan membuat kita lalai .
(وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ) (الشورى:27)

“Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran.Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (Qs. 42:27)
Mana yang kita pilih, mendapatkan apa yang kita inginkan tapi kita menjadi jauh dari Allah, atau hidup sederhana tapi dekat kepada Allah?
Koreksilah diri kita, mungkin kita memiliki dosa-dosa yang masih kita kerjakan, entah itu kedhaliman kepada keluarga, durhaka kepada orang tua, dosa terhadap Allah, kurang memperhatikan kewajiban (shalat, puasa dll). Allah berfirman:
(وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ) (الشورى:30)

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Qs. 42:30)
Allah juga berfirman:
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولاً وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيداً) (النساء:79

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (Qs. 4:79)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا يرد القضاء إلا الدعاء ، ولا يزيد في العمر إلا البر ، وإن الرجل ليحرم الرزق بالذنب يصيبه

“Tidak menolak ketentuan Allah kecuali doa, dan tidak menambah umur kecuali kebaikan, dan sungguh seseorang tertahan dari rezeki karena dosa yang dia lakukan.” (HR. Al-Baghawy dalam Syarhussunnah, hadist hasan, dari tsauban)
Kalau kita mau bertaubat dan kembali kepada Allah maka bergembiralah dengan kabar dari Allah :
(وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ) (لأعراف:96)

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. 7:96)
Keberkahan dari langit dan bumi. Dan keberkahan tidak harus banyaknya harta namun kebaikan yang banyak dan kecukupan yang dibawa harta tersebut meskipun hanya sedikit.
Allah balas orang yang mau takwa dan takut kepadaNya dengan diberikan jalan keluar terhadap semua masalah, dan diberikan rezeki dari arah yang tidak dia sangka.
( وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً)(الطلاق: من الآية2) )وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْراً) (الطلاق:3)

“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar.” (Qs. 65:2) Dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Qs. 65:3)
Adapun keluasan rezeki tanpa ada ketakwaan kepada Allah seperti yang dimiliki oleh orang-orang kafir dan orang-orang yang bermaksiat kepada Allah maka itu adalah istidraj (diberi supaya bertambah jauh dari Allah kemudian diadzab dengan adzab yang pedih). Allah berfirman:
وَلا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ لِأَنْفُسِهِمْ إِنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُوا إِثْماً وَلَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ) (آل عمران:178)

