Latest Updates

Arti dari IJAB QOBUL

"Saya Terima Nikahnya si dia binti ayah si dia dengan Mas Kawinnya.....DiBayaaaar Kontaaan"

Singkat, padat dan jelas..

Tapi tahukan makna PERJANJIAN/IKRAR tersebut..??

Maka aku tanggung dosa2nya si dia dari ayah dan ibunya, dosa apa saja yg telah dia lakukan, dari tidak menutup aurat hingga ia meninggalkan sholat..

Semua yang berhubungan dengan si dia, aku tanggung dan bukan lagi orang tuanya yang menanggung, serta akan aku tanggung semua dosa calon anak2ku..

Jika aku GAGAL..??

Maka aku adalah suami yang fasik, ingkar dan aku rela masuk neraka, aku rela malaikat menyiksaku hingga hancur tubuhku..

(HR. Muslim)

Duhai para istri :

Begitu beratnya pengorbanan suamimu terhadapmu, karena saat Ijab terucap, Arsy-NYA berguncang karena beratnya perjanjian yang di buat olehnya di depan ALLAH dengan di saksikan para malaikat dan manusia..

Maka andai saja kau menghisap darah dan nanah dari hidung suamimu..

Maka itupun belum cukup untuk menebus semua pengorbanan suami terhadapmu,SubhanALLAH..


Artikel : hikayahhati.blogspot.com

Macam-macam Shalat Sunnah Rawatib Muakkadah

Shalat Sunnah Rawatib adalah sebutan untuk shalat sunnah yang mengiringi shalat fardhu, baik sebelumnya atau sesudahnya. Para ulama membaginya menjadi dua: Mu’akkadah (sangat ditekankan) dan Ghairu Mu’akkadah (tidak terlalu ditekankan).

Disebut mu’akkadah karena senantiasa dikerjakan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan hampir-hampir beliau tidak pernah meninggalkannya. Dan ini sepertinya yang dimaksud dalam pertanyaan.
Para ulama berbeda pendapat tentang jumlahnya. Pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah, jumlahnya sepuluh rakaat. Yakni dua rakaat sebelum Dzuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat ba’da Maghrib, dua rakaat ba’da Isya’, dan dua rakaat sebelum Shubuh.
Pendapat ini didasarkan kepada hadits Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma, ia berkata:
حَفِظْتُ مِنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم عَشْرَ رَكَعَاتٍ : رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ اَلظُّهْرِ , وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا , وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ اَلْمَغْرِبِ فِي بَيْتِهِ , وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ اَلْعِشَاءِ فِي بَيْتِهِ , وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ اَلصُّبْحِ

Aku menghapal dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam 10 rakaat yaitu: dua rakaat sebelum Dhuhur, dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah maghrib di rumahnya, dua rakaat setelah Isya' di rumahnya, dan dua rakaat sebelum Shubuh.” (Muttafaq ‘Alaih)
Sedangkan pendapat Hanafiah, jumlah rakaat shalat sunnah rawatib mu’akkadah sebanyak dua belas rakaat. Yakni empat rakaat sebelum Dzuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat ba’da Maghrib, dua rakaat ba’da Isya’, dan dua rakaat sebelum Shubuh. Ini didasarkan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu 'Anha, “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak pernah meninggalkan empat rakaat sebelum Dzuhur.” (HR. Al-Bukhari)
Diriwayatkan Ummu Habibah Radhiyallahu 'Anha berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda
مَنْ صَلَّى اِثْنَتَا عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي اَلْجَنَّةِ
Barangsiapa melakukan shalat dua belas rakaat dalam sehari semalam niscaya dibangunkan sebuah rumah baginya di surga.” (HR. Muslim dan Al-Tirmidzi)
Dalam tambahan riwayat Tirmidzi ada hadits yang serupa dengan tambahan: “Empat rakaat sebelum Dzuhur, dua rakaat setelahnya dan dua rakaat setelah Maghrib, dua rakaat setelah Isya', dan dua rakaat sebelum Shubuh.” Maka silahkan Anda memilih dari dua pendapat di atas. Namun jika bisa mengerjakan yang dua belas rakaat itu lebih utama. Wallahu Ta’ala A’lam. source : http://www.voa-islam.com/
Artikel : hikayahhati.blogspot.com

Sejarah Penaklukan Palestina AlQuds

Setelah Nabi wafat, Islam telah tersebar di seluruh semenjanjung Arab.Ketika Umar bin Khattab berkuasa, Islam menyebar keluar semenanjung yang gersang dan tandus itu, menuju wilayah-wilayah hijau, subur, dan kaya; ke kota-kota pusaka; ke negeri-negeri legenda yang memiliki sejarah serta peradaban lebih tinggi.
Sebelum masa penaklukan Islam, Suriah ditempati oleh bangsa Suriah-Aramaic (Suryani), sebagian elite Yunani dan Romawi berbicara dalam bahasa tersebut. Mesir ditempati bangsa Yunani dan Koptik. Cyrenaica dan Afrika Utara dihuni bangsa Romawi dan Barber. Palestina didiami orang-orang berbahasa Suryani, Yunani, dan Ibrani. Irak dan seluruh wilayah Persia ditempati bangsa Arya-Persia dan sebagian kecil Suryani. Meski demikian, terdapat minoritas klan Arab yang tinggal di wilayah kecil perbatasan Suriah dan Irak, seperti ain Tamar dan Hira. Hanya sekitar sepuluh tahun, Umar berhasil menguasai seluruh wilayah itu.
Menghadapi Persia
Pada masa awal kekhalifahan Abu Bakar, muncul gerakan pemberontakan (riddah) di beberapa wilayah semenanjung Arab, terutama di Yaman, Oman, dan Bahrain. Untuk mengatasinya, Abu Bakar membentuk pasukan militer yang dipimpin oleh Khalid bin Walid. Di bawah pedang khalid, operasi kekhalifahan berhasil mempersatukan kembali semua penduduk semenjanjung yang memberontak itu ke dalam barisan Islam.
Setelah menuntaskan operasi tersebut pada awal 633 M (12 H), ketika Khalid dan pasukannya berada di Yamamah dan sebagian pasukan muslim lainnya di Bahrain, Abu Bakar memerintahkan Khalid untuk melakukan ekspedisi ke arah utara, yaitu Apollo Apologus (Ubulla), sebuah kota pesisir kuno sekaligus bandar utama yang strategis dan kaya raya. Ubulla terletak di ujung teluk Persia (sekarang Kuwait), di tepi muara sungai Eufrat-Tigris. Kota bandar itu dibangun pada masa penaklukan kaisar Alexander Agung (w. 323 SM) sebagai bentuk persembahan kepada dewa matahari.
Pasukan Islam telah bergerak dengan kekuatan 1.800 tentara. Saat itu, kota bandar Ubulla berada di bawah kekaisaran Persia. Setelah mengetahui rencana ekspedisi militer orang Arab itu, Persia segera mempersiapkan pasukan pertahanan di bawah pimpinan tiga ksatria perang dan panglima andal: Hormouz, Kavad, dan Anushajan.
Pertempuran hebat pun pecah. Kedua belah pasukan bertempur di tepian muara sungai purba itu. Pasukan Persia yang tersohor tangguh itu dapat dikalahkan pasukan Arab. Dalam pertempuran itu pula, panglima besar Hormouz tewas. Sisa-sisa pasukan Persia yang masih hidup, termasuk panglima Kavad dan Anushajan, melarikan diri.
Pertempuran di Ubulla tercatat sebagai pertempuran pertama orang muslim dengan imperium Persia, sekaligus pertempuran bangsa Arab dengan bangsa ‘ajam (non-Arab). Pertempuran Ubulla disebut juga pertempuran berantai (mawqi’ah dzat al-salasil), karena tubuh para tawanan perang diikat dengan rantai.
Setelah kemenangan di kota muara itu, Khalid dan pasukannya terus bergerak ke utara, menyusuri lembah sungai Eufrat, menaklukan kota-kota kecil dan memenangkan serangkaian peperangan lanjutan dengan pihak Persia, seperti Tsini, Walijah, dan Allais. Hingga tibalah Khalid dan pasukannya di kota kerajaan Hirah. Usia kerajaan Hirah terbilang tua, didirikan Malik Amru bin Uday al-Lakhmi pada pertengahan tahun 200 M. Kerajaan itu dikelilingi benteng bebatuan, pohon palem dan kurma. Ada beberapa istana dalam area benteng, juga gereja-gereja dan akademi (madaris). Hirah merupakan kerajaan Arab puak Lakhm (Manad-Zirah) di wilayah perbatasan Irak-Arab yang kemudian menjadi protektorat imperium Persia. Mayoritas penduduknya memeluk kristen nestorian.
Hampir tak ada perlawanan berarti dari kerajaan Hirah ketika pasukan muslim mengepung benteng itu dari empat penjuru. Para petinggi kerajaan justru membukakan salah satu gerbangnya, lalu memilih untuk berdamai dan membayar upeti (jizyah) sebagai jaminan keamanan. Khalid menjamin bahwa tidak akan ada satu pun gereja, istana, atau bangunan apapun di dalam benteng kerajaan itu yang akan diganggu.
Setelah penaklukan Hirah, Khalid dan pasukannya terus bergerak ke utara, menuju Anbar (Fairuzshapur), kota berpenduduk mayoritas Arab lain di perbatasan Irak-Arab yang terletak tak jauh dari seberang bekas reruntuhan situs kota kuno Babilonia. Sekalipun mendapatkan perlawanan dari pihak Persia, juga penduduk lokal, Khalid berhasil menguasai kota tersebut. Khalid dan pasukannya kembali melanjutkan pergerakan ke barat menuju Ain Tamr, sebuah kota-oasis yang dirimbuni ladang kurma, sekaligus benteng terdepan bagi pertahanan dan perbatasan imperium Persia dengan imperium Bizantium.
Dari serangkaian penaklukan kota-kota di perbatasan Arab-Irak itu, Khalid dan pasukan Islam lainnya mendapatkan banyak harta rampasan (ghanimah). Seperlimanya dikirimkan ke ibu kota kekhalifahan di Madinah-inilah kucuran upeti pertama yang diperoleh orang Arab semenanjung dari kemenangan perang dengan bangsa lain.
Menghadapi Bizantium
Kemenangan Khalid dan pasukan Islam di daerah Arab-Irak yang berjalan tak lebih dari setahun rupanya berdampak sangat besar bagi perjalanan sejarah penaklukan Arab Islam selanjutnya. Setelah penaklukan itu, orang-orang Arab seakan-akan dirasuki gelora yang tak pernah mereka rasakan sebelumnya.
Dahulu orang-orang Arab semenanjung merasa gemetar dan ciut nyali ketika mendengar kata Persia, terlebih lagi menghadapi pasukannya. Namun, setelah peristiwa penaklukan itu, mereka mulai percaya diri dan berani untuk berhadapan dengan Persia, bahkan juga Romawi. Madinah, jantung kekhalifahan Islam, segera didatangi kelompok-kelompok sukarela dari pelbagai klan Arab di seluruh semenanjung, untuk ikut bergabung dalam rangkaian penaklukan-penaklukan berikutnya.
Khalifah Abu Bakar dan sahabat-sahabat tertua lainnya lantas menggelar rapat. Dalam rapat tersebut diputuskan untuk menggerakkan pasukan muslim ke utara, menuju Yordania, Palestina, Pesisir Levantina, dan Suriah (wilayah-wilayah strategis di Mediterania Timur atau Asia Barat); berpemandangan elok, bertanah hijau, berpegunungan tinggi, berlapis salju, berlahan subur dengan hasil bumi yang kaya; memiliki kota-kota yang indah dan megah; gerbang tiga benua yang memiliki legenda, tradisi, sejarah, dan peradaban yang sangat tinggi. Orang-orang Arab menyebut wilayah itu dengan Syam. Para penduduk Syam adalah orang-orang kulit putih, baik dari ras asli Suryani (Suriahc-Aramaic), Ibrani, Piniki (Pheonician/Finiqiyyah), Nabatea, atau ras pendatang Yunani dan latin.
Maka pada puncak musim dingin, awal tahun 634 M (13 H), dikirimkan empat regu pasukan dengan jumlah total 24.000 tentara, di bawah pimpinan empat panglima besar; Amr bin al-Ash untuk bandar Ayla di ujung teluk Aqabah, lalu Palestina; Syarhabil bin Hasanah untuk Tabuk, lalu Yordania; Yazid bin Abi Sufyan untuk Damaskus dan Suriah Selatan; juga Abu Ubaidah bin al-Jarrah untuk Emesa (Hims), lalu Antiokia dan kota-kota Suriah Utara lainnya.
Keberangkatan pasukan besar tersebut dilepas dengan upacara di alun-alun ibu kota. Abu Bakar  memberikan khutbah dan wasiat-wasiat perang, wasiat yang sangat mulia dan manusiawi. Sementara, para penduduk kota mengantar iring-iringan pasukan hingga ke luar batas kota dengan lagu dan do’a.
Pasukan Amr bin al-Ash dicatat sebagai pasukan yang pertama kali meraih kemenangan. Bagaimanapun, pada masa pra-Islam Amr adalah saudagar dagang Arab yang sering bepergian ke Gaza dan kota-kota pesisir Levantina lainnya. ia pun tahu betul kondisi wilayah yang akan ditaklukkannya. Kota-bandar Ayla (Elat) di teluk Aqabah berhasil ditaklukkan tanpa mendapat perlawanan berarti. Amr lalu bergerak ke arah barat daya, menuju pesisir laut Gaza. Di Dathin, sebuah desa dekat Gaza, pasukan Amr berhasil mengalahkan pasukan militer Bizantium setempat.
Di sisi lain, pasukan Syarhabil bin Hasanah tiba dan mengepung Bostra (Busra), kota tua di sisi utara perbatasan Suriah-Yordania. Sementara itu, pasukan Yazid bin Abi Sufyan tiba di tepi sungai Yordan, dan pasukan Abu Ubaidah bin al-Jarrah berada di arah utara yang terjauh, yaitu Jabiyah, kota kuno yang terletak di selatan Damaskus atau di sebelah timur Yarmuk (Heromax).
Pergerakan pasukan muslim yang menembus perbatasan Palestina-Yordania-Suriah dan serangkaian penaklukan kecil di wilayah-wilayah tersebut telah mengagetkan imperium Bizantium. Otoritas itu mulai serius mengahadapi ancaman baru yang datang dari pasukan pasir di selatan itu-dari orang-orang Arab semenanjung. Padahal, lima tahun sebelumnya, Bizantium baru saja merampungkan serangkaian peperangan besar yang sangat melelahkan dengan pihak Persia, yang berlangsung selama hampir dua puluh tahun (610-629 M) di wilayah yang sama: Palestina, Yordania, dan Suriah.
Kaisar Bizantium, Heraklius, yang saat itu berada di istana peristirahatannya di Damaskus, segera memerintahkan semua dominionnya di berbagai kota Suriah dan Palestina, juga kota-kota bandar di sepanjang pesisir Levantina untuk segera mengerahkan pasukan militer. Heraklius menunjuk saudaranya, Theodore Georgius dari Konstantinopel, sebagai panglima besar pasukan gabungan Bizantium. Heraklius sendiri, yang sudah berusia senja, 60 tahun, lebih memilih untuk berdiam di Damaskus, mengatur strategi, menurunkan komando, dan mengawasi jalannya pertempuran.
Hingga tibalah musim semi tahun itu. Kabar tentang persiapan besar Bizantium itu sampai pada keempat panglima muslim. Mereka bersepakat untuk menggabungkan seluruh pasukan dalam satu kesatuan. Opsi ini juga disetujui Abu Bakar di Madinah. Pasukan gabungan itu berkumpul dan membuat garis pertahanan di tepi sungai Yarmuk (Heromax). Yarmuk adalah daerah berlembah yang dikitari bukit-bukit dan terletak di sebelah barat kota Jabiya atau di sebelah timur danau Tiberias. Di sepanjang Yarmuk mengalir anak sungai yang berhulu dari dataran tinggi Hawran , dan bermuara di danau Tiberias (Thabariyah).
Yarmuk nantinya akan menjadi saksi bisu sebuah pertempuran besar antara pasukan muslim dan pasukan Bizantium.


