Latest Updates
Showing posts with label FIKIH MAWARIS. Show all posts
Showing posts with label FIKIH MAWARIS. Show all posts

Benarkah Pembagian Warisan Saya?

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh,
Pak ustadz ana ada ada sedikit masalah dengan waris mohon bantuan penjelasannya. Ayah saya sudah meninggal dgn meninggalkan rumah tetapi bukan hak milik hanya hak guna pakai, dan ayah meninggalkan 1 orang istri (ibu tiri) serta seorang anak laki (adik tiri bukan anak dari ayah saya), saya mempunyai kakak laki (ALM dan meninggalkan 2 orang anak).

Yang jadi masalah adalah pada saat rumah itu mau dijual bagiamana pembagian hasil penjualan itu, apakah rumah itu juga termasuk waris karena bukan hak milik? Rumah itu sudah terjual karena keterpaksaan ibu tiri saya memaksa utk menjualnya, dan akhirnya saya beli karena amanat ayah saya rumah ini tidak boleh dijual. Saya membayar ibu tiri saya setelah saya potong dgn waris ibu saya, saya kasih 1/3 dari harga rumah, lantas kakak ipar saya/ibu dari alm kakak saya minta bagian, berapa bagiannya dan apakah tindakan saya sudah benar? Tolong penjelasannya saya tunggu. Terimakasih atas segala sesuatunya. Jazakallohu khoir. Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Jawaban Ustadz:
Sebelumnya kami mohon maaf atas keterlambatan jawaban ini. Saya akan menjawab pertanyaan Bapak dalam 2 bagian:
Pertama, berkenaan dengan penjualan rumah peninggalan ayah Bapak yang bukan hak milik adalah sesuatu yang boleh saja, sebab sepengetahuan saya pembedaan antara hak milik dengan hak guna pakai adalah: kalau Hak Milik, rumah dan tanah milik sendiri, sedangkan Hak Guna Pakai adalah rumah milik sendiri dan ada IMB-nya sedangkan tanah yang dibangun di atasnya adalah bukan milik sendiri alias sewa, maka dalam hal ini Bapak berhak untuk menjualnya karena milik sendiri rumah tersebut
Kedua, berkenaan dengan pembagian warisan ini adalah tidak benar. Sebab yang didapatkan seorang istri adalah 1/8 jika yang meninggal (ayah Bapak) memiliki anak, sedangkan anaknya ada 2 yaitu Bapak Jhono dan kakak Bapak yang telah meninggal, maka statusnya adalah ashabah (sisa) dan dari hasil pembagian. Sedangkan kakak Bapak sudah meninggal maka warisannya jatuh kepada ahli warisnya yaitu istri dan anaknya. Misalnya rumah laku 100 juta maka dibagi 1/8 dahulu bagi ibu (12,5 juta), baru sisanya dibagi rata antara Bapak dan ahli waris kakak Bapak. Wallahu a’lam.
***
Dijawab Oleh: Ustadz Jundi Abdullah, Lc.
 source :http://konsultasisyariah.com

Artikel : hikayahhati.blogspot.com "jika ingin berkomentar via FACEBOOK, silahkan klik tombol "LIKE" di bawah Jazaakumullahu khaeran kathiran

Menghitung Warisan jika Ayah meninggal

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum
Pak Ustadz, saya mau tanya. Bagaimana cara penghitungan pembagian warisan jika ahli waris (ayah saya) sudah meninggal untuk informasinya sebagai berikut:
Ayah saya anak pertama dari 4 bersaudara terdiri 3 orang laki dan 1 orang perempuan. kebetulan ketiga ahli waris laki-lakinya semua telah meninggal dunia. Kakek kami meninggal dunia sebelum ahli waris (3 ahli waris laki-laki) meninggal dunia dan nenek kami meninggal setelah ahli waris (3 ahli waris laki- laki) meninggal dunia.