“Dan janganlah sekali-kali orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan.” (Qs. 3:178)
Allah juga berfirman:
(وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآياتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لا يَعْلَمُونَ) (لأعراف:182)
Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui.” (Qs. 7:182)
Kemudian untuk memperbaiki kehidupan kita dalam masalah ekonomi maka tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada agama Dzat Yang Maha Memberi Rezeki, yang perbendaharaan langit dan bumi menjadi milikNya.
Diantara bentuk kembali kepada agama Allah adalah:
Pertama: Beriman kepada takdir
Seseorang muslim hendaklah meyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa rezeki sudah ditulis dan ditentukan oleh Allah, tidak akan bertambah dan tidak akan berkurang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كتب الله مقادير الخلائق قبل أن يخلق السماوات والأرض بخمسين ألف سنة
“Allah telah menulis takdir-takdir untuk ciptaanNya 50 ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim, dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash.)
Lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi sudah ditulis takdir kita, diantaranya sudah ditulis rezekinya. Si fulan selama hidupnya akan memakan beras berapa ton, meminum air berapa ribu liter, kekayaan sekian semuanya sudah Allah tulis di lauhil Mahfudz.
Kemudian dalam hadist Ibnu Mas’ud: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa ketika janin dalam perut berumur 120 hari atau 4 bulan kurang lebih:
فينفخ فيه الروح ويؤمر بأربع كلمات بكتب رزقه وأجله وعمله وشقي أو سعيد
“Maka malaikat meniupkan ruh kepada janin tersebut, dan diperintah untuk menulis 4 perkara, rezekinya, ajalnya, amalannya, dia termasuk penduduk neraka yang celaka atau penduduk surga yang bahagia.” (HR. Muslim)
Demikianlah seorang bayi sebelum lahir sudah ditulis rezekinya oleh malaikat dengan perintah dari Allah, dan apa yang ditulis malaikat tersebut tidak menyimpang dari apa yang sudah tertuang di Al-lauhil Mahfudz.
Kemudian apa yang tertulis tersebut pasti akan terjadi. Tidak akan ada seorangpun yang bisa merubahnya. Seseorang tidak bisa merebut rezeki orang lain, dan tidak bisa direbut rezekinya. Masing-masing sudah memiliki rezeki yang sudah ditentukan.
Kedua: Mengambil sebab rezeki dengan bekerja dan berusaha
Allah yang telah menulis rezeki kita Dia pulalah yang telah memerintah manusia untuk berusaha dan bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, sebagaimana dalam firmanNya:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan motivasi kepada kita untuk berusaha dan tidak bergantung kepada orang lain, sebagaimana dalam hadist Abu Hurairah:
لأن يحتطب أحدكم حزمة على ظهره خير من أن يسأل أحدا فيعطيه أو يمنعه
“Sungguh salah seorang dari kalian mencari kayu bakar dan memikulnya di atas punggungnya itu lebih baik dari pada dia meminta-minta kepada manusia, baik memberi atau tidak memberi” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dan bukan berarti kalau kita berusaha kemudian kita tergolong orang yang tidak bertawakkal kepada Allah, bahkan ini termasuk kesempurnaan ketawakkalan seorang mukmin kepada Allah.
Dari Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لو أنكم كنتم توكلون على الله حق توكله لرزقتم كما يرزق الطير تغدو خماصا وتروح بطانا
Seandainya kalian benar-benar bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Allah memberi rezeki kepada burung-burung, pergi pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang” (HR. At-Tirmidzy dan Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albany)
Dalam hadist ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan bahwa termasuk tawakkal kepada Allah adalah berusaha, karena burung-burung mereka bertawakkal kepada Allah dan keluar dari sarangnya untuk mencari makan.
Demikian pula ada seorang sahabat  bertanya kepada Rasulullah: Ya Rasulullah, aku ikat unta ini kemudian bertawakkal atau aku lepaskan kemudian aku bertawakkal? Maka beliau menjawab: Ikatlah kemudian bertawakkal (HR. At-Tirmidzy dari Anas bin Malik , dan dihasankan Syeikh Al-Albany)
Dan seorang muslim dalam mencari rezeki hendaknya mengikuti adab-adab berikut:
A. Tujuan kita bekerja adalah untuk menopang ibadah kita.
Allah ta’ala tidaklah menciptakan kita kecuali untuk beribadah kepadaNya, Allah beriman :
(وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْأِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ) (الذريات:56)

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu”
Dan tidaklah Allah menciptakan alam semesta dan seiisinya kecuali supaya menjadi pendukung kita beribadah untuk mencari kebahagiaan di akhirat. Allah berfirman:
(وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا )(القصص: من الآية77)

“Dan carilah negeri akhirat di dalam apa-apa yang Allah berikan kepadamu, dan janganlah engkau lupakan bagianmu di dunia.”
Oleh karena hendaklah kita camkan bahwa niat kita berusaha dan bekerja adalah untuk mendukung ibadah kita kepada Allah. Kita bekerja untuk mendapatkan uang , untuk menutupi aurat kita, bisa kuat beribadah shalat, haji, shadaqah, untuk silaturrahmi ke rumah saudara, membiayai anak yatim, menjaga diri dari meminta-minta dll.
Yang sangat disayangkan adalah menjadikan uang menjadi seakan-akan tujuan kita diciptakan, dan melupakan ibadah.
B. Mencari rezeki yang halal
Rezeki yang haram merupakan sebab seseorang terjerumus ke dalam neraka, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
كل جسد نبت من سحت فالنار أولى به