Artikel : hikayahhati.blogspot.com

Mengapa Melafadzkan Niat sebelum shalat ?

masih ikut-ikutan melafdzkan niat sebelum shalat ???
sebaiknya baca penjelasan di bawah ini

Sahabat -Al Faruq- Umar bin Khaththab radhiyallahu ’anhu berkata,”Saya mendengar Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,’Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia telah berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya itu karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya’.” (HR. Bukhari & Muslim). Inilah hadits yang menunjukkan bahwa amal seseorang akan dibalas atau diterima tergantung dari niatnya.
Setiap Orang Pasti Berniat Tatkala Melakukan Amal
Niat adalah amalan hati dan hanya Allah Ta’ala yang mengetahuinya. Niat itu tempatnya di dalam hati dan bukanlah di lisan, hal ini berdasarkan ijma' (kesepakatan) para ulama sebagaimana yang dinukil oleh Ahmad bin Abdul Harim Abul Abbas Al Haroni dalam Majmu' Fatawanya.
Setiap orang yang melakukan suatu amalan pasti telah memiliki niat terlebih dahulu. Karena tidak mungkin orang yang berakal yang punya ikhtiar (pilihan) melakukan suatu amalan tanpa niat. Seandainya seseorang disodorkan air kemudian dia membasuh kedua tangan, berkumur-kumur hingga membasuh kaki, maka tidak masuk akal jika dia melakukan pekerjaan tersebut -yaitu berwudhu- tanpa niat. Sehingga sebagian ulama mengatakan,”Seandainya Allah membebani kita suatu amalan tanpa niat, niscaya ini adalah pembebanan yang sulit dilakukan.”
Apabila setan membisikkan kepada seseorang yang selalu merasa was-was dalam shalatnya sehingga dia mengulangi shalatnya beberapa kali. Setan mengatakan kepadanya,”Hai manusia, kamu belum berniat”. Maka ingatlah,”Tidak mungkin seseorang mengerjakan suatu amalan tanpa niat. Tenangkanlah hatimu dan tinggalkanlah was-was seperti itu.”(Lihat Syarhul Mumthi, I/128 dan Al Fawa’id Dzahabiyyah, hal.12)
Melafadzkan Niat
Masyarakat kita sudah sangat akrab dengan melafalkan niat (maksudnya mengucapkan niat sambil bersuara keras atau lirih) untuk ibadah-ibadah tertentu. Karena demikianlah yang banyak diajarkan oleh ustadz-ustadz kita bahkan telah diajarkan di sekolah-sekolah sejak Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi. Contohnya adalah tatkala hendak shalat berniat ’Usholli fardhol Maghribi ...’ atau pun tatkala hendak berwudhu berniat ’Nawaitu wudhu’a liraf’il hadatsi ...’. Kalau kita melihat dari hadits di atas, memang sangat tepat kalau setiap amalan harus diawali niat terlebih dahulu. Namun apakah niat itu harus dilafalkan dengan suara keras atau lirih?!
Secara logika mungkin dapat kita jawab. Bayangkan berapa banyak niat yang harus kita hafal untuk mengerjakan shalat mulai dari shalat sunat sebelum shubuh, shalat fardhu shubuh, shalat sunnah dhuha, shalat sunnah sebelum dzuhur, dst. Sangat banyak sekali niat yang harus kita hafal karena harus dilafalkan. Karena ini pula banyak orang yang meninggalkan amalan karena tidak mengetahui niatnya atau karena lupa. Ini sungguh sangat menyusahkan kita. Padahal Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,”Sesungguhnya agama itu mudah.” (HR. Bukhari)
Ingatlah setiap ibadah itu bersifat tauqifiyyah, sudah paketan dan baku. Artinya setiap ibadah yang dilakukan harus ada dalil dari Al Qur’an dan Hadits termasuk juga dalam masalah niat.
Setelah kita lihat dalam buku tuntunan shalat yang tersebar di masyarakat atau pun di sekolahan yang mencantumkan lafadz-lafadz niat shalat, wudhu, dan berbagai ibadah lainnya, tidaklah kita dapati mereka mencantumkan ayat atau riwayat hadits tentang niat tersebut. Tidak terdapat dalam buku-buku tersebut yang menyatakan bahwa lafadz niat ini adalah hadits riwayat Imam Bukhari dan sebagainya.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan dalam kitab beliau Zaadul Ma’ad, I/201, ”Jika seseorang menunjukkan pada kami satu hadits saja dari Rasul dan para sahabat tentang perkara ini (mengucapkan niat), tentu kami akan menerimanya. Kami akan menerimanya dengan lapang dada. Karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna dari petunjuk Nabi dan sahabatnya. Dan tidak ada petunjuk yang patut diikuti kecuali petunjuk yang disampaikan oleh pemilik syari’at yaitu Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam.”  Dan sebelumnya beliau mengatakan mengenai petunjuk Nabi dalam shalat,”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak mendirikan shalat maka beliau mengucapkan : ‘Allahu Akbar’. Dan beliau tidak mengatakan satu lafadz pun sebelum takbir dan tidak pula melafadzkan niat sama sekali.”
Maka setiap orang yang menganjurkan mengucapkan niat wudhu, shalat, puasa, haji, dsb, maka silakan tunjukkan dalilnya. Jika memang ada dalil tentang niat tersebut, maka kami akan ikuti. Dan janganlah berbuat suatu perkara baru dalam agama ini yang tidak ada dasarnya dari Nabi. Karena Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,” Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak ada dasar dari kami, maka amalan tersebut tertolak. (HR. Muslim). Dan janganlah selalu beralasan dengan mengatakan ’Niat kami  kan baik’, karena sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhuma mengatakan,”Betapa banyak orang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi, sanadnya shahih, lihat Ilmu Ushul Bida’, hal. 92)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat wa shallallahu ’ala Muhammad wa ’ala alihi wa shohbihi wa sallam.


Artikel : hikayahhati.blogspot.com

Banyak Puasa di Bulan Muharram, Adakah Tuntunan?


Bulan Muharram adalah di antara bulan haram. Amalan sholih yang diperintahkan saat itu adalah berpuasa. Dan ada anjuran memperbanyak puasa di bulan haram seperti itu.