Maaf Ustadz, mohon bantuan informasi simulasi untuk pembagian  warisanya (nilai nya Rp 270 juta) rincian dari kami adalah 5 orang cucu perempuan 1 orang cucu laki- laki dari anak laki-laki (3 ahli waris laki- laki) dan 1 orang anak perempuan. Agar kami dapat menjalankan pembagian warisan ini menurut syariat Islam, serta apa saja yang wajib dikeluarkan atas harta warisan tersebut.
Demikianlah pertanyaan dari saya, semoga apa yang saya menjalani menjadi sebuah keberkahan untuk keluarga besar kami. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih.
Wasallamu’alaikum.
Jawab:
Pertanyaan Anda sangat rumit, karena ketika kakek meninggal dunia tidak langsung dibagikan hartanya. sehingga anak-anak kakek tersebut juga meninggal baru kemudian neneknya yang meninggal.
Lalu, harta 270 juta tersebut harta siapa? Harta nenek atau harta kakek?
Tanya:
Assallamu’alaikum Pak Ustadz.
Harta tersebut adalah rumah senilai 270 juta peninggalan kakek dan nenek saya yang akan dijual oleh anak perempuan (bibi saya) yang masih hidup. Karena menurut bibi saya bahwa kakak-kakaknya (anak laki-laki) yang telah wafat tidak punya hak atas peninggalan dari ayah-ibunya lagi (kakek dan nenek saya). Apakah pendapat dari bibi saya benar?
Wasallamu’alaikum
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Kalau untuk pembagian warisan, yang terpenting adalah melihat siapa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal tersbut. Bukan menghitung seluruh anaknya walaupun yang sudah meninggal duluan.
Jadi, dalam kasus Anda ini, yang saya pahami adalah:
ahli waris yang tersisa adalah:
- 1 anak perempuan
- 5 cucu perempuan dari anak laki-laki yang sudah meninggal duluan
- 1 cucu laki-laki dari laki-laki yang sudah meninggal duluan
Pembagiannya adalah
- 1 anak perempuan 1/2 harta
- masing-msing cucu perempuan 1/14 harta
- 1 cucu laki-laki 1/7 harta
 Dijawab oleh Ustadz Muhammad Yasir, Lc.
source: http://hikayahhati.blogspot.com


Artikel : hikayahhati.blogspot.com "jika ingin berkomentar via FACEBOOK, silahkan klik tombol "LIKE" di bawah Jazaakumullahu khaeran kathiran

Harta Gono-gini dalam Islam

Harta gono-gini adalah harta milik bersama dari suami dan istri yang mereka peroleh selama perkawinan. Demikianlah pengertian harta gono-gini yang sesuai dengan pasal 35 UU Perkawinan di Indonesia, harta gono-gini adalah harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.” Hal ini karena harta dalam sebuah keluarga mempunyai tiga kemungkinan:

Pertama, harta miliki suami saja. Yaitu harta yang dimiliki oleh suami tanpa ada sedikit pun kepemilikan istri pada harta itu. Misalnya harta suami sebelum menikah, atau harta yang diperoleh dari hasil kerja suami dan tidak diberikan sebagai nafkah kepada istrinya, atau harta yang dihibahkan orang lain kepada suami secara khusus, atau harta yang diwariskan kepada suami, dan sebagainya.
Kedua, harta milik istri saja. Yaitu harta yang dimiliki oleh istri saja tanpa ada sedikit pun kepemilikan suami pada harta itu. Misalnya harta milik istri sebelum menikah, atau harta hasil kerja yang diperoleh dari istri tanpa harus mengganggu kewajibannya sebagai istri, atau harta yang dihibahkan orang lain khusus untuknya, atau harta yang diwariskan kepada istri, dan lain-lain.
Ketiga, harta milik bersama. Misalnya harta yang dihibahkan seseorang kepada suami istri, atau harta benda semisal rumah, tanah, atau lainnya yang dibeli dari uang mereka berdua, atau harta yang mereka peroleh setelah menikah dan suami serta istri sama-sama kerja yang menghasilkan pendapatan dan sebagainya. Yang ketiga inilah yang kemudian diistilahkan dengan harta gono-gini.
Namun harta yang diperoleh sebuah keluarga tidak mesti secara langsung otomatis menjadi harta gono-gini. Perinciannya sebagai berikut:
Secara umum suamilah yang bekerja dan bertanggung jawab atas nafkah dan ekonomi keluarga. Ini banyak disebutkan oleh Allah dan Rasul-Nya. (di antaranya dalam QS. Ath Thalaq: 7)
Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti Utbah berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang sangat pelit. Dia tidak memberi harta yang cukup untukku dan anakku, kecuali apa yang saya ambil sendiri tanpa sepengetahuannya.” Maka Rasulullah bersabda, “Ambillah yang cukup bagimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Bukhari no.5364 dan Muslim no.1714).
Dari Hakim bin Mu’awiyah dari bapaknya berkata: Saya bertanya, “Ya Rasulullah apakah hak istri kami?” Beliau bersabda, “Engkau memberinya makan jika kamu makan, engkau memberinya pakaian jika kamu berpakaian.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya. Al-Irwa’: 2033)
Adapun istri, maka aktivitasnya ada dua kemungkinan:
Pertama, sama sekali tidak mempunyai aktivitas yang bernilai ekonomis. Jika demikian, maka harta dalam keluarga tersebut adalah harta suami, dan tidak ada harta gono-gini. Karena memang tidak ada andil istri dalam harta tersebut.
Kedua, jika istir memiliki aktivitas yang bernilai ekonomis. Seperti dia bekerja sendiri, atau membantu suami dalam pekerjaanya, atau menjadi partner kerja bagi suami, atau yang semisalnya, maka dalam kondisiinilah harta dalam sebuah keluarga tersebut ada yang disebut harta gono-gini.
Namun satu masalah harus dipahami, bahwa harta suami tidak utuh, tapi berkurang dengan beberapa kewajibannya sebagai suami. Seperti memberi mahar istrinya, menunaikan kewajiban nafkah pada istri dan anaknya, yang meliputi sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan anak-anak dan lainnya. Sedangkan harta istri tetap utuh, karena tidak ada kewajiban baginya untuk memberikan nafkah kepada suami dan anak-anaknya. Kecuali apabila dengan keridhaan dirinya, dia memberikan untuk suami dan anak-anaknya. Dan itu menjadi sedekah baginya.