“Setiap jasad yang tumbuh dari yang haram maka neraka lebih pantas untuknya.” (HR. Ath-Thabrany, dan dishahihkan Al-Albany dalam Shahihul Jami 4519)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda sebagaimana dalam hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa rezeki yang haram adalah diantara sebab tidak dikabulkannya doa. Siapa yang akan mengabulkan doa selain Allah?
C. Tidak bertawakkal kepada sebab tersebut.
Mengambil sebab adalah disyari’atkan, akan tetapi bertawakkal dan berserah diri kepada sebab dan menganggap bahwa sebab tersebut yang dengan sendirinya memberi manfaat maka ini adalah kesyirikan. Yang seharusnya adalah mengambil sebab dan tetap bertawakkal kepada Allah yang telah menciptakan sebab tersebut. Kalau Allah menghendaki maka kita akan diberi rezeki dengan sebab tersebut, dan kalau Allah menghendaki maka kita tidak diberi rezeki dengan sebab tersebut.
Dalam dzikir setelah shalat disebutkan:
لا إله إلا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير اللهم لا مانع لما أعطيت ولا معطي لما منعت ولا ينفع ذا الجد منك الجد
“Ya Allah tidak ada yang memberi apa yang Engkau tahan, dan tidak ada yang menahan apa yang Engkau beri” (HR. Al-Bukhary dan Muslim dari Al-Mughirah bin Syu’bah)
D. Merasa cukup dengan pemberian Allah (Qanaah).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ليس الغنى عن كثرة العرض ولكن الغنى غنى النفس
“Bukanlah kekayaan itu dari banyaknya perhiasan dunia, akan tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa (merasa cukup dan kaya dengan pemberian Allah)”( HR. Al-Bukhary dan Muslim dari Abu Hurairah)
Orang yang tidak memiliki rasa qanaah maka hidupnya akan senantiasa dirundung rasa tamak dan kurang terus meskipun dia sudah memiliki banyak harta. Tidak pernah merasa puas dan cukup dengan harta yang Allah berikan. Dia tidak akan sadar sampai ajal menjemputnya.
E. Berdoa
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap selesai salam dari shalat subuh beliau mengatakan:
اللهم إني اسألك علما نافعا ورزقا طيبا وعملا متقبلا

“Ya Allah aku memohon kepadaMu ilmu yang bermanfaat, dan rezeki yang baik, dan amal shaleh yang diterima.” (HR. Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albany )
Dan dalam doa keluar masjid:
اللهم إني أسألك من فضلك
“Ya Allah aku memohon diantara rezekiMu.” (HR. Muslim)
Sebagian ulama mengatakan: Kita mengucapkan doa ini karena ketika kita keluar masjid maka kita akan disibukkan dengan mencari rezeki.
F. Jangan sampai kesibukkan kita dalam mencari rezeki melalaikan kita dari menuntut ilmu, beribadah , dan berdakwah.
Mencari rezeki dan menuntut ilmu bukanlah 2 hal yang bertentangan bagi siapa yang diberi taufiq oleh Allah dan memiliki kesungguhan. Dari Umar bin Khaththab beliau berkata:
عن عمر قال : كنت أنا وجار لي من الأنصار في بني أمية بن زيد وهي من عوالي المدينة وكنا نتناوب النزول على رسول الله صلى الله عليه و سلم ينزل يوما وأنزل يوما فإذا نزلت جئته بخبر ذلك اليوم من الوحي وغيره وإذا نزل فعل مثل ذلك

“Dulu aku dan tetanggaku dari kaum Anshar tinggal di qabilah Umayyah bin Zaid di Awali Al-Madinah, kami bergantian pergi ke tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, hari ini aku yang pergi,kemudian besok dia yang pergi. Kalau aku yang pergi maka aku akan kembali kepadanya dengan membawa kabar hari itu baik wahyu maupun yang lain, dan kalau dia yang pergi maka juga melakukan yang demikian.” (HR. Al-Bukhary)
Namun ini semua tidak bisa dilakukan kecuali seseorang memiliki qanaah, kalau tidak maka akan terbengkalai ilmu, ibadah, dan dakwahnya.
Wallahu a’lam.
Ustadz Abdullah Roy, Lc.
(konsultasisyariah.com)



Bagikan