 

 

Anjuran Puasa Muharram

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mendorong kita melakukan puasa pada bulan Muharram sebagaimana sabdanya,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163, dari Abu Hurairah).
Imam Nawawi -rahimahullah- menjelaskan, “Hadits ini merupakan penegasan bahwa sebaik-baik bulan untuk berpuasa adalah pada bulan Muharram.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 55)
Lalu mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diketahui banyak berpuasa di bulan Sya’ban bukan malah bulan Muharram? Ada dua jawaban yang dikemukakan oleh Imam Nawawi.
  1. Mungkin saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru mengetahui keutamaan banyak berpuasa di bulan Muharram di akhir hayat hidup beliau.
  2. Boleh jadi pula beliau memiliki udzur ketika berada di bulan Muharram (seperti bersafar atau sakit) sehingga tidak sempat menunaikan banyak puasa pada bulan Muharram. (Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 55)
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Puasa yang paling utama di antara bulan-bulan haram (Dzulqo’dah, Dzulhijah, Muharram, Rajab -pen) adalah puasa di bulan Muharram (syahrullah)” (Lathoif Al Ma’arif, hal. 67)
Sesuai penjelasan Ibnu Rajab, puasa sunnah (tathowwu’) ada dua macam:
  1. Puasa sunnah muthlaq. Sebaik-baik puasa sunnah muthlaq adalah puasa di bulan Muharram.
  2. Puasa sunnah sebelum dan sesudah yang mengiringi puasa wajib di bulan Ramadhan. Contoh puasa ini adalah puasa enam hari di bulan Syawal. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, hal. 66)
Jadi, penjelasan di atas dapat dipahami bahwa puasa sunnah mutlaq yang paling afdhol adalah puasa Muharram. Sedangkan puasa muqoyyad (yang ada kaitan dengan waktu tertentu atau berkaitan dengan puasa Ramadhan), maka yang lebih afhol adalah puasa enam hari di bulan Syawal. Puasa Syawal dari sisi ini lebih afhdol dari puasa Muharram. Puasa Syawal tersebut berkaitan dengan puasa Ramadhan. Oleh karenanya puasa tersebut seperti shalat sunnah rawatib yang mengiringi shalat wajib. Puasa Arafah juga bisa lebih baik dari puasa Muharram dari sisi puasa Arafah sebagai sunnah yang rutin. (Penjelasan Syaikh Kholid bin Su’ud Al Bulaihad di sini)
Di antara sahabat yang gemar melakukan puasa pada bulan-bulan haram (termasuk bulan haram adalah Muharram) yaitu ‘Umar, Aisyah dan Abu Tholhah. Bahkan Ibnu ‘Umar dan Al Hasan Al Bashri gemar melakukan puasa pada setiap bulan haram (Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 71). Bulan haram adalah bulan Dzulqo’dah, Dzulhijah, Muharram dan Rajab.

Banyak Berpuasa, Tidak Mesti Sebulan Penuh

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kaum muslimin dianjurkan memperbanyak puasa pada bulan Muharram. Jika tidak mampu, berpuasalah sesuai kemampuannya. Namun yang lebih tepat adalah tidak berpuasa Muharram sebulan penuh. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuberkata,
وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلاَّ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ فِى شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِى شَعْبَانَ
Aku tidak pernah melihat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan. Aku tidak pernah melihat beliau banyak puasa dalam sebulan selain pada bulan Sya’ban.” (HR. Muslim no. 1156). (Lihat penjelasan Syaikh Kholid bin Su’ud Al Bulaihad di sini)

Yang Lebih Afdhol, Puasa Asyura

Dari sekian hari di bulan Muharram, yang lebih afhol adalah puasa hari ‘Asyura, yaitu pada 10 Muharram. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata,
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ ». قَالَ وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau menjawab, ”Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.”(HR. Muslim no. 1162).

Selisihi Yahudi dengan Menambah Puasa Tasu’a (9 Muharram)

Namun dalam rangka menyelisihi Yahudi, kita diperintahkan berpuasa pada hari sebelumnya, yaitu berpuasa pada hari kesembilan (tasu’a). Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى.
Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan,
فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ
Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan,
فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim no. 1134)
Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah, Imam Ahmad, Ishaq dan selainnya mengatakan bahwa dianjurkan (disunnahkan) berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh sekaligus; karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat (berkeinginan) berpuasa juga pada hari kesembilan. (Lihat Syarh Muslim, 8: 12-13)
Ibnu Rajab mengatakan, ”Di antara ulama yang menganjurkan berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram sekaligus adalah Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad, dan Ishaq. Adapun Imam Abu Hanifah menganggap makruh jika seseorang hanya berpuasa pada hari kesepuluh saja.” (Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 99)

Apa Hikmah Menambah Puasa pada Hari Kesembilan?

Sebagian ulama mengatakan bahwa sebab Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bepuasa pada hari kesepuluh sekaligus kesembilan agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang Yahudi yang hanya berpuasa pada hari kesepuluh saja. Dalam hadits Ibnu Abbas juga terdapat isyarat mengenai hal ini. Ada juga yang mengatakan bahwa hal ini untuk kehati-hatian, siapa tahu salah dalam penentuan hari ’Asyura’ (tanggal 10 Muharram). Pendapat yang menyatakan bahwa Nabi menambah hari kesembilan agar tidak menyerupai puasa Yahudi adalah pendapat yang lebih kuat. Wallahu a’lam. (Lihat Syarh Muslim, 8: 12-13)
Sebagaimana penjelasan dari Syaikh Ibrahim Ar Ruhaili, kita lebih baik berpuasa dua hari sekaligus yaitu pada tanggal 9 dan 10 Muharram karena dalam melakukan puasa ‘Asyura ada dua tingkatan yaitu:
  1. Tingkatan yang lebih sempurna adalah berpuasa pada 9 dan 10 Muharram sekaligus.
  2. Tingkatan di bawahnya adalah berpuasa pada 10 Muharram saja. (Lihat Tajridul Ittiba’, hal. 128)
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam berkata, “Yang lebih afdhol adalah berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh dari bulan Muharram karena mengingat hadits (Ibnu ‘Abbas), “Apabila aku masih diberi kehidupan tahun depan, aku akan berpuasa pada hari kesembilan.” Jika ada yang berpuasa pada hari kesepuluh dan kesebelas atau berpuasa tiga hari sekaligus (9, 10 dan 11) maka itu semua baik. Semua ini dengan maksud untuk menyelisihi Yahudi.” (Lihat Fatwa Syaikh Ibnu Baz di sini).
Semoga Allah memudahkan kita untuk terus beramal sholih.

adalah di antara bulan haram. Amalan sholih yang diperintahkan saat itu adalah berpuasa. Dan ada anjuran memperbanyak puasa di bulan haram seperti itu.

Anjuran Puasa Muharram

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mendorong kita melakukan puasa pada bulan Muharram sebagaimana sabdanya,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163, dari Abu Hurairah).
Imam Nawawi -rahimahullah- menjelaskan, “Hadits ini merupakan penegasan bahwa sebaik-baik bulan untuk berpuasa adalah pada bulan Muharram.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 55)
Lalu mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diketahui banyak berpuasa di bulan Sya’ban bukan malah bulan Muharram? Ada dua jawaban yang dikemukakan oleh Imam Nawawi.
  1. Mungkin saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru mengetahui keutamaan banyak berpuasa di bulan Muharram di akhir hayat hidup beliau.
  2. Boleh jadi pula beliau memiliki udzur ketika berada di bulan Muharram (seperti bersafar atau sakit) sehingga tidak sempat menunaikan banyak puasa pada bulan Muharram. (Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 55)
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Puasa yang paling utama di antara bulan-bulan haram (Dzulqo’dah, Dzulhijah, Muharram, Rajab -pen) adalah puasa di bulan Muharram (syahrullah)” (Lathoif Al Ma’arif, hal. 67)
Sesuai penjelasan Ibnu Rajab, puasa sunnah (tathowwu’) ada dua macam:
  1. Puasa sunnah muthlaq. Sebaik-baik puasa sunnah muthlaq adalah puasa di bulan Muharram.
  2. Puasa sunnah sebelum dan sesudah yang mengiringi puasa wajib di bulan Ramadhan. Contoh puasa ini adalah puasa enam hari di bulan Syawal. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, hal. 66)
Jadi, penjelasan di atas dapat dipahami bahwa puasa sunnah mutlaq yang paling afdhol adalah puasa Muharram. Sedangkan puasa muqoyyad (yang ada kaitan dengan waktu tertentu atau berkaitan dengan puasa Ramadhan), maka yang lebih afhol adalah puasa enam hari di bulan Syawal. Puasa Syawal dari sisi ini lebih afhdol dari puasa Muharram. Puasa Syawal tersebut berkaitan dengan puasa Ramadhan. Oleh karenanya puasa tersebut seperti shalat sunnah rawatib yang mengiringi shalat wajib. Puasa Arafah juga bisa lebih baik dari puasa Muharram dari sisi puasa Arafah sebagai sunnah yang rutin. (Penjelasan Syaikh Kholid bin Su’ud Al Bulaihad di sini)
Di antara sahabat yang gemar melakukan puasa pada bulan-bulan haram (termasuk bulan haram adalah Muharram) yaitu ‘Umar, Aisyah dan Abu Tholhah. Bahkan Ibnu ‘Umar dan Al Hasan Al Bashri gemar melakukan puasa pada setiap bulan haram (Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 71). Bulan haram adalah bulan Dzulqo’dah, Dzulhijah, Muharram dan Rajab.

Banyak Berpuasa, Tidak Mesti Sebulan Penuh

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kaum muslimin dianjurkan memperbanyak puasa pada bulan Muharram. Jika tidak mampu, berpuasalah sesuai kemampuannya. Namun yang lebih tepat adalah tidak berpuasa Muharram sebulan penuh. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuberkata,
وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلاَّ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ فِى شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِى شَعْبَانَ
Aku tidak pernah melihat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan. Aku tidak pernah melihat beliau banyak puasa dalam sebulan selain pada bulan Sya’ban.” (HR. Muslim no. 1156). (Lihat penjelasan Syaikh Kholid bin Su’ud Al Bulaihad di sini)

Yang Lebih Afdhol, Puasa Asyura

Dari sekian hari di bulan Muharram, yang lebih afhol adalah puasa hari ‘Asyura, yaitu pada 10 Muharram. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata,
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ ». قَالَ وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau menjawab, ”Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.”(HR. Muslim no. 1162).

Selisihi Yahudi dengan Menambah Puasa Tasu’a (9 Muharram)

Namun dalam rangka menyelisihi Yahudi, kita diperintahkan berpuasa pada hari sebelumnya, yaitu berpuasa pada hari kesembilan (tasu’a). Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى.
Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan,
فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ
Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan,
فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim no. 1134)
Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah, Imam Ahmad, Ishaq dan selainnya mengatakan bahwa dianjurkan (disunnahkan) berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh sekaligus; karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat (berkeinginan) berpuasa juga pada hari kesembilan. (Lihat Syarh Muslim, 8: 12-13)
Ibnu Rajab mengatakan, ”Di antara ulama yang menganjurkan berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram sekaligus adalah Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad, dan Ishaq. Adapun Imam Abu Hanifah menganggap makruh jika seseorang hanya berpuasa pada hari kesepuluh saja.” (Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 99)

Apa Hikmah Menambah Puasa pada Hari Kesembilan?

