Latest Updates

Dahsyatnya Ujian Wanita dan Dunia

Dahsyatnya Ujian Wanita dan Dunia
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kekuasaan dan hikmah-Nya yang sempurna menjadikan dunia serta perhiasannya yang fana ini sebagai medan ujian dan cobaan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Al-Mulk: 2)

الم. أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ

“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?” (Al-’Ankabut: 1-2)
Selanjutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan rahmah-Nya memberitahukan kepada hamba-hamba-Nya hikmah dihadapkannya mereka kepada berbagai ujian dan cobaan itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

“Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al-’Ankabut: 3)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu menyatakan dalam tafsirnya: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang hikmah-Nya yang sempurna. Di mana sifat hikmah-Nya mengharuskan setiap orang yang mengaku beriman tidak akan dibiarkan begitu saja dengan pengakuannya. Pasti dia akan dihadapkan pada berbagai ujian dan cobaan. Bila tidak demikian, niscaya tidak bisa terbedakan antara orang yang benar dan jujur dengan orang yang dusta. Tidak bisa terbedakan pula antara orang yang berbuat kebenaran dengan orang yang berbuat kebatilan. Sudah merupakan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dia menguji (manusia) dengan kelapangan dan kesempitan, kemudahan dan kesulitan, kesenangan dan kesedihan, serta kekayaan dan kemiskinan.”
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu menyatakan dalam tafsirnya: “(Agar terbedakan) orang-orang yang benar dalam pengakuannya dari orang-orang yang dusta dalam ucapan dan pengakuannya. Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha mengetahui apa yang telah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengetahui cara terjadinya sesuatu bila hal itu terjadi. Hal ini adalah prinsip yang telah disepakati (ijma’) oleh para imam Ahlus Sunnah wal Jamaah.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala bahkan telah mengabarkan:

وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا

“Dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan adalah Rabbmu Maha melihat.” (Al-Furqan: 20)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu menerangkan maksud ayat di atas dalam tafsirnya: “Seorang rasul adalah ujian bagi umatnya, yang akan memisahkan orang-orang yang taat dengan orang-orang yang durhaka terhadap rasul tersebut. Maka Kami jadikan para rasul sebagai ujian dan cobaan untuk mendakwahi kaum mereka. Seorang yang kaya adalah ujian bagi yang miskin. Demikian pula sebaliknya. Orang miskin adalah ujian bagi orang kaya. Semua jenis tingkatan makhluk (merupakan ujian dan cobaan bagi yang sebaliknya) di dunia ini. Dunia yang fana ini adalah medan yang penuh ujian dan cobaan.”
Dari penjelasan Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu di atas, kita dapatkan faedah bahwa: seorang istri adalah ujian bagi suaminya, anak adalah ujian bagi kedua orangtuanya, pembantu adalah ujian bagi tuannya, tetangga adalah ujian bagi tetangga yang lainnya, rakyat adalah ujian bagi pemerintahnya, dan sebagainya. Begitu pula sebaliknya.
Selanjutnya, Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu menerangkan: “Tujuannya adalah apakah kalian mau bersabar, kemudian menegakkan berbagai perkara yang diwajibkan atas kalian, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membalas amalan kebaikan kalian. Ataukah kalian tidak mau bersabar yang dengan sebab itu kalian berhak mendapatkan kemurkaan (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan siksaan?! Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali ‘Imran: 14)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa kecintaan terhadap kenikmatan dan kesenangan dunia akan ditampakkan indah dan menarik di mata manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menyebutkan hal-hal ini secara khusus karena hal-hal tersebut adalah ujian yang paling dahsyat, sedangkan hal-hal lain hanyalah mengikuti. Maka, tatkala hal-hal ini ditampakkan indah dan menarik kepada mereka, disertai faktor-faktor yang menguatkannya, maka jiwa-jiwa mereka akan bergantung dengannya. Hati-hati mereka akan cenderung kepadanya.” (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 124)

Fitnah (godaan) wanita
Betapa banyak lelaki yang menyimpang dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala karena godaan wanita. Betapa banyak pula seorang suami terjatuh dalam berbagai kezaliman dan kemaksiatan disebabkan istrinya. Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan hamba-hamba-Nya yang beriman dengan firman-Nya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.” (At-Taghabun: 14)
Al-Imam Mujahid rahimahullahu berkata: “Yakni akan menyeret orangtua atau suaminya untuk memutuskan tali silaturahim atau berbuat maksiat kepada Rabbnya, maka karena kecintaan kepadanya, suami atau orangtuanya tidak bisa kecuali menaatinya (anak atau istri tersebut).”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ مَا فِي الضِّلْعِ أَعْلَاهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
“Berniat dan berbuat baiklah kalian kepada para wanita. Karena seorang wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, dan sesungguhnya rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Maka apabila kamu berusaha dengan keras meluruskannya, niscaya kamu akan mematahkannya. Sedangkan bila kamu membiarkannya niscaya akan tetap bengkok. Maka berwasiatlah kalian kepada para istri (dengan wasiat yang baik).” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنََ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah (ujian/godaan) yang lebih dahsyat bagi para lelaki selain fitnah wanita.” (Muttafaqun ‘alaih dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma)
Al-Mubarakfuri rahimahullahu berkata: “(Sisi berbahayanya fitnah wanita bagi lelaki) adalah karena keumuman tabiat seorang lelaki adalah sangat mencintai wanita. Bahkan banyak terjadi perkara yang haram (zina, perselingkuhan, pacaran, dan pemerkosaan, yang dipicu [daya tarik] wanita). Bahkan banyak pula terjadi permusuhan dan peperangan disebabkan wanita. Minimalnya, wanita atau istri bisa menyebabkan seorang suami atau seorang lelaki ambisius terhadap dunia. Maka ujian apalagi yang lebih dahsyat darinya?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan godaan wanita itu seperti setan, sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang wanita. Kemudian beliau mendatangi Zainab istrinya, yang waktu itu sedang menyamak kulit hewan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menunaikan hajatnya (menggaulinya dalam rangka menyalurkan syahwatnya karena melihat wanita itu). Setelah itu, beliau keluar menuju para sahabat dan bersabda:
إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ، فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ
“Sesungguhnya wanita itu datang dalam bentuk setan dan berlalu dalam bentuk setan pula. Apabila salah seorang kalian melihat seorang wanita (dan bangkit syahwatnya) maka hendaknya dia mendatangi istrinya (menggaulinya), karena hal itu akan mengembalikan apa yang ada pada dirinya (meredakan syahwatnya).” (HR. Muslim)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata dalam Syarah Shahih Muslim (8/187): “Para ulama mengatakan, makna hadits itu adalah bahwa penampilan wanita membangkitkan syahwat dan mengajak kepada fitnah. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan adanya kecenderungan atau kecintaan kepada wanita dalam hati para lelaki, merasa nikmat melihat kecantikannya berikut segala sesuatu yang terkait dengannya. Sehingga seorang wanita ada sisi keserupaan dengan setan dalam hal mengajak kepada kejelekan atau kemaksiatan melalui was-was serta ditampakkan bagus dan indahnya kemaksiatan itu kepadanya.
Dapat diambil pula faedah hukum dari hadits ini bahwa sepantasnya seorang wanita tidak keluar dari rumahnya, (berada) di antara lelaki, kecuali karena sebuah keperluan (darurat) yang mengharuskan dia keluar.
Oleh karena itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang segala sesuatu yang akan menyebabkan hamba-hamba-Nya terfitnah dengan wanita, seperti memandang, berkhalwat (berduaan dengan wanita yang bukan mahram), ikhtilath (campur-baur lelaki dan perempuan yang bukan mahram). Bahkan mendengarkan suara wanita yang bisa membangkitkan syahwat pun dilarang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. (An-Nur: 30)

فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا

“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isra’: 32)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Janganlah salah seorang kalian berduaan dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Jauhi oleh kalian masuk kepada para wanita.” Seorang lelaki Anshar bertanya: “Bagaimana pendapat anda tentang ipar?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ipar itu berarti kebinasaan (banyak terjadi zina antara seorang lelaki dengan iparnya).” (Muttafaqun ‘alaih)
Agar hamba-hamba-Nya selamat dari godaan wanita, Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dengan wanita shalihah, yang akan saling membantu dengan dirinya untuk menyempurnakan keimanan dan ketakwaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.” (Al-Baqarah: 221)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Seorang wanita itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, kebaikan nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah wanita yang bagus agamanya, niscaya engkau akan beruntung.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Godaan dunia dan harta
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهُ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia itu manis (rasanya) dan hijau (menyenangkan dilihat). Dan sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menggantikan sebagian kalian dengan sebagian yang lain di dalamnya, maka Dia akan melihat bagaimana kalian beramal dengan dunia tersebut. Oleh karena itu, takutlah kalian terhadap godaan dunia (yang menggelincirkan kalian dari jalan-Nya) dan takutlah kalian dari godaan wanita, karena ujian yang pertama kali menimpa Bani Israil adalah godaan wanita.” (HR. Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
“Sesungguhnya setiap umat itu akan dihadapkan dengan ujian (yang terbesar). Dan termasuk ujian yang terbesar yang menimpa umatku adalah harta.” (HR. At-Tirmidzi dari ‘Iyadh bin Himar radhiyallahu ‘anhu)
Harta dan dunia bukanlah tolok ukur seseorang itu dimuliakan atau dihinakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya:

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ. وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ

Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: “Rabbku telah memuliakanku.” Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Rabbku menghinakanku.” (Al-Fajr: 15-16)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Maksud ayat-ayat tersebut adalah tidak setiap orang yang Aku (Allah Subhanahu wa Ta’ala) beri kedudukan dan limpahan nikmat di dunia berarti Aku limpahkan keridhaan-Ku kepadanya. Hal itu hanyalah sebuah ujian dan cobaan dari-Ku untuknya. Dan tidaklah setiap orang yang Aku sempitkan rezekinya, Aku beri sekadar kebutuhan hidupnya tanpa ada kelebihan, berarti Aku menghinakannya. Namun Aku menguji hamba-Ku dengan kenikmatan-kenikmatan sebagaimana Aku mengujinya dengan berbagai musibah.” (Ijtima’ul Juyusy, hal. 9)
Sehingga, dunia dan harta bisa menyebabkan pemiliknya selamat serta mulia di dunia dan akhirat, apabila dia mendapatkannya dengan cara yang diperbolehkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia juga mensyukurinya serta menunaikan hak-haknya sehingga tidak diperbudak oleh dunia dan harta tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh iri kecuali kepada dua golongan: Orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan harta kepadanya lalu dia infakkan di jalan yang benar, serta orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan ilmu kepadanya lalu dia menunaikan konsekuensinya (mengamalkannya) dan mengajarkannya.” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)
Dan demikianlah keadaan para sahabat dahulu. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu menceritakan: Beberapa orang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُولَ اللهِ، ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ، يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ
“Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah mendahului kami untuk mendapatkan pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka juga berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Namun mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” (HR. Muslim)
Sebaliknya, orang yang tertipu dengan harta dan dunia sehingga dia diperbudak olehnya, dia akan celaka dan binasa di dunia maupun akhirat. Na’udzu billah min dzalik (Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari hal tersebut). Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan tentang hakikat harta dan dunia itu dalam firman-Nya:

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Ali Imran: 185)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا الْفَقْرُ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا فَتُهْلِكُكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
“Bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas kalian. Namun aku khawatir akan dibentangkan dunia kepada kalian sebagaimana telah dibentangkan kepada orang-orang sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana orang-orang yang sebelum kalian, maka dunia itu akan membinasakan kalian sebagaimana dia telah membinasakan orang-orang yang sebelum kalian.” (Muttafaqun ‘alaih dari ‘Amr bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu)
تَعِسَ عَبْدُ الدِّيْنَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِي وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ
“Celaka hamba dinar, dirham, qathifah, dan khamishah (keduanya adalah jenis pakaian). Bila dia diberi maka dia ridha. Namun bila tidak diberi dia tidak ridha.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan kejahatan orang yang berilmu dan ahli ibadah dari kalangan ahli kitab yang telah diperbudak oleh harta dan dunia dalam firman-Nya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (At-Taubah: 34)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu menerangkan dalam tafsirnya: “Yang dimaksud ayat tersebut adalah peringatan dari para ulama su’ (orang yang berilmu tapi jahat) dan ahli ibadah yang sesat. Sebagaimana ucapan Suyfan ibnu Uyainah rahimahullahu: ‘Barangsiapa yang jahat dari kalangan orang yang berilmu di antara kita, berarti ada keserupaan dengan para pemuka Yahudi. Sedangkan barangsiapa yang sesat dari kalangan ahli ibadah kita, berarti ada keserupaan dengan para pendeta Nasrani. Di mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang shahih: ‘Sungguh-sungguh ada di antara kalian perbuatan-perbuatan generasi sebelum kalian. Seperti bulu anak panah menyerupai bulu anak panah lainnya.’ Para sahabat g bertanya: ‘Apakah mereka orang Yahudi dan Nasrani?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Siapa lagi?’
Dalam riwayat yang lain mereka bertanya: ‘Apakah mereka Persia dan Romawi?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Siapa lagi kalau bukan mereka?’
Intinya adalah peringatan dari tasyabbuh (menyerupai) ucapan maupun perbuatan mereka. Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ

“(Mereka) benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (At-Taubah: 34)
Hal itu karena mereka memakan harta orang lain dengan kedok agama. Mereka mendapat keuntungan dan kedudukan di sisi umat, sebagaimana para pendeta Yahudi dan Nasrani mendapatkan hal-hal tersebut dari umatnya di masa jahiliah. Hingga ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka pun tetap berkeras di atas kejahatan, kesesatan, kekafiran, dan permusuhannya, disebabkan ambisi mereka terhadap kedudukan tersebut. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memadamkan kesesatan itu dengan cahaya kenabian sekaligus menggantikan kedudukan mereka degan kehinaan serta kerendahan. Dan mereka akan kembali menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala membawa kemurkaan-Nya.”
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata: “Sungguh, ambisi terhadap dunia termasuk sebab yang menimbulkan berbagai macam fitnah pada generasi pertama. Telah terdapat riwayat yang shahih dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dalam Masa’il Al-Imam Ahmad (2/171), bahwa beliau radhiyallahu ‘anhuma berkata: Seorang dari Anshar datang kepadaku pada masa khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu. Dia berbicara denganku. Tiba-tiba dia menyuruhku untuk mencela Utsman radhiyallahu ‘anhu. Maka aku katakan: ‘Sungguh, demi Allah, kita tidak mengetahui bahwa Utsman membunuh suatu jiwa tanpa alasan yang benar. Dia juga tidak pernah melakukan dosa besar (zina) sedikitpun. Namun inti masalahnya adalah harta. Apabila dia memberikan harta tersebut kepadamu, niscaya engkau akan ridha. Sedangkan bila dia memberikan harta kepada saudara/kerabatnya, maka kalian marah.”
Selanjutnya, Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata: “Bila kalian arahkan pandangan ke tengah-tengah kaum muslimin, baik di zaman yang telah lalu maupun sekarang, niscaya engkau akan saksikan kebanyakan orang yang tergelincir dari jalan ini (al-haq) adalah karena tamak terhadap dunia dan kedudukan. Maka barangsiapa yang membuka pintu ini untuk dirinya niscaya dia akan berbolak-balik. Berubah-ubah prinsip agamanya dan akan menganggap remeh/ringan urusan agamanya. (Bidayatul Inhiraf, hal. 141)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Setiap orang dari kalangan orang yang berilmu yang lebih memilih dunia dan berambisi untuk mendapatkannya, pasti dia akan berdusta atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam fatwanya, dalam hukum yang dia tetapkan, berita-berita yang dia sebarkan, serta konsekuensi-konsekuensi yang dia nyatakan. Karena hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala mayoritasnya menyelisihi ambisi manusia. Lebih-lebih ambisi orang yang tamak terhadap kedudukan dan orang yang diperbudak hawa nafsunya. Ambisi mereka tidak akan bisa mereka dapatkan dengan sempurna kecuali dengan menyelisihi kebenaran dan sering menolaknya. Apabila seorang yang berilmu atau hakim berambisi terhadap jabatan dan mempertuhankan hawa nafsunya, maka ambisi tersebut tidak akan didapatkan dengan sempurna kecuali dengan menolak kebenaran…
Mereka pasti akan membuat-buat perkara yang baru dalam agama, disertai kejahatan-kejahatan dalam bermuamalah. Maka terkumpullah pada diri mereka dua perkara tersebut (kedustaan dan kejahatan).
Sungguh, mengikuti hawa nafsu itu akan membutakan hati, sehingga tidak lagi bisa membedakan antara sunnah dengan bid’ah. Bahkan bisa terbalik, dia lihat yang bid’ah sebagai sunnah dan yang sunnah sebagai bid’ah. Inilah penyakit para ulama bila mereka lebih memilih dunia dan diperbudak oleh hawa nafsunya.” (Al-Fawaid, hal 243-244)
اللَهُّمَ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ
“Ya Allah, tampakkanlah kepada kami kebenaran itu sebagai kebenaran dan karuniakanlah kami untuk mengikutinya. Dan tampakkanlah kebatilan itu sebagai kebatilan dan karuniakanlah kami untuk menjauhinya.” Wallahu ‘alam bish-shawab.


Bagikan

Tawadhu’

Sikap merendah tanpa menghinakan diri- merupakan sifat yang sangat terpuji di hadapan Allah dan seluruh makhluk-Nya. Sudahkah kita memilikinya?
Merendahkan diri (tawadhu’) adalah sifat yang sangat terpuji di hadapan Allah dan juga di hadapan seluruh makhluk-Nya. Setiap orang mencintai sifat ini sebagaimana Allah dan Rasul-Nya mencintainya. Sifat terpuji ini mencakup dan mengandung banyak sifat terpuji lainnya.
Tawadhu’ adalah ketundukan kepada kebenaran dan menerimanya dari siapapun datangnya baik ketika suka atau dalam keadaan marah. Artinya, janganlah kamu memandang dirimu berada di atas semua orang. Atau engkau menganggap semua orang membutuhkan dirimu.
Lawan dari sifat tawadhu’ adalah takabbur (sombong), sifat yang sangat dibenci Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah mendefinisikan sombong dengan sabdanya:
Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)
Jika anda mengangkat kepala di hadapan kebenaran baik dalam rangka menolaknya, atau mengingkarinya berarti anda belum tawadhu’ dan anda memiliki benih sifat sombong.
Tahukah anda apa yang diperbuat Allah subhanahu wa ta’ala terhadap Iblis yang terkutuk? Dan apa yang diperbuat Allah kepada Fir’aun dan tentara-tentaranya? Kepada Qarun dengan semua anak buah dan hartanya? Dan kepada seluruh penentang para Rasul Allah? Mereka semua dibinasakan Allah subhanahu wa ta’ala karena tidak memiliki sikap tawadhu’ dan sebaliknya justru menyombongkan dirinya.

Tawadhu’ di Hadapan Kebenaran

Menerima dan tunduk di hadapan kebenaran sebagai perwujudan tawadhu’ adalah sifat terpuji yang akan mengangkat derajat seseorang bahkan mengangkat derajat suatu kaum dan akan menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi dan kesudahan yang baik bagi orang-orang yang bertakwa.(Al-Qashash: 83)
Fudhail bin Iyadh rahimahullahu (seorang ulama generasi tabiin) ditanya tentang tawadhu’, beliau menjawab: “Ketundukan kepada kebenaran dan memasrahkan diri kepadanya serta menerima dari siapapun yang mengucapkannya.” (Madarijus Salikin, 2/329). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Tidak akan berkurang harta yang dishadaqahkan dan Allah tidak akan menambah bagi seorang hamba yang pemaaf melainkan kemuliaan dan tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah melainkan akan Allah angkat derajatnya.” (Shahih, HR. Muslim no. 556 dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam kitab Madarijus Salikin (2/333) berkata: “Barangsiapa yang angkuh untuk tunduk kepada kebenaran walaupun datang dari anak kecil atau orang yang dimarahinya atau yang dimusuhinya maka kesombongan orang tersebut hanyalah kesombongan kepada Allah karena Allah adalah Al-Haq, ucapannya haq, agamanya haq. Al-Haq datangnya dari Allah dan kepada-Nya akan kembali. Barangsiapa menyombongkan diri untuk menerima kebenaran berarti dia menolak segala yang datang dari Allah dan menyombongkan diri di hadapan-Nya.”

Perintah untuk Tawadhu’

Dalam pembahasan masalah akhlak, kita selalu terkait dan bersandar kepada firman Allah subhanahu wa ta’ala:
Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasul teladan yang baik.” (Al-Ahzab: 21)
Dalam hal ini banyak ayat yang memerintahkan kepada beliau untuk tawadhu’, tentu juga perintah tersebut untuk umatnya dalam rangka meneladani beliau. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu yaitu orang-orang yang beriman.” (Asy-Syu’ara: 215).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan diri sehingga seseorang tidak menyombongkan diri atas yang lain dan tidak berbuat zhalim atas yang lain.” (Shahih, HR Muslim no. 2588).
Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kepada kita bahwa tawadhu’ itu sebagai sebab tersebarnya persatuan dan persamaan derajat, keadilan dan kebaikan di tengah-tengah manusia sebagaimana sifat sombong akan melahirkan keangkuhan yang mengakibatkan memperlakukan orang lain dengan kesombongan.

Macam-macam Tawadhu’

Telah dibahas oleh para ulama sifat tawadhu’ ini dalam karya-karya mereka, baik dalam bentuk penggabungan dengan pembahasan yang lain atau menyendirikan pembahasannya. Di antara mereka ada yang membagi tawadhu’ menjadi dua:
1. Tawadhu’ yang terpuji yaitu ke-tawadhu’-an seseorang kepada Allah dan tidak mengangkat diri di hadapan hamba-hamba Allah.
2. Tawadhu’ yang dibenci yaitu tawadhu’-nya seseorang kepada pemilik dunia karena menginginkan dunia yang ada di sisinya. (Bahjatun Nazhirin, 1/657).
Wallahu a’lam.
Sumber: http://www.asysyariah.com/



Bagikan

Memahami Takdir Ilahi

Beriman kepada Takdir
Kaum muslimin yang semoga dimuliakan oleh Allah Ta’ala, salah satu rukun iman yang wajib diimani oleh setiap muslim adalah beriman kepada takdir baik maupun buruk.



Perlu diketahui bahwa beriman kepada takdir ada empat tingkatan :

[1] Beriman kepada ilmu Allah yang ajali sebelum segala sesuatu itu ada. Di antaranya seseorang harus beriman bahwa amal perbuatannya telah diketahui (diilmui) oleh Allah sebelum dia melakukannya.
[2] Mengimani bahwa Allah telah menulis takdir di Lauhul Mahfuzh.
[3] Mengimani masyi’ah (kehendak Allah) bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah karena kehendak-Nya.
[4] Mengimani bahwa Allah telah menciptakan segala sesuatu. Allah adalah Pencipta satu-satunya dan selain-Nya adalah makhluk termasuk juga amalan manusia.