Hukum Syar’i Tentang Harta Gono-Gini

Jika telah diapahami permasalahan di atas, maka bagaimanakah status harta gono-gini ini, jika terjadi pisah antara suami istri, baik pisah karena wafat atau karena cerai?
Syariat tidak membagi harta gono-gini ini dengan bagian masing-masing secara pasti, misalnya istri 50% dan suami 50%. Sebab, tidak ada nash yang mewajibkan demikian –setahu kami- baik dari Alquran maupun sunah. Namun pembagiannya bisa ditinjau dari beberapa kemungkinan:
Pertama, jika diketahui secara pasti perhitungan harta suami dan istri
Yaitu hasil kerja suami diketahuisecara pasti dikurangi nafkah untuk keluarganya, demikian juga hasil kerja istri diketahuidengan pasti. Maka perhitungan harta gono-gininyasangat jelas, yaitu sesuai denga perhitungan tersebut.
Kedua, jika tidak diketahui perhitungan harta suami istri
Gambarannya: suami istri sama-sama kerja atau saling bekerja sama dalam membangun ekonomi keluarga. Dan kebutuhan keluarga pun ditanggung berdua dari hasil kerja mereka. sehingga sisanya berapa bagian dari harta suami dan berapa bagian dari harta istri tidak jelas. Dan inilah gambaran kebanyakan keluarga di negeri Indonesia.
Dalam kondisi demikian, harta gono-gini tersebut tidak mungkin dibagi kecuali dengan jalan sulh, ‘urf atau qadha (putusan).
Sulh sendiri adalah kesepakatan antara suami istri berdasarkan musyawarah atas dasar saling ridha. Dalil pensyariatan perdamaian suami istri antara lain:
Dari Katsir bin Abdillah bin Amr bin Auf al-Muzani, dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berdamai itu boleh dilakukan antara kaum muslimin, kecuali sebuah perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Dan kaum muslimin itu tergantung pada syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi no.1370, Ahmad 2:366, dan Abu Dawud no. 3594)
Saat menerangkan hadis di atas, ash-Shan’ani berkata, “Para ulama telah membagiash-shulh (perdamaian) menjadi beberapa macam: perdamaian antara muslim dan kafir, perdamaian antara suami dan istri, perdamaian antara kelompok yang bughat(zalim) dan kelompok yang adil, perdamaian antara dua orang yang mengadukan permasalahan kepada hakim, perdamaian dalam masalah tindak pelukaan seperti pemberian maaf untuk sanksi harta yang mestinya diberikan, dan perdamaian untuk memberikan sejumlah harta milik bersama dan hak-hak. Pembagian inilah yang dimaksud di sini, yakni pembagian yang disebut oleh para ahli fiqih denganash-shulh (perdamaian).
Dengan demikian berdasarkan dalil hadis Amr bin Auf al-Muzani di atas, jika suami istri berpisah dan hendak membagi harta gono-gini di antara mereka, dapat ditempuh jalan perdamaian (ash-shulh). Sebab, salah satu jenis perdamaianadlaah perdamaian antara suami istri, atau perdamaian tatkala ada persengketaan mengenai harta bersama.
Dengan jalan perdamaian ini, pembagian harta gono-gini bergantung pada musyawarah antara suami istri. Bisa jadi suami mendapat 50% dan istri 50% atau suami mendapat 30% dan istri 70%, pun suami bisa mendapat 70% dan istri 30%, dan boleh pula pembagian dengan nisbah (prosentase) yang lain. Semuanya dibenarkan syara’, selam merupakan hasil dari perdamaian yang telah ditempuh berdasarkan kerelaan masing-masing.
Memang, dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang diterapkan dalam Peradilan Agama, harta gono-gini antar suami istri tidaklah dibagi kecuali masing-masing mendapat 50%. Dalam pasal 97 KHI disebutkan: “Janda atau duda cerai hidup, masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”
Namun ketentuan dalam KHI ini bukanlah suatu putusan hukum yang paten, jika suami istri sepakat membagi harta dengan prosentase tertentu, maka kesepakatan dan keridhaan mereka didahulukan.
Urf, merupakan adat kebiasaan yang berlaku di sebuah masyarakat, sehingga itu menjadi hukum di masyarakat tersebut. Para ulama sepakat ‘urf  bisa dijadikan salah satu acuan hukum. Dalam salah satu kaidah fikih disebutkan,
العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Sebuah adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran hukum.”
Dengan syarat:
  1. Urf itu berlaku umum.
  2. Tidak bertentangan dengan nash syar’i.
  3. Urf itu sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah kebiasaan yang baru saja terjadi.
  4. Tidak berbenturan dengan tashrih.
Jadi, jika dalam masalah harta gono-gini tidak ada kesepakatan antara suami istri, maka dilihat apakah dalam masyarakat tersebut ada ‘urf yang berlaku tentang permasalahan harta gono-gini atau tidak. Jika ada, itulah yang diberlakukan. Wallahu a‘lam.
Qadha, jika tidak ada sulh dan ‘urf, barulah masuk dalam sistem terakhir, yaitu qadha. Qadha sendiri adalah keputusan yang ditetapkan oleh hakim setempat tentang masalah yang disampaikan kepadanya. Dalam kondisi ini seorang hakim harus melihat kepada kondisi suami istri tersebut, untuk bisa menentukan pembagianharta gono-gini secara baik. Dan dalam kondisi ini boleh bagi hakim untuk menggunakan hukum perdata yang berlaku di peradilan, selagi tidak bertentangan dengan hukum syariat Islam. Wallahu a’lam.
Oleh Ustadz Ahmad Sabiq, Lc.
source: http://hikayahhati.blogspot.com
Artikel : hikayahhati.blogspot.com "jika ingin berkomentar via FACEBOOK, silahkan klik tombol "LIKE" di bawah Jazaakumullahu khaeran kathiran