Sebagian ulama mengatakan bahwa sebab Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bepuasa pada hari kesepuluh sekaligus kesembilan agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang Yahudi yang hanya berpuasa pada hari kesepuluh saja. Dalam hadits Ibnu Abbas juga terdapat isyarat mengenai hal ini. Ada juga yang mengatakan bahwa hal ini untuk kehati-hatian, siapa tahu salah dalam penentuan hari ’Asyura’ (tanggal 10 Muharram). Pendapat yang menyatakan bahwa Nabi menambah hari kesembilan agar tidak menyerupai puasa Yahudi adalah pendapat yang lebih kuat. Wallahu a’lam. (Lihat Syarh Muslim, 8: 12-13)
Sebagaimana penjelasan dari Syaikh Ibrahim Ar Ruhaili, kita lebih baik berpuasa dua hari sekaligus yaitu pada tanggal 9 dan 10 Muharram karena dalam melakukan puasa ‘Asyura ada dua tingkatan yaitu:
  1. Tingkatan yang lebih sempurna adalah berpuasa pada 9 dan 10 Muharram sekaligus.
  2. Tingkatan di bawahnya adalah berpuasa pada 10 Muharram saja. (Lihat Tajridul Ittiba’, hal. 128)
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam berkata, “Yang lebih afdhol adalah berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh dari bulan Muharram karena mengingat hadits (Ibnu ‘Abbas), “Apabila aku masih diberi kehidupan tahun depan, aku akan berpuasa pada hari kesembilan.” Jika ada yang berpuasa pada hari kesepuluh dan kesebelas atau berpuasa tiga hari sekaligus (9, 10 dan 11) maka itu semua baik. Semua ini dengan maksud untuk menyelisihi Yahudi.” (Lihat Fatwa Syaikh Ibnu Baz di sini).
Semoga Allah memudahkan kita untuk terus beramal sholih.
alah di antara bulan haram. Amalan sholih yang diperintahkan saat itu adalah berpuasa. Dan ada anjuran m

Dari artikel 'Banyak Puasa di Bulan Muharram, Adakah Tuntunan? — Muslim.Or.Id'alah di antara bulan haram. Amalan sholih yang diperintahkan saat itu adalah berpuasa. Dan ada anjuran m

Dari artikel 'Banyak Puasa di Bulan Muharram, Adakah Tuntunan? — Muslim.Or.Id'alah di antara bulan haram. Amalan sholih yang diperintahkan saat itu adalah berpuasa. Dan ada anjuran m

Dari artikel 'Banyak Puasa di Bulan Muharram, Adakah Tuntunan? — Muslim.Or.Id'alah di antara bulan haram. Amalan sholih yang diperintahkan saat itu adalah berpuasa. Dan ada anjuran m

Dari artikel 'Banyak Puasa di Bulan Muharram, Adakah Tuntunan? — Muslim.Or.Id'valah di antara bulan haram. Amalan sholih yang diperintahkan saat itu adalah berpuasa. Dan ada anjuran m

Dari artikel 'Banyak Puasa di Bulan Muharram, Adakah Tuntunan? — Muslim.Or.Id'alah di antara bulan haram. Amalan sholih yang diperintahkan saat itu adalah berpuasa. Dan ada anjuran m

Dari artikel 'Banyak Puasa di Bulan Muharram, Adakah Tuntunan? — Muslim.Or.Id'alah di antara bulan haram. Amalan sholih yang diperintahkan saat itu adalah berpuasa. Dan ada anjuran m

Dari artikel 'Banyak Puasa di Bulan Muharram, Adakah Tuntunan? — Muslim.Or.Id'alah di antara bulan haram. Amalan sholih yang diperintahkan saat itu adalah berpuasa. Dan ada anjuran m

Dari artikel 'Banyak Puasa di Bulan Muharram, Adakah Tuntunan? — Muslim.Or.Id'alah di antara bulan haram. Amalan sholih yang diperintahkan saat itu adalah berpuasa. Dan ada anjuran m

Dari artikel 'Banyak Puasa di Bulan Muharram, Adakah Tuntunan? — Muslim.Or.Id'alah di antara bulan haram. Amalan sholih yang diperintahkan saat itu adalah berpuasa. Dan ada anjuran m

Dari artikel 'Banyak Puasa di Bulan Muharram, Adakah Tuntunan? — Muslim.Or.Id'alah di antara bulan haram. Amalan sholih yang diperintahkan saat itu adalah berpuasa. Dan ada anjuran m

Dari artikel 'Banyak Puasa di Bulan Muharram, Adakah Tuntunan? — Muslim.Or.Id'alah di antara bulan haram. Amalan sholih yang diperintahkan saat itu adalah berpuasa. Dan ada anjuran m

Dari artikel 'Banyak Puasa di Bulan Muharram, Adakah Tuntunan? — Muslim.Or.Id'alah di antara bulan haram. Amalan sholih yang diperintahkan saat itu adalah berpuasa. Dan ada anjuran m

Dari artikel 'Banyak Puasa di Bulan Muharram, Adakah Tuntunan? — Muslim.Or.Id'alah di antara bulan haram. Amalan sholih yang diperintahkan saat itu adalah berpuasa. Dan ada anjuran m

Dari artikel 'Banyak Puasa di Bulan Muharram, Adakah Tuntunan? — Muslim.Or.Id'alah di antara bulan haram. Amalan sholih yang diperintahkan saat itu adalah berpuasa. Dan ada anjuran m

Dari artikel 'Banyak Puasa di Bulan Muharram, Adakah Tuntunan? — Muslim.Or.Id'alah di antara bulan haram. Amalan sholih yang diperintahkan saat itu adalah berpuasa. Dan ada anjuran m

















Artikel : hikayahhati.blogspot.com

Macam macam RIBA

Untuk memperjelas pembahasan riba, perlu disebutkan secara detail tentang pembagian riba, masalah-masalah yang terkait dengannya, dan perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini.