Dalil dari tingkatan pertama dan kedua di atas adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya),”Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al Hajj [22] : 70). Kemudian dalil dari tingkatan ketiga di atas adalah firman Allah (yang artinya),”Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwir [81] : 29). Sedangkan untuk tingkatan keempat, dalilnya adalah firman Allah (yang artinya),”Allah menciptakan kamu dan apa saja yang kamu perbuat.” (QS. Ash-Shaffaat [37] : 96). Pada ayat ‘Wa ma ta'malun’ (dan apa saja yang kamu perbuat) menunjukkan bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Allah.

Macam-macam Takdir
Takdir itu ada 2 macam :

[1] Takdir umum mencakup segala yang ada. Takdir ini dicatat di Lauhul Mahfuzh. Dan Allah telah mencatat takdir segala sesuatu hingga hari kiamat. Takdir ini umum bagi seluruh makhluk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan Allah adalah qalam (pena). Allah berfirman kepada qalam tersebut,“Tulislah”. Kemudian qalam berkata,“Wahai Rabbku, apa yang akan aku tulis?” Allah berfirman,“Tulislah takdir segala sesuatu yang terjadi hingga hari kiamat.” (HR. Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud).
[2] Takdir yang merupakan rincian dari takdir yang umum. Takdir ini terdiri dari :
(a) Takdir ‘Umri yaitu takdir sebagaimana terdapat pada hadits Ibnu Mas’ud, di mana janin yang sudah ditiupkan ruh di dalam rahim ibunya akan ditetapkan mengenai 4 hal : (1) rizki, (2) ajal, (3) amal, dan (4) sengsara atau berbahagia.
(b) Takdir Tahunan yaitu takdir yang ditetapkan pada malam lailatul qadar mengenai kejadian dalam setahun. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),”Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan [44] : 4). Ibnu Abbas mengatakan,”Pada malam lailatul qadar, ditulis pada ummul kitab segala kebaikan, keburukan, rizki dan ajal yang terjadi dalam setahun.” (Lihat Ma’alimut Tanzil, Tafsir Al Baghowi)
Seorang muslim harus beriman dengan takdir yang umum dan terperinci ini. Barangsiapa yang mengingkari sedikit saja dari keduanya, maka dia tidak beriman kepada takdir. Dan berarti dia telah mengingkari salah satu rukun iman yang wajib diimani.

Salah dalam Menyikapi Takdir
Dalam menyikapi takdir Allah, ada yang mengingkari takdir dan ada pula yang terlalu berlebihan dalam menetapkannya.

Yang pertama ini dikenal dengan Qodariyyah. Dan di dalamnya ada dua kelompok lagi. Kelompok pertama adalah yang paling ekstrim. Mereka mengingkari ilmu Allah terhadap segala sesuatu dan mengingkari pula apa yang telah Allah tulis di Lauhul Mahfuzh. Mereka mengatakan bahwa Allah memerintah dan melarang, namun Allah tidak mengetahui siapa yang ta’at dan berbuat maksiat. Perkara ini baru saja diketahui, tidak didahului oleh ilmu Allah dan takdirnya. Namun kelompok seperti ini sudah musnah dan tidak ada lagi.
Kelompok kedua adalah yang menetapkan ilmu Allah, namun meniadakan masuknya perbuatan hamba pada takdir Allah. Mereka menganggap bahwa perbuatan hamba adalah makhluk yang berdiri sendiri, Allah tidak menciptakannya dan tidak pula menghendakinya. Inilah madzhab mu’tazilah.
Kebalikan dari Qodariyyah adalah kelompok yang berlebihan dalam menetapkan takdir sehingga hamba seolah-olah dipaksa tanpa mempunyai kemampuan dan ikhtiyar (usaha) sama sekali. Mereka mengatakan bahwasanya hamba itu dipaksa untuk menuruti takdir. Oleh karena itu, kelompok ini dikenal dengan Jabariyyah.

Keyakinan dua kelompok di atas adalah keyakinan yang salah sebagaimana ditunjukkan dalam banyak dalil. Di antaranya adalah firman Allah (yang artinya),”(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwir [81] : 28-29). Ayat ini secara tegas membantah pendapat yang salah dari dua kelompok di atas. Pada ayat,“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus” merupakan bantahan untuk jabariyyah karena pada ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak (pilihan) bagi hamba. Jadi manusia tidaklah dipaksa dan mereka berkehendak sendiri. Kemudian pada ayat selanjutnya,”Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam” merupakan bantahan untuk qodariyyah yang mengatakan bahwa kehendak manusia itu berdiri sendiri dan diciptakan oleh dirinya sendiri tanpa tergantung pada kehendak Allah. Ini perkataan yang salah karena pada ayat tersebut, Allah mengaitkan kehendak hamba dengan kehendak-Nya.

Keyakinan yang Benar dalam Mengimani Takdir
Keyakinan yang benar adalah bahwa semua bentuk ketaatan, maksiat, kekufuran dan kerusakan terjadi dengan ketetapan Allah karena tidak ada pencipta selain Dia. Semua perbuatan hamba yang baik maupun yang buruk adalah termasuk makhluk Allah. Dan hamba tidaklah dipaksa dalam setiap yang dia kerjakan, bahkan hambalah yang memilih untuk melakukannya.

As Safariny mengatakan, ”Kesimpulannya bahwa mazhab ulama-ulama terdahulu (salaf) dan Ahlus Sunnah yang hakiki adalah meyakini bahwa Allah menciptakan kemampuan, kehendak, dan perbuatan hamba. Dan hambalah yang menjadi pelaku perbuatan yang dia lakukan secara hakiki. Dan Allah menjadikan hamba sebagai pelakunya, sebagaimana firman-Nya (yang artinya),”Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah” (QS. At Takwir [81] : 29). Maka dalam ayat ini Allah menetapkan kehendak hamba dan Allah mengabarkan bahwa kehendak hamba ini tidak terjadi kecuali dengan kehendak-Nya. Inilah dalil yang tegas yang dipilih oleh Ahlus Sunnah.”

Jangan Hanya Bersandar pada Takdir Allah
Sebagian orang ada yang salah paham dalam memahami takdir. Mereka menyangka bahwa seseorang yang mengimani takdir itu hanya pasrah tanpa melakukan sebab sama sekali. Contohnya adalah seseorang yang meninggalkan istrinya berhari-hari untuk berdakwah keluar kota. Kemudian dia tidak meninggalkan sedikit pun harta untuk kehidupan istri dan anaknya. Lalu dia mengatakan,”Saya pasrah, biarkan Allah yang akan memberi rizki pada mereka”. Sungguh ini adalah suatu kesalahan dalam memahami takdir.
Ingatlah bahwa Allah memerintahkan kita untuk mengimani takdir-Nya, di samping itu Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil sebab dan melarang kita bermalas-malasan. Apabila kita telah mengambil sebab, namun kita mendapatkan hasil yang sebaliknya, maka kita tidak boleh berputus asa dan bersedih karena hal ini sudah menjadi takdir dan ketentuan Allah. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu. Dan minta tolonglah pada Allah dan janganlah malas. Apabila kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu berkata: ‘Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’, tetapi katakanlah: ‘Qodarollahu wa maa sya’a fa’al’ (Ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya) karena ucapan’seandainya’ akan membuka (pintu) setan.” (HR. Muslim)

Buah dari Beriman kepada Takdir
Di antara buah dari beriman kepada takdir dan ketetapan Allah adalah hati menjadi tenang dan tidak pernah risau dalam menjalani hidup ini. Seseorang yang mengetahui bahwa musibah itu adalah takdir Allah, maka dia yakin bahwa hal itu pasti terjadi dan tidak mungkin seseorang pun lari darinya.
Dari Ubadah bin Shomit, beliau pernah mengatakan pada anaknya, ”Engkau tidak dikatakan beriman kepada Allah hingga engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk dan engkau harus mengetahui bahwa apa saja yang akan menimpamu tidak akan luput darimu dan apa saja yang luput darimu tidak akan menimpamu. Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Takdir itu demikian. Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak beriman seperti ini, maka dia akan masuk neraka.” (Shohih. Lihat Silsilah Ash Shohihah no. 2439)

Maka apabila seseorang memahami takdir Allah dengan benar, tentu dia akan menyikapi segala musibah yang ada dengan tenang. Hal ini pasti berbeda dengan orang yang tidak beriman pada takdir dengan benar, yang sudah barang tentu akan merasa sedih dan gelisah dalam menghadapi musibah. Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk sabar dalam menghadapi segala cobaan yang merupakan takdir Allah.

Ya Allah, kami meminta kepada-Mu surga serta perkataan dan amalan yang mendekatkan kami kepadanya. Dan kami berlindung kepada-Mu dari neraka serta perkataan dan amalan yang dapat mengantarkan kami kepadanya. Ya Allah, kami memohon kepada-Mu, jadikanlah semua takdir yang Engkau tetapkan bagi kami adalah baik. Amin Ya Mujibbad Da’awat.
[Sumber rujukan utama : [1] Al Irsyad ila Shohihil I’tiqod, Syaikh Fauzan Al Fauzan, [2] Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin]

Bagikan

Lihatlah ke Bawah!

Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Dunia dengan perhiasannya demikian menyilaukan . . .
Allah Subhanahu wa Ta’ala pun memberikannya kepada hamba yang dicintai-Nya dan kepada hamba yang tidak dicintai-Nya, sehingga kelebihan yang didapatkan seseorang dalam perkara dunia bukan jaminan ia dicintai oleh Dzat Yang di atas. Berapa banyak orang yang jahat, ingkar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam namun ia beroleh kekayaan dan jabatan yang tinggi. Sebaliknya, banyak hamba yang taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak beroleh dunia kecuali sekadarnya. Kenapa demikian? Karena memang dunia tiada bernilai di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala sampai-sampai kata Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wasallam:
لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
Seandainya dunia ini di sisi Allah punya nilai setara dengan sebelah sayap nyamuk niscaya Allah tidak akan memberi minum seorang kafir seteguk air pun.” (HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 940)
Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lewat di sebuah pasar sementara orang-orang berada di sekitarnya, beliau melewati bangkai seekor anak kambing yang cacat telinganya. Beliau memegang telinga bangkai hewan tersebut, lalu berkata:
أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ؟ فَقَالُوا: مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ؟ قَالَ: أَتُحِبُّوْنَ أَنَّهُ لَكُمْ؟ قَالُوا: وَاللهِ، لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيْهِ لِأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ؟ فَقَالَ: فَوَاللهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ
“Siapa di antara kalian ingin memiliki bangkai anak kambing ini dengan membayar satu dirham?”
“Kami tidak ingin memilikinya walau dengan membayar sedikit, karena apa yang akan kami perbuat dengannya?” jawab mereka yang ditanya.
Beliau kembali mengulang pertanyaannya, “Apakah kalian ingin bangkai anak kambing ini jadi milik kalian?”
“Demi Allah, seandainya pun hewan ini masih hidup, ia cacat, telinganya kecil, apatah lagi ia sudah menjadi bangkai!” jawab mereka.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Maka demi Allah, sungguh dunia ini lebih hina bagi Allah daripada bangkai anak kambing ini bagi kalian.” (HR Muslim)
Mungkin kita termasuk orang yang mendapatkan dunia sekadarnya, tidak seperti yang diperoleh orang-orang sekitar kita, yang mungkin punya rumah mewah, mobil gonta-ganti, perabotan yang wah . . . , dan jabatan yang empuk. Kekurangan yang ada pada kita dari sisi lain seharusnya tidak perlu membuat dada kita sempit sehingga kita berburuk sangka kepada Allah Yang Maha Adil. Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberi bimbingan dalam perkara dunia kita. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bertitah:
انظروا إلى من هو أسفل منكم. ولا تنظروا إلى من هو فوقكم؛ فهو أجدر أن لا تَزْدروا نعمة الله عليكم
Lihatlah kepada orang yang lebih rendah daripada kalian dan jangan melihat orang yang lebih di atas kalian. Yang demikian ini (melihat ke bawah) akan membuat kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang diberikan-Nya kepada kalian.” (HR. Muslim)
Dalam satu riwayat:
إذا نظر أحدكم إلى من فضل عليه في المال والخلق فلينظر إلى من هو أسفل منه
Apabila salah seorang dari kalian melihat kepada orang yang diberi kelebihan dalam hal harta dan rupa/fisik, maka hendaklah ia melihat orang yang lebih rendah dari dirinya.”
Hadits di atas memberi arahkan kepada setiap muslim agar selalu melihat ke bawah dalam perkara dunia dan jangan melihat kepada orang yang melebihinya. Karena bila ia berbuat demikian akan membuatnya berkeluh kesah, sempit dada, dan tidak bersyukur dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepadanya. Sebaliknya dalam perkara agama/akhirat, seorang muslim harusnya melihat ke atas, kepada orang yang lebih darinya dalam beramal ketaatan, dalam keshalihan dan ketakwaan sehingga ia terpacu untuk terus menambah ketaatan dan amal ibadah. (Bahjatun Nazhirin, 1/534)
Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu berkata tentang hadits di atas, “Ini merupakan sebuah hadits yang mengumpulkan kebaikan. Karena bila seorang hamba melihat orang yang di atasnya dalam kebaikan, ia menuntut jiwanya untuk turut bergabung dengan orang yang dilihatnya tersebut. Ia pun mengecilkan keadaannya ketika itu sehingga ia bersungguh-sungguh untuk menambah kebaikan. Bila dalam perkara dunianya ia melihat kepada orang yang di bawahnya, akan tampak baginya nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang terlimpah padanya, ia pun mengharuskan jiwanya bersyukur. Inilah makna ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di atas. Bila seseorang tidak melakukan anjuran Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut maka keadaannya jadi sebaliknya. Ia terkagum-kagum dengan amalannya sehingga ia malas menambah kebaikan. Ia membelakakkan dua matanya kepada dunia dan berambisi untuk menambahnya. Nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diperolehnya pun diremehkan dan tidak ditunaikan haknya.” (Ikmalul Mu’lim bi Fawa’id Muslim, 8/515)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan nasihat yang akan mengobati penyakit yang mungkin ada di dalam dada, maka amalkanlah! Selalulah melihat orang yang kekurangan dan lebih susah daripada kita.
Lihatlah. . . Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan tempat tinggal yang menaungi kita setiap harinya walau rumah yang sederhana, maka syukurilah karena berapa banyak tuna wisma di sekitar kita. Mereka terpaksa tidur di emperen toko, di kolong jembatan, dan di dalam rumah-rumah kardus . . .
Setiap harinya kita bisa makan dan minum walau hidangan yang tersaji sederhana, namun syukurilah. Lihatlah di sana … Ada orang-orang yang mengais-ngais sampah untuk mencari sesuatu yang dapat mengganjal perut mereka yang lapar.
Kita diberi nikmat berupa pakaikan yang dapat menutup aurat kita dan melindungi kita dari hawa panas dan dingin, walau harganya tak seberapa. Namun lihatlah … di sana ada orang-orang yang berpakaian compang-camping karena fakirnya.
Lihatlah dan tengoklah selalu kepada orang yang hidupnya lebih sulit daripada kita, dengan begitu kita dapat mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diberikan-Nya kepada kita.
Ingatlah selalu bahwa dunia ini ibaratnya hanyalah fatamorgana, tiada berharga, maka jangan engkau terlalu berpanjang angan untuk meraihnya. Tetapi berambisilah untuk kehidupanmu setelah mati. Di sana ada negeri kekal menantimu…!!!
Wallahu a’lam bish-shawab.
(Sumber: Asy Syariah No. 48/IV/1430 H/2009. Rubrik: Sakinah, Lembar untuk Wanita dan Keluarga. Katagori: Mutiara Kata. Halaman: 93 s.d. 94)

Bagikan

Istriku Bukan Bidadari, Tapi Aku Pun Bukan Malaikat

Alhamdulillah, salawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan sahabatnya.
Anda telah berkeluarga? Bagaimana pengalaman Anda selama mengarungi bahtera rumah tangga? Semulus dan seindah yang Anda bayangkan dahulu?
Mungkin saja Anda menjawab, “Tidak.”
Akan tetapi, izinkan saya berbeda dengan Anda, “Ya,” bahkan lebih indah daripada yang saya bayangkan sebelumnya.