Riba ada beberapa macam:
Mengembalikan uang yang dipinjam dengan jumlah lebih banyak, inilah bentuk riba yang sering kita lihat di sekitar kita. Ternyata tidak hanya ini bentuk riba. Ada beberapa macam lagi bentuk riba dan bisa terjadi dalam beberapa transaksi. Apa saja itu? Untuk memperjelas pembahasan riba, perlu disebutkan secara detail tentang pembagian riba, masalah-masalah yang terkait dengannya, dan perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini.
Riba ada beberapa macam:
Riba Dain (Riba dalam Hutang Piutang)
Riba ini disebut juga dengan riba jahiliyah, sebab riba jenis inilah yang terjadi pada jaman jahiliyah.
Riba ini ada dua bentuk:
a. Penambahan harta sebagai denda dari penambahan tempo (bayar hutangnya atau tambah nominalnya dengan mundurnya tempo).
Misal: Si A hutang Rp 1 juta kepada si B dengan tempo 1 bulan. Saat jatuh tempo si B berkata: “Bayar hutangmu. ” Si A menjawab: “Aku tidak punya uang. Beri saya tempo 1 bulan lagi dan hutang saya menjadi Rp 1. 100. 000. ” Demikian seterusnya.
Sistem ini disebut dengan riba mudha’afah (melipatgandakan uang). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda. ” (Ali ‘Imran: 130)
b. Pinjaman dengan bunga yang dipersyaratkan di awal akad
Misalnya: Si A hendak berhutang kepada si B. Maka si B berkata di awal akad: “Saya hutangi kamu Rp 1 juta dengan tempo satu bulan, dengan pembayaran Rp 1. 100. 000. ”
Riba jahiliyah jenis ini adalah riba yang paling besar dosanya dan sangat tampak kerusakannya. Riba jenis ini yang sering terjadi pada bank-bank dengan sistem konvensional yang terkenal di kalangan masyarakat dengan istilah “menganakkan uang. ” Wallahul musta’an.
Faedah penting:
Termasuk riba dalam jenis ini adalah riba qardh (riba dalam pinjam meminjam). Gambarannya, seseorang meminjamkan sesuatu kepada orang lain dengan syarat mengembalikan dengan yang lebih baik atau lebih banyak jumlahnya.
Misal: Seseorang meminjamkan pena seharga Rp. 1000 dengan syarat akan mengembalikan dengan pena yang seharga Rp. 5000. Atau meminjamkan uang seharga Rp 100. 000 dan akan dikembalikan Rp 110. 000 saat jatuh tempo.
Ringkasnya, setiap pinjam meminjam yang mendatangkan keuntungan adalah riba, dengan argumentasi sebagai berikut:
1. Hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا
“Setiap pinjaman yang membawa keuntungan adalah riba. ”
Hadits ini dha’if. Dalam sanadnya ada Sawwar bin Mush’ab, dia ini matruk (ditinggalkan haditsnya). Lihat Irwa`ul Ghalil (5/235-236 no. 1398).
Namun para ulama sepakat sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Hazm, Ibnu Abdil Barr dan para ulama lain, bahwa setiap pinjam meminjam yang di dalamnya dipersyaratkan sebuah keuntungan atau penambahan kriteria (kualitas) atau penambahan nominal (kuantitas) termasuk riba.
2. Tindakan tersebut termasuk riba jahiliyah yang telah lewat penyebutannya dan termasuk riba yang diharamkan berdasarkan Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama.
3. Pinjaman yang dipersyaratkan adanya keuntungan sangat bertentangan dengan maksud dan tujuan mulia dari pinjam meminjam yang Islami yaitu membantu, mengasihi, dan berbuat baik kepada saudaranya yang membutuhkan pertolongan. Pinjaman itu berubah menjadi jual beli yang mencekik orang lain. Meminjami orang lain Rp. 10. 000 dibayar Rp. 11. 000 sama dengan membeli Rp. 10. 000 dibayar Rp. 11. 000.
Ada beberapa kasus yang masuk pada kaidah ini, di antaranya:
a. Misalkan seseorang berhutang kepada syirkah (koperasi) Rp 10. 000. 000 dengan bunga 0% (tanpa bunga) dengan tempo 1 tahun. Namun pihak syirkah mengatakan: “Bila jatuh tempo namun hutang belum terlunasi, maka setiap bulannya akan dikenai denda 5%. ”
Akad ini adalah riba jahiliyah yang telah lewat penyebutannya. Dan cukup banyak syirkah (koperasi) atau yayasan yang menerapkan praktik semacam ini.
b. Meminjami seseorang sejumlah uang tanpa bunga untuk modal usaha dengan syarat pihak yang meminjami mendapat prosentase dari laba usaha dan hutang tetap dikembalikan secara utuh.
Modus lain yang mirip adalah memberikan sejumlah uang kepada seseorang untuk modal usaha dengan syarat setiap bulannya dia (yang punya uang) mendapatkan –misalnya– Rp 1 juta, baik usahanya untung atau rugi.
Sistem ini yang banyak terjadi pada koperasi, BMT, bahkan bank-bank syariah pun menerapkan sistem ini dengan istilah mudharabah (bagi hasil).
Mudharabah yang syar’i adalah: Misalkan seseorang memberikan modal Rp. 10 juta untuk modal usaha dengan ketentuan pemodal mendapatkan 50% atau 40% atau 30% (sesuai kesepakatan) dari laba hasil usaha. Bila menghasilkan laba maka dia mendapatkannya, dan bila ternyata rugi maka kerugian itu ditanggung bersama (loss & profit sharing). Hal ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang Yahudi Khaibar. Wallahul muwaffiq.
Adapun transaksi yang dilakukan oleh mereka, pada hakekatnya adalah riba dain/qardh ala jahiliyah yang dikemas dengan baju indah nan Islami bernama mudharabah. Wallahul musta’an.
c. Mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan
Misal: Si A meminjam uang Rp 10 juta kepada si B (pegadaian) dengan menggadaikan sawahnya seluas 0,5 ha. Lalu pihak pegadaian memanfaatkan sawah tersebut, mengambil hasilnya, dan apa yang ada di dalamnya sampai si A bisa mengembalikan hutangnya. Tindakan tersebut termasuk riba, namun dikecualikan dalam dua hal:
1. Bila barang yang digadaikan itu perlu pemeliharaan atau biaya, maka barang tersebut bisa dimanfaatkan sebagai ganti pembiayaan. Misalnya yang digadaikan adalah seekor sapi dan pihak pegadaian harus mengeluarkan biaya untuk pemeliharaan. Maka pihak pegadaian boleh memerah susu dari sapi tersebut sebagai ganti biaya perawatan. Dalilnya hadits riwayat Al-Bukhari dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُوْنًا، وَلَبَنُ الدُّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا
“Kendaraan yang tergadai boleh dinaiki (sebagai ganti) nafkahnya, dan susu hewan yang tergadai dapat diminum (sebagai ganti) nafkahnya. ”
2. Tanah sawah yang digadai akan mengalami kerusakan bila tidak ditanami, maka pihak pegadaian bisa melakukan sistem mudharabah syar’i dengan pemilik tanah sesuai kesepakatan yang umum berlaku di kalangan masyarakat setempat tanpa ada rasa sungkan. Misalnya yang biasa berlaku adalah 50%. Bila sawah yang ditanami pihak pegadaian tadi menghasilkan, maka pemilik tanah dapat 50%. Namun bila si pemilik tanah merasa tidak enak karena dihutangi lalu dia hanya mengambil 25% saja, maka ini tidak diperbolehkan. Wallahu a’lam bish-shawab.
Riba Fadhl
Definisinya adalah adanya tafadhul (selisih timbangan) pada dua perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya tamatsul (kesamaan timbangan/ukuran) padanya.
Riba jenis ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba khafi (samar), sebab riba ini merupakan pintu menuju riba nasi`ah.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum riba fadhl. Yang rajih tanpa keraguan lagi adalah pendapat jumhur ulama bahwa riba fadhl adalah haram dengan dalil yang sangat banyak. Di antaranya:
1. Hadits ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim:
لاَ تَبِيْعُوا الدِّيْنَارَ بِالدِّيْنَارَيْنِ وَلاَ الدِّرْهَمَ بِالدِّرْهَمَيْنِ
“Jangan kalian menjual satu dinar dengan dua dinar, jangan pula satu dirham dengan dua dirham. ”
Juga hadits-hadits yang semakna dengan itu, di antaranya:
a. Hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu yang muttafaq ‘alaih.
b. Hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim.
Juga hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, Sa’d bin Abi Waqqash, Abu Bakrah, Ma’mar bin Abdillah dan lain-lain, yang menjelaskan tentang keharaman riba fadhl, tersebut dalam Ash-Shahihain atau salah satunya.
Adapun dalil pihak yang membolehkan adalah hadits Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anhu:
إِنَّمَا الرِّبَا فِي النَّسِيْئَةِ
“Sesungguhnya riba itu hanya pada nasi`ah (tempo). ”
Maka ada beberapa jawaban, di antaranya:
a. Makna hadits ini adalah tidak ada riba yang lebih keras keharamannya dan diancam dengan hukuman keras kecuali riba nasi`ah. Sehingga yang ditiadakan adalah kesempurnaan, bukan wujud asal riba.
b. Hadits tersebut dibawa kepada pengertian: Bila jenisnya berbeda, maka diperbolehkan tafadhul (selisih timbangan) dan diharamkan adanya nasi`ah.
Ini adalah jawaban Al-Imam Asy-Syafi’i, disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dari gurunya, Sulaiman bin Harb. Jawaban ini pula yang dirajihkan oleh Al-Imam Ath-Thabari, Al-Imam Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Qudamah, dan sejumlah ulama besar lainnya.
Jawaban inilah yang mengompromikan antara hadits yang dzahirnya bertentangan. Wallahul muwaffiq.
Riba Nasi`ah (Tempo)
Yaitu adanya tempo pada perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya taqabudh (serah terima di tempat).
Riba ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba jali (jelas) dan para ulama sepakat tentang keharaman riba jenis ini dengan dasar hadits Usamah bin Zaid di atas. Banyak ulama yang membawakan adanya kesepakatan akan haramnya riba jenis ini.
Riba fadhl dan riba nasi`ah diistilahkan oleh para fuqaha dengan riba bai’ (riba jual beli). Kaidah Seputar Dua Jenis Riba
1. Perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya tamatsul, maka tidak boleh ada unsur tafadhul padanya, sebab bisa terjatuh pada riba fadhl. Misal: Tidak boleh menjual 1 dinar dengan 2 dinar, atau 1 kg kurma dengan 1,5 kg kurma.
2. Perkara yang diwajibkan adanya tamatsul maka diharamkan adanya nasi`ah (tempo), sebab bisa terjatuh pada riba nasi`ah dan fadhl, bila barangnya satu jenis. Misal: Tidak boleh menjual emas dengan emas secara tafadhul, demikian pula tidak boleh ada unsur nasi`ah.
3. Bila barangnya dari jenis yang berbeda maka disyaratkan taqabudh (serah terima di tempat) saja, yakni boleh tafadhul namun tidak boleh nasi`ah. Misalnya, menjual emas dengan perak, atau kurma dengan garam. Transaksi ini boleh tafadhul namun tidak boleh nasi`ah.
Ringkasnya:
a. Beli emas dengan emas secara tafadhul berarti terjadi riba fadhl.
b. Beli emas dengan emas secara tamatsul namun dengan nasi`ah (tempo), maka terjadi riba nasi`ah.
c. Beli emas dengan emas secara tafadhul dan nasi`ah, maka terjadi kedua jenis riba yaitu fadhl dan nasi`ah.
Hal ini berlaku pada barang yang sejenis. Adapun yang berbeda jenis hanya terjadi riba nasi`ah saja, sebab tidak disyaratkan tamatsul namun hanya disyaratkan taqabudh. Wallahu a’lam.
Untuk lebih memahami masalah ini, kita perlu menglasifikasikan barang-barang yang terkena riba yaitu emas, perak (masuk di sini mata uang), kurma, burr (gandum), sya’ir dan garam menjadi dua bagian:
Bagian pertama: emas, perak (dan mata uang masuk di sini).
Bagian kedua: kurma, burr, sya’ir, dan garam.
Keterangannya:
1. Masing-masing dari keenam barang di atas disebut satu jenis; jenis emas, jenis perak, jenis mata uang, jenis kurma, demikian seterusnya. Kaidahnya: bila jual beli barang sejenis, misal emas dengan emas, kurma dengan kurma dst, maka diwajibkan adanya dua hal: tamatsul dan taqabudh.
2. Jual beli lain jenis pada bagian pertama atau bagian kedua, hanya disyaratkan taqabudh dan boleh tafadhul.
Misalnya, emas dengan perak atau sebaliknya, emas dengan mata uang atau sebaliknya, perak dengan mata uang atau sebaliknya. Ini untuk bagian pertama.
Misal untuk bagian kedua: Kurma dengan burr atau sebaliknya, sya’ir dengan garam atau sebaliknya, kurma dengan sya’ir, kurma dengan garam atau sebaliknya.
Dalil dua keterangan ini adalah hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu 'anhu, yang diriwayatkan oleh Muslim (no. 1587). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ اْلأَجْنَاسُ فَبِيْعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal (tamatsul), tangan dengan tangan (taqabudh). Namun bila jenis-jenis ini berbeda, maka juallah terserah kalian (dengan syarat) bila tangan dengan tangan (kontan). ”
3. Jual beli bagian pertama dengan bagian kedua atau sebaliknya, diperbolehkan tafadhul dan nasi`ah (tempo).
Misalnya membeli garam dengan uang, kurma dengan uang, dan seterusnya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama yang dinukil oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah, Nashr Al-Maqdisi, Al-Imam An-Nawawi, dan sejumlah ulama lain. Dalil mereka adalah sistem salam, yaitu menyerahkan uang di awal akad untuk barang tertentu, dengan sifat tertentu, dengan timbangan tertentu dan diserahkan pada tempo tertentu.
Telah maklum bahwa alat bayar masa itu adalah dinar (mata uang emas) dan dirham (mata uang perak), dan barang yang sering diminta adalah kurma atau sya’ir atau burr (jenis barang yang terkena hukum riba).
Di antara dalilnya juga adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu 'anha:
إِنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُوْدِيٍّ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيْدٍ
“Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli makanan dari seorang Yahudi dan menggadaikan baju perang dari besi kepadanya. ” (Muttafaqun ‘alaih)
Makanan yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beli di sini adalah sya’ir (termasuk jenis yang terkena hukum riba) sebagaimana lafadz lain dari riwayat di atas, dalam keadaan beliau tidak punya uang (yang waktu itu berupa emas atau perak). Beliau mengambil barang itu secara tempo dengan menggadaikan baju besinya. Wallahu a’lam. Ash-Sharf (Money Changer)
Ash-sharf secara bahasa berarti memindah dan mengembalikan. Sedangkan secara istilah fuqaha, definisi ash-sharf adalah jual beli alat bayar (emas, perak dan mata uang) dengan alat bayar sejenis atau beda jenis.
Ulama Syafi’iyyah dan yang lainnya membedakan: bila sejenis (emas dengan emas, perak dengan perak) disebut murathalah dan bila beda jenis (emas dengan perak atau sebaliknya) disebut ash-sharf.
Adapun mata uang dengan mata uang lebih dominan disebut ash-sharf.
Telah dijelaskan di atas bahwa naqd (alat bayar) adalah salah satu bagian dari dua bagian hasil klasifikasi barang-barang jenis riba. Telah dijelaskan pula bahwa bila terjadi jual beli sesama jenis maka harus tamatsul dan taqabudh, dan bila lain jenis harus taqabudh boleh tafadhul.
Yang perlu dipahami adalah bahwa masing-masing mata uang yang beredar di dunia ini adalah jenis tersendiri (rupiah jenis tersendiri, real jenis tersendiri, dst. ). Sehingga bila terjadi tukar-menukar uang sejenis haruslah taqabudh dan tamatsul. Misalnya, uang Rp. 100. 000,00 ditukar dengan pecahan Rp. 10. 000,00, maka nominalnya harus sama. Bila tidak, berarti terjatuh dalam riba fadhl. Selain itu juga harus serah terima di tempat. Bila tidak, berarti terjatuh dalam riba nasi`ah. Bila tidak tamatsul dan tidak taqabudh, berarti terjatuh dalam riba fadhl dan riba nasi`ah sekaligus.
Namun bila mata uangnya berlainan jenis (misal dolar ditukar dengan rupiah), maka harus taqabudh dan boleh tafadhul. Misalnya, 1 dolar bernilai Rp. 10. 000,00, bisa ditukar Rp. 9. 500,00 atau Rp. 10. 500,00, namun harus serah terima di tempat. Wallahu a’lam.
Masalah 1: Taqabudh (serah terima di tempat) dalam bab ash-sharf adalah syarat sah.
Ini adalah pendapat mayoritas besar ulama, bahkan dinukilkan adanya ijma’. Namun Ibnu ‘Ulayyah berpendapat boleh berpisah tanpa taqabudh, sebagaimana dinukil oleh Al-Imam An-Nawawi.
Dalil jumhur ulama adalah:
1. Hadits Al-Bara` bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam radhiyallahu 'anhum:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الذَّهَبِ بِالْوَرِقِ دَيْنًا
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli emas dengan perak secara hutang. ” (Muttafaqun ‘alaih)
2. Hadits Abu Bakrah radhiyallahu 'anhu, dia berkata:
أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَشْتَرِيَ الْفِضَّةَ بِالذَّهَبِ كَيْفَ شِئْنَا وَنَشْتَرِيَ الذَّهَبَ بِالْفِضَّةِ كَيْفَ شِئْنَا يَدًا بِيَدٍ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk membeli perak dengan emas sekehendak kami dan membeli emas dengan perak sekehendak kami, bila tangan dengan tangan (taqabudh/serah terima di tempat). ” (Muttafaqun ‘alaih)
Dengan dasar di atas, maka tidak boleh jual-beli emas dengan perak dengan sistem tempo bila alat bayarnya adalah mata uang. Begitu pula tidak boleh jual-beli mata uang secara tempo bila alat bayarnya adalah emas atau perak. Ini adalah fatwa para ulama kontemporer. Wallahul muwaffiq.
Masalah 2: Apakah taqabudh harus segera ataukah boleh ada masa jeda?
Yang rajih dari pendapat para ulama adalah pendapat jumhur bahwa taqabudh itu boleh tarakhi (ada masa jeda setelah akad), walaupun sehari, dua hari, atau tiga hari, ataupun berpindah tempat, selama kedua pihak masih belum berpisah. Dalilnya adalah sebagai berikut:
1. Disebutkan dalam Ash-Shahihain bahwa Malik bin Aus bin Hadatsan radhiyallahu ‘anhu datang sambil berkata: “Siapa yang mau menukar dirham?” Maka Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu berkata –dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berada di sisinya–: “Tunjukkan kepadaku emasmu, kemudian nanti engkau datang lagi setelah pembantuku datang, lalu aku berikan perak kepadamu. ” ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pun menimpali: “Tidak boleh. Demi Allah, engkau berikan perak kepadanya atau engkau kembalikan emasnya. ”
Dalam lafadz Al-Bukhari disebutkan: Thalhah pun mengambil emas tersebut, lalu dia bolak-balikkan di telapak tangannya dan berkata: “Nanti hingga pembantuku datang dari hutan. ” ‘Umar lalu berkata: “Demi Allah, engkau tidak boleh berpisah dengannya sampai engkau mengambil (perak dari pembantumu). ” ‘Umar kemudian menyebutkan hadits:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ
“Emas dengan emas adalah riba, kecuali ha` (berikan) dengan ha` (ambil). ”
2. Ucapan ‘Umar dengan sanad yang shahih: “Bila salah seorang dari kalian melakukan ash-sharf dengan temannya, maka janganlah berpisah dengannya hingga dia mengambilnya. Bila dia meminta tunggu hingga masuk rumahnya, jangan beri dia masa tunggu tadi. Sebab saya khawatir engkau terkena riba. ”
Pendapat ini dirajihkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani dalam An-Nail. Wallahu a’lam.
Yang dimaksud dengan majelis akad adalah tempat jual beli, baik keduanya berjalan, berdiri, duduk atau dalam kendaraan. Sementara yang dimaksud dengan berpisah di sini adalah pisah badan, dan hal itu kembali kepada kebiasaan masyarakat setempat (‘urf).
Bila pihak money changer tidak punya sisa uang dan harus pergi ke tempat lain, maka pihak penukar/pembeli wajib mengiringinya ke mana dia pergi hingga terjadi taqabudh (serah terima) di tempat yang dituju dan menyempurnakan sisa kekurangannya. Wallahul muwaffiq.
Masalah 3: Bila sebagian uang telah diterima dan sisanya tertunda, apakah sah akad tukar-menukarnya/ akad ash-sharfnya?
Pendapat Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i dan kalangan Azh-Zhahiriyyah menyatakan: Bila sharf tidak dapat diserahterimakan seluruhnya, maka akadpun harus batal seluruhnya.
Sementara Abu Hanifah dan dua muridnya, serta satu sisi pendapat yang dikuatkan dalam madzhab Hanbali menyatakan: Yang sudah diterima akadnya sah, sementara yang belum diterima, akadnya tidak sah.
Yang rajih insya Allah adalah pendapat kedua, dan ini yang dikuatkan An-Nawawi serta Ar-Ruyani dari kalangan Syafi’iyyah. Sebab, hukum itu berjalan bersama dengan ‘illat (sebab-sebabnya). Bila terpenuhi persyaratan sahnya maka akadnya pun sah, wallahu a’lam. Pendapat ini juga dirajihkan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah.
Masalah 4: Apakah ada khiyar dalam bab ash-sharf?
Adapun khiyar majlis, jumhur ulama berpendapat bahwa khiyar majlis dalam bab ash-sharf itu ada. Selama dalam majlis akad, kedua belah pihak dapat menggagalkan akad hingga keduanya saling berpisah.
Mereka berhujjah dengan hadits Hakim bin Hizam radhiyallahu 'anhu:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا
“Penjual dan pembeli (punya) khiyar selama keduanya belum berpisah. ” (Muttafaqun ‘alaih)
Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah.
Adapun tentang khiyar syarat, misalnya menukar dolar dengan rupiah lalu sang penukar mengatakan: “Dengan syarat, saya punya hak khiyar selama tiga hari. Bila tidak cocok maka saya kembalikan lagi,” maka jumhur berpendapat bahwa bila dalam perkara yang dipersyaratkan adanya taqabudh seperti bab ash-sharf, maka tidak boleh. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah.
Masalah ini perlu perincian:
1. Bila dia sudah melakukan akad jual-beli dengan sempurna lalu minta syarat, maka lebih baik dia tinggalkan walaupun secara dalil tidak ada yang melarang karena sudah ada taqabudh dalam akad.
2. Bila dia bawa barangnya terlebih dahulu sebelum terjadinya akad, lalu bermusyawarah dengan keluarga atau yang lainnya, setelah itu dia melakukan transaksi dengan taqabudh, maka tidak mengapa.
Ini adalah solusi terbaik yang disampaikan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Wallahu a’lam.
Masalah 5: Akad ash-sharf via telepon dan yang semisalnya.
Masalah ini perlu perincian:
1. Bila yang dimaukan hanya memesan barang atau semacam janji untuk membeli barang, tanpa akad yang sempurna, maka diperbolehkan. Karena ‘pesan’ atau ‘janji’ tidaklah termasuk akad jual beli. Sang penjual punya hak menjualnya kepada orang lain dan sang pembeli punya hak untuk membatalkan ‘janji’ itu. Demikian pendapat Ibnu Hazm, Ibnu Rusyd, dan fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah, dan inilah pendapat yang shahih. Sementara Al-Imam Malik memakruhkannya.
2. Bila yang dimaksud adalah akad jual-beli secara sempurna, maka hukumnya haram, sebab tidak ada unsur taqabudh. Dan ini merupakan riba nasi`ah. Demikian fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah.
Masalah 6: Uang muka dalam bab ash-sharf.
Bila yang diinginkan dengan uang muka/downpayment (DP) adalah transaksi secara sempurna maka hukumnya haram karena tidak ada unsur taqabudh. Sedangkan bila yang diinginkan adalah amanah atau simpanan, lalu penyerahan pembayaran total dilakukan pada saat akad serah terima barang, maka hal ini tidak mengapa. Wallahu a’lam.
Masalah 7: Apakah disyaratkan adanya barang di tempat dalam bab ash-sharf?
Pendapat yang rajih adalah pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa diperbolehkan akad ash-sharf walaupun tidak ada barang di tempat, atau barang dikirimkan setelah itu, atau dengan meminjam kepada orang lain, dan kemudian diserahkan. Yang penting adalah adanya taqabudh dalam majelis akad sebelum berpisah.
Hujjah mereka adalah bahwa yang dipersyaratkan dalam bab ash-sharf adalah taqabudh, dan hal itu telah terjadi dalam transaksi di atas. Wallahu a’lam.
Hiwalah Mashrafiyyah (Transfer Valas)
Gambarannya, seseorang datang ke money changer ingin mengirim sejumlah uang ke Yaman –misalnya–. Masalah ini mempunyai dua keadaan:
1. Orang yang dikirimi menerima mata uang yang sama. Misalnya, dari Indonesia mengirimkan uang 1000 dolar ke Yaman. Pihak penerima di Yaman menerimanya dengan mata uang yang sama.
Para ulama memasukkan keadaan ini ke dalam salah satu masalah berikut:
a. Masalah hiwalah secara fiqih
b. Masalah ijarah (sewa jasa)
c. Sesuatu yang dahulu dikenal dengan istilah saftajah.
Keadaan ini diperbolehkan.
2. Pihak yang dikirimi menerima dalam bentuk mata uang yang berbeda. Misalnya, dari Indonesia mengirim uang Rp. 10 juta ke Yaman. Sedangkan pihak penerima di Yaman menerimanya dalam bentuk uang 900 dolar (misalnya).
Masalah ini diperselisihkan oleh para ulama kontemporer:
 Sebagian mereka melarangnya, karena keadaan ini mengandung unsur hiwalah dan ash-sharf, padahal dalam ash-sharf disyaratkan adanya taqabudh. Sedangkan pada keadaan di atas tidak ada unsur taqabudh.
Ini adalah fatwa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan dzahir fatwa Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Ini juga fatwa Syaikhuna Yahya Al-Hajuri hafizhahullah.
 Mayoritas ulama kontemporer berfatwa tentang kebolehannya, karena kebutuhan dan keadaan darurat.
Namun tidak diragukan lagi bahwa yang lebih selamat bagi agama seseorang dan sebagai upaya menghindari pintu riba adalah dia tidak melakukan transaksi seperti ini.
Para ulama memberikan beberapa solusi, di antaranya:
1. Mensyaratkan kepada pihak penyelenggara jasa transfer untuk mengirimkan mata uang yang sama ke tempat yang dituju. Dan ini mungkin dilakukan dengan cara memberikan uang jasa kepada mereka.
2. Menukar mata uangnya terlebih dahulu, baru dia kirim dengan mata uang yang diinginkan.
Misalnya seseorang mempunyai uang Rp. 10 juta hendak dikirim ke Arab Saudi dalam bentuk real. Maka dia tukar terlebih dahulu uang rupiahnya itu dengan real Saudi, baru dia minta pihak penyelenggara jasa (misal Western Union) mengirimkannya dalam bentuk real Saudi. Bila dia telah yakin akan sampai di Arab Saudi dalam bentuk real, namun ternyata sampai dalam bentuk rupiah, maka tidak mengapa bagi penerima untuk mengambil rupiah itu karena keadan darurat. Wallahu a’lam.
Masalah 8: Bagaimana bila sebuah mata uang tidak bisa keluar dari negerinya karena larangan pemerintah setempat, atau karena tidak ada nilainya di luar negeri?
Misalnya, seseorang mempunyai sejumlah uang real Saudi dan hendak mengirimkannya ke Indonesia dalam bentuk rupiah. Dia ingin menukar real Saudi dengan rupiah, namun karena rupiah jatuh, tidak ada satupun money changer yang mau. Solusinya adalah:
1. Dia langsung mengirim dalam bentuk real Saudi ke Indonesia. Penerima di Indonesia menerima real tersebut, kemudian ditukar dengan rupiah di Indonesia.
2. Atau, bila real Saudi tidak bisa keluar, maka dia tukar real dengan dolar –misalnya– lalu dia kirimkan dolar ke Indonesia. Penerima di Indonesia menerimanya dalam bentuk dolar, kemudian ditukar dengan rupiah di Indonesia.
Wallahul muwaffiq.
Penggunaan Cek dalam Ash-Sharf
Dari permasalahan hiwalah mashrafiyyah di atas, muncul masalah kontemporer yang sangat masyhur, yaitu menggunakan kertas cek dalam bab ash-sharf, baik dalam jual beli emas dan perak, maupun tukar-menukar mata uang dengan cek.
Permasalahan ini dibahas oleh para ulama, khusus dalam hal cek resmi yang diakui atau dikeluarkan oleh pihak bank. Adapun cek palsu atau yang tidak diakui pihak bank, maka jelas larangannya.
Para ulama berbeda pandangan dalam masalah ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa dalam masalah ash-sharf atau yang dipersyaratkan adanya taqabudh, tidak boleh ada hiwalah (kiriman barang dari satu pihak kepada pihak kedua).
Dalam masalah cek, apakah sudah terjadi taqabudh (serah terima) yang hakiki ataukah tidak?
Sebagian ulama masa kini semisal Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berpendapat bahwa muamalah jual beli emas dan perak atau mata uang menggunakan cek adalah tidak boleh. Karena, cek bukanlah taqabudh hakiki, melainkan hanya bukti hiwalah saja. Terbukti, bila cek tersebut hilang, dia bisa minta lagi cek dengan nominal yang sama. Namun beliau mengecualikan cek yang resmi dari bank maka tidak mengapa, asalkan sang penjual yang menerima cek dari pembeli langsung menghubungi bank dan mengatakan: “Biarkan uang itu sebagai simpanan di situ. ”
Ulama yang melarang beralasan dengan beberapa hal sebagai berikut:
1. Bila cek itu rusak atau hilang sebelum uang dengan nominal yang tercantum itu diambil, maka sang pemegang cek akan kembali kepada yang memberi cek. Bila cek tersebut adalah serah terima hakiki layaknya mata uang, niscaya dia tidak akan kembali ketika hilang atau rusak.
2. Terkadang cek tersebut ditarik tanpa nominal (cek kosong), maka jelas tidak ada serah terima yang hakiki.
3. Terkadang pula orang yang menukar cek ditolak, sehingga juga tidak ada serah terima yang hakiki.
4. Cek tidak termasuk kertas alat bayar layaknya mata uang, namun hanya kertas yang berisikan nominal mata uang.
Sementara itu, mayoritas ulama dan fuqaha zaman ini serta para pakar ekonomi berpendapat bahwa cek mengandung qabdh (serah terima) yang sempurna lagi hakiki, sehingga dapat bertransaksi menggunakan cek dalam bab ash-sharf. Alasan mereka adalah sebagai berikut:
1. Sesungguhnya dalam syariat disebutkan masalah qabdh (serah terima), namun tidak ditentukan batasannya. Tidak pula diikat dengan kriteria tertentu. Rujukan hukum-hukum yang bersifat umum seperti ini adalah kebiasaan setempat. Sementara secara kebiasaan yang terjadi di kalangan pebisnis, cek adalah serah terima yang sempurna terhadap apa yang terkandung di dalamnya.
2. Cek yang resmi dan diakui tidaklah akan dikeluarkan kecuali setelah diyakini adanya debet-kredit pemilik cek pada sebuah bank. Dan ini yang dimaksud dengan hiwalah dalam fiqih Islami .
3. Keadaan darurat membuat cek tersebut dijadikan sebagai serah terima yang hakiki. Kaidah ini ada dalam syariat, yaitu: “Keadaan darurat membolehkan perkara yang haram”, “Kebutuhan yang umum memiliki hukum darurat”, “Kesulitan mendatangkan kemudahan”, “Bila perkaranya menjadi sempit maka datanglah keluasan. ” Kaidah-kaidah seperti ini diambil dari kemudahan-kemudahan Islam yang tertuang dalam banyak dalil, di antaranya:
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Sesungguhnya bersama kesusahan ada kemudahan. ” (Al-Insyirah: 6)
Juga ayat:
يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki untuk kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. ” (Al-Baqarah: 185)
4. Memudahkan perjalanan bisnis dan mengurangi resiko serta penjagaan terhadap harta benda yang dapat memotivasi para pebisnis untuk melangsungkan bisnisnya dan menunjukkan kemudahan-kemudahan Islam.
Pendapat ini adalah kesepakatan Majma’ Al-Fiqh Al-Islami pada Rabithah ‘Alam Islami, yang dipimpin oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz. Juga pada fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah yang diketuai Asy-Syaikh Ibnu Baz, yang beranggotakan Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh Ibnu Qu’ud, dan Asy-Syaikh Al-Ghudayyan. Mereka beralasan karena kebutuhan umum.
Bila menilik kepada dalil-dalil syar’i, maka yang rajih adalah pendapat yang melarang. Namun dari sisi kebutuhan dan keadaan yang darurat maka diperbolehkan. Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim tidak bermuamalah dengan cara ini kecuali dalam keadaan darurat saja. Wallahul muwaffiq. Jual-beli Valas (Valuta Asing)
Dari uraian-uraian di atas, kita dapat memahami hukum jual-beli valas secara syar’i dengan penjabaran sebagai berikut:
1. Bila jual-beli valas dari mata uang sejenis, misalnya dolar dengan dolar, maka disyaratkan adanya tamatsul dan taqabudh.
2. Bila dari jenis mata uang yang berbeda, misalnya rupiah dengan dolar, atau dolar dengan poundsterling, hanya disyaratkan adanya taqabudh.
Dengan dasar kaidah di atas, maka:
a. Tidak mengapa menanti naik-turunnya kurs sebuah mata uang yang dikehendaki, bila terpenuhi persyaratannya secara syar’i di atas ketika transaksi.
b. Tidak diperbolehkan transaksi via transfer ATM atau sejenisnya, sebab tidak terjadi taqabudh yang disyaratkan.
c. Tidak boleh terjadi pertaruhan berbau judi dalam jual beli valas.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Demikian penjelasan ringkas seputar masalah riba. Sebenarnya masih banyak permasalahan yang perlu diangkat, namun karena keterbatasan lembar majalah ini maka kami cukupkan sampai di sini. Selebihnya dapat merujuk karya-karya para ulama dalam masalah ini. Semoga bermanfaat.
Wallahul muwaffiq.
Maraji’:
1. Syarhul Buyu’, hal. 124 dst
2. Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, juz 13, 14 dan 15
3. Hasyiyah As-Sindi ‘ala Sunan An-Nasa`i
4. As-Sunnah karya Al-Marwazi
1 Namun jumhur ulama melarang adanya hiwalah dalam bab ash-sharf (pen).

Artikel : http://hikayahhati.blogspot.com/

Istri Durhaka !!! ini ciri-cirinya

Perilaku para istri dijaman sekarang kebanyakan tapi
tidak semua melenceng dari syariat islam. hal ini mungkin dikarenakan
berbagai sebab diantaranya karena kurangnya ilmu ,nilai keimanan ,karena
contoh dari sinetron yang kebanyakan tak sesuai dengan syariat islam
,karena pergaulan yang salah.


Berikut ada 10 kesalahan istri yang umum di masyarakat kita:
1. Menuntut keluarga yang ideal dan sempurna
Sebelum menikah, seorang wanita membayangkan
pernikahan yang begitu indah, kehidupan yang sangat romantis sebagaimana
ia baca dalam novel maupun ia saksikan dalam sinetron-sinetron.
Ia memiliki gambaran yang sangat ideal dari sebuah
pernikahan. Kelelahan yang sangat, cape, masalah keuangan, dan segudang
problematika di dalam sebuah keluarga luput dari gambaran nya.
Ia hanya membayangkan yang indah-indah dan enak-enak dalam sebuah perkawinan.





Akhirnya, ketika ia harus menghadapi semua itu, ia
tidak siap. Ia kurang bisa menerima keadaan, hal ini terjadi
berlarut-larut, ia selalu saja menuntut suaminya agar keluarga yang
mereka bina sesuai dengan gambaran ideal yang senantiasa ia impikan
sejak muda.
Seorang wanita yang hendak menikah, alangkah baiknya
jika ia melihat lembaga perkawinan dengan pemahaman yang utuh, tidak
sepotong-potong, romantika keluarga beserta problematika yang ada di
dalamnya.

2. Nusyus (tidak taat kepada suami)

Nusyus adalah sikap membangkang, tidak patuh dan
tidak taat kepada suami. Wanita yang melakukan nusyus adalah wanita yang
melawan suami, melanggar perintahnya, tidak taat kepadanya, dan tidak
ridha pada kedudukan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah tetapkan
untuknya.
Nusyus memiliki beberapa bentuk, diantaranya adalah:

  1. Menolak ajakan suami ketika mengajaknya ke tempat tidur, dengan terang-terangan maupun secara samar.

  2. Mengkhianati suami, misalnya dengan menjalin hubungan gelap dengan pria lain.

  3. Memasukkan seseorang yang tidak disenangi suami ke dalam rumah.

  4. Lalai dalam melayani suami.

  5. Mubazir dan menghambur-hamburkan uang pada yang bukan tempatnya

  6. Menyakiti suami dengan tutur kata yang buruk, mencela, dan mengejeknya.

  7. Keluar rumah tanpa izin suami.

  8. Menyebarkan dan mencela rahasia-rahasia suami.
Seorang istri shalihah akan senantiasa menempatkan
ketaatan kepada suami di atas segala-galanya. Tentu saja bukan ketaatan
dalam kedurhakaan kepada Allah, karena tidak ada ketaatan dalam maksiat
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia akan taat kapan pun, dalam situasi
apapun, senang maupun susah, lapang maupun sempit, suka ataupun duka.
Ketaatan istri seperti ini sangat besar pengaruhnya dalam menumbuhkan
cinta dan memelihara kesetiaan suami.