Saudaraku, kehidupan rumah tangga memang penuh dengan dinamika, lika-liku, dan pasang surut. Kadang Anda senang, dan kadang Anda bersedih. Tidak jarang, Anda tersenyum di hadapan pasangan Anda, dan kadang kala Anda cemberut dan bermasam muka.
Bukankah demikian, Saudaraku?
Berbagai tantangan dan tanggung jawab dalam rumah tangga senantiasa menghiasi hari-hari Anda. Semakin lama umur pernikahan Anda, maka semakin berat dan bertambah banyak perjuangan yang harus Anda tunaikan.
Tanggung jawab terhadap putra-putri, pekerjaan, karib kerabat, masyarakat, dan lain sebagainya.
Di antara tanggung jawab yang tidak akan pernah lepas dari kehidupan Anda ialah tanggung jawab terhadap pasangan hidup Anda.
Sebelum menikah, sah-sah saja Anda sebagai calon suami membayangkan bahwa pasangan hidup Anda cantik rupawan, bangsawan, kaya raya, patuh, pandai mengurus rumah, penyayang, tanggap, sabar, dan berbagai gambaran indah.
Bukankah demikian, Saudaraku?
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Biasanya, seorang wanita dinikahi karena empat pertimbangan: harta kekayaannya, kedudukannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka, hendaknya engkau lebih memilih wanita yang beragama, niscaya engkau beruntung.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Al-Qurthubi menjelaskan makna hadits ini dengan berkata, “Empat pertimbangan inilah yang biasanya mendorong seorang lelaki untuk menikahi seorang wanita. Dengan demikian, hadits ini sebatas kabar tentang fakta yang terjadi di masyarakat, dan bukan perintah untuk menjadikannya sebagai pertimbangan. Secara tekstual pun, hadits ini menunjukkan bahwa dibolehkan menikahi seorang wanita dengan keempat pertimbangan itu. Akan tetapi, hendaknya pertimbangan agama lebih didahulukan.”
Keterangan al-Qurthubi ini semakna dengan hadits yang diriwayatkan oleh shahabat Abdullah bin Amr al-’Ash radhiyallahu ‘anhu, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَزَوَّجُوا النِّسَاءَ لِحُسْنِهِنَّ فَعَسَى حُسْنُهُنَّ أَنْ يُرْدِيَهُنَّ وَلاَ تَزَوَّجُوهُنَّ لِأَمْوَالِهِنَّ فَعَسَى أَمْوَالُهُنَّ أَنْ تُطْغِيَهُنَّ وَلَكِنْ تَزَوَّجُوهُنَّ عَلَى الدِّينِ وَلَأَمَةٌ خَرْمَاءُ سَوْدَاءُ ذَاتُ دِينٍ أَفْضَلُ
‘Janganlah engkau menikahi wanita hanya karena kecantikan parasnya, karena bisa saja parasnya yang cantik menjadikannya sengsara. Jangan pula engkau menikahinya karena harta kekayaannya, karena bisa saja harta kekayaan yang ia miliki menjadikan lupa daratan. Akan tetapi, hendaklah engkau menikahinya karena pertimbangan agamanya. Sungguh, seorang budak wanita berhidung pesek dan berkulit hitam, tetapi ia patuh beragama, lebih utama dibanding mereka semua.’” (Hr. Ibnu Majah; oleh al-Albani dinyatakan sebagai hadits yang lemah)
Akan tetapi, sekarang, setelah Anda menikah, terwujudkah seluruh impian dan gambaran yang dahulu terlukis dalam lamunan Anda?
Bila benar-benar seluruh impian Anda terwujud pada pasangan hidup Anda, maka saya turut mengucapkan selamat berbahagia di dunia dan akhirat. Bila tidak, maka tidak perlu berkecil hati atau kecewa.
Saudaraku, besarkan hati Anda, karena nasib serupa tidak hanya menimpa Anda seorang, tetapi juga menimpa kebanyakan umat manusia.
عَنْ أَبِى مُوسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَمُلَ مِنَ الرِّجَالِ كَثِيرٌ، وَلَمْ يَكْمُلْ مِنَ النِّسَاءِ إِلاَّ آسِيَةُ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ، وَمَرْيَمُ بِنْتُ عِمْرَانَ، وَإِنَّ فَضْلَ عَائِشَةَ عَلَى النِّسَاءِ كَفَضْلِ الثَّرِيدِ عَلَى سَائِرِ الطَّعَامِ
Abu Musa radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Banyak lelaki yang berhasil menggapai kesempurnaan, sedangkan tidaklah ada dari wanita yang berhasil menggapainya kecuali Asiyah istri Fir’aun dan Maryam binti Imran. Sesungguhnya, kelebihan Aisyah dibanding wanita lainnya bagaikan kelebihan bubur daging [1] dibanding makanan lainnya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Saudaraku, berbahagia dan berbanggalah dengan pasangan hidup Anda, karena pasangan hidup Anda adalah wanita terbaik untuk Anda!
Anda tidak percaya? Silakan Anda membuktikannya. Bacalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini, lalu terapkanlah pada istri Anda.
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Tidak pantas bagi lelaki yang beriman untuk meremehkan wanita yang beriman. Bila ia tidak menyukai satu perangai darinya, pasti ia puas dengan perangainya yang lain.” (Hr. Muslim)
Saudaraku, Anda kecewa karena istri Anda kurang pandai memasak? Tidak perlu khawatir, karena ternyata istri Anda adalah penyayang.
Anda kurang puas dengan istri Anda yang kurang pandai mengurus rumah dan kurang sabar? Tidak usah berkecil hati, karena ia begitu cantik rupawan.
Anda berkecil hati karena istri Anda kurang cantik? Segera besarkan hati Anda, karena ternyata istri Anda subur sehingga Anda mendapatkan karunia keturunan yang shalih dan shalihah. Coba Anda bayangkan, betapa besar penderitaan Anda bila Anda menikahi wanita cantik akan tetapi mandul.
Demikianlah seterusnya.
Tidak etis dan tidak manusiawi bila Anda hanya pandai mengorek kekurangan istri, namun Anda tidak mahir dalam menemukan kelebihan-kelebihannya. Buktikan Saudaraku, bahwa Anda benar-benar seorang suami yang berjiwa besar, sehingga Anda peka dan lihai dalam membaca kelebihan pasangan Anda.
Dahulu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu peka dan mahir dalam membaca segala hal, termasuk suasana hati istrinya. Aisyah mengisahkan,
قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: إِنِّي لَأَعْلَمُ إِذَا كُنْتِ عَنِّي رَاضِيَةً، وَإِذَا كُنْتِ عَلَيَّ غَضْبَى . قَالَتْ: فَقُلْتُ مِنْ أَيْنَ تَعْرِفُ ذَلِكَ، فَقَالَ: أَمَّا إِذَا كُنْتِ عَنِّي رَاضِيَةً فَإِنَّكِ تَقُولِيْنَ لاَ وَرَبِّ مُحَمَّدٍ، وَإِذَا كُنْتِ غَضْبَى قُلْتِ لاَ وَرَبِّ إِبْرَاهِيمَ. قَالَتْ: قُلْتُ أَجَلْ وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا أَهْجُرُ إِلاَّ اسْمَكَ
“Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Sungguh, aku mengetahui bila engkau ridha kepadaku, demikian pula bila engkau sedang marah kepadaku.’ Spontan, Aisyah bertanya, ‘Darimana engkau dapat mengetahui hal itu?’ Rasulullah menjawab, ‘Bila engkau sedang ridha kepadaku, maka ketika engkau bersumpah, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan Muhammad. Adapun bila engkau sedang dirundung amarah, maka ketika engkau bersumpah, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan Ibrahim.’’ Mendengar penjelasan ini, Aisyah menimpalinya dan berkata, ‘Benar, sungguh demi Allah, wahai Rasulullah, ketika aku marah, tiada yang aku tinggalkan, kecuali namamu saja.’” (Muttafaqun ‘alaihi)
Demikianlah teladan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau begitu peka dengan suasana hati istrinya, sehingga beliau bisa membaca isi hati istrinya dari ucapan sumpahnya. Walaupun Aisyah berusaha untuk menyembunyikan isi hatinya, tetap bermanis muka, senantiasa berada di sanding Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berbicara seperti biasa, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat menebak suasana hatinya dari perubahan cara bersumpahnya. Luar biasa, perhatian, kejelian, dan kepekaan yang tidak ada bandingnya.
Tidak mengherankan, bila beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
(خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Orang terbaik di antara kalian ialah orang yang terbaik dalam memperlakukan istrinya, dan aku adalah orang terbaik di antara kalian dalam memperlakukan istriku.” (Hr. At-Tirmidzi)
Bagaimana dengan Anda, Saudaraku? Dengan apa Anda dapat mengenali dan meraba suasana hati pasangan Anda?
Saudaraku, tidak ada salahnya bila sejenak Anda kembali memutar lamunan dan gambaran tentang istri ideal dan idaman yang pernah singgah dalam benak Anda. Selanjutnya, bandingkan gambaran istri idaman Anda dengan gambaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kaum wanita berikut ini,
الْمَرْأَةُ كَالضِّلَعِ ، إِنْ أَقَمْتَهَا كَسَرْتَهَا، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيهَا عِوَجٌ
“Wanita itu bagaikan tulang rusuk. Bila engkau ingin meluruskannya, niscaya engkau menjadikannya patah, dan bila engkau bersenang-senang dengannya, niscaya engkau dapat bersenang-senang dengannya, sedangkan ia adalah bengkok.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Pada riwayat lain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَسْتَقِيمُ لَكَ الْمَرْأَةُ عَلَى خَلِيقَةٍ وَاحِدَةٍ وَإِنَّمَا هِيَ كَالضِّلَعُ إِنْ تُقِمْهَا تَكْسِرْهَا وَإِنْ تَتْرُكْهَا تَسْتَمْتِعْ بِهَا وَفِيهَا عِوَجٌ
“Tidak mungkin istrimu kuasa bertahan dalam satu keadaan. Sesungguhnya, wanita itu bak tulang rusuk. Bila engkau ingin meluruskannya, niscaya engkau menjadikannya patah. Adapun bila engkau biarkan begitu saja, maka engkau dapat bersenang-senang dengannya, (tetapi hendaklah engkau ingat) ia adalah bengkok.” (Hr. Ahmad)
Nah, sekarang, silakan Anda mengorek memori Anda tentang wanita pendamping hidup Anda. Temukan berbagai kelebihan padanya, dan selanjutnya tersenyumlah, karena ternyata istri Anda memiliki banyak kelebihan.
Lalu, bila pada suatu hari Anda merasa tergoda oleh kecantikan wanita lain, maka ketahuilah bahwa sesuatu yang dimiliki oleh wanita itu ternyata juga telah dimiliki oleh istri Anda. Maka, bergegaslah untuk membuktikan hal ini pada istri Anda. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَى أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَأَعْجَبَتْهُ فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ مَعَهَا مِثْلَ الَّذِي مَعَهَا
“Bila engkau melihat seorang wanita, lalu ia memikat hatimu, maka segeralah datangi istrimu! Sesungguhnya, istrimu memiliki seluruh hal yang dimiliki oleh wanita yang engkau lihat itu.” (Hr. At-Tirmidzi)
Demikianlah caranya agar Anda dapat senantiasa puas dan bangga dengan pasangan hidup Anda. Anda selalu dapat merasa bahwa ladang Anda tampak hijau, sehijau ladang tetangga, dan bahkan lebih hijau.
Selamat berbahagia dengan pasangan hidup yang telah Allah karuniakan kepada Anda. Semoga Allah memberkahi bahtera rumah tangga Anda.
Sebaliknya, sebagai calon istri, Anda juga berhak untuk mendambakan pasangan hidup yang tampan, gagah, kaya raya, pandai, berkedudukan tinggi, penuh perhatian, setia, penyantun, dermawan, dan lain sebagainya.
Betapa indahnya gambaran rumah tangga Anda, dan betapa istimewanya pasangan hidup Anda, andai gambaran Anda ini dapat terwujud. Bukankah demikian, Saudariku?
Saudariku, setelah Anda menikah, benarkah seluruh kriteria suami ideal yang pernah menghiasi lamunan Anda ini terwujud pada pasangan hidup Anda?
Bila benar terwujud, maka saya ucapkan selamat berbahagia di dunia dan akhirat, dan bila tidak, maka tidak perlu berkecil hati.
Besarkan hatimu, wahai Saudariku! Percayalah, bahwa pada pasangan hidup Anda ternyata terdapat banyak kelebihan.
Bila selama ini, Saudari ciut hati karena suami Anda miskin harta, maka tidak perlu khawatir, karena ia penuh dengan perhatian dan tanggung jawab.
Bila selama ini, Saudari kecewa karena suami Anda ternyata kurang tampan, maka percayalah bahwa ia setia dan bertanggung jawab.
Andai selama ini, Saudari kurang puas karena suami Anda kurang perhatian dengan urusan dalam rumah, tetapi ia begitu membanggakan dalam urusan luar rumah.
Juga, andai selama ini, sikap suami Anda terhadap Anda kurang simpatik, maka tidak perlu hanyut dalam duka dan kekecawaan, karena ia masih punya jasa baik yang tidak ternilai dengan harta. Ternyata, selama ini, suami Anda telah menjaga kehormatan Anda, menjadi penyebab Anda merasakan kebahagiaan menimang putra-putri Anda.
Saudariku, Anda tidak perlu hanyut dalam kekecewaan karena suatu hal yang ada pada diri suami Anda. Betapa banyak kelebihan-kelebihan yang ada padanya. Berbahagia dan nikmatilah kedamaian hidup rumah tangga bersamanya.
Berlarut-larut dalam kekecewaan terhadap suatu perangai suami Anda dapat menghancurkan segala keindahan dalam rumah tangga Anda. Bukan hanya hancur di dunia, bahkan berkelanjutan hingga di akhirat kelak.
Saudariku, simaklah peringatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini. Agar anda dapat menjadikan bahtera rumah tangga Anda seindah dambaan Anda.
أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ، قِيلَ: أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ، وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا، قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
“Aku diberi kesempatan untuk menengok ke dalam neraka, dan ternyata kebanyakan penghuninya ialah para wanita, akibat ulah mereka yang selalu kufur/ingkar.” Spontan, para shahabat bertanya, “Apakah yang engkau maksud adalah mereka kufur/ingkar kepada Allah?” Beliau menjawab, “Mereka terbiasa ingkar terhadap perilaku baik, dan ingkar terhadap jasa baik. Andai engkau berbuat baik kepada mereka seumur hidupmu, lalu ia mendapatkan suatu hal padamu, niscaya mereka begitu mudah berkata, ‘Aku tidak pernah mendapatkan kebaikan sedikit pun darimu.’” (Muttafaqun ‘alaihi)
Anda mendambakan kebahagian dalam rumah tangga?
Temukanlah bahwa kebahagian hidup dan berumah tangga terletak pada genggaman tangan suami Anda. Pandai-pandailah membawa diri, sehingga suami Anda rela membentangkan kedua telapak tangannya, dan memberikan kebahagian berumah tangga kepada Anda.
Percayalah Saudariku, suami Anda adalah pasangan terbaik untuk Anda.
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا اُدْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Bila seorang istri telah mendirikan shalat lima waktu, berpuasa bulan Ramadan, menjaga kesucian dirinya, dan taat kepada suaminya, niscaya kelak akan dikatakan kepadanya, ‘Silakan engkau masuk ke surga dari pintu mana pun yang engkau suka.’” (Hr. Ahmad dan lainnya)
Tidakkah Anda mendambakan termasuk orang-orang mukminah yang mendapatkan kebebasan masuk surga dari pintu yang mana pun?
Kunci Keberhasilan Rumah Tangga
Saudaraku, mungkin selama ini Anda bersama pasangan hidup Anda, terus berusaha mencari pola rumah tangga yang dapat mendatangkan kebahagiaan untuk Anda berdua.
Anda berhasil menemukannya?
Bila Anda berhasil, maka saya ucapkan selamat berbahagia. Adapun bila belum, maka segera temukan kunci keberhasilan rumah tangga Anda pada firman Allah berikut,
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi, para suami mempunyai kelebihan satu tingkat daripada istrinya.” (Qs. al-Baqarah: 228)
Hak pasangan Anda setimpal dengan kewajiban yang ia tunaikan kepada Anda. Semakin banyak Anda menuntut hak Anda, maka semakin banyak pula kewajiban yang harus Anda tunaikan untuknya.
Shahabat Abdullah bin ‘Abbas memberikan contoh nyata dari aplikasi ayat ini dalam rumah tangganya. Pada suatu hari, beliau berkata, “Sesungguhnya, aku senang untuk berdandan demi istriku, sebagaimana aku pun senang bila istriku berdandan demiku, karena Allah Ta’ala telah berfirman,
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
‘Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.’
Aku pun tidak ingin menuntut seluruh hakku atas istriku, karena Allah juga telah berfirman,
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
‘Akan tetapi, para suami mempunyai kelebihan satu tingkat daripada istrinya.’” (Hr. Ibnu Abi Syaibah dan ath-Thabari)
Bagaimana dengan dirimu, wahai saudara dan saudariku? Kapankah Anda berdandan? Ketika sedang berada di rumah atau ketika hendak keluar rumah? Selama ini, sejatinya, untuk siapa Anda berdandan? Benarkah Anda berdandan untuk pasangan Anda, ataukah Anda berdandan dan tampil menawan untuk orang lain?
Saudaraku, bahu-membahu, saling melengkapi kekurangan, dan saling pengertian adalah salah satu prinsip dasar dalam membangun rumah tangga. Tidak layak bagi Anda untuk berperan sebagai penonton setia ketika pasangan Anda sedang mengerjakan pekerjaannya. Usahakan sebisa Anda untuk turut menyelesaikan pekerjaannya. Demikianlah, dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan dalam rumah tangga beliau.
Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan,
كَانَ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ، فَإِذَا سَمِعَ الأَذَانَ خَرَجَ
“Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan sebagian pekerjaan istrinya, dan bila beliau mendengar suara azan dikumandangkan, maka beliau bergegas menuju ke mesjid.” (Hr. Bukhari)
Constance Gager, ketua studi sekaligus asisten profesor di Montclair State University, Montclair, New Jersey, mengadakan penelitian tentang hubungan perilaku suami-istri dengan keromantisan dalam bercinta. Ia mengelompokkan para suami yang menjadi objek penelitiannya ke dalam dua kelompok.
Kelompok pertama adalah suami-suami yang tidak peduli dan jarang membantu pekerjaan istri. Kelompok kedua adalah suami-suami yang sering turut serta dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga istri.
Hasilnya luar biasa! Suami di kelompok kedua, yaitu yang sering membantu pekerjaan istrinya, terbukti lebih romantis dan lebih sering memadu cinta dengan pasangannya. Hubungan yang harmonis dan indah, begitu kental dalam rumah tangga mereka.
Sejatinya, penemuan ini bukanlah hal baru, karena secara logika, suami yang dengan rendah hati membantu pekerjaan istrinya pastilah lebih dicintai oleh istrinya. Tentunya, ini memiliki hubungan erat dengan keromantisan suami-istri dalam bercinta.
Sebaliknya, istri yang peduli dengan pekerjaan suami, pun akan mengalami hal yang sama.
Nah, bagaimana dengan diri Anda, wahai Saudaraku?
Selamat membuktikan resep manjur ini! Semoga berbahagia, dan hubungan Anda berdua semakin romantis dan harmonis.
Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat bagi Anda. Mohon maaf bila ada kata-kata yang kurang berkenan. Wallahu a’lam bish-shawab.

Penulis: Ustadz Arifin Badri, Lc., M.A.

Bagikan

Ingat Pesan Nabi, Suamimu adalah Surga atau Neraka

“Wanita merupakan mayoritas penduduk neraka.” Demikian disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah shalat gerhana ketika terjadi gerhana matahari. Ajaib… !! wanita sangat dimuliakan di mata Islam, bahkan seorang ibu memperoleh hak untuk dihormati tiga kali lebih besar ketimbang ayah. Sosok yang dimuliakan, namun malah menjadi penghuni mayoritas neraka. Bagaimana ini terjadi?

“Karena kekufuran mereka,” jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika para shahabat bertanya mengapa hal itu bisa terjadi.

Apakah mereka mengingkari Allah?

Bukan, mereka tidak mengingkari Allah, tapi mereka mengingkari suami dan kebaikan-kebaikan yang telah diperbuat suaminya. Andaikata seorang suami berbuat kebaikan sepanjang masa, kemudian seorang istri melihat sesuatu yang tidak disenanginya dari seorang suami, maka si istri akan mengatakan bahwa ia tidak melihat kebaikan sedikitpun dari suaminya.

…mereka tidak mengingkari Allah, tapi mereka mengingkari suami dan kebaikan-kebaikan yang telah diperbuat suaminya…

Demikian penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari (5197).

Mengingkari suami dan kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan suami!!

Inilah penyebab banyaknya kaum wanita berada di dalam neraka. Mari kita lihat diri setiap kita… kita saling introspeksi… apa dan bagaimana yang telah kita lakukan kepada suami-suami kita?

Jika kita terbebas dari yang demikian, alhamdulillah. Itulah yang kita harapkan. Berita gembira untukmu wahai saudariku.

Namun jika tidak, kita (sering) mengingkari suami, mengingkari kebaikan-kebaikannya… maka berhati-hatilah dengan apa yang telah disinyalir oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Bertobat adalah satu-satunya pilihan untuk terhindar dari pedihnya siksa neraka. Selama matahari belum terbit dari barat, atau nafas telah ada di kerongkongan… masih ada waktu untuk bertobat. Tapi mengapa mesti nanti? Mengapa mesti menunggu sakaratul maut?

Janganlah engkau katakan besok dan besok wahai saudariku, kejarlah ajalmu, bukankah engkau tidak tahu kapan engkau akan menemui Robb mu?

“Tidaklah seorang istri yang menyakiti suaminya di dunia, melainkan isterinya (di akhirat kelak): bidadari yang menjadi pasangan suaminya (berkata): “Jangan engkau menyakitinya, kelak kamu dimurkai Allah, seorang suami bagimu hanyalah seorang tamu yang bisa segera berpisah dengan kamu menuju kami.” (HR. At-Tirmidzi, hasan)

Wahai saudariku, mari kita lihat, apa yang telah kita lakukan selama ini? Jangan pernah bosan dan henti untuk introspeksi diri. Jangan sampai apa yang kita lakukan tanpa kita sadari membawa kita kepada neraka, yang kedahsyatannya tentu sudah Engkau ketahui.

…Jika suatu saat muncul sesuatu yang tidak kita sukai dari suami, janganlah kita mengingkari dan melupakan semua kebaikan yang telah suami kita lakukan…

Jika suatu saat muncul sesuatu yang tidak kita sukai dari suami, janganlah kita mengingkari dan melupakan semua kebaikan yang telah suami kita lakukan.

“Maka lihatlah kedudukanmu di sisinya. Sesungguhnya suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad)

Semoga bermanfaat. [waroah/voa-islam.com]

Bagikan

Virus Riba Sebab Hancurnya Dunia

Virus Riba Sebab Hancurnya Dunia
Telah jauh-jauh hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan bahaya yang akan mengancam dunia dengan membudayanya riba, baik dengan kedok bunga, uang lelah, bagi hasil, atau istilah yang lain. Yang jadi tolak ukur dalam masalah ini adalah hakikatnya, bukan istilah yang dipakai.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَمَا هُنَّ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ، وَأَكْلُ الرِّبَا ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ ، وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan.” Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah tujuh perkara tersebut?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh tanpa alasan yang bisa dibenarkan, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh wanita baik-baik berzina.” (Hr. Bukhari, no 6465; Muslim no. 272)

Hadits ini menunjukkan bahwa pelaku akan mengalami kehancuran di dunia dan di akhirat.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَنْظَلَةَ غَسِيلِ الْمَلاَئِكَةِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: دِرْهَمُ رِباً يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِينَ زَنْيَةً

Dari Abdullah bin Hanzhalah --seseorang yang jenazahnya dimandikan oleh para malaikat--, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Satu dirham uang riba yang dimakan oleh seseorang dalam kondisi dia tahu bahwa itu adalah riba, dosanya lebih berat dibandingkan berzina sebanyak tiga puluh enam kali.” (Hr. Ahmad, no 22007; dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 3375)

Alangkah dahsyat hadits yang menakutkan ini. Jika satu dirham uang riba itu lebih parah daripada dosa zina --yang bukan hanya sekali, bahkan tiga puluh enam kali-- lalu bagaimana lagi dengan orang yang memakan jutaan riba!

Hadits ini juga menunjukkan bahwa tidak ada beda antara riba yang sedikit dengan riba dalam nominal yang besar. Sungguh keliru orang yang beranggapan bahwa jika riba cuma kecil. karena hanya satu atau dua persen, maka dibolehkan. Adapun riba yang terlarang, adalah jika ribanya dalam nominal yang besar.

عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Dari Jabir, beliau mengatakan, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, korban riba, pencatat, dan saksinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Mereka itu dosanya sama.'” (Hr. Muslim, no. 4177)

Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat semua pihak yang terlibat dalam transaksi riba. Bahkan, beliau tegaskan bahwa mereka semua itu menanggung dosa yang sama. Jika pencatat transaksi dan saksi dalam transaksi riba dosanya sama dengan dosa pemakan riba, lalu bagaimana lagi dengan orang yang mengurusi kegiatan riba, atau bahkan dengan sengaja menyebarkan dan memasang iklan di berbagai media untuk mengajak orang agar melakukan riba!

Yang dimaksud dengan pencatat riba dalam hadits di atas, adalah pencatatan ketika transaksi riba terjadi dan pencatatan setelah terjadinya transaksi.

عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنْ تَشْتَرِيَ الثَّمْرَةَ حَتَّى تَطْعَمَ وَ قَالَ: إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَ الرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ

Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk membeli buah-buahan hingga layak untuk dikomsumsi, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika zina dan riba telah dilakukan secara terang-terangan di suatu daerah, maka pada hakikatnya, penduduk daerah tersebut telah meminta agar Allah menyiksa mereka.” (Hr. Hakim, no. 2261, diiringi komentar, “Ini adalah hadits yang shahih.” Pernyataan beliau ini disetujui oleh adz-Dzahabi dan dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 679)

Jika kita lihat sekeliling kita, maka kita akan menyaksikan bahwa zina dan riba telah menyebar dan dilakukan secara terang-terangan, dengan nama riba atau pun lokalisasi. Semoga kita terlindung dari siksa-Nya.

Di antara bentuk siksa Allah adalah matinya hati kita, dengan menganggap dosa tidak lagi sebagai dosa, karena kita telah terbiasa dengannya.

عَنْ مَسْرُوْقٍ عَنْ عَبْدِ اللهِ: عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: اَلرِّبَا ثَلاَثَةُ وَ سَبْعُوْنَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ

Dari Masruq dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Riba itu memiliki tujuh puluh tiga pintu. Riba yang paling ringan itu, dosanya semisal dosa orang yang menyetubuhi ibu kandungnya sendiri.” (Hr. Hakim, no. 2259, diiringi komentar, “Shahih menurut kriteria Bukhari dan Muslim,” dan pernyataan beliau ini disetujui oleh adz-Dzahabi, serta dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 5852)

Jika pintu riba yang paling ringan dosanya adalah semisal dosa orang yang menyetubuhi ibu kandungnya sendiri, lalu bagaimanakah dengan pintu riba yang lebih besar lagi!

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ : عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : اَلرِّبَا وَ إِنْ كَثُرَ فَإِنَّ عَاقِبَتُهُ تَصِيْرُ إِلَى قِلٍّ

Dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Uang riba, meski berjumlah banyak, namun kesudahannya pasti akan menjadi sedikit.” (Hr. Hakim, no. 2262, diiringi komentar, “Ini adalah hadits yang sanadnya shahih.” Komentar beliau ini disetujui oleh adz-Dzahabi, dan al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 3542)

Kandungan hadits ini sejalan dengan firman Allah,

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (Qs. al-Baqarah: 276)

Ini adalah peringatan bagi para pelaku riba, bahwa harta riba meski pada awalnya berjumlah banyak, namun pada suatu hari nanti pasti akan hancur. Hal ini pun telah terbukti di dunia nyata. Para pelaku riba akan selalu diberi cobaan dari Allah, dengan jalan Allah tidak memberkahi harta yang mereka peroleh.

Allah uji mereka dengan musibah, penyakit, dan kecelakaan, sehingga habislah uang mereka untuk keperluan ini. Mereka tidaklah merasakan nikmat dengan harta tersebut, atau bahkan bisnis mereka mengalami kerugian. Namun, juga tidak menutup kemungkinan, jika Allah menunda itu semua hingga hari kiamat tiba, dan ini lebih dahsyat lagi.

عَنْ عَبْدِ اللهِ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، قَالَ : الرِّبَا بِضْعٌ وَسَبْعُونَ بَابًا وَالشِّرْكُ مِثْلُ ذَلِكَ

Dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Riba itu memiliki tujuh puluh sekian pintu, dan kesyirikan juga semisal itu.” (Hr. Bazzar, no. 1935; dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 3540)

Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan riba dan syirik dalam satu hadits, serta menghubungkan dua dosa tersebut dengan kata-kata “dan”, yang menunjukkan kesejajaran. Ini menunjukkan betapa besarnya bahaya riba.

عَنِ بْنِ مَسْعُوْدٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ بَيْنَ يَدَيْ اَلسَّاعَةِ يُظْهَرُ الرِّبَا وَالزِّنَا وَالْخَمْرُ

Dari Ibnu Mas’ud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebelum kiamat terjadi, maka riba, perzinaan, dan minum khamr akan dilakukan secara terang-terangan.” (Hr. Thabrani dalam Mu’jam Ausath, no. 7695; dinilai sebagai hadits yang shahih li ghairihi oleh al-Albani dalam Shahih Targhib wa Tarhib, no. 1861)

Jadi, di antara tanda dekatnya hari kiamat adalah muncul dan tersebarnya praktik riba di tengah-tengah masyarakat.

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.
Bagikan

Kunci Sukses Bermu'amalah

Oleh
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsari


Dalam hidup ini, setiap insan pasti berhubungan dengan orang lain. Ia hidup dikelilingi tetangga kanan dan kiri, muka dan belakangnya, dengan berbagai macam corak ragam, tingkah laku dan latar belakangnya. Ada yang muslim, dan barangkali ada pula yang non muslim. Ada yang multazim, dan ada pula yang fasik. Ada yang terpelajar dan ada yang awam.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengingatkan kepada kita pentingnya menjaga hak-hak tetangga ini. Tetangga memiliki kedudukan yang agung dalam kehidupan beliau. Beliau bersabda:

مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِي بِالجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ

"Malaikat Jibril q senatiasa mewasiatkan agar aku berbuat baik kepada tetangga, sehingga aku mengira ia (Jibril) akan memberikan hak waris (bagi mereka)". [Muttafaqun 'alaihi].

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mewasiatkan Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu :

يَا أَبَا ذَرٍّ, إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاؤُهَا وَ تَعَاهَدْ جِيْرَانَكَ

"Wahai, Abu Dzar. Jika engkau memasak makanan, perbanyaklah kuahnya, janganlah engkau lupa membagikannya kepada tetanggamu". [HR Muslim]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga memperingatkan dari bahaya menggangu tetangga.

لاَ يَدْخُلُ الجَنَّةَ مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

"Tidak akan masuk surga, seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya". [HR Muslim]

Dengan akhlak seperti ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah berhasil menguasai hati, perasaan dan pikiran manusia. Sehingga, dalam bermu'amalah kepada manusia, kita harus mengedapankan akhlak yang terpuji.

Diriwayatkan dari Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkata kepadaku :

اتَّقِ اللهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ.

"Bertaqwalah dimanapun engkau berada, dan iringilah perbuatan jelek dengan perbuatan baik, niscaya akan menghapusnya, dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang mulia" [HR at Tirmidzi, dan ia berkata,"Hadits hasan shahih". Juga dishahihkan oleh al Albani di dalam kitab Shahih Sunan at Tirmidzi, no. 2516]

Demikian pula dalam bermu'amalah dengan manusia, seharusnya bersikap santun, memilih kata-kata yang dapat menyejukkan hati. Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan Nabi Musa dan Harun Alaihissalam untuk berkata lemah-lembut kepada orang yang paling keras kekafirannya, yaitu Fir'aun :" Maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut". [Thaha/20:44].

Diriwayatkan dari Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda kepadaku :

لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِيْقٍ

"Janganlah engkau menganggap remeh suatu kebaikan, walaupun sekedar bermanis muka ketika engkau bertemu dengan saudaramu" [Diriwayatkan oleh Muslim]

Diriwayatkan dari 'Adiy bin Hatim Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

"Jagalah dirimu dari neraka, meskipun dengan memberikan sebutir kurma. Jika kamu tidak mendapatinya, maka dengan mengucapkan kata-kata yang baik".[Muttafaq alaihi]

Begitu pula, seharusnya menghindari sikap keras dalam bermu'amalah dan kata-kata yang kasar dalam berbicara. Allah Subhanhu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu". [Ali Imran/3 : 159]

Diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ لاَ يَرْحَمِ النَّاسَ لاَ يَرْحَمْهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ

"Barangsiapa yang tidak menyayangi sesama manusia, maka Allah Azza wa Jalla pun tidak akan menyayanginya" [Muttafaqun 'alaihi]

Secara tabiat, manusia tidak suka dikasari. Sulaiman bin Mihran berkata, "Tidaklah engkau membuat marah seseorang, lalu ia mau mendengarkan kata-katamu."

Oleh karena itu, sikap kasar dan berlagak dalam berbicara merupakan perkara yang dibenci oleh Nabi. Diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلاَقًا. وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ: قَالَ: الْمُتَكَبِّرُونَ

"Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat kedudukannya denganku pada hari kiamat kelak, yaitu orang yang terbaik akhlaknya. Dan orang yang paling aku benci dan paling jauh kedudukannya dariku pada hari kiamat kelak, yaitu tsartsarun, mutasyaddiqun dan mutafaihiqun". Sahabat bertanya : "Ya, Rasulullah. Kami sudah mengetahui arti tsartsarun dan mutasyaddiqun, lalu apa arti mutafaihiqun?" Beliau menjawab,"Orang yang sombong." [HR at Tirmidzi, ia berkata: "Hadits ini hasan". Hadits ini dishahihkan oleh al Albani dalam kitab Shahih Sunan at Tirmidzi, no. 2018]

الثَّرْثَارُونَ (tsartsarun), banyak omong dengan pembicaraan yang menyimpang dari kebenaran.

الْمُتَشَدِّقُونَ (mutasyaddiqun), kata-kata yang meremehkan orang lain dan berbicara dengan suara lagak untuk menunjukkan kefasihannya dan bangga dengan perkataannya sendiri.

الْمُتَفَيْهِقُونَ (mutafaihiqun), berasal dari kata al fahq, yang berarti penuh. Maksudnya, seseorang yang berbicara keras panjang lebar, disertai dengan perasaan sombong dan pongah, serta menggunakan kata-kata asing untuk menunjukkan, seolah dirinya lebih hebat dari yang lainnya.

At Tirmidzi juga meriwayatkan dari 'Abdullah bin al Mubarak rahimahullah mengenai maksud akhlak yang mulia. Ia berkata,"Yaitu bersikap ramah, memberikan kebaikan kepada orang lain, serta tidak mengganggunya."

Apalagi menghadapi kebanyakan orang, kita harus banyak bersabar. Jika menolak terhadap perbuatan mereka yang kasar, lakukanlah dengan cara yang terbaik. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan, melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan, melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar" [Fushshilat/41 : 34-35].

Hal seperti ini telah dicontohkan langsung oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam sebuah kisah disebutkan, dari Mu'awiyah bin al Hakam as Sulami , ia berkata :

Ketika aku mengerjakan shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, tiba-tiba ada seseorang yang bersin. Aku (pun) berkata : "Yarhamukallah (semoga Allah merahmatimu)."

Orang-orang memandang ke arahku. Aku berkata: "Malangnya ibuku! Mengapa kalian memandangku seperti itu?" Merekapun menepukkan tangan ke paha. Setelah mengerti, bahwa mereka menyuruhku diam, maka akupun diam.

Setelah Rasulullah menyelesaikan shalat, maka demi Allah, tidak pernah aku melihat seorang pendidik sebelum maupun sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau. Demi Allah, beliau tidak membentakku, tidak memukulku dan tidak mencelaku. Beliau hanya berkata:

إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ

"Sesungguhnya ibadah shalat tidak boleh dicampuri percakapan manusia. Ibadah shalat hanya boleh diisi dengan ucapan tasbih, takbir dan bacaan al Qur`an".

Atau sebagaimana yang dikatakan oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Aku berkata,"Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya aku baru saja masuk Islam. Allah telah menurunkan dinul Islam kepada kami. Sesungguhnya di antara kami masih ada yang mendatangi dukun."
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menimpali: "Jangan datangi dukun!"
"Di antara kami masih ada yang suka bertathayyur," lanjutku.

[Tathayyur adalah anggapan sial karena melihat atau mendengar sesuatu. Misalnya, melihat burung tertentu atau mendengar suara binatang tertentu, kemudian beranggapan akan terjadi suatu musibah. (Pen)]

Rasulullah menjawab,"Itu hanyalah sesuatu yang terlintas dalam hati, maka jangan sampai mereka menangguhkan niat karenanya."
Kemudian aku lanjutkan: "Sesungguhnya di antara kami masih ada yang mempraktekkan ilmu ramal".
Rasulullah menjawab,"Dahulu ada nabi yang menggunakan ilmu ramal. Apabila yang terjadi sesuai dengan ramalannya, maka itu hanyalah kebetulan saja."
Mu'awiyah bin al Hakam as Sulami melanjutkan ceritanya :

"Aku memiliki beberapa ekor kambing yang digembalakan oleh salah seorang budak wanitaku di antara gunung Uhud dan bukit Jawwaniyah. Pada suatu hari, aku datang memeriksa kambing-kambingku. Ternyata seekor serigala telah membawa lari seekor kambingku. Sebagaimana lumrahnya seorang manusia, akupun marah lalu kutampar budak wanita itu. Lalu aku datang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengadukan peristiwa tersebut. Beliau menganggap perbuatanku itu sangat keterlaluan.

Maka kukatakan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Wahai, Rasulullah. Tidakkah lebih baik jika kubebaskan saja budak wanita itu?"
Rasulullah menjawab,"Panggilah ia kemari!" Akupun memanggil budak wanita itu. Rasulullah bertanya kepadanya :
أَيْنَ اللهُ؟
"Dimana Allah?"
"Di langit," jawabnya.
"Siapakah aku?" tanya Rasulullah lagi.
"Engkau adalah utusan Allah," jawabnya. Maka Rasulullah pun berkata:
أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
"Merdekakan ia, karena ia seorang wanita mukminah". [HR Muslim]

Coba lihat, bagaimana terjadi dialog yang panjang antara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan Mu'awiyah bin al Hakam, yang waktu itu ia baru saja memeluk Islam. Dengan sikap beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang santun, Mu'awiyah tergerak untuk berdialog dengan beliau. Ia mendengarkan kata-kata beliau dan mengadukan masalah-masalah yang ia hadapi kepada beliau.

Coba lihat penuturannya: "Demi Allah. Tidak pernah aku melihat seorang mu'allim (pendidik) sebelum dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau. Demi Allah, beliau tidak membentakku, tidak memukulku dan tidak mencelaku. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya berkata: 'Sesungguhnya ibadah shalat tidak boleh dicampuri percakapan manusia. Ibadah shalat hanya boleh diisi dengan ucapan tasbih, takbir dan bacaan al Qur`an'."

‘Aisyah Radhiyallahu 'anha menuturkan, setiap kali disampaikan kepada beliau sesuatu yang kurang berkenan dari seeorang, beliau tidak berkata “apa diinginkan 'fulan' (menyebut nama) berkata demikian", namun beliau mengatakan "apa yang diinginkan 'mereka' berkata demikian”. [HR Tirmidzi].

Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu menceritakan, pernah, suatu kali seorang lelaki datang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan bekas celupan berwarna kuning pada pakaiannya (bekas za’faran). Biasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat jarang menegur sesuatu yang dibencinya pada seseorang di hadapannya langsung. Setelah lelaki itu pergi, beliau pun berkata: “Alangkah elok bila engkau suruh lelaki itu supaya menghilangkan bekas za’faran dari bajunya”. [HR Abu Dawud dan Ahmad].

'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda :

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَنْ حُرِّمَ عَلَى النَّارِ أَوْ تُحْرَمُ عَلَيْهِ النَّارُ ؟ تُحْرَمُ عَلَى كُلِّ قَرِيْبٍ هَيِّنٍ لَيِّنٍ سَهْلٍ

"Inginkah aku kabarkan kepadamu orang yang diselamatkan dari api neraka, atau dijauhkan api neraka darinya? Yaitu setiap orang yang ramah, lemah-lembut dan murah hati". [HR Tirmidzi]

‘Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata :

لَمْ يَكُنْ رَسُوْلُ اللهِ n فَاحِشًا وَلاَ مُتَفَحِّشًا, وَلاَ صَخَّابًا فِي الأَسْوَاقِ وَلاَ يَجْزِي بِالسَّيِّئَةِ السَّيِّئَةَ, وَلكَنْ يَعْفُو وَ يَصْفَحُ

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bukanlah seorang yang keji, dan (ia) tidak suka berkata keji. Beliau bukan seorang yang suka berteriak-teriak di pasar dan tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Bahkan sebaliknya, beliau suka memaafkan dan merelakan" [HR Ahmad].

Demikianlah akhlak beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam selaku Nabi dengan penuh kasih sayang selalu memberi petunjuk dan memberi nasihat. Semoga shalawat dan salam tercurah atas beliau.

"Al Husain, menuturkan keluhuran budi pekerti beliau. Ia berkata : Aku bertanya kepada ayahku tentang adab dan etika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap orang-orang yang bergaul dengan beliau. Ayahku mengatakan, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam senantiasa tersenyum, berbudi pekerti luhur lagi rendah hati. Beliau bukan seorang yang kasar, tidak suka berteriak-teriak, bukan tukang mencela, tidak suka mencela makanan yang tidak disukainya. Siapa saja yang mengharapkannya, pasti tidak akan kecewa. Dan siapa saja yang memenuhi undangannya, pasti akan senantiasa puas. Beliau meninggalkan tiga perkara, (yaitu) riya, berbangga-bangga diri, dan dari yang tidak bermanfaat. Dan beliau menghindarkan diri dari manusia karena tiga perkara, (yaitu): beliau tidak suka mencela atau memaki orang lain, beliau tidak suka mencari-cari aib orang lain, dan beliau hanya berbicara untuk suatu maslahat yang bernilai pahala. Jika berbicara, pembicaraan beliau membuat teman-teman duduknya tertegun, seakan-akan kepala mereka dihinggapi burung (karena khusyuknya). Jika beliau diam, barulah mereka berbicara. Mereka tidak pernah membantah sabda beliau. Bila ada yang berbicara di hadapan beliau, mereka diam memperhatikannya sampai ia selesai bicara. Pembicaraan mereka di sisi beliau hanyalah pembicaraan yang bermanfaat saja. Beliau tertawa bila mereka tertawa. Beliau takjub bila mereka takjub, dan beliau bersabar menghadapi orang asing yang kasar ketika berbicara atau ketika bertanya sesuatu kepada beliau, sehingga para sahabat g selalu mengharapkan kedatangan orang asing seperti itu, guna mengambil manfaat. Beliau bersabda,"Bila engkau melihat seseorang yang sedang mencari kebutuhannya, maka bantulah dia.” Beliau tidak mau menerima pujian orang kecuali menurut yang selayaknya. Beliau juga tidak mau memutuskan pembicaraan seseorang, kecuali orang itu melanggar batas. Beliau segera menghentikan pembicaraan tersebut dengan melarangnya, atau berdiri meninggalkan majelis" [HR at Timidzi].

Tak hilang dari ingatan kita, yaitu kisah seorang Arab Badui yang buang air kecil di dalam masjid, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya: "Sesungguhnya masjid ini bukan untuk kencing atau membuang kotoran lainnya. Sesungguhnya masjid ini untuk dzikrullah dan bacaan al Qur`an."

Rasulullah berkata kepada para sahabat : "Biarkanlah dia, dan siramlah kencingnya dengan seember air. Atau segayung air. Sesungguhnya aku diutus untuk memudahkan, bukan untuk menyusahkan".

Saking gembiranya orang Arab Badui itu, sehingga ia berdoa: "Ya Allah ampunilah aku dan Muhammad, dan jangan ampuni selain kami berdua."

Sikap-sikap seperti ini yang diterapkan dalam bermu'amalah di antara sesama manusia. Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mencontohkannya kepada kita. Demikian pula para ulama, mereka adalah pewaris Nabi. Mereka juga telah mencontohkan sikap-sikap seperti ini dalam bermu'amalah kepada manusia. Tidak bersikap mentang-mentang dan semau gue. Sebagai misal, coba lihatlah akhlak yang dicontohkan Syaikh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin dalam bermu'amalah kepada orang lain. Beliau t mempunyai sifat ulama rabbani yang rendah hati, juga rajin membantu keluarga.

Sebagaimana dikisahkan oleh Abdul Karim bin Shalih al Muqrin dalam kitab 14 'Aaman Ma'a Samahatul 'Allamah Muhammad bin Shalih bin 'Utsaimin.

Pada suatu hari, saat kami sedang merekam program Nurun 'Ala Darb pada waktu dhuha. Tiba-tiba pintu diketuk seorang tukang pipa yang sudah berjanji dengan syaikh untuk memperbaiki pipa air. Maka beliau memberikan isyarat kepadaku agar menghentikan rekaman. Lalu beliau mempersilakan tukang pipa tersebut masuk. Kemudian beliau mendatangiku sambil tersenyum dan berkata: "Maaf ya Abu Khalid, kami memotong waktu Anda setengah jam untuk menperbaiki pipa air yang ada di halaman."

Kukatakan: "Tidak mengapa ya Syaikh," kemudian tukang pipa itu memulai pekerjaannya memperbaiki pipa, dan syaikh membantunya untuk memegang beberapa perkakas tukang pipa tersebut hingga ia selesai memperbaikinya.
Untuk memanfaatkan waktu senggang tersebut aku membaca kembali soal-soal yang akan ditanyakan kepada Syaikh. Setelah tukang pipa itu selesai memperbaiki pipa air, ia pun keluar. Lalu Syaikh mendatangiku dengan tersenyum.

Kisah yang lain yaitu, ketika rekaman sedang berlangsung lebih kurang jam sepuluh pagi, tiba-tiba ada dua orang yang mengetuk pintu, lalu Syaikh membukakan pintu dan memberikan salam. Beliau melihat, bahwa orang ini nampaknya datang dari jauh, kemudian beliau mempersilahkan untuk masuk dan mengabarkan kepada mereka, bahwa beliau sedang merekam untuk acara radio. Kemudian beliau menanyakan keperluan mereka.

Salah seorang mereka berkata: "Kami datang dari salah satu kota di negara ini yang akan menanyakan tentang masalah perceraian". Karena salah seorang mereka telah menceraikan istrinya dan ingin rujuk. Mereka juga membawa surat pengantar dari perwakilan dakwah yang ada di kota mereka yang ditujukan kepada Syaikh, dan di dalamnya terdapat keterangan yang rinci tentang duduk permasalahannya.

Setelah beliau menanyaikan beberapa permasalahan tentang perceraian tersebut, beliau menuliskan jawaban permasalahan ini kepada kantor dakwah dan irsyad yang ada di kota mereka. Orang tersebut kelihatannya mempunyai beberapa kekurangan dalam melaksanakan syari'at. Ia memakai baju yang melebihi mata kaki, dan hal lain yang menyalahi syar'i. Adapun temannya, kelihatannya seorang yang taat.

Satu jam lamanya syaikh melayani keperluan orang ini. Setelah beliau selesai memberikan fatwa kepada orang ini, Syaikh mengingatkannya agar memperbaiki pakaiannya, dan memberi nasihat agar mereka berusaha melakukan amalan-amalan kebaikan, serta menghindari hal-hal yang dilarang syar'i. Kemudian syaikh pergi ke dalam untuk menghidangkan teh, kopi dan kurma. Kami duduk bersama beliau sambil menikmati teh dan kopi tersebut.
Di tengah pembicaraan kami, orang yang mempunyai permasalahan tersebut berkata: "Ya Fadhilatusy- Syaikh. Aku banyak mempunyai kekurangan dalam menjalankan syari'at. Namun setelah Anda menasihatiku, melepaskan dari kesulitan yang menimpaku, dan setelah aku rujuk kepada istriku, aku berjanji kepada Allah kemudian kepadamu, untuk istiqamah dan melakukan amal kebaikan serta mentaati Rabb-ku."

Mendengar hal itu, Syaikh merasa gembira dan wajahnya berbinar-binar. Kemudian kedua orang itu pamit dan mencium kening Syaikh serta berdoa untuk beliau. Kemudian, sekitar pukul setengah dua belas kami meneruskan rekaman. Kisah ini masih segar di ingatanku. Syaikh berkata: "Tahukah engkau, ya Abdul Karim betapa banyak pahala yang kita peroleh jika orang itu bertaubat, melaksanakan kebaikan dan melakukan amal shalih," lalu beliau tersenyum dan memuji Allah, kemudian kami meneruskan rekaman.

Juga terdapat kisah lainnya.
Kami bertugas di bagian perekaman. Ketika kami merekam beberapa pertemuan untuk program siaran Nurun 'Ala Darb, pada saat yang sama terdengar suara pekerja bangunan yang sedang bekerja di dekat rumah beliau, yaitu tetangga beliau. Kelihatannya ia sedang membetulkan sesuatu pada mesin, dan suara tersebut masuk ke dalam rekaman. Syaikh Ibnu 'Utsaimin berdiri mendatangi mereka, meminta agar mereka menghentikan pekerjaan tersebut. Ketika sampai di pintu ruangan, beliau kembali dan bertanya: "Wahai Abdul Karim, siapa yang mulai terlebih dahulu?"

"Mereka, ya Syaikh," jawabku.

Karena kewara'an dan kekhawatirannya, beliau membiarkan mereka bekerja, beliau berkata: "Kalau begitu, kita tunda dulu rekaman ini sampai mereka menyelesaikan pekerjaan tersebut".

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmati beliau dengan rahmat yang luas.

Walau bagaimanapun keadaan saudara-saudara kita sesama muslim yang awam itu, mereka ibarat tambang emas dan perak. Jikalau Allah membuka hati mereka untuk menerima kebenaran, maka akan menjadi asset yang berguna bagi Islam. Bahkan kadang kala, mereka rela berkorban demi membela agama ini.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

النَّاسُ مَعَادِنُ كَمَعَادِنِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ خِيَارُهُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِي اْلإِسْلاَمِ إِذَا فَقُهُوا وَالْأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ

"Manusia ibarat barang tambang berharga seperti tambang emas dan perak. Orang yang mulia pada masa jahiliyah, akan menjadi orang yang mulia juga dalam Islam apabila ia berilmu. Ruh ibarat pasukan yang dikumpulkan, ia akan bersatu jika serasi dan akan berselisih jika tidak serasi". [HR Muslim].

Setiap orang pasti mempunyai kekurangan dan kelebihan. Tidak ada manusia yang sempurna. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengingatkan, semua anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang cepat-cepat bertaubat. Ini merupakan asas yang paling agung. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah meletakkan asas tersebut dalam bermu’amalah terhadap manusia.

Jika kita membangun hubungan mu’amalah kita dan sikap kita terhadap manusia atas dasar akhlak-akhlak yang terpuji, niscaya kita melihat sambutan yang hangat dari mereka. Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

"Tidak beriman salah seorang dari kamu, hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri". [Muttafaqun 'alaihi]

Washallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa ash-habihi wa sallam.

Maraji':
1. Al Qur`anul-Karim.
2. 14 'Aaman Ma'a Samahatul-Allamah Muhammad bin Shalih bin 'Utsaimin, Penyusun: Abdul Karim bin Shalih al Muqrin.
3. Ad-Durruts-Tsamin min Riyadhish-Shalihin, Abdul 'Aziz Sa'ad al 'Utaibi.
4. Mausu’ah Adab Islami, 'Abdul Aziz bin Fathi as-Sayyid Nidaa.
5. Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhush-Shalihin, Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali.
6. Tafsir al Qur`anul-'Azhim, Ibnu Katsir.
7. Fathul Baari Syarah Shahih al-Bukhari, Ibnu Hajar al Asqalani.
7. Tuhfatul Ahwadzi Syarah Jami’ at-Tirmidzi, al Mubarakfuri.
8. Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi.
9. Shahih Sunan at-Tirmidzi, Syaikh al-Albani.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun X/1428H/2007. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016] 
Bagikan