3. Tidak menyukai keluarga suami

Terkadang seorang istri menginginkan agar seluruh
perhatian dan kasih sayang sang suami hanya tercurah pada dirinya. Tak
boleh sedikit pun waktu dan perhatian diberikan kepada selainnya.
Termasuk juga kepada orang tua suami. Padahal, di satu sisi, suami harus
berbakti dan memuliakan orang tuanya, terlebih ibunya.
Salah satu bentuknya adalah cemburu terhadap ibu
mertuanya. Ia menganggap ibu mertua sebagai pesaing utama dalam
mendapatkan cinta, perhatian, dan kasih sayang suami. Terkadang,
sebagian istri berani menghina dan melecehkan orang tua suami, bahkan ia
tak jarang berusaha merayu suami untuk berbuat durhaka kepada orang
tuanya. Terkadang istri sengaja mencari-cari kesalahan dan kelemahan
orang tua dan keluarga suami, atau membesar-besarkan suatu masalah,
bahkan tak segan untuk memfitnah keluarga suami.
Ada juga seorang istri yang menuntut suaminya agar
lebih menyukai keluarga istri, ia berusaha menjauhkan suami dari
keluarganya dengan berbagai cara.
Ikatan pernikahan bukan hanya menyatukan dua insan
dalam sebuah lembaga pernikahan, namun juga ‘pernikahan antar keluarga’.
Kedua orang tua suami adalah orang tua istri, keluarga suami adalah
keluarga istri, demikian sebaliknya. Menjalin hubungan baik dengan
keluarga suami merupakan salah satu keharmonisan keluarga. Suami akan
merasa tenang dan bahagia jika istrinya mampu memposisikan dirinya dalam
kelurga suami. Hal ini akan menambah cinta dan kasih sayang suami.

4. Tidak menjaga penampilan

Terkadang, seorang istri berhias, berdandan, dan
mengenakan pakaian yang indah hanya ketika ia keluar rumah, ketika
hendak bepergian, menghadiri undangan, ke kantor, mengunjungi saudara
maupun teman-temannya, pergi ke tempat perbelanjaan, atau ketika ada
acara lainnya di luar rumah. Keadaan ini sungguh berbalik ketika ia di
depan suaminya. Ia tidak peduli dengan tubuhnya yang kotor, cukup hanya
mengenakan pakaian seadanya: terkadang kotor, lusuh, dan berbau,
rambutnya kusut masai, ia juga hanya mencukupkan dengan aroma dapur yang
menyengat.
Jika keadaan ini terus menerus dipelihara oleh istri,
jangan heran jika suami tidak betah di rumah, ia lebih suka
menghabiskan waktunya di luar ketimbang di rumah. Semestinya, berhiasnya
dia lebih ditujukan kepada suami Janganlah keindahan yang telah
dianugerahkan oleh Allah diberikan kepada orang lain, padahal suami nya
di rumah lebih berhak untuk itu.

5. Kurang berterima kasih

Tidak jarang, seorang suami tidak mampu memenuhi
keinginan sang istri. Apa yang diberikan suami jauh dari apa yang ia
harapkan. Ia tidak puas dengan apa yang diberikan suami, meskipun
suaminya sudah berusaha secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan
keluarga dan keinginan-keinginan istrinya.
Istri kurang bahkan tidak memiliki rasa terima kasih
kepada suaminya. Ia tidak bersyukur atas karunia Allah yang diberikan
kepadanya lewat suaminya. Ia senantiasa merasa sempit dan kekurangan.
Sifat qona’ah dan ridho terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya
sangat jauh dari dirinya.
Seorang istri yang shalihah tentunya mampu memahami
keterbatasan kemampuan suami. Ia tidak akan membebani suami dengan
sesuatu yang tidak mampu dilakukan suami. Ia akan berterima kasih dan
mensyukuri apa yang telah diberikan suami. Ia bersyukur atas nikmat yang
dikaruniakan Allah kepadanya, dengan bersyukur, insya Allah, nikmat
Allah akan bertambah.
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami
akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku),
maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.” (Qs.Ibrahim :7 )

6. Mengingkari kebaikan suami

“Wanita merupakan mayoritas penduduk neraka.”
Demikian disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setelah shalat gerhana ketika terjadi gerhana matahari.
Ajaib !! wanita sangat dimuliakan di mata Islam,
bahkan seorang ibu memperoleh hak untuk dihormati tiga kali lebih besar
ketimbang ayah. Sosok yang dimuliakan, namun malah menjadi penghuni
mayoritas neraka. Bagaimana ini terjadi?
“Karena kekufuran mereka,” jawab Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika para sabahat bertanya mengapa hal
itu bisa terjadi. Apakah mereka mengingkari Allah?
Bukan, mereka tidak mengingkari Allah, tapi
mereka mengingkari suami dan kebaikan-kebaikan yang telah diperbuat
suaminya. Andaikata seorang suami berbuat kebaikan sepanjang masa,
kemudian seorang istri melihat sesuatu yang tidak disenanginya dari
seorang suami, maka si istri akan mengatakan bahwa ia tidak melihat
kebaikan sedikitpun dari suaminya. Demikian penjelasan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari
(5197).
Mengingkari suami dan kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan suami!!
Inilah penyebab banyaknya kaum wanita berada di dalam
neraka. Mari kita lihat diri setiap kita, kita saling introspeksi , apa
dan bagaimana yang telah kita lakukan kepada suami-suami kita?
Jika kita terbebas dari yang demikian, alhamdulillah. Itulah yang kita harapkan. Berita gembira untukmu wahai saudariku.
Namun jika tidak, kita (sering) mengingkari suami,
mengingkari kebaikan-kebaikannya,  maka berhati-hatilah dengan apa yang
telah disinyalir oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Bertobat,  satu-satunya pilihan utuk terhindar dari pedihnya siksa
neraka. Selama matahari belum terbit dari barat, atau nafas telah ada di
kerongkongan,  masih ada waktu untuk bertobat. Tapi mengapa mesti
nanti? Mengapa mesti menunggu sakaratul maut?
Janganlah engkau katakan besok dan besok wahai
saudariku; kejarlah ajalmu,  bukankah engkau tidak tahu kapan engkau
akan menemui Robb mu?
“Tidaklah seorang isteri yang menyakiti suaminya
di dunia, melainkan isterinya (di akhirat kelak): bidadari yang menjadi
pasangan suaminya (berkata): “Jangan engkau menyakitinya, kelak kamu
dimurkai Allah, seorang suami begimu hanyalah seorang tamu yang bisa
segera berpisah dengan kamu menuju kami.” (HR. At Tirmidzi, hasan)
Wahai saudariku, mari kita lihat, apa yang telah kita
lakukan selama ini , jangan pernah bosan dan henti untuk introspeksi
diri,  jangan sampai apa yang kita lakukan tanpa kita sadari membawa
kita kepada neraka, yang kedahsyatannya tentu sudah Engkau ketahui.
Jika suatu saat, muncul sesuatu yang tidak kita sukai
dari suami; janganlah kita mengingkari dan melupakan semua kebaikan
yang telah suami kita lakukan.
“Maka lihatlah kedudukanmu di sisinya. Sesungguhnya suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR.Ahmad)

7. Mengungkit-ungkit kebaikan

Setiap orang tentunya memiliki kebaikan, tak
terkecuali seorang istri. Yang jadi masalah adalah jika seorang istri
menyebut kebaikan-kebaikannya di depan suami dalam rangka
mengungkit-ungkit kebaikannya semata.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan si penerima).” [Al Baqarah: 264]
Abu Dzar radhiyallahu ‘Anhu meriwayatkan, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ada
tiga kelompok manusia dimana Allah tidak akan berbicara dan tak akan
memandang mereka pada hari kiamat. Dia tidak mensucikan mereka dan untuk
mereka adzab yang pedih.”
Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya sebanyak tiga kali.” Lalu
Abu Dzar bertanya, “Siapakah mereka yang rugi itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang
yang menjulurkan kain sarungnya ke bawah mata kaki (isbal), orang yang
suka mengungkit-ungkit kebaikannya dan orang yang suka bersumpah palsu
ketika menjual. ” [HR. Muslim]

8. Sibuk di luar rumah

Seorang istri terkadang memiliki banyak kesibukan di
luar rumah. Kesibukan ini tidak ada salahnya, asalkan mendapat izin
suami dan tidak sampai mengabaikan tugas dan tanggung jawabnya.
Jangan sampai aktivitas tersebut melalaikan tanggung
jawab nya sebagai seorang istri. Jangan sampai amanah yang sudah
dipikulnya terabaikan.
Ketika suami pulang dari mencari nafkah, ia mendapati
rumah belum beres, cucian masih menumpuk, hidangan belum siap,
anak-anak belum mandi, dan lain sebagainya. Jika hni terjadi terus
menerus, bisa jadi suami tidak betah di rumah, ia lebih suka
menghabiskan waktunya di luar atau di kantor.

9. Cemburu buta

Cemburu merupakan tabiat wanita, ia merupakan suatu
ekspresi cinta. Dalam batas-batas tertentu, dapat dikatakan wajar bila
seorang istri merasa cemburu dan memendam rasa curiga kepada suami yang
jarang berada di rumah. Namun jika rasa cemburu ini berlebihan,
melampaui batas, tidak mendasar, dan hanya berasal dari praduga; maka
rasa cemburu ini dapat berubah menjadi cemburu yang tercela.
Cemburu yang disyariatkan adalah cemburunya istri
terhadap suami karena kemaksiatan yang dilakukannya, misalnya: berzina,
mengurangi hak-hak nya, menzhaliminya, atau lebih mendahulukan istri
lain ketimbang dirinya. Jika terdapat tanda-tanda yang membenarkan hal
ini, maka ini adalah cemburu yang terpuji. Jika hanya dugaan belaka
tanpa fakta dan bukti, maka ini adalah cemburu yang tercela.
Jika kecurigaan istri berlebihan, tidak berdasar pada
fakta dan bukti, cemburu buta, hal ini tentunya akan mengundang
kekesalan dan kejengkelan suami. Ia tidak akan pernah merasa nyaman
ketika ada di rumah. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, kejengkelannya
akan dilampiaskan dengan cara melakukan apa yang disangkakan istri
kepada dirinya.

10. Kurang menjaga perasaan suami

Kepekaan suami maupun istri terhadap perasaan
pasangannya sangat diperlukan untuk menghindari terjadinya konflik,
kesalahpahaman, dan ketersinggungan. Seorang istri hendaknya senantiasa
berhati-hati dalam setiap ucapan dan perbuatannya agar tidak menyakiti
perasaan suami, ia mampu menjaga lisannya dari kebiasaan mencaci,
berkata keras, dan mengkritik dengan cara memojokkan. Istri selalu
berusaha untuk menampakkan wajah yang ramah, menyenangkan, tidak bermuka
masam, dan menyejukkan ketika dipandang suaminya.
Demikian beberapa kesalahan-kesalahan istri yang
terkadang dilakukan kepada suami yang seyogyanya kita hindari agar suami
semakin sayang pada setiap istri. Semoga keluarga kita menjadi keluarga
yang sakinah, mawadah, warohmah.
amin…


Artikel : http://hikayahhati.blogspot